Malam harinya, mobil Gerry kini terlihat baru saja sampai di depan rumah Reva, gadis itu pun turun dengan riang seakan-akan dirinyalah manusia paling bahagia sesudah meghabiskan waktu dengan kekasihnya itu.
"Aku pulang..." ujar Reva dengan suara yang sedikit keras. Namun tak ada balasan dari seisi rumah. Rumah itu kosong, tak ada siapa-siapa di sana.
Reva seketika sadar, pasti kedua orangtuanya saat ini sedang berada di perusahaan hingga larut malam nanti, hari ini adalah kesempatan bagi Reva untuk menghabiskan waktu bersama kedua orangtuanya itu. Bukannya bersenang-senang, ia malah tak sengaja bertemu dengan Brandon si CEO yang sangat menyebalkan menurutnya. Jika tidak bertemu Gerry, mungkin hari ini akan menjadi hari terburuk dalam hidupnya.
Selain menerima banyak harta sejak kecil, kedua orangtuanya bahkan tak pernah memaksakan putri tunggalnya itu untuk bekerja setelah lulus kuliah. Berbeda dengan keluarga Brandon, perusahaan keluarga Reva kini masih dipegang kendali penuh oleh Ayah dan Ibunya. Namun sang Ayah berjanji jika ia akan memberikan perusahaan tersebut pada putrinya, nanti jika putrinya tersebut telah menikah.
Cepat-cepat Reva memasuki kamarnya lalu segera menelepon Anna. Semalaman kedua sahabat itu menceritakan apa yang sebenarnya terjadi hari ini. Anna memberitahu Reva jika ia tak sengaja bertemu dengan Brandon siang tadi, Reva juga memberi tahu sahabatnya itu jika dirinya telah menceritakan semua kebohongan ini pada Brandon juga perjanjian mereka di awal.
Sementara itu Brandon kini sedang berada di atas kasurnya sambil menatap ke arah laptopnya, pria itu tak bisa fokus akibat perkataan Reva yang terus terngiang-ngiang di kepalanya. Ia sungguh tak percaya Anna dapat melangkah sejauh itu, semuanya semata-mata hanya untuk mendapatkan sejumlah uang, juga Reva yang tega memakai temannya sendiri.
"Apa mungkin semuanya memang akan jadi jauh lebih baik jika kubilang pada Ayah dan Ibu untuk membatalkan perjodohan tersebut?" pikir Brandon dalam hati.
Keesokan harinya, seperti biasa Brandon kini sedang sibuk mengurusi seluruh urusan perusahaan, namun di sela-sela itu ia lagi-lagi teringat oleh Anna, dirinya khawatir jika selama ini gadis tersebut telah menjalani hubungan dengan laki-laki lain, mengingat sebelumnya ada seseorang yang selalu berada di samping Anna, keingintahuannya membuat pikirinnya kabur ke mana-mana.
“Jarvis,” panggil Brandon.
“Iyaaa Pak?”
“Beri tahu aku informasi mengenai seluruh laki-laki yang sedang dekat dengan Anna ataupun mantan kekasihnya,” ujar Brandon dingin.
“Baik Pak, sebentar…” ujar Jarvis berusaha menuruti setiap suruhan bosnya itu.
“Bagaimana?” tanya Brandon lagi.
“Dari info yang saya temukan di sini dikatakan jika gadis tersebut belum pernah menjalin hubungan dengan siapa pun karena dirinya terlalu sibuk bekerja untuk keberlangsungan hidup keluarganya,” jelas Jarvis.
“Ayahnya dan Ibunya? Apa pekerjaan mereka?”
“Ayahnya ditolak oleh seluruh perusahaan karena dirinya pernah dihianati oleh sahabatnya sendiri sehingga membuat citranya menjadi sangat buruk terutama untuk berbagai perusahaan lainnya,” ujar Jarvis. Seketika Brandon langsung kembali merasa bersalah, ia tahu sahabat yang dimaksudkan dalam informasi tersebut adalah Nicholas, Ayahnya sendiri.
“Apakah ada yang mengetahui soal latar belakang pembentukan perusahaan?” tanya Brandon cemas.
“Tidak ada Pak, hanya saya, Bapak dan seharusnya Pak Nicholas sendiri yang mengetahui hal tersebut,”
“Bagus, dan satu lagi, apakah ada cara untuk mengembalikan hak perusahaan milik Ayah Anna?”
“Ada Pak, namun jika Bapak dapat menemukan dokumen pengesahan yang belum dipalsukan oleh Pak Nicholas sebelumnya, kemungkinan besar itu bisa menjadi barang bukti untuk mengubah semuanya, tetapi itupun sama saja dengan menurunkan citra Ayah anda sendiri,” jelas Jarvis dengan nada meyakinkan.
“Baiklah kamu boleh pergi,” ujar Brandon, sambil berusaha memikirkan tindakan dari perbuatan yang akan ia pilih nantinya.
"Maaf Pak, ada satu hal yang lupa saya beritahu, hari ini pukul tiga sore pihak rumah sakit sudah menyiapkan seluruh fasilitas untuk donor darah massal sesuai dengan peraturan yang diberlakukan tiap tahunnya, jika Bapak ingin mendaftar, nanti biar saya panggilkan pegawai rumah sakit untuk melakukannya di sini,"
"Hmmm...soal itu biar aku saja yang pergi ke sana sendiri," ujar Brandon.
"Apakah Bapak yakin?"
"Iya Jarvis, ku tak perlu khawatir mengenai hal itu,"
"Baik Pak,"
Jam menunjuk tepat pukul dua belas siang, Anna seperti biasa kini sedang mempersiapkan acara persiapan donor darah massal yang akan diadakan pada dua belas ruangan, dirinya terlihat sudah siap mengenakan jas dokter karena ditugaskan untuk menjaga ruangan donor darah nomor tiga.
Terlihat keadaan rumah sakit cukup ramai siang itu, akibat ratusan masyarakat yang bersedia mengantri sejak tadi pagi untuk mendaftarkan diri mereka sebagai pendonor.
Setelah mempersiapkan semuanya, akhirnya jam pun menunjukkan pukul tiga sore, satu per satu pendonor terlihat memasuki setiap ruangan secara bergantian.
Tak terasa hampir dua jam telah berlalu, Anna melihat beberapa ruangan di sekitarnya sudah menutup antrian dan tak menerima pendonor lagi, gadis itu pun segera menoleh ke arah antriannya, tinggal tersisa satu orang lagi.
"Mari Bu, silakan masuk," ujar Anna sopan lalu ia segera menutup jalur antrian yang berada di depan ruangannya.
Akhirnya setelah melewati beberapa tahap, pendonor terakhir pun sudah selesai dan diperbolehkan untuk kembali. Anna terlihat senang sekaligus lega melihat puluhan kantong berisikan darah para pendonor hari ini, dan memutuskan untuk kembali memeriksa data-data yang berada di mejanya.
Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka, ia pikir itu adalah pendonor lain yang seenaknya menerobos masuk.
"Maaf tetapi kami sudah menutup antrian, jadi anda bisa pergi ke ruangan lain untuk melakukan donor darah," ujar Anna tanpa menoleh sedikit pun ke arah pintu.
Anehnya pendonor tersebut malah semakin nekat masuk dan menutup pintu ruangan. Anna pun dengan cepat segera berdiri untuk memberitahu pendonor tersebut secara langsung.
"Saya tegaskan sekali lagi, kami sudah—" seketika gadis itu terdiam seribu bahasa, karena menyaksikan orang yang memasuki ruangannya itu adalah Brandon.
Tanpa berpikir panjang Anna segera berjalan keluar menuju pintu untuk menghindari Brandon. Namun saat ia hendak memegang pegangan pintu di depannya, tangan Brandon segera menahan pintu tersebut.
Anna pun reflek membalikkan badan ke arah Brandon.
"Sebenarnya apa sih yang kau inginkan?!" ketus Anna, kesabarannya sudah habis akibat tubuhnya yang sudah lelah melakukan pendonoran darah sejak tadi siang.
"Donor darah...itulah alasan aku datang kemari," ujar Brandon seolah-olah sengaja menguji kesabaran Anna.
Anna menghela napas, jika lelaki itu bukanlah pemimpin rumah sakit ini, mungkin Anna tak akan melakukan pendonoran lagi sekarang.
"Kalau boleh aku tau, sejak kapan kamu berteman dengan Reva?" tanya Brandon.
"Sejak kami masih berada di sekolah menengah pertama," ujar Anna, yang sudah menyelesaikan proses pengambilan darah Brandon.
Brandon pun bangkit dari kasur tidur pasien dan memperhatikan Anna yang cepat-cepat berkemas lalu hendak pergi mendekati pintu keluar.
"Tunggu!" ujar Brandon yang kini berdiri menghadang Anna tiba-tiba.
"Ada apa lagi?" tanya Anna kesal sambil menatap tajam ke arah Brandon. "Bisakah kau menunggu sebentar? Masih ada hal yang ingin aku bicarakan—" Seketika Anna memotong perkataan Brandon. "Begini ya, jika ada hal lain yang ingin kau tanyakan mengenai Reva, jangan menggunakan cara seperti ini, akan ada banyak orang yang berburuk sangka mengenai—" "Aku ke sini bukan untuk membicarakan Reva, tetapi untuk menemuimu..." ujar Brandon yang masih tak melepaskan genggamannya pada tangan Anna. "Untuk apa?" "Bukankah kau harus bertanggung jawab untuk ini?" "Bertanggung jawab? Apa maksudmu?" "Untuk perasaanku kepadamu, kau tak bisa pergi begitu saja—" "Tentu aku bisa, jangan harap karena kau adalah atasanku di sini, jadi kau bisa berharap aku akan melakukan hal sesuai dengan yang kau inginkan," ujar Anna sambil melepaskan genggaman tangan Brandon pada tangannya. "B-Bukan itu maksudku...sebegitunya kau membenciku hanya
Dengan cepat Anna yang duduk di sebelah kursi pengemudi segera memberikan kunci kamarnya pada Adik laki-lakinya yang duduk di bagian tengah mobil."Terima kasih Ka," ujar Raditya yang segera keluar dari mobil Brandon diikuti dengan Anna yang hendak membuka pintu mobil tersebut, namun perlahan menutup pintu itu kembali."E-Eum...terima kasih ya karena kau sudah mengantarkan kami, dan maaf jika kemarin kata-kataku terlalu berlebihan, memang benar faktanya jika aku rela menggantikan Reva karena ia menawariku sejumlah uang sebagai gantinya, namun sejujurnya aku tak pernah membencimu a-atau bahkan sengaja untuk menjauhimu..." ujar Anna yang kini terus menatap kedua tangannya, ia tak ingin melihat reaksi Brandon yang berada tepat di sampingnya."Aku mengerti, tak apa-apa, aku tak pernah menyalahkanmu atas semua ini, aku hanya merasa sedikit terganggu jika kau terus-menerus menjauhiku," ujar Brandon yang tampak malu-malu mengatakan hal tersebut."A-Apa ini ada h
Sementara Anna sedang sibuk dengan pekerjaannya, Reva kini terlihat sedang sibuk menonton drama serial melalui laptopnya, sambil sesekali mengecek telepon genggamnya, khawatir jika kekasihnya Gerry akan memberinya pesan."JBRENGGG!" tiba-tiba pintu kamarnya terbuka, terlihat sosok wanita anggun dengan pakaian mahal, aksesoris mewah pada pergelangan tangannya, juga model rambut curly seperti anak muda masuk dengan membawa telepon genggam di tangannya. Sosok tersebut tak lain adalah Ellen, Ibu Reva yang terlihat terburu-buru memasukki kamar putri sulungnya itu."Heuh...ada apa kali ini?" tanya Reva yng terdengar menghela napasnya sambil mematikan layar handphonenya dan segera menghentikan drama serial di laptopnya."Ibu punya kabar bagus untuk kamu!" ujar Ellen, tampak bersemangat."Kabar apa Bu?" tanya Reva."Tadi barusan kamu tau, Brandon menelepon Ayahmu dan bilang kalau dia ingin mengadakan kencan kedua denganmu lusa nanti," ujar Ellen, ia sangat
Keesokan harinya, seperti biasa Anna kembali bertugas di Rumah Sakit Sentral Medika, namun kali ini bedanya ia hanya ditugaskan untuk memeriksa data-data pasien saja."Ann, sini sini," ujar Jasmine yang kini memanggil Anna untuk mendekatinya."Ada apa ada apa?" tanya Anna bersemangat."K-Kamu tau kan putrinya Pak Nicholas?" tanya Jasmine sambil sesekali melihat sekitarnya, takut ada suster atau pegawai rumah sakit yang mendengarnya."Putri?" Anna kebingungan, setaunya anak Pak Nicholas hanyalah Brandon dan Jevon."Iyaaa, jadi dengar-dengar hari ini putrinya Pak Nicholas, kalau tidak salah namanya Victoria, dia mau bantu rumah sakit kita di bagian administrasi, sekaligus mewakilkan Pak Brandon untuk mengawasi data-data rumah sakit ini," ujar Jasmine bersemangat, karena pekerjaannya turut diringankan akibat keberadaan Victoria."Wah baguslah kalau begitu," ujar Anna.Sementara itu, Victoria Yoan Patra, kini terlihat sibuk melihat data-d
Sepanjang perjalanan, Anna dan Brandon, keduanya terdiam, tak ada percakapan di antara mereka. Anna yang barusan saja menaruh handphonenya di samping tempat duduknya, memutuskan untuk mengambil handphonenya kembali. Namun di saat yang sama, Brandon juga sedang mencari-cari kotak tisu yang ada di sekitarnya."PLEK..." tangan Brandon tak sengaja menyentuh tangan Anna.Seketika Anna menatap ke arah Brandon, begitu juga sebaliknya, lalu dengan cepat Brandon segera melepaskan pegangannya itu dengan wajah sedikit memerah.Beberapa menit berlalu, akhirnya mobil BMW hitam itu sampai juga di tempat parkiran mall, dengan cara jalan elegannya, Brandon keluar dari mobil lalu membukakan pintu bagi Anna, padahal gadis itu tak memintanya namun Brandon inisiatif melakukan hal tersebut.Keduanya berjalan memasuki mall lalu menuju lantai paling atas dan sampai ke area bioskop, Brandon pun segera pergi ke mesin tiket terdekat dengan Anna di sampingnya, tanpa mengantri pesan
"Satu...dua...tiga..." ujar Anna sambil mengambil beberapa foto dengan ponsel Brandon. Usai memfoto, Anna segera mengecek foto yang ia ambil, dengan cepat ia membuka aplikasi gallery di ponsel itu, betapa kagetnya ia saat seluruh foto pada ponsel Brandon hanya berisi dokumen-dokumen penting, tak ada satu pun foto dirinya atau keluarganya. Brandon yang berjalan mendekat ke arah Anna seketika panik, ia khawatir jika Anna melihat namanya dalam ponsel miliknya itu, sebab terakhir kali, Brandon menyuruh Jarvis untuk mengirim semua data mengenai Anna termasuk fioto-foto dokumen data diri milik Anna. "Terima kasih ya," ujar Brandon yang dengan gesit mengambil ponselnya dari tangan Anna. "Kau tipe orang yang jarang sekali berfoto ya?" tanya Anna yang keheranan karena masih ada orang-orang yang jarang mengabadikan momen seperti Brandon. "Iyaaa begitulah, kau bisa menilainya sendiri," ujar Brandon, mengingat keluarganya yang selalu sibuk dengan urusan p
Beberapa menit kemudian, mobil yang ditumpangi Anna dan Brandon akhirnya sampai juga di depan kos-kosan Anna. "Brandon..." panggil Anna. "Iyaaa, ada hal yang ingin kau sampaikan?" tanya Brandon yang masih berandai-andai, dirinya sangat ingin tahu apa yang sedari tadi berada dalam benak Anna. "Ada satu hal yang ingin kutanyakan padamu," ujar Anna yang mulai takut mengutarakan pertanyaannya setelah ini, bahkan ia sendiri tak sanggup menatap Brandon. "Iyaaaa, silakan..." tanya Brandon yang masih menatap Anna dengan tatapan tulus. "B-Bisakah kau membatalkan p-perjodohanmu dengan Reva?" tanya Anna, perasaannya semakin berkecamuk, untuk sesaat ia sangat menyesal telah mengatakannya. Brandon yang mendengar pertanyaan Anna merasa senang sekaligus bingung di saat yang bersamaan, ia berpikir mungkin Anna mengatakan itu karena dirinya sudah mulai menyukai Brandon atau hanya demi mendapatkan uang dari Reva dan pergi begitu saja. "Sebelum a
"Terima uang ini, kau berhak mendapatkannya Ann, aku sangat berterima kasih atas semua hal yang telah kau lakukan untuk membantuku." Tulis pesan tersebut. Anna seketika masih terpaku dengan nominal sepuluh juta yang terdapat pada rekeningnya, di saat yang bersamaan ia pun cukup senang, artinya tinggal lima juta lagi nominal yang harus ia kumpulkan. Saat jam bertugas selesai, Anna memutuskan untuk bertanya pada Jasmine mengenai cara menggantikan tugas jaga orang lain, lalu Jasmine pun mengundang Anna ke sebuah grup percakapan khusus untuk transaksi itu. Detik itu juga Anna berhasil mendapatkan tawaran menggantikan jam jaga selama tiga kali dengan perjanjian bayaran sebesar lima juta, yang artinya dalam beberapa hari kedepan, ia sudah dapat melunasi seluruh biaya akhir semesternya. "Semangat Ra, kamu pasti bisa!" pikir Anna, berusaha menyemangati dirinya, karena selama beberapa hari kedepan, ia akan berada di rumah sakit selama hampir dua puluh