Hari itu terasa hangat dan penuh semangat saat Hafizah berdiri di depan pintu rumah. Dalam suaranya, terdengar harapan yang tersirat, "Hari ini menyenangkan. Apa aku masih boleh bertemu dengan Putri? Aku tahu mungkin hanya ada satu kesempatan, tapi aku pasti akan merindukan Putri."
Hafidz berdiri tak jauh darinya, mendengarkan dengan seksama. Raut wajahnya menunjukkan pemahaman akan ketulusan wanita di hadapannya terhadap anak perempuannya."Benarkah?" tanyanya dengan mata yang berbinar penuh harapan."Benar. Tapi untuk sekarang, lebih baik kamu pulang sebelum malam semakin larut. Apa aku boleh mengantarmu? Rasanya tidak pantas jika seorang wanita pulang larut malam sendirian."Hafizah mengangguk kecil. "Baiklah, aku tidak masalah.""Sekarang ayo ke mobil, biar aku antar kamu pulang," lanjut Hafidz.Tanpa banyak kata lagi, mereka menuju mobil Hafidz. Di dalam kendaraan itu, keduanya duduk bersebelahan, namun keheningan menyelimutHafizah bertanya dengan percaya diri, menyiratkan harapan besar dalam suaranya. "Jadi, maksudnya ada kesempatan aku diterima cintanya sama kamu? Aku memang bukan Dera, tapi aku Hafizah, wanita yang tulus menyayangi Putri, anakmu. Aku yakin Putri juga akan bahagia jika aku bersama kamu."Hafidz menghentikan mobilnya perlahan. Tanpa sadar, mereka sudah sampai di depan rumah Hafizah. Namun, kebingungan masih menguasai dirinya. Ia tidak tahu bagaimana harus merespons pernyataan Hafizah yang begitu jujur."Sudah sampai, Hafizah. Kamu bisa masuk sekarang. Aku harus segera pulang. Putri pasti mencariku di rumah," katanya singkat dengan nada terukur.Hafizah hanya mengangguk memahami situasi. Ia turun dari mobil tanpa mendesak lebih jauh. Setelah menutup pintu mobil, ia melambaikan tangan ke arah Hafidz yang langsung melanjutkan perjalanan.Dalam hatinya, Hafizah berbicara kepada dirinya sendiri. "Aku tahu kamu cuma mau kebahagiaan untuk Putri, tapi aku j
Hafidz, dengan suara lembut namun mendesak, bertanya pada Hafizah apakah ia bersedia ikut dengannya ke rumahnya lagi. Menurut Hafidz, Putri sepertinya tak bisa jauh dari Hafizah, dan jika Hafizah setuju, mereka harus segera pergi sebelum Putri merasa kelaparan. Hafidz mengungkapkan bahwa ia meninggalkan Putri tadi karena mendapat pesan dari Hafizah. Namun, Hafizah tidak kunjung menjawab, membuat Hafidz akhirnya bertindak tanpa meminta persetujuan wanita itu. Dia berkata sambil bercanda, jika Hafizah tak memberikan jawaban, maka ia tak akan segan untuk langsung menggendongnya. Tanpa menunggu jawaban, Hafidz mengangkat tubuh Hafizah dan membawanya keluarHafizah terkejut setengah mati melihat dirinya tiba-tiba digendong oleh Hafidz keluar dari rumah. Dia memprotes keras, memintanya untuk segera menurunkannya. Namun, Hafidz bergeming, tetap membawanya hingga ke depan mobilnya.Sambil membuka pintu mobil, Hafidz menjelaskan bahwa malam ini ia memiliki janji k
"Aku bukan pembunuh!" seru seorang wanita yang mulai bangkit di dekat batu nisan yang selesai di peluknya, air matanya pun masih belum mengering karena peristiwa yang baru dialaminya bersama mendiang suaminya yang baru meninggal dunia. "Bagiku kamulah pembunuh Hamid! Perempuan pembawa sial!" pekiknya berteriak lantang menunjukkan kemarahan di depan menantunya yang menurutnya menjadi penyebab anak laki-lakinya meninggalkan dunia ini. "Bukan! Aku tidak pernah membunuh Mas Hamid. Ibu salah paham padaku," balas Hafizah membela dirinya dari tuduhan mertua. "Tutup mulutmu! Jelas-jelas anakku yang sekarang meninggal, kuburannya masih belum kering dan kamu masih mengelak? Aku tidak akan memaafkan kamu, Hafizah! Sekarang kamu ikut aku ke kantor polisi." Hafizah mencoba melepaskan diri dari tangan Lestari yang menariknya sangat kuat, tetapi Lestari tidak terkalahkan menarik tangan Hafizah sampai bisa menjauh dari kuburan Hamid. "Lepas, Bu!" "Diam!" Lestari tetap pada pendiriannya un
"Di mana anakku, Bu?" Suara Hafizah terdengar oleh Lestari dan Dera yang duduk di sofa karena baru menghabiskan satu hari dengan membelanjakan uang Hamid sesuka hati mereka. "Hafizah?" Lestari kaget tidak percaya ada Hafizah di dalam rumah mewah anaknya Hamid. Begitupun Dera sama kagetnya kakak iparnya sudah ada di dalam rumah bahkan di ruang keluarga. "Iya, ini aku, sekarang aku sudah bebas. Jadi, apa boleh aku mengetahui di mana panti asuhan itu? Aku merindukan anakku." Hafizah tidak mungkin melupakan pengakuan ibu mertuanya yang telah membuang anaknya. Lima tahun menjadi penantian untuk bisa bertemu kembali dengan buah hatinya. Lestari dan Dera berdiri mendekati Hafizah yang tidak membawa apa-apa ditangannya, karena Hafizah memang tidak membawa barangnya ketika masuk penjara. "Enak saja mau tau anakmu! Kamu pikir aku bodoh sembarangan cerita di mana panti asuhan itu? Jangan harap, Hafizah!" "Bu, aku mohon. Anakku tidak bersalah sama sekali. Sekarang aku bebas, biarkan
"Lepas!" Tangan Hafidz melepaskan cengkraman tangan Lestari yang menyakiti Putri. "Menantu tidak tau diri! Sudah miskin, menumpang di rumahku. Sekarang kamu membela anak haram ini! Aku mau anakmu pergi dariku!" Mendengar anaknya diusir oleh ibu mertuanya membuat Hafidz geram ingin sekali bertindak kasar pada Lestari yang dari empat tahun yang lalu selalu merendahkan dan menghinanya habis-habisan. "Jaga bicara Anda!" Hafidz sangat marah pada ibu mertuanya, tetapi Lestari tidak mau kalah dari menantu laki-laki yang tidak bisa menguntungkan baginya ini. "Apa? Kamu yang harus jaga bicara! Pantas kamu membentak aku yang sudah memberikan kamu kehidupan mewah?" Lestari tidak takut pada Hafidz yang sedang marah, dia serius ingin mengusir Putri dari rumahnya karena Dera yang memintanya. Dera selalu mengeluh kalau anak Hafidz pembawa masalah. "Cukup!" Hafizah berteriak ke mereka berdua untuk menghentikan pertengkaran yang terjadi, karena masih ada mayat Dera yang masih tergeletak
Ketika semua mata tertuju pada pemakanan yang hampir selesai, ternyata Lestari baru datang dengan tangan kosong berdiri tanpa air mata. "Pulang!" Lestari menarik tangan Hafizah agar menjauh dari tempat peristirahatan terakhir anaknya, membiarkan Hafidz yang akan mengurus semuanya. "Tapi, Bu ...." "Jangan tapi-tapi! Sekarang pulang kerjakan tugas rumah, kamu lupa kalau jadi pembantu? Kamu keluar rumah seenaknya tanpa menyelesaikan pekerjaan terlebih dahulu. Aku tidak akan biarkan!" Bisa-bisanya ibu mertuaku masih memikirkan pekerjaan rumah di saat pemakaman anak perempuan satu-satunya yang dia selalu bangga-banggakan. "Bu, dia anakmu, apa Ibu tidak sedih Dera tiada? Aku saja sedih, Bu." Belum pernah Hafizah menemui seorang ibu yang tidak sedih anaknya tiada. Namun, berbeda dengan ibu mertuanya yang tidak menangis sedikitpun. "Diam kamu, Hafizah! Jangan mencoba mengatur aku bagaimana. Sudah aku bilang kamu harus panggil, Nyonya! Sekarang aku mau kamu pulang dan kerjakan tug
"Aku tidak tau bisa atau tidak untuk membantumu, setidaknya handuk ini bisa menutupi pakaianmu yang basah," ucap seseorang yang tiba-tiba datang menyodorkan handuk. Hafizah menoleh, "Hafidz, sejak kapan kamu di situ?" tanyanya. "Eum, dari tadi, sama Putri juga menyaksikan kamu diguyur air, ini sudah malam, sebaiknya dilanjutkan besok, aku rasa Ibu Lestari juga tidak akan keluar kamar lagi." Hafidz mengetahui kebiasaan ibu mertuanya yang mengunci diri di dalam kamar dengan alkoholnya. "Terima kasih," balas Hafizah mengambil handuk tersebut. Tiba-tiba matanya tertuju pada Putri yang menarik-narik pelan handuk yang dikenakan Hafizah. "Tante cantik, ini aku bawakan minuman hangat," ucapnya. Hafizah tersenyum, rasa sedihnya menghilang seketika menatap senyuman Putri, seperti ada magnet yang begitu luar biasa membuatnya bisa semangat lagi. "Terima kasih anak baik." Diambilnya minuman hangat yang dibawakan Putri padanya, setidaknya sudah menjadi obat penawar rasa sakit sudah
Kemarahan menyelimuti Lestari melihat menantunya membela anak sambung Dera. Sekarang Lestari berdiri memegang gelas yang ada di atas meja. "Rasakan ini!" Hafizah melindungi Putri dengan memeluk anak itu, matanya melihat Ibu mertuanya ingin melempar gelas yang ada di tangan. 'Cranggg!' Hafizah tidak merasakan sakit apa pun di punggungnya, padahal sudah jelas mendengar suara pecahan gelas jatuh ke lantai. "Ka-kalian, tidak apa-apa?" Suara yang meringis kesakitan bersumber dari belakang punggung Hafizah, wanita itu menoleh ke belakang perlahan. Dengan cepat memegangi pria yang sudah mengorbankan dirinya untuk melindunginya dan Putri. "Hafidz!" Hafizah menatap mata Hafidz dengan penuh kekhawatiran karena pasti pria itu terluka setelah melindungi dirinya dari serangan ibu mertuanya. "Ya, rasanya sakit," ucapnya pelan merasakan tubuhnya melemah. Ditangkapnya Hafidz dengan susah payah, walaupun harus melepaskan pelukan Putri yang sekarang melihat ayahnya terluka. Putri memega
Hafidz, dengan suara lembut namun mendesak, bertanya pada Hafizah apakah ia bersedia ikut dengannya ke rumahnya lagi. Menurut Hafidz, Putri sepertinya tak bisa jauh dari Hafizah, dan jika Hafizah setuju, mereka harus segera pergi sebelum Putri merasa kelaparan. Hafidz mengungkapkan bahwa ia meninggalkan Putri tadi karena mendapat pesan dari Hafizah. Namun, Hafizah tidak kunjung menjawab, membuat Hafidz akhirnya bertindak tanpa meminta persetujuan wanita itu. Dia berkata sambil bercanda, jika Hafizah tak memberikan jawaban, maka ia tak akan segan untuk langsung menggendongnya. Tanpa menunggu jawaban, Hafidz mengangkat tubuh Hafizah dan membawanya keluarHafizah terkejut setengah mati melihat dirinya tiba-tiba digendong oleh Hafidz keluar dari rumah. Dia memprotes keras, memintanya untuk segera menurunkannya. Namun, Hafidz bergeming, tetap membawanya hingga ke depan mobilnya.Sambil membuka pintu mobil, Hafidz menjelaskan bahwa malam ini ia memiliki janji k
Hafizah bertanya dengan percaya diri, menyiratkan harapan besar dalam suaranya. "Jadi, maksudnya ada kesempatan aku diterima cintanya sama kamu? Aku memang bukan Dera, tapi aku Hafizah, wanita yang tulus menyayangi Putri, anakmu. Aku yakin Putri juga akan bahagia jika aku bersama kamu."Hafidz menghentikan mobilnya perlahan. Tanpa sadar, mereka sudah sampai di depan rumah Hafizah. Namun, kebingungan masih menguasai dirinya. Ia tidak tahu bagaimana harus merespons pernyataan Hafizah yang begitu jujur."Sudah sampai, Hafizah. Kamu bisa masuk sekarang. Aku harus segera pulang. Putri pasti mencariku di rumah," katanya singkat dengan nada terukur.Hafizah hanya mengangguk memahami situasi. Ia turun dari mobil tanpa mendesak lebih jauh. Setelah menutup pintu mobil, ia melambaikan tangan ke arah Hafidz yang langsung melanjutkan perjalanan.Dalam hatinya, Hafizah berbicara kepada dirinya sendiri. "Aku tahu kamu cuma mau kebahagiaan untuk Putri, tapi aku j
Hari itu terasa hangat dan penuh semangat saat Hafizah berdiri di depan pintu rumah. Dalam suaranya, terdengar harapan yang tersirat, "Hari ini menyenangkan. Apa aku masih boleh bertemu dengan Putri? Aku tahu mungkin hanya ada satu kesempatan, tapi aku pasti akan merindukan Putri."Hafidz berdiri tak jauh darinya, mendengarkan dengan seksama. Raut wajahnya menunjukkan pemahaman akan ketulusan wanita di hadapannya terhadap anak perempuannya."Benarkah?" tanyanya dengan mata yang berbinar penuh harapan."Benar. Tapi untuk sekarang, lebih baik kamu pulang sebelum malam semakin larut. Apa aku boleh mengantarmu? Rasanya tidak pantas jika seorang wanita pulang larut malam sendirian."Hafizah mengangguk kecil. "Baiklah, aku tidak masalah.""Sekarang ayo ke mobil, biar aku antar kamu pulang," lanjut Hafidz.Tanpa banyak kata lagi, mereka menuju mobil Hafidz. Di dalam kendaraan itu, keduanya duduk bersebelahan, namun keheningan menyelimut
Hafizah terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Hafidz. Dia tahu betul bahwa keluarganya memiliki harapan besar padanya, untuk melanjutkan bisnis keluarga dan menjadi sosok yang diandalkan. "Aku akan bekerja di perusahaan Ayahku, aku bisa memulai dari sana," ucapnya bersemangat. Sebuah perasaan campur aduk mengisi hatinya. Di satu sisi, dia merasa lega bisa berbagi beban dengan Hafidz, adik ipar yang tidak disangka-sangka bisa menjadi pendengar yang baik. Namun di sisi lain, bayang-bayang masalah dengan mertuanya masih membayangi pikirannya.Hafidz, yang duduk di dekatnya, merasakan ketegangan yang menyelimuti suasana. "Kamu tahu, Hafizah, setiap orang memiliki jalan hidup yang berbeda. Kadang, kita perlu berani mengambil langkah yang tak terduga, aku rasa langkahmu sudah benar," katanya sambil memandangi wanita itu. "Terima kasih, Hafidz. Semua ini berguna untuk aku, tidak akan aku lupakan semua ucapan kamu, Hafidz."Pembicaraan mereka
Di ruang keluarga yang penuh dengan keheningan, Hafizah menatap Hafidz dengan tatapan yang penuh makna. Di dinding, jam berdetak pelan seolah ikut merasakan ketegangan di antara mereka. Suasana itu terasa berat, namun ada sesuatu yang tak terucapkan, sebuah keinginan untuk memahami dan diterima.Hafidz, yang awalnya terdiam, mulai merasakan getaran emosional yang aneh. "Tapi, kenapa harus sampai mengusirnya? Bukankah dia mertuamu?" tanyanya, suaranya bergetar tidak yakin.Hafizah menghela napas panjang, matanya menatap keluar jendela, seolah mencari jawaban di luar sana. "Kau tidak mengerti, Hafidz. Ibu Lestari jahat, dia juga seorang wanita yang keras kepala. Dia selalu merasa berhak untuk mengatur hidupku, bahkan setelah aku menikah dengan anaknya. Dia tidak bisa menerima bahwa rumah ini adalah milikku sekarang. Dia masih terjebak dalam pandangan bahwa semua yang ada di sini adalah miliknya."Hafidz merasa hatinya bergetar. Dia tahu betul bagaimana hubun
Hafizah memohon dengan nada penuh harap kepada Hafidz, meminta kesempatan untuk menghabiskan satu hari bersama mereka. "Setidaknya untuk hari ini saja aku bisa bersama kalian, atau aku ke tempat tinggal kalian berdua. Aku janji tidak akan meminta lebih dari itu," katanya sambil menatap Hafidz.Meski berusaha menahan diri, Hafidz akhirnya mengalah. Ia tahu, terutama karena Putri, anaknya, juga senang berada di dekat Hafizah. "Baiklah, kita pergi ke rumahku. Tapi jangan kaget kalau nanti kamu mengetahui sesuatu yang belum pernah kamu tahu tentangku," kata Hafidz tegas."Tenang saja. Aku akan mencoba memahami semuanya. Hal yang kamu sembunyikan mungkin memang urusanmu. Aku tidak berhak menanyakan itu. Aku hanya ingin bersama Putri hari ini," jawab Hafizah dengan lembut.Tanpa kata tambahan, Hafidz menyetujui. "Baik, kita pergi sekarang," putusnya, berjalan lebih dulu meninggalkan Hafizah dan Putri yang masih saling pandang. Putri terus memeluk Hafiz
Hafidz mengarahkan mobilnya menuju restoran yang terkenal dengan steak daging segar. Di sepanjang perjalanan, Putri, yang berusia lima tahun, terlihat ceria memainkan boneka kesayangannya, sambil sesekali melirik ke arah jendela, menyaksikan pemandangan kota yang berlalu-lalang."Putri, nanti setelah makan, kita bisa pergi ke taman bermain, ya?" tawar Hafidz dengan senyum hangat di wajahnya."Yeay! Aku suka taman bermain! Tapi Ayah, aku mau naik wahana yang tinggi-tinggi," jawab Putri dengan semangat, matanya berbinar penuh harapan.Hafidz hanya bisa tertawa mendengar keinginan anaknya. "Baiklah, kita akan naik wahana yang tinggi, tapi Ayah harus melihat dulu apakah itu aman untukmu."Setelah beberapa menit, mereka tiba di restoran. Aroma daging yang dipanggang memenuhi udara, membuat perut Putri berbunyi. Mereka duduk di meja dekat jendela, dan Hafidz memesan berbagai hidangan daging yang diinginkan Putri."Sambil menunggu makanan, Ayah
"Sekarang ikut dengan kami tanpa perlawanan, karena kami akan kasar kalau Ibu tidak mau mengikuti kami, semuanya akan diproses ke polisi kalau Ibu tidak mau."Lestari mendengarnya, ancaman petugas yang menakutkan baginya, tidak mau berurusan dengan polisi karena Lestari sendiri sudah memalsukan saksi untuk membuat menantunya bersalah. "Ok, baik. Tapi jangan kasar! Aku akan jalan sampai di tempat tujuan kalian."Terpaksa Lestari mengikuti mereka berdua, akhirnya Hafizah melihat mertuanya pergi dari halaman rumah dan sudah keluar bersama petugas tadi. "Rasanya lega hidup tanpa orang seperti Ibu, mungkin bukan aku yang akan mengerti Ibu, maafkan aku Mas, tadinya aku mau berbakti pada Ibumu karena kamu adalah suamiku, tapi aku tidak sanggup dengannya," ucap Hafizah membalikkan tubuhnya ke arah lain. Hafizah berjalan ke arah tempat tidur, dia merebahkan tubuhnya setelah selesai dengan drama mertuanya. "Akhirnya aku bebas, apa yang
"Ayah, kita ada di mana?" Saat kakinya melangkah pada pintu rumah yang dibuka beberapa pelayan, seketika mereka menundukkan kepalanya, "Selamat datang Pak Hafidz," ucap salah satu kepala pelayan pada Hafidz yang berdiri di samping anaknya. "Terima kasih, tolong kalian siapkan kamar untuk anakku, dia akan tinggal di rumah ini." perintah Hafidz pada kepala pelayan. "Laksanakan Pak Hafidz."Putri melihat ke arah ayahnya, tidak lupa menarik tangan ayahnya agar mau menjawab pertanyaannya. "Ayah, rumah siapa?"Hafidz mendengar pertanyaan anaknya, dia juga kebingungan harus menceritakan dari mana dirinya memulai. "Ini rumah Ayah, rumah kamu juga, sekarang kita berdua tinggal di sini, kamu tidak apa-apa 'kan?"Putri melirik rumah yang dia masuki bersama ayahnya, terlihat berbeda dari rumah yang dia tempati sebelumnya. "Tidak apa-apa, Ayah. Rumah ini besar sekali. Putri suka rumahnya, tidak ada yang berter