Entah mengapa, Safir tidak bisa diam dan menenangkan diri di ruang operasi. Ia mondar mandir di atas kepala Intan yang berbaring di meja operasi, dan merasa resah dengan sekumpulan dokter yang berada berseberangan dengannya. Ada keinginan untuk melihat yang tengah dilakukan dokter di balik kain yang membentang di dada Intan, tetapi, anehnya Safir tidak memiliki keberanian melakukan hal tersebut. Safir merasa tidak punya nyali melihat tubuh Intan yang sedang disayat di bawah sana. Ia sudah membayangkan banyaknya darah yang akan keluar, dan Safir memilih untuk tidak mengalami trauma dalam hidupnya setelah melihat hal tersebut. “Mas …” “Aku di sini,” jawab Safir, tetapi masih saja mondar mandir untuk mengenyahkan rasa gusar dan gelisah di hatinya. “Masih lama nggak, sih, Dok?” Akhirnya ucapan tersebut terlepas juga dari mulut Safir. Ia menatap tim dokter dan perawat, yang justru terlihat santai-santai saja. Seperti tidak ada ketegangan sama sekali, dan itu membuat Safir geregetan. “S
“Yakin, Mbak, sudah nggak nambah lagi?” Intan terkekeh saat Lintang baru saja duduk di sampingnya. Hari ini, keluarga Sailendra mengadakan makan malam bersama, dan mengundang seluruh keluarga besar dari pihak Lintang, maupuun Intan. Sekaligus mengadakan syukuran, atas lahirnya kedua cucu mereka yang lahir di hari yang bersamaan.“Nggak, nggak.” Lintang sudah tidak ingin menambah anak lagi. Lintang sudah memutuskan, hanya memiliki tiga orang anak dan tidak lebih dari itu. “Kamu sendiri?”“Mas Safir nggak mau punya anak dulu.” Intan mengulas senyum saat tatapannya tertuju pada Safir yang sedang menggendong putri mereka. Karena usia Safira sudah satu bulan lebih, rasa khawatir Intan pun berangsur-angsur berkurang. Apalagi, putrinya sudah terlihat semakin berisi, dengan pipi yang benar-benar gembul. “Makanya, aku kemarin mau caesar aja. Kan, nggak kebelet kayak mas Raga yang pengen nambah anak terus.”“Beneran Safir nggak mau punya anak dulu?” “Beneran.” Saat ini putri Intan beralih ke
Dengan terpaksa, Raga meminta keluarga Dewantara duduk di satu ruangan yang sama. Yakni di ruang kerja Ario, yang ukurannya cukup luas dan tertutup. Permasalahan keluarga yang sudah terjadi selama bertahun-tahun, menurut Raga harus diselesaikan sesegera mungkin agar tidak berimbas dengan banyak hal di kemudian hari. Raga langsung bertindak sebagai penengah, lalu mengutarakan maksud dan tujuan pertemuan yang diadakan mendadak tersebut. “Jadi, seperti yang kita tahu, kalau Lintang dan Biya sampai sekarang masih memendam kebencian masing-masing.” Raga berusaha mencari kalimat yang paling aman, agar tidak memberatkan pikiran Anwar. “Sementara itu, Bapak dan Ibu sendiri sekarang sudah berdamai dengan semua hal di masa lalu, dan juga dengan Lintang.” “Dan aku cuma mau bilang, bukan salahku andai Maha ternyata suka sama aku,” sambar Lintang menyela dengan emosi. “Dan jangan bawa-bawa almarhum ibuku, dan sama-samain kasus Bapak, sama Maha, karena aku nggak pernah sedikit pun suka sama mant
“Ayo turun.” Safir memberi perintah pada putrinya, yang hari ini tepat berusia satu tahun. Di depan mereka, sudah ada satu buah meja panjang yang berisi dua buah cake ulang tahun, dengan lilin angka yang sama. Fira menggeleng, sembari mengeratkan pelukannya pada leher Safir. Bibir merah nan mungil itu mengerucut, lalu merebahkan kepala di pundak Safir. “Ya begitu itu, kalau kebanyakan digendong, Pi,” ujar Intan sambil mengulurkan kedua tangannya pada Fira. “Duduk sama Mimi, yok. Habis ini ada mama Lintang.” Agar ketiga bayi yang ada di keluarga Sailendra tidak kebingungan saat memanggil mama dan papanya, maka Intan dan Safir memutuskan untuk mengganti panggilan mereka pada Fira. Yang tadinya juga menggunakan papa dan mama, akhirnya mereka ganti menjadi pipi dan mimi, daripada harus mencari-cari nama panggilan lain. “Sama aku aja,” balas Safir. Ia tidak keberatan menggendong putrinya ke mana-mana. Karena Safir sadar, waktu akan cepat sekali berlalu dan pasti ada waktunya Fira tida
“Fayra?” Fajar menggumam sendiri, sesaat setelah meletakkan gagang telepon di meja kerjanya. Tatapannya tertuju pada jam digital di sudut layar komputer, sembari mengingat kejadian di restoran kemarin. Raga menghampirinya, dan meminta bantuan Fajar untuk menemani adik mendiang istrinya yang sedang melakukan kencan buta. Entah mengapa, Fajar saat itu setuju membantu Fayra agar tidak dijodohkan dengan pria pilihan papanya. Melihat dari wajah frustrasi Fayra, serta penampilan yang terlihat memelas itu, membuat Fajar tidak tega menolaknya. Alhasil, Fajar tidak menyesal membantu Fayra setelah bertemu dengan pria yang hendak dijodohkan dengan wanita itu. Pria kaya yang pongah, dan menurut Fajar sama sekali tidak cocok dijodohkan dengan Fayra yang sangat sederhana. Bisa-bisa, pria itu akan “menindas” Fayra jika mereka benar-benar menikah nantinya. Namun, untuk apa wanita itu mendatangi Fajar di saat jam makan siang hampir tiba seperti sekarang? Fajar men-sleep komputernya terlebih dahu
Farya buru-buru keluar dari mobilnya, ketika melihat Fajar baru saja melewati pintu kantor. Pria itu sudah mengenakan jaket kulit, dan membawa helm full face di tangan kirinya. Sungguh terlihat berbeda, dengan Fajar yang ditemuinya saat di restoran dan siang tadi ketika mereka makan bersama Eko. “Jar!” Karena tidak memakai high heel, maka Fayra bisa dengan bebas berlari kecil menghampiri Fajar. “Aku mau ngomong bentar.” “Fayra?” Fajar kembali dibuat bingung dengan wanita satu itu. Kenapa lagi Fayra datang ke kantornya, di saat Fajar hendak pulang dan ingin mengistirahatkan tubuh secepatnya. Bukankah, akting mereka berdua siang tadi cukup meyakinkan? “Iya, Fayra!” Baru juga bertemu siang tadi, tetapi Fajar kembali bengong saat melihatnya. Apa ada yang salah dengan penampilan Fayra saat ini? “Ngobrol bentar, yuk!” “Ngobrol apa lagi?” “Ada tempat duduk, nggak?” Fayra menoleh ke kiri dan ke kanan, untuk mencari sebuah tempat untuk bicara singkat dengan Fajar. Namun, sepertinya tida
Kendati bingung, tetapi Fikri dan Tati tetap menyambut baik uluran tangan pria tua yang baru saja diperkenalkan Raga pada mereka. Entah apa maksud diadakannya makan siang bersama kali ini, tetapi mereka tidak menolak karena merasa penasaran. “Jadi … kita berkumpul di sini dalam rangka apa?” tanya Fikri pada Raga yang duduk berseberangan dengannya. Tidak mungkin pria seperti Raga sekonyong-konyong menghubunginya, lalu mengajak makan siang bersama. Apalagi, Raga meminta untuk tidak mengatakannya pada siapa pun. Cukup Fikri dan istrinya saja yang tahu mengenai makan siang kali ini. Raga menatap tanya pada Eko terlebih dahulu. Apakah pria itu yang akan memberi penjelasan, ataukah Raga saja yang mengatakan maksud pertemuan saat ini. Saat Eko memberi anggukan, serta menaikkan sedikit jemari di tangan kanannya, Raga akhirnya berdiam diri. “Saya, papanya Fayra.” Fikri dan Tati sontak saling lempar pandang. Untuk apa papa Fayra mengajak mereka berdua untuk makan siang secara mendadak se
“Ehm.” Tati menarik kursi di meja makan, yang berseberangan dengan Fajar. Putranya itu tengah sarapan dengan lahap seorang diri, karena Fikri sudah lebih dulu makan, sementara Tati tidak berselera sejak pertemuannya dengan Eko kemarin siang. “Kamu … minggu-minggu ini ada rencana ke luar kota, nggak, Jar?” “Nggak ada,” jawab Fajar tenang, tetapi mulai curiga. Jika Tati mulai bertanya-tanya tentang sesuatu di luar kebiasaan, pasti ada niat terselubung di balik kalimat tersebut. “Ooo.” Tati manggut-manggut, sembari mengingat ucapan Eko kemarin siang. Pria tua itu berkata, Fajar ada kunjungan ke kantor cabang. Sementar kantor cabang yang Tati tahu, semuanya berada di luar kota. Jika benar begitu, Fajar pasti sudah berpamitan dari kemarin-kemarin, untuk melakukan tugas kantor tersebut. Namun, kenyataannya tidak demikian. Fajar tetap berada di rumah, dan tidak pergi ke mana pun. Bahkan, rencana untuk ke luar kota juga tidak terbersit sama sekali. Itu berarti, Fajar telah membohongi Eko,