Share

BAGIAN 4: RASA CEMBURU

Anna segera turun cepat-cepat sambil membawa sepatu haknya, dengan dingin ia berjalan pergi ke depan pintu gerbang rumah Reva tanpa menghiraukan Brandon yang masih berada di dalam mobil, tak lama kemudian Reva yang memakai masker terlihat berjalan keluar membukakan pintu gerbang rumahnya, lalu Anna segera masuk, dan akhirnya mobil milik Brandon pun pergi juga.

“Apa? Dia bahkan rela pergi menemanimu naik bianglala?” tanya Reva, lalu ia segera tertawa terbahak-bahak membayangkan CEO tersebut pergi ke tempat umum seperti itu menggunakan jas formalnya.

“Sudah aku lakukan seluruh cara agar membuatnya pergi, dia memang bukanlah pria sembarangan, apa yang sebenarnya dia inginkan?” tanya Anna kesal.

“Entahlah, menurut informasi yang aku terima, seharusnya hari ini adalah kencan pertama dalam hidupnya, jadi mungkin itulah yang membuatnya sabar menghadapimu,” jelas Reva sambil sesekali sibuk memainkan handphonenya.

“Dan satu lagi, mengapa kau tak bilang jika Brandon adalah pemilik perusahaan Rumah Sakit Sentral Medika?” tanya Anna cemas.

“Oh jadi itu nama rumah sakit yang dimiliki oleh keluarganya?” tanya Reva balik.

“Kau juga baru tahu mengenai hal itu?” tanya Anna pasrah.

“Iyaaa, Ibu hanya memberitahuku jika keluarganya memang memiliki sebuah rumah sakit namun mereka tak pernah memberitahuku nama rumah sakit tersebut,” jelas Reva. Tiba-tiba ia menyadari sesuatu.

“Tunggu, jangan bilang rumah sakit tempat kau magang adalah rumah sakit milik keluarga Brandon?” tanya Reva, mukanya terkejut sekaligus cemas usai mengetahui fakta tersebut.

Keesokan harinya Anna kini sudah berada di dalam taksi menuju rumah sakit seperti biasa karena terdapat tugas jaga pukul dua siang sebentar lagi. Selama perjalanan pikirannya tak bisa tenang mengingat Reva yang memberitahunya untuk terus menjauhi keberadaan Brandon selama dirinya berada di rumah sakit.

Di tempat lain, Brandon saat ini terlihat sedang sibuk melihat data-data para pegawai baru di rumah sakit, dari sekian banyaknya dokumen yang ia teliti, hanya ada satu dokumen yang berada di dalam lacinya yaitu data milik gadis bernama Anna.

Entah mengapa membaca nama tersebut selalu membuatnya tersenyum memikirkan kejadian-kejadian kemarin. Ia pun segera mengeluarkan handphonenya dan melihat jadwal bertugas Anna yang telah ia simpan sejak kemarin dengan bantuan Jarvis asistennya.

Brandon pun dengan cepat segera keluar dari ruang kerjanya.

“Mau pergi ke mana Pak?” tanya Jarvis pada Brandon.

“E-E…ada hal yang harus saya urus di rumah sakit sekarang juga,”

“Biar saya saja Pak kalau begitu—“

“Tidak perlu, masalah ini harus saya tangani sendiri,” ujar Brandon, lalu ia segera pergi menuju gedung rumah sakit.

Untuk pergi ke gedung rumah sakit dari gedung perusahaan Brandon, membutuhkan waktu sekitar lima menit. Kedua gedung besar tersebut tersambung oleh sebuah jembatan yang hanya bisa dilewati oleh seseorang yang memiliki akses tertentu.

“Ann sudah selesai?” tanya Michael sopan pada Anna, sahabatnya itu.

“Iyaaa, ini baru saja selesai,” balas Anna.

“Mau makan bersama di kantin rumah sakit? Hari ini biar aku saja yang traktir,” ujar Michael.

Seketika beban pikiran Anna mengenai Brandon si CEO menyebalkan itu berkurang setelah Michael kembali menghibur Anna. Tanpa Anna sadari, sahabatnya itu sedari tadi telah memperhatikan wajah Anna yang terlihat pucat.

“Ann, kau sudah sarapan pagi ini?” tanya Michael, sambil menatap sahabatnya itu menggelengkan kepalanya.

“Terlalu banyak hal yang kukerjakan semalam, lebih baik tidak sarapan bukan dibandingkan telat datang?”

“T-Tetapi tetap saja lihat sekarang kau terlihat sangat pucat,” ujar Michael khawatir. Seketika Anna segera memeriksa wajahnya melalui kamera handphone.

“Iyaaa iyaaa lain kali aku tak akan melewatkan sarapan lagi, terima kasih ya,” ujar Anna sambil tersenyum pada Michael, ia merasa beruntung masih memiliki sahabat yang amat peduli dengan kondisinya.

Usai menyantap makan siangnya, Anna dan Michael kini hendak kembali bertugas, namun anehnya Anna tiba-tiba merasakan sedikit pusing pada kepalanya. Sekuat tenaga ia berusaha menahan rasa pusing tersebut. Namun lama-kelamaan pusing kepala tersebut berubah menjadi rasa sakit, mata yang tadinya menatap lurus ke depan, kini perlahan-lahan mulai berbayang.

Seluruh tubuh Anna mendadak lemas seperti energi dan kesadarannya hilang dalam sekejap.

“Ann! Ann! Kau tak apa?” tanya Michael panik sambil menahan tubuh Anna yang hampir tumbang.

Sementara itu Brandon yang baru saja sampai di gedung rumah sakit kini berjalan menuju tempat bertugas Anna, namun ia tak menemukan gadis itu di sana. Ia pun terpikirkan sebuah tempat di mana Anna kemungkinan besar berada di sana.

Baru saja ia ingin belok ke area kantin, namun ternyata Anna sudah berada di sana dengan seorang laki-laki asing yang juga berpakaian jas dokter.

Laki-laki tersebut saat ini sedang memegangi kedua pundak Anna sambil menuntunnya berjalan kembali menuju ruangan bertugas para anak magang di sana.

Entah mengapa, saat Brandon menyaksikan pemandangan tersebut, ia merasa perasaannya menjadi tak karuan, seharusnya ia senang ada seseorang yang menjaga Anna dengan baik, sehingga tugasnya untuk membalas budi pada gadis tersebut menjadi lebih ringan. Dengan cepat Brandon segera kembali ke gedung ruangan pribadinya dan membatalkan seluruh pertemuan hari itu juga.

Tak terasa hari-hari mulai berlalu, Anna yang sedang beristirahat sejenak pada hari sabtu tiba-tiba mendapatkan telefon dari Ibunya yang sekarang berada di tanah kelahirannya, Bandung. Sang Ibu memberitahu jika adik Anna yang bernama Raditya Harjon Cempaka berhasil diterima masuk ke salah satu SMP asrama terbaik di Jakarta melalui jalur beasiswa nasional.

Sang Ibu juga tak lupa memberitahu Anna jika sebentar lagi dirinya akan pergi ke Jakarta untuk menemani sang Adik pergi mendaftar ulang, sekaligus menemui Anna untuk merayakan hari ulang tahun Raditya bersama-sama.

Setelah selesai menelefon sang Ibu, Anna segera pergi menuju Mall Taman Asri untuk mencari kado bagi Adik satu-satunya itu.

Matahari yang sangat terik menyinari Kota Jakarta siang itu, Anna yang hendak menaiki bus Transjakarta harus terlebih dahulu menyebrang untuk sampai ke halte bus tersebut. Namun tampaknya karena cahaya matahari yang terlalu terik, Anna tak dapat melihat lampu jalanan dengan jelas.

Saat gadis itu hendak melangkahkan kakinya untuk menyebrang, ia tak menyadari ada mobil yang juga hendak lewat dengan kecepatan tinggi.

“GREPPP!!!” tiba-tiba ada seseorang yang menarik lengan Anna sehingga ia terselamatkan dari mobil berkecepatan tinggi itu.

Saat ia menoleh ke belakangnya ternyata sosok tersebut adalah Brandon. Keduanya kini saling bertatap-tatapan. Dengan cepat Anna segera melepaskan pegangan Brandon.

Seketika Anna panik, Brandon seharusnya tak berada di sini, pria itu tak boleh melihat sosok Reva dengan pakaian murahan seperti ini, terlebih lagi melihatnya hendak menaiki bus Transjakarta.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status