Caraline bangun saat suara alarm terdengar. Wanita itu bergegas turun dari ranjang, kemudian menoleh pada jam dinding. Pukul tujuh pagi. Cahaya dari luar kamar tampak terperangkap di celah tirai.
Setengah jam kemudian, Caraline sudah berada di meja makan. Wanita itu sarapan dalam keadaan tenang. Ia melihat seorang maid berjalan ke arah dapur, kemudian menghilang ditelan dinding. “Diamlah, Caraline. Jangan bertindak bodoh dengan mengikutinya,” ujarnya seraya mencubit paha beberapa kali.
Caraline fokus pada sajian yang terhidang walau beberapa kali ekor matanya tertuju ke arah halaman. Ketika selesai sarapan, wanita itu segera menuju pekarangan belakang. Ia berpapasan dengan Helen yang baru saja datang dari depan.
“Kau datang pagi sekali, Helen,” ujar Caraline dengan wajah datar.
“Kebetulan sekali aku tidur nyenyak semalam, Nona,” jawab Helen.
Kedua wanita itu berjalan ke arah pinggiran danau untuk menungg
Caraline bergegas menuju elevator setelah mengamati penampilan Diego secara sekilas. Ia memijat kepala perlahan atas tindakan pria itu yang menurutnya tak penting. Pria berperawakan tinggi itu ikut memasuki lift dengan senyum terpatri di wajah. Keadaan ruangan sempit ini kini hanya diisi oleh mereka berdua.“Bagaimana pendapatmu jika kita berlibur di sekitar pantai?” tanya Diego, “aku punya tempat yang bagus untuk dikunjungi.”“Aku hanya takut jika selera dan penilaian kita berbeda,” jawab Caraline tanpa menoleh sedikit pun, “bagus menurutmu, bukan berarti bagus untukku, kan?”“Lalu tempat apa yang kau suka?” Diego menoleh ke arah Caraline.“Haruskah aku menjawab pertanyaanmu?” Caraline menyelipkan rambut ke belakang telinga, lalu melirik Diego. “Aku kira kau akan mengejutkanku.”“Baiklah.” Diego merapikan jas untuk sesaat. “Jangan salahkan aku jik
“Bisakah lain kali aku mengajak Deric jalan-jalan?” tanya Diego.“Sebaiknya kau menarik ucapanmu,” sahut Caraline, “Deric itu ... anjing yang ganas pada orang baru yang ditemuinya. Kau pasti akan mendapat kesulitan.”“Ayolah, Caraline,” bujuk Diego, “bukankah dia ... hanya seekor anjing? Kita hanya perlu membuatnya bertekuk lutut agar dia paham siapa yang berkuasa atas dirinya.”“Ya, dia seekor anjing.” Caraline mengulum senyum. Rasanya puas sekali ketika mengatakan hal tersebut. “Sudahlah, lupakan membahas hewan menggonggong yang menyebalkan itu.”Diego menyandarkan punggung ke kursi. “Tapi, sepertinya kau menikmati obrolan tentang anjingmu. Aku bisa melihat kau tersenyum ketika mengatakannya.”“Benarkah?” Caraline menaikkan sebelah alis, kemudian menyelipkan rambut ke telinga. Ia memilih beberapa sajian yang terhidang di depan meja. &
Hujan deras mengguyur Heaventown siang ini. Tetes air tampak terperangkap di kaca jendela. Saat ini, Deric dan Helen tengah berada di sebuah kafe untuk bersantap siang. Beberapa orang tampak berlarian di luar bangunan untuk menghindari hujan, disusul dengan kendaraan-kendaraan yang menepi ke sisi jalan.Suasana kafe agak sepi dari pengunjung. Hanya ada beberapa meja yang terisi yang bisa dihitung dengan jari. Beberapa pegawai terlihat tengah membereskan beberapa meja kotor, juga mengantar pesanan.Deric mengamati buliran air yang menempel di kaca samping. Jemarinya dengan perlahan mengikuti tetes hujan yang turun, yang kemudian menyatu menjadi buliran yang lebih besar. Pandangannya seolah terkunci pada objek-objek itu meski kini dua gelas cokelat panas dan dua potong roti sudah tersaji di atas meja.“Kau tidak akan kenyang hanya dengan menatapku, Helen,” ujar Deric seraya menoleh pada wanita di depannya.Helen mendadak tegang. Meski udara ding
Caraline bergegas turun ketika mobil menepi di depan lobi sebuah gedung. Wanita itu melepas kacamata hitam, dan tercenung ketika melihat bangunan di hadapannya secara jelas. Ini pertama kalinya ia berkunjung ke tempat ini.Selama perjalanan, Caraline sempat mencari informasi mengenai lokasi yang akan dikunjunginya, tetapi internet tak bisa memberi kabar seperti yang ia harapkan. Nyatanya tempat ini tak muncul di kolom pencarian. Ia sempat didekap keraguan, tetapi ia memberanikan diri untuk menaruh kepercayaan pada Diego.“Kau tahu, ini adalah salah satu properti terbaru milik Universe Corporation. Tempat ini belum dibuka untuk publik. Hanya saja, Henry Hulbert berbaik hati memberikan kesempatan padaku untuk menjadi orang yang pertama kali mengunjungi tempat ini,” ujar Diego yang tiba-tiba muncul di belakang Caraline.Caraline mengembus napas panjang, lantas kembali menelisik sekeliling. Tempat ini memiliki perpaduan elegan, klasik nan menakjubkan di
Caraline segera menyambar tas di atas meja rias. Wanita itu kemudian keluar dari kamar dengan langkah terburu-buru. Kekesalan masih dengan jelas terlukis di paras cantiknya. Selama berada di bawah guyuran shower, ia tak henti-hentinya mencibir Deric. Akan tetapi, ia tak berani mendoakan hal jelek padanya. Sungguh aneh, setiap kali ia berharap sesuatu yang buruk terjadi pada pria itu, ia malah mendapati dirinya sendiri yang menjadi korban.Caraline melewati sebuah lorong agak panjang. Ia langsung disambut angin dan udara dingin ketika kaki jenjangnya melangkah ke arah balkon. Deburan ombak dapat terdengar jelas dari posisinya saat ini. Pemandangan laut dan sekitarnya benar-benar memanjakan mata.“Apa kau suka berada di tempat ini?” tanya Diego yang muncul dari belakang Caraline.“Aku harap kau bisa menilainya sendiri,” sahut Caraline tanpa menoleh pada lawan bicara. Ia lantas bergerak ke arah pagar balkon.“Apa yang terjadi de
“Sayang sekali, aku tidak percaya keajaiban.” Caraline sengaja memilih duduk di kursi yang tidak ditarik Diego. Wanita itu lantas menyilangkan kaki.Tanpa diduga, Diego tiba-tiba bejongkok di depan Caraline. Pria itu mengambil sapu tangan dari saku celana, kemudian membersihkan kaki wanita itu. “Ini akan membuatmu lebih baik.”“Apa ... yang kau lakukan?” tanya Caraline dengan nada panik. Wanita itu segera menahan tangan Diego. Melihat seorang CEO perusahaan otomotif terkenal bertindak seperti ini padanya, benar-benar membuatnya tak nyaman. “Aku bisa melakukannya sendiri.”“Biarkan aku yang bertanggungjawab.” Diego melepas genggaman jemari Caraline dari tangannya satu per satu. “Aku yang membuatmu melepas sepatumu. Jadi, biarkan aku yang memasangkannya kembali.” “Aku ... hanya tak ingin seseorang berpikir macam-macam.” Caraline merasa keberatan.&l
Caraline dan Diego masih berada di meja makan malam. Setelah percakapan soal keinginan CEO Otopixel itu untuk bertemu Deric, tak ada obrolan selama beberapa menit ke depan. Keduanya fokus menikmati hidangan juga alunan musik yang menyejukkan indra pendengaran.“Kau tahu, Universe Corporation akan mengadakan sebuah event pencarian bakat terbesar di negeri ini beberapa bulan lagi. Pemenang utama acara itu akan dikontrak oleh Art Media, salah satu anak perusahaan mereka selama beberapa tahun. Seperti yang kita ketahui bersama, artis yang berada di bawah manajemen mereka akan meraih sukses besar,” ujar Diego memecah keheningan, “aku pikir itu kesempatan bagus bagimu untuk menjalin kerja sama dengan mereka. Acara itu pasti akan menyedot atensi seluruh negeri.”“Kau tidak sedang membual, kan?” tanya Caraline, “aku mendengar bila Universe Corporation tidak suka membocorkan beberapa agenda mereka pada publik. Mereka lebih memi
“Se-selamat ... malam, dan terima kasih kembali.”Kalimat Caraline nyatanya mengudara selama beberapa detik di dalam kamar. Wanita itu menggenggam ponselnya dengan erat, laksana tak ingin melepaskan benda elektronik itu walau sedetik. Detak jam terdengar mengisi kesunyian yang tiba-tiba mendekap. Akan tetapi, lambat laun kesadaran Caraline kembali. Ketika hal itu terjadi, netranya seketika membola.“Apa yang telah kukatakan?!” pekiknya dengan suara tertahan. Ponsel yang tadi digenggam erat justru tak sengaja ia lempar. Untungnya, benda elektronik itu mendarat di permadani di bawah ranjang.Caraline mendadak mundur hingga tubuhnya menabrak dinding. Tak dinyana, gawai itu justru mengulang kembali pesan suara Deric.‘Selamat malam dan terima kasih untuk hari ini.’CEO Mimiline Group itu sontak menutup kedua telinga. Aksinya diiringi dengan mengentak-entak lantai, berharap sura Deric itu jatuh dari pikiran, kemudian