Raga dan Maha berdecak bersamaan, ketika mereka dengan terpaksa berada di lift yang sama. Raga yang baru saja berbelok menuju koridor lift, akhirnya masuk serempak dengan Maha tanpa ada orang lain lagi bersama mereka. “Jadi, kamu mau menguasai Media Kita juga?” Maha memutar tubuhnya, lalu bersedekap menatap Raga. Ada dendam tersendiri di hati Maha, karena Lintang akhirnya mau diajak rujuk kembali dengan sang suami yang jelas-jelas sudah melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Lintang bisa memaafkan Raga dengan mudahnya, bahkan saat ini pernikahan mereka terlihat sangat bahagia dan sedang menyambut anak keduanya. Sementara Maha, bahkan tidak pernah dilirik sedikit saja oleh Lintang. Padahal, Maha tidak pernah melakukan kekerasan pada gadis itu selama ini. Maha memang pernah berada di belakang Biya dan mendukung gadis itu saat merundung Lintang, tetapi itu sudah sangat lama sekali. Bahkan, Maha tidak pernah menyentuh satu helai rambut Lintang sama sekali. Namun, mengapa gadis itu tida
“Maaf, Pak Anwar, tapi ada sedikit kabar yang nggak mengenakkan dan harus saya sampaikan.”Siang hari itu, Raga datang seorang diri ke rumah sakit tanpa ditemani Lintang. Karena Mana mendadak rewel dan tidak mau melepaskan diri dari Lintang, maka Raga dengan terpaksa menjenguk Anwar seorang diri, di hari libur seperti sekarang.Berhubung kondisi Anwar juga semakin membaik, maka Raga akhirnya berani untuk menyampaikan evaluasi sementara, yang sudah dapatkan selama dua minggu berada di Media Kita. Sebelumnya, Raga juga sudah meminta izin pada Indri terlebih dahulu, agar tidak ada salah paham dan prasangka di antara mereka.Anwar mengangguk pelan. Kali ini, ia sudah pasrah dengan semua keputusan yang diambil Raga untuk perusahaannya. Anwar sadar, kondisinya tidak lagi seperti dulu. Ia tidak bisa berpikir terlalu berat, mengingat kesehatannya yang bisa saja menurun tiba-tiba. “Silakan.”“Maaf, tapi kita memang belum bisa mempercayakan Media Kita dengan Biya.” Entah kemana perginya Biya. P
“Safira bagus, biar namanya sama dengan papanya.”Intan segera menggeleng, tidak setuju dengan usulan Safir karena ia punya pilihan sendiri. “Aku mau namain Permata.”“Heh! Denger—““Yang lembuuut, Mas.” Intan kembali cemberut, karena Safir terkadang masih saja bicara dengan nada tinggi. Padahal, sebelum ia dinyatakan hamil dan masih “berpacaran” dengan Safir, pria itu selalu bersikap manis padanya. Tidak seperti sekarang, yang terkadang suka meninggikan suaranya tanpa sadar. Benar-benar seperti dua kepribadian yang berbeda, dan Intan masih saja sering dibuat bingung akan hal tersebut. “Jangan kasar begitu ngomongnyaaa. Nggak enak di denger.”Safir menarik napas dalam-dalam. Mencoba mengontrol nada bicaranya sedikit lebih lembut. Safir juga tidak tahu, mengapa ia tidak bisa memperlakukan Intan dengan lembut dan manis seperti dahulu kala.“Tan, denger—““Panggilnya pake sayang, Mas,” putus Intan sembari beranjak dari tempat tidur, lalu membuka pintu yang menuju kolam renang. Setidaknya
“Maaf, aku tadi pagi nggak ikut jemput ke rumah sakit.” Lintang meletakkan Mana di tempat tidur, tepat di samping Anwar yang sudah pulang dari rumah sakit. Kondisi Anwar sudah kembali membaik, sehingga bisa pulang tetapi harus tetap melakukan kontrol rutin. Lintang datang tanpa Raga, karena sang suami benar-benar sedang sibuk melakukan perombakan di perusahaan. “Aku malas ketemu Biya.” Untuk hal yang satu ini, Lintang tidak akan menutupinya di depan Anwar. Karena Indri juga tengah pergi ke dapur, maka Lintang bisa dengan bebas mengatakan hal tersebut di depan ayahnya sendiri. Anwar tersenyum, lalu membawa Mana ke pangkuannya. Namun, baru satu detik bayi tersebut berada di pahanya, Mana langsung menggeliat dan ingin kembali berada dengan bebas di tempat tidur. “Dia nggak mau dipangku kalau cuma diam, Pak,” ujar Lintang kemudian duduk di tepi tempat tidur untuk menjaga Mana. “Kecuali kalau digendong atau ditaroh stroller sambil jalan. Kalau di kamar, dia lebih suka main sendiri begini
Melihat kamar yang sudah direnovasi dan rumah yang akhirnya sudah bersih total dari debu, membuat Lintang akhirnya bisa bernapas lega. Tidak hanya itu, kondisi Anwar juga semakin membaik, sehingga beban yang ada di pundak Lintang bisa sedikit berkurang. Perihal Media Kita, sudah dipastikan Ragalah yang akan memegang puncak kepemimpinan untuk ke depannya. Sementara perusahaan keluarga Sailendra, akhirnya akan dipegang oleh Safir, tetapi masih dalam pantauan Raga dan Ario dengan sangat ketat. Sementara Biya, mau tidak mau harus menerima nasib, karena dewan direksi dan komisaris tidak menyetujui wanita itu berada di puncak kepemimpinan Media Kita. Idealisme Biya yang terlalu tinggi, dan sikapnya yang enggan menerima masukan itulah, yang membuat para petinggi perusahaan menolak menjadikan Biya sebagai direktur utama. Kegagalan Biya juga tidak sampai di situ, tidak lama setelah Raga benar-benar resmi menggantikan Anwar, putusan sidang cerainya dengan Maha pun langsung keluar tanpa ada ba
“Ada yang miss lagi?”Setiap kembali dari ruang kerja Raga yang sekarang jadi milik Safir di kediaman Sailendra, tatanan rambut suaminya pasti acak-acakan. Apalagi jika sudah berdiskusi dengan Ario, wajah Safir pasti terlihat benar-benar stress.“Cuma kurang teliti sedikiiit.” Safir menggeram lalu menghempas tubuhnya di tempat tidur. Sejak rumah mereka direnovasi dan kembali pindah di kediaman Sailendra, setiap malam Ario pasti menyuruh Safir untuk mengevaluasi pekerjaan hari ini. Dan Ario melakukan hal tersebut setiap hari kerja, tanpa terkecuali. Safir benar-benar dibuat stres oleh sang papa, karena banyak hal yang ternyata harus ia benahi.Apa Ario juga memperlakukan Raga seperti itu?“Ya sud—““Kenapa belum tidur juga?” Lagi-lagi, Intan pasti belum tidur ketika Safir kembali dari ruang kerjanya. “Aku, kan, sudah bilang nggak usah nungguin sampai selesai.” Tatapan Safir tertuju pada jam dinding. “Ini sudah setengah sebelas, tapi—““Aku nggak bisa tidur, Maaas.” Intan melipat kembal
Biya ikut menarik napas panjang, saat melihat Lintang melakukannya. Saudara perempuannya itu menyandarkan satu tangannya pada dinding, dan satu tangan lagi memegang perut bagian bawahnya. Apa benar Lintang akan segera melahirkan? Memangnya, berapa usia kandungan Lintang saat ini?Biya benar-benar tidak mengetahui hal tersebut sama sekali.Lantas, apa yang harus Biya lakukan saat ini? “Heh, kamu serius mau lahiran?” Belum sempat Lintang menjawab, Mana lebih dulu merengek dan mengulurkan tangannya yang belepotan pada mamanya. “Sama Onty dulu, mamamu lagi sakit perut.”“Nggak tahu.” Lintang menunjuk bagian belakang stroller Mana. “Dia minta susu, dotnya ada di belakang.”Biya segera menghampiri stroller, lalu mengambil sebuah botol susu yang isinya tinggal separuh. Karena tidak melihat tempat duduk, maka Biya segera meletakkan Mana di strollernya. Merebahkan bayi yang sudah lama tidak dilihatnya, lalu memberi botol susu tersebut dengan segera. “Kenapa kamu tambah berat gini?”“Udah, tin
Entah mengapa, Safir tidak bisa diam dan menenangkan diri di ruang operasi. Ia mondar mandir di atas kepala Intan yang berbaring di meja operasi, dan merasa resah dengan sekumpulan dokter yang berada berseberangan dengannya. Ada keinginan untuk melihat yang tengah dilakukan dokter di balik kain yang membentang di dada Intan, tetapi, anehnya Safir tidak memiliki keberanian melakukan hal tersebut. Safir merasa tidak punya nyali melihat tubuh Intan yang sedang disayat di bawah sana. Ia sudah membayangkan banyaknya darah yang akan keluar, dan Safir memilih untuk tidak mengalami trauma dalam hidupnya setelah melihat hal tersebut. “Mas …” “Aku di sini,” jawab Safir, tetapi masih saja mondar mandir untuk mengenyahkan rasa gusar dan gelisah di hatinya. “Masih lama nggak, sih, Dok?” Akhirnya ucapan tersebut terlepas juga dari mulut Safir. Ia menatap tim dokter dan perawat, yang justru terlihat santai-santai saja. Seperti tidak ada ketegangan sama sekali, dan itu membuat Safir geregetan. “S
“Pak Raga.” Maha segera menyusul Raga, ketika rapat umum yang dihadiri para direktur dan manajer perusahaan selesai dilaksanakan. Ia mensejajarkan langkahnya dengan mudah, saat Raga memperlambat langkahnya. “Bisa kita bicara?” Raga menoleh dan tetap berjalan menuju ruangannya. Ia mengangguk tegas, sembari berkata. “Silakan.” Maha balas mengangguk dan mereka memasuki ruangan Raga dalam ketenangan. Sesaat sebelum masuk, Raga meminta sekretarisnya untuk menghandle semua hal karena ia akan bicara empat mata dengan Maha. “Ada masalah?” tanya Raga tetap bersikap profesional, meskipun ia sudah muak melihat Maha berada di kantor. Namun, sebisa mungkin ia tidak mencampuradukkan hal pribadi, dengan semua hal yang berada di kantor. Maha menghela panjang, lalu duduk pada sofa tunggal yang berhadapan lurus dengan meja kerja Raga. “Seperti yang kita tahu … penetapan hasil pemilu sudah diputuskan MK dan kita tinggal menunggu agenda pengucapan sumpah dan janji—” “Bisa kita langsung ke inti dari p
“A-aku minta maaf, Lin.” Maha dengan segera menghampiri Lintang yang baru saja keluar dari ruang kesehatan. Ruang yang ada di lantai satu tersebut, memang dipersiapkan untuk jalan sehat pagi ini. Sudah ada seorang dokter yang bertugas dan beberapa perawat yang dengan sigap membantu jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. “Mana nggak papa, kan?” Belum sempat Lintang menjawab, pintu ruangan yang biasa digunakan sebagai tempat meeting terbuka. Raga keluar dengan menggendong Mana, yang sudah tidak lagi menangis keras akibat terjatuh dari tangga. Namun, wajah menggemaskan itu masih terlihat sembab dan sesenggukan sambil memeluk sang papa. Di saat Maha dan Biya berdebat, bocah gembul itu ternyata mencoba menaiki tangga kayu yang menuju panggung. Padahal, Maha sedikit lagi mencapai tubuh Mana saat ia melihatnya, tetapi, bocah itu lebih dulu terjatuh, sehingga membuat kehebohan. Bagaimana tidak heboh, jika yang terjatuh adalah putra direktur utama, sekaligus cucu dari pemilik perusahaan.
“Aku sebenarnya pengen banget ndepak Maha dari perusahaan.” Raga menyerahkan Mana pada Biya, yang baru saja menghampirinya. Bocah yang baru bisa berjalan itu, langsung mengulurkan kedua tangan dan minta digendong oleh tante yang selalu memanjakannya. “Tapi, sayangnya dia masih punya saham di sini dan sepertinya Maha nggak punya niat buat jual sahamnya sama siapa pun.” “Jangan lupa, tujuan dia masuk ke perusahaan ini karena papanya juga mau nyalon.” Meskipun bobot Mana semakin bertambah, tetapi Biya tidak bisa untuk tidak menggendong keponakan yang menggemaskan itu. Ia melirik sebentar pada Lintang yang baru keluar dari mobil, lalu kembali fokus pada Raga. “Sama seperti pak Ario, pak Anjas juga butuh media buat pencitraan. Mana sekarang lagi musim-musimnya, kan? Coba kita lihat aja sampai pileg nanti, apa Maha masih mau netap di sini.” “Bapak sama ibu di mana, Bi?” tanya Lintang sudah berusaha untuk berdamai dengan saudara perempuannya. Hubungan mereka memang tidak sedekat layaknya Li
“Ini bukan tempat yang cocok buat malam amal.” Fayra menyilang kaki, sekaligus bersedekap menatap gedung restoran yang ada di hadapannya. Tidak berniat keluar, kendati sopir sang papa sudah membukakan pintu mobil untuknya. “Papa pasti mau ketemu teman lama Papa yang bawa anak, terus mau ngenalin aku sama dia. Iya, kan?” “Fay—” “Apa Papa lupa, aku ini sudah punya pacar.” Fayra menyela dan tetap dalam keadaan tenang. “Apa Papa lupa sama Fajar? Atau, Papa nggak setuju sama dia, karena dia bukan berasal dari … keluarga kayak mas Raga, atau Nino? Begitu?” Eko menarik napas pelan, sembari mengeluarkan ponsel dan segera menghubungi seseorang. Ia masih berada di samping Fayra, tidak akan keluar sampai putrinya itu keluar lebih dulu. “Halo, Bik, tolong bereskan barang-barang Fayra dan langsung bakar malam—” “Papaaa.” Fayar bergerak cepat dan merampas ponsel sang papa, lalu berbicara dengan seseorang yang baru saja dihubungi Eko. “Bik, Bik, barangku jangan diapa-apain. Papa cuma becanda. Ja
“Ehm.” Tati menarik kursi di meja makan, yang berseberangan dengan Fajar. Putranya itu tengah sarapan dengan lahap seorang diri, karena Fikri sudah lebih dulu makan, sementara Tati tidak berselera sejak pertemuannya dengan Eko kemarin siang. “Kamu … minggu-minggu ini ada rencana ke luar kota, nggak, Jar?” “Nggak ada,” jawab Fajar tenang, tetapi mulai curiga. Jika Tati mulai bertanya-tanya tentang sesuatu di luar kebiasaan, pasti ada niat terselubung di balik kalimat tersebut. “Ooo.” Tati manggut-manggut, sembari mengingat ucapan Eko kemarin siang. Pria tua itu berkata, Fajar ada kunjungan ke kantor cabang. Sementar kantor cabang yang Tati tahu, semuanya berada di luar kota. Jika benar begitu, Fajar pasti sudah berpamitan dari kemarin-kemarin, untuk melakukan tugas kantor tersebut. Namun, kenyataannya tidak demikian. Fajar tetap berada di rumah, dan tidak pergi ke mana pun. Bahkan, rencana untuk ke luar kota juga tidak terbersit sama sekali. Itu berarti, Fajar telah membohongi Eko,
Kendati bingung, tetapi Fikri dan Tati tetap menyambut baik uluran tangan pria tua yang baru saja diperkenalkan Raga pada mereka. Entah apa maksud diadakannya makan siang bersama kali ini, tetapi mereka tidak menolak karena merasa penasaran. “Jadi … kita berkumpul di sini dalam rangka apa?” tanya Fikri pada Raga yang duduk berseberangan dengannya. Tidak mungkin pria seperti Raga sekonyong-konyong menghubunginya, lalu mengajak makan siang bersama. Apalagi, Raga meminta untuk tidak mengatakannya pada siapa pun. Cukup Fikri dan istrinya saja yang tahu mengenai makan siang kali ini. Raga menatap tanya pada Eko terlebih dahulu. Apakah pria itu yang akan memberi penjelasan, ataukah Raga saja yang mengatakan maksud pertemuan saat ini. Saat Eko memberi anggukan, serta menaikkan sedikit jemari di tangan kanannya, Raga akhirnya berdiam diri. “Saya, papanya Fayra.” Fikri dan Tati sontak saling lempar pandang. Untuk apa papa Fayra mengajak mereka berdua untuk makan siang secara mendadak se
Farya buru-buru keluar dari mobilnya, ketika melihat Fajar baru saja melewati pintu kantor. Pria itu sudah mengenakan jaket kulit, dan membawa helm full face di tangan kirinya. Sungguh terlihat berbeda, dengan Fajar yang ditemuinya saat di restoran dan siang tadi ketika mereka makan bersama Eko. “Jar!” Karena tidak memakai high heel, maka Fayra bisa dengan bebas berlari kecil menghampiri Fajar. “Aku mau ngomong bentar.” “Fayra?” Fajar kembali dibuat bingung dengan wanita satu itu. Kenapa lagi Fayra datang ke kantornya, di saat Fajar hendak pulang dan ingin mengistirahatkan tubuh secepatnya. Bukankah, akting mereka berdua siang tadi cukup meyakinkan? “Iya, Fayra!” Baru juga bertemu siang tadi, tetapi Fajar kembali bengong saat melihatnya. Apa ada yang salah dengan penampilan Fayra saat ini? “Ngobrol bentar, yuk!” “Ngobrol apa lagi?” “Ada tempat duduk, nggak?” Fayra menoleh ke kiri dan ke kanan, untuk mencari sebuah tempat untuk bicara singkat dengan Fajar. Namun, sepertinya tida
“Fayra?” Fajar menggumam sendiri, sesaat setelah meletakkan gagang telepon di meja kerjanya. Tatapannya tertuju pada jam digital di sudut layar komputer, sembari mengingat kejadian di restoran kemarin. Raga menghampirinya, dan meminta bantuan Fajar untuk menemani adik mendiang istrinya yang sedang melakukan kencan buta. Entah mengapa, Fajar saat itu setuju membantu Fayra agar tidak dijodohkan dengan pria pilihan papanya. Melihat dari wajah frustrasi Fayra, serta penampilan yang terlihat memelas itu, membuat Fajar tidak tega menolaknya. Alhasil, Fajar tidak menyesal membantu Fayra setelah bertemu dengan pria yang hendak dijodohkan dengan wanita itu. Pria kaya yang pongah, dan menurut Fajar sama sekali tidak cocok dijodohkan dengan Fayra yang sangat sederhana. Bisa-bisa, pria itu akan “menindas” Fayra jika mereka benar-benar menikah nantinya. Namun, untuk apa wanita itu mendatangi Fajar di saat jam makan siang hampir tiba seperti sekarang? Fajar men-sleep komputernya terlebih dahu
“Ayo turun.” Safir memberi perintah pada putrinya, yang hari ini tepat berusia satu tahun. Di depan mereka, sudah ada satu buah meja panjang yang berisi dua buah cake ulang tahun, dengan lilin angka yang sama. Fira menggeleng, sembari mengeratkan pelukannya pada leher Safir. Bibir merah nan mungil itu mengerucut, lalu merebahkan kepala di pundak Safir. “Ya begitu itu, kalau kebanyakan digendong, Pi,” ujar Intan sambil mengulurkan kedua tangannya pada Fira. “Duduk sama Mimi, yok. Habis ini ada mama Lintang.” Agar ketiga bayi yang ada di keluarga Sailendra tidak kebingungan saat memanggil mama dan papanya, maka Intan dan Safir memutuskan untuk mengganti panggilan mereka pada Fira. Yang tadinya juga menggunakan papa dan mama, akhirnya mereka ganti menjadi pipi dan mimi, daripada harus mencari-cari nama panggilan lain. “Sama aku aja,” balas Safir. Ia tidak keberatan menggendong putrinya ke mana-mana. Karena Safir sadar, waktu akan cepat sekali berlalu dan pasti ada waktunya Fira tida