“Se-selamat ... malam, dan terima kasih kembali.”
Kalimat Caraline nyatanya mengudara selama beberapa detik di dalam kamar. Wanita itu menggenggam ponselnya dengan erat, laksana tak ingin melepaskan benda elektronik itu walau sedetik. Detak jam terdengar mengisi kesunyian yang tiba-tiba mendekap. Akan tetapi, lambat laun kesadaran Caraline kembali. Ketika hal itu terjadi, netranya seketika membola.
“Apa yang telah kukatakan?!” pekiknya dengan suara tertahan. Ponsel yang tadi digenggam erat justru tak sengaja ia lempar. Untungnya, benda elektronik itu mendarat di permadani di bawah ranjang.
Caraline mendadak mundur hingga tubuhnya menabrak dinding. Tak dinyana, gawai itu justru mengulang kembali pesan suara Deric.
‘Selamat malam dan terima kasih untuk hari ini.’
CEO Mimiline Group itu sontak menutup kedua telinga. Aksinya diiringi dengan mengentak-entak lantai, berharap sura Deric itu jatuh dari pikiran, kemudian
Caraline hanya melirik Diego dengan ekor mata. Wanita itu lupa kalau pria di sampingnya memiliki telinga tajam. Ia diam sesaat untuk merangkai kata sebagai jawaban yang masuk akal. “Kau tahu, sejak kecil aku tidak terlalu menyukai anjing. Ketika mendiang adikku menitipkan anjing itu padaku, aku tentu saja ... tidak bisa menolaknya.”“Oh, jadi ini semacam terbiasa untuk mencintai,” kata Diego, “itu pasti tak mudah.”Caraline sontak terbatuk. Ia menolak sodoran minuman dari Diego. Terbiasa untuk mencintai? Yang benar saja, batinnya.“Sejak kecil aku juga tidak menyukai ayahku,” ujar Diego dengan pandangan mendongak ke langit senja. Kedua tangannya diletakkan di samping tubuh. Ia menoleh ke arah Caraline sekilas, kemudian kembali melabuhkan tatapan pada cakrawala.Diego melanjutkan, “Dia tipe ayah yang keras, tak suka dibantah, bahkan tak sungkan untuk memukuliku bila aku melakukan ke
‘Menikahlah dengan Jacob ....’Caraline sontak terperanjat ketika sebuah suara mendadak muncul dari pikiran. Deru napasnya tiba-tiba berubah cepat beberapa kali lipat. Tubuhnya langsung terduduk di kasur. Matanya terbelalak memindai sekeliling. Wanita itu seperti dilempar ke dunia nyata secara paksa. Butuh beberapa detik lamanya hingga kesadarannya kembali ke sedia kala.“Astaga,” lirih Caraline Wanita itu menyugar rambut beberapa kali, kemudian memijat dahi secara perlahan. Embusan napasnya menjadi suara dominan yang mengisi ruangan luas ini. “Kenapa ingatan itu bisa kembali?”Ketika Caraline akan bangkit dari kasur, bunyi ponsel justru mengagetkannya. Nama Deric segera terpampang di layar gawai. Ia dengan segera mematikan sambungan telepon tersebut. “Untuk apa dia meneleponku? Benar-benar tak tahu diri!”Caraline duduk di depan meja rias. Wanita itu sudah mewanti-wanti Helen dan para maid &n
Deric tengah berada di pinggiran danau. Wajahnya masih menggurat pahatan senyum ketika melirik kotak kecil yang sudah disiapkannya sejak kemarin. Seharian ini, ia hanya menghabiskan waktu untuk berjalan-jalan seraya mengambil gambar dengan kamera.Deric tak lagi bertanya mengenai keberadaan Caraline pada Helen maupun para maid. Pria itu percaya bila Caraline cepat atau lambat akan kembali ke rumah ini. Ia menduga wanita itu sibuk dengan urusan pekerjaan, atau mungkin tengah mengunjungi suatu tempat untuk melepas penat.Bukannya jengkel, Deric justru merasa tenang ketika tak mendapat sahutan ketika menelepon Caraline. Selama panggilannya terhubung, selama itu pula ia meyakini jika wanita itu dalam keadaan baik-baik saja.“Sebaiknya aku bergegas,” ujar Deric seraya melajukan kursi roda. Pria itu mengelilingi sekitaran danau. Dedaunan maple tampak berguguran seakan menyambut kehadirannya. Ia lantas berhenti di suatu tempat, kemud
Caraline tiba-tiba mendadak tegang setelah menekan tombol itu. Ia sesekali menyelipkan anak rambut ke belakang telinga yang entah mengapa kembali terjuntai menutupi bagian depan wajah. Helaan napasnya terdengar berat seakan sedang menunggu kabar penting. Caraline seketika diam ketika suara dari gawai mulai terdengar. Ia memasang telinga dengan baik. ‘Hai, kau baik-baik saja di sana, kan? Aku bersyukur karena kau mengabaikan panggilanku. Itu tandanya kau masih seperti Caraline yang kukenal.’ “Dasar aneh!” cibir Caraline seraya menghentikan rekaman. Setelahnya, ia kembali memutar pesan suara tersebut. ‘Sebenarnya, aku memiliki sebuah permintaan. Beberapa hari lalu, aku sempat ingin menyampaikan hal itu padamu. Tapi, sepertinya kau masih disibukkan dengan pekerjaan. Jadi, kupikir aku bisa sedikit menunggu. Tepat beberapa jam dari sekarang, aku berusia dua puluh lima tahun. Sungguh waktu terasa singkat bagiku. Dulu, aku berkeinginan untuk menjadi
“Kau sepertinya benar-benar kelelahan,” ucap Diego. Pria itu kontan tercenung ketika wajah Caraline melorot ke arah dada. Saat ini, Diego bisa merasakan degup jantungnya yang meningkat dua kali lebih cepat. Ia segera memberi kode pada para pemain musik untuk segera meninggalkan lokasi. Waktu terus beranjak pagi. Diego masih setia menjadikan dadanya sebagai bantal untuk Caraline. Saat menoleh pada jam tangan, waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Itu artinya, wanita itu sudah tertidur selama tiga jam di dekapannya. Diego menikmati hal itu dibanding kenikmatan apa pun yang pernah ia reguk. Pesona Caraline benar-benar memanjakan mata sekaligus hatinya. Rasa kantuknya mendadak lenyap entah ke mana. Baginya, ini adalah kesempatan yang tidak mungkin datang dua kali. Diego sebenarnya ingin membawa Caraline ke kamar agar wanita itu bisa tertidur dengan keadaan nyaman. Hanya saja, ia tak ingin membuat CEO Mimiline Group itu terbangun saat ia mengangkatnya.
“Kau mencariku?” tanya Deric yang tiba-tiba muncul di belakang Caraline.Caraline seketika tertegun kala mendengar suara tersebut. Ponselnya dengan perlahan menjauh dari daun telinga. Rahangnya bak lapuk hingga menyebabkan mulut menganga bak gua. Seiring waktu berjalan, ketakutannya berangsur-angsur reda. Ketika kondisinya perlahan stabil, ia dengan cepat menyeka air mata, kemudian berbalik.“Aku di sini,” kata Deric dengan seuntai senyum.Caraline menoleh pada kursi roda yang tergeletak di dekatnya. Wanita itu beberapa kali menoleh pada Deric dan benda itu secara bergantian. “Apa yang sebenarnya terjadi?” gumamnya.Caraline mundur dengan perlahan. Wanita itu nyaris berpikir jika Deric jatuh dan tenggelam di danau. Meski ia tahu kalau pria itu dapat berenang, tetapi kedalaman danau bukanlah sesuatu yang mudah untuk pria cacat itu tangani.Akan tetapi, pada kenyataannya, Caraline melihat jika Deric tengah berada d
Sunggingan senyum seakan tak luntur menghiasi paras Caraline. Wanita itu seperti tak bosan memindai keadaan sekitar. Matanya kian berbinar setiap kali kilap cahaya berubah warna.Bila dipaksa untuk jujur, Caraline sama sekali tak menyesal menerima tawaran Deric. Wanita itu hanya tak menyangka bila pria di dekatnya itu bisa menyiapkan semua ini hanya dalam waktu semalam, padahal gerakannya terbatas oleh kursi roda.“Saat Tuhan mengambil sesuatu darimu, maka di saat yang sama, Tuhan menguatkan bagian lain darimu,” ujar Deric.Caraline kontan menoleh. Hal yang pertama yang ia lihat justru gerakan tangan Deric yang tengah fokus mendayung. Tatapan wanita itu kemudian beralih pada otot tangan dan bahu ketika pria bermanik biru itu mengerahkan tenaga untuk mendorong sampan. Deric sudah mengayuh perahu ini cukup lama, tetapi Caraline sama sekali tak melihat tanda-tanda jika pria itu kelelahan. ‘Jika kau tak bisa berjalan dengan kakimu, ka
Deric sontak menegang ketika kecupan singkat itu mendarat di pipi. Kontan saja matanya membulat dengan tatapan tak percaya. Sungguh, pria itu tak pernah mengira jika wanita bernama Caraline itu akan memberinya ciuman, sebuah hadiah yang tak pernah sekalipun terlintas di pikiran.Deric memahat senyum. Tubuhnya yang membeku berangsur normal kembali. Ia lantas menoleh pada Caraline. “Terima kasih.”Caraline sendiri perlahan membuka mata. Tubuhnya bak disiram es di udara dingin. Raganya membeku ketika menyadari bila dirinya untuk sekali lagi berada di ceruk leher Deric. Ketegangannya seolah mencair ketika rona merah menghias pipi. Dengan perlahan, wanita itu mendongak ke samping, dan hal yang pertama kali ia lihat manik sebiru samudra dan secarik senyuman hangat.Caraline refleks menarik kembali tubuh. Wanita itu memandang pria di depannya dengan tatapan tak percaya. Hatinya disesaki dengan perasaan asing, tetapi anehnya sangat menenangkan. Di sisi lain,