Deric tengah berada di pinggiran danau. Wajahnya masih menggurat pahatan senyum ketika melirik kotak kecil yang sudah disiapkannya sejak kemarin. Seharian ini, ia hanya menghabiskan waktu untuk berjalan-jalan seraya mengambil gambar dengan kamera.
Deric tak lagi bertanya mengenai keberadaan Caraline pada Helen maupun para maid. Pria itu percaya bila Caraline cepat atau lambat akan kembali ke rumah ini. Ia menduga wanita itu sibuk dengan urusan pekerjaan, atau mungkin tengah mengunjungi suatu tempat untuk melepas penat.
Bukannya jengkel, Deric justru merasa tenang ketika tak mendapat sahutan ketika menelepon Caraline. Selama panggilannya terhubung, selama itu pula ia meyakini jika wanita itu dalam keadaan baik-baik saja.
“Sebaiknya aku bergegas,” ujar Deric seraya melajukan kursi roda. Pria itu mengelilingi sekitaran danau. Dedaunan maple tampak berguguran seakan menyambut kehadirannya. Ia lantas berhenti di suatu tempat, kemud
Caraline tiba-tiba mendadak tegang setelah menekan tombol itu. Ia sesekali menyelipkan anak rambut ke belakang telinga yang entah mengapa kembali terjuntai menutupi bagian depan wajah. Helaan napasnya terdengar berat seakan sedang menunggu kabar penting. Caraline seketika diam ketika suara dari gawai mulai terdengar. Ia memasang telinga dengan baik. ‘Hai, kau baik-baik saja di sana, kan? Aku bersyukur karena kau mengabaikan panggilanku. Itu tandanya kau masih seperti Caraline yang kukenal.’ “Dasar aneh!” cibir Caraline seraya menghentikan rekaman. Setelahnya, ia kembali memutar pesan suara tersebut. ‘Sebenarnya, aku memiliki sebuah permintaan. Beberapa hari lalu, aku sempat ingin menyampaikan hal itu padamu. Tapi, sepertinya kau masih disibukkan dengan pekerjaan. Jadi, kupikir aku bisa sedikit menunggu. Tepat beberapa jam dari sekarang, aku berusia dua puluh lima tahun. Sungguh waktu terasa singkat bagiku. Dulu, aku berkeinginan untuk menjadi
“Kau sepertinya benar-benar kelelahan,” ucap Diego. Pria itu kontan tercenung ketika wajah Caraline melorot ke arah dada. Saat ini, Diego bisa merasakan degup jantungnya yang meningkat dua kali lebih cepat. Ia segera memberi kode pada para pemain musik untuk segera meninggalkan lokasi. Waktu terus beranjak pagi. Diego masih setia menjadikan dadanya sebagai bantal untuk Caraline. Saat menoleh pada jam tangan, waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Itu artinya, wanita itu sudah tertidur selama tiga jam di dekapannya. Diego menikmati hal itu dibanding kenikmatan apa pun yang pernah ia reguk. Pesona Caraline benar-benar memanjakan mata sekaligus hatinya. Rasa kantuknya mendadak lenyap entah ke mana. Baginya, ini adalah kesempatan yang tidak mungkin datang dua kali. Diego sebenarnya ingin membawa Caraline ke kamar agar wanita itu bisa tertidur dengan keadaan nyaman. Hanya saja, ia tak ingin membuat CEO Mimiline Group itu terbangun saat ia mengangkatnya.
“Kau mencariku?” tanya Deric yang tiba-tiba muncul di belakang Caraline.Caraline seketika tertegun kala mendengar suara tersebut. Ponselnya dengan perlahan menjauh dari daun telinga. Rahangnya bak lapuk hingga menyebabkan mulut menganga bak gua. Seiring waktu berjalan, ketakutannya berangsur-angsur reda. Ketika kondisinya perlahan stabil, ia dengan cepat menyeka air mata, kemudian berbalik.“Aku di sini,” kata Deric dengan seuntai senyum.Caraline menoleh pada kursi roda yang tergeletak di dekatnya. Wanita itu beberapa kali menoleh pada Deric dan benda itu secara bergantian. “Apa yang sebenarnya terjadi?” gumamnya.Caraline mundur dengan perlahan. Wanita itu nyaris berpikir jika Deric jatuh dan tenggelam di danau. Meski ia tahu kalau pria itu dapat berenang, tetapi kedalaman danau bukanlah sesuatu yang mudah untuk pria cacat itu tangani.Akan tetapi, pada kenyataannya, Caraline melihat jika Deric tengah berada d
Sunggingan senyum seakan tak luntur menghiasi paras Caraline. Wanita itu seperti tak bosan memindai keadaan sekitar. Matanya kian berbinar setiap kali kilap cahaya berubah warna.Bila dipaksa untuk jujur, Caraline sama sekali tak menyesal menerima tawaran Deric. Wanita itu hanya tak menyangka bila pria di dekatnya itu bisa menyiapkan semua ini hanya dalam waktu semalam, padahal gerakannya terbatas oleh kursi roda.“Saat Tuhan mengambil sesuatu darimu, maka di saat yang sama, Tuhan menguatkan bagian lain darimu,” ujar Deric.Caraline kontan menoleh. Hal yang pertama yang ia lihat justru gerakan tangan Deric yang tengah fokus mendayung. Tatapan wanita itu kemudian beralih pada otot tangan dan bahu ketika pria bermanik biru itu mengerahkan tenaga untuk mendorong sampan. Deric sudah mengayuh perahu ini cukup lama, tetapi Caraline sama sekali tak melihat tanda-tanda jika pria itu kelelahan. ‘Jika kau tak bisa berjalan dengan kakimu, ka
Deric sontak menegang ketika kecupan singkat itu mendarat di pipi. Kontan saja matanya membulat dengan tatapan tak percaya. Sungguh, pria itu tak pernah mengira jika wanita bernama Caraline itu akan memberinya ciuman, sebuah hadiah yang tak pernah sekalipun terlintas di pikiran.Deric memahat senyum. Tubuhnya yang membeku berangsur normal kembali. Ia lantas menoleh pada Caraline. “Terima kasih.”Caraline sendiri perlahan membuka mata. Tubuhnya bak disiram es di udara dingin. Raganya membeku ketika menyadari bila dirinya untuk sekali lagi berada di ceruk leher Deric. Ketegangannya seolah mencair ketika rona merah menghias pipi. Dengan perlahan, wanita itu mendongak ke samping, dan hal yang pertama kali ia lihat manik sebiru samudra dan secarik senyuman hangat.Caraline refleks menarik kembali tubuh. Wanita itu memandang pria di depannya dengan tatapan tak percaya. Hatinya disesaki dengan perasaan asing, tetapi anehnya sangat menenangkan. Di sisi lain,
Helen tampak mondar-mandir di ruangan kerjanya. Wanita berkacamata itu sesekali melirik jam tangan dan layar ponsel. Waktu sudah hampir menunjukkan pukul sebelas siang, tetapi belum ada tanda-tanda bila Caraline akan datang.“Apa ... ada yang sesuatu yang terjadi padanya?” tanya Helen pada dirinya sendiri. Wanita berbusana kemeja panjang yang dipadukan dengan rok katun selutut itu membuka jendela ruangan, kemudian menarik oksigen dengan rakus. Ia berharap udara segar dapat mengusir sedikit perasaan tegang.Helen kembali menghubungi Caraline untuk kesekian kalinya. Panggilan maupun pesan yang ia kirimkan sama sekali tak ditanggapi oleh wanita itu. Kejadian ini benar-benar tak biasa, pikirnya. Bila memang terjadi sesuatu, CEO perusahaan tempatnya bekerja itu pasti segera menghubunginya.Helen tak pantang arah. Wanita itu mencoba menghubungi nomor telepon rumah Caraline. Namun, panggilan sama sekali tak terhubung. “Perasaanku mengatakan jika
Caraline perlahan mengerjap. Ketika membuka kedua mata, wanita itu merasakan kepalanya teramat pening. Pandangannya tampak blur ketika memindai sekeliling. Ia lantas mengubah posisi menjadi duduk seraya memijat dahi. “Apa yang terjadi padaku?” tanyanya.“Nona,” panggil tiga orang maid secara serempak. Tatapan mereka meraut kekhawatiran yang kentara.Caraline kembali menelisik keadaan kamar. Selain para maid yang tengah berdiri di sisi ranjang, ia juga melihat seorang wanita berjas putih baru saja keluar dari ruangan.“Apa yang terjadi padaku?” ulang Caraline ketika satu per satu kesadarannya kembali berkumpul. Tangannya mulai turun ke alis, pipi, lalu berhenti di bibir. Di saat menyentuh benda kenyal tersebut, secara tiba-tiba cuplikan kecupan itu kembali hadir.Caraline sontak menegang. Matanya membola laksana akan melompat keluar. Ia sungguh berharap bila hal itu hanyalah mimpi buruk. Akan tetapi, ke
“Nona,” panggil Helen.Caraline segera mengambil kado pemberiaan Deric yang untungnya ia temukan di belakang kotak sampah. Wanita itu lantas bangkit dengan kedua tangan berada di balik punggung. Perempuan bersurai panjang itu kemudian bergeser secara perlahan menuju meja rias.“Apa Anda masih membutuhkan waktu untuk sendiri?” tanya Helen yang merasa bila Caraline bertingkah sedikit aneh.“Satu menit,” ucap Caraline sembari memberi kode dengan satu jari. “Beri aku satu menit lagi, Helen.”“Baiklah, Nona.” Helen segera keluar dari ruangan.Hal ini dimanfaatkan Caraline dengan segera menyembunyikan kado di bawah bantal. Wanita itu harus berkali-kali memastikan jika tempat itu memang aman. “Kau benar-benar menempatkanku pada situasi yang sulit,” ketusnya seolah-olah Deric tengah berada di hadapannya.Caraline segera duduk di sofa, lalu menyilangkan kaki. “Masuklah, Hel