“Maaf, Pak Anwar, tapi ada sedikit kabar yang nggak mengenakkan dan harus saya sampaikan.”Siang hari itu, Raga datang seorang diri ke rumah sakit tanpa ditemani Lintang. Karena Mana mendadak rewel dan tidak mau melepaskan diri dari Lintang, maka Raga dengan terpaksa menjenguk Anwar seorang diri, di hari libur seperti sekarang.Berhubung kondisi Anwar juga semakin membaik, maka Raga akhirnya berani untuk menyampaikan evaluasi sementara, yang sudah dapatkan selama dua minggu berada di Media Kita. Sebelumnya, Raga juga sudah meminta izin pada Indri terlebih dahulu, agar tidak ada salah paham dan prasangka di antara mereka.Anwar mengangguk pelan. Kali ini, ia sudah pasrah dengan semua keputusan yang diambil Raga untuk perusahaannya. Anwar sadar, kondisinya tidak lagi seperti dulu. Ia tidak bisa berpikir terlalu berat, mengingat kesehatannya yang bisa saja menurun tiba-tiba. “Silakan.”“Maaf, tapi kita memang belum bisa mempercayakan Media Kita dengan Biya.” Entah kemana perginya Biya. P
“Safira bagus, biar namanya sama dengan papanya.”Intan segera menggeleng, tidak setuju dengan usulan Safir karena ia punya pilihan sendiri. “Aku mau namain Permata.”“Heh! Denger—““Yang lembuuut, Mas.” Intan kembali cemberut, karena Safir terkadang masih saja bicara dengan nada tinggi. Padahal, sebelum ia dinyatakan hamil dan masih “berpacaran” dengan Safir, pria itu selalu bersikap manis padanya. Tidak seperti sekarang, yang terkadang suka meninggikan suaranya tanpa sadar. Benar-benar seperti dua kepribadian yang berbeda, dan Intan masih saja sering dibuat bingung akan hal tersebut. “Jangan kasar begitu ngomongnyaaa. Nggak enak di denger.”Safir menarik napas dalam-dalam. Mencoba mengontrol nada bicaranya sedikit lebih lembut. Safir juga tidak tahu, mengapa ia tidak bisa memperlakukan Intan dengan lembut dan manis seperti dahulu kala.“Tan, denger—““Panggilnya pake sayang, Mas,” putus Intan sembari beranjak dari tempat tidur, lalu membuka pintu yang menuju kolam renang. Setidaknya
“Maaf, aku tadi pagi nggak ikut jemput ke rumah sakit.” Lintang meletakkan Mana di tempat tidur, tepat di samping Anwar yang sudah pulang dari rumah sakit. Kondisi Anwar sudah kembali membaik, sehingga bisa pulang tetapi harus tetap melakukan kontrol rutin. Lintang datang tanpa Raga, karena sang suami benar-benar sedang sibuk melakukan perombakan di perusahaan. “Aku malas ketemu Biya.” Untuk hal yang satu ini, Lintang tidak akan menutupinya di depan Anwar. Karena Indri juga tengah pergi ke dapur, maka Lintang bisa dengan bebas mengatakan hal tersebut di depan ayahnya sendiri. Anwar tersenyum, lalu membawa Mana ke pangkuannya. Namun, baru satu detik bayi tersebut berada di pahanya, Mana langsung menggeliat dan ingin kembali berada dengan bebas di tempat tidur. “Dia nggak mau dipangku kalau cuma diam, Pak,” ujar Lintang kemudian duduk di tepi tempat tidur untuk menjaga Mana. “Kecuali kalau digendong atau ditaroh stroller sambil jalan. Kalau di kamar, dia lebih suka main sendiri begini
Melihat kamar yang sudah direnovasi dan rumah yang akhirnya sudah bersih total dari debu, membuat Lintang akhirnya bisa bernapas lega. Tidak hanya itu, kondisi Anwar juga semakin membaik, sehingga beban yang ada di pundak Lintang bisa sedikit berkurang. Perihal Media Kita, sudah dipastikan Ragalah yang akan memegang puncak kepemimpinan untuk ke depannya. Sementara perusahaan keluarga Sailendra, akhirnya akan dipegang oleh Safir, tetapi masih dalam pantauan Raga dan Ario dengan sangat ketat. Sementara Biya, mau tidak mau harus menerima nasib, karena dewan direksi dan komisaris tidak menyetujui wanita itu berada di puncak kepemimpinan Media Kita. Idealisme Biya yang terlalu tinggi, dan sikapnya yang enggan menerima masukan itulah, yang membuat para petinggi perusahaan menolak menjadikan Biya sebagai direktur utama. Kegagalan Biya juga tidak sampai di situ, tidak lama setelah Raga benar-benar resmi menggantikan Anwar, putusan sidang cerainya dengan Maha pun langsung keluar tanpa ada ba
“Ada yang miss lagi?”Setiap kembali dari ruang kerja Raga yang sekarang jadi milik Safir di kediaman Sailendra, tatanan rambut suaminya pasti acak-acakan. Apalagi jika sudah berdiskusi dengan Ario, wajah Safir pasti terlihat benar-benar stress.“Cuma kurang teliti sedikiiit.” Safir menggeram lalu menghempas tubuhnya di tempat tidur. Sejak rumah mereka direnovasi dan kembali pindah di kediaman Sailendra, setiap malam Ario pasti menyuruh Safir untuk mengevaluasi pekerjaan hari ini. Dan Ario melakukan hal tersebut setiap hari kerja, tanpa terkecuali. Safir benar-benar dibuat stres oleh sang papa, karena banyak hal yang ternyata harus ia benahi.Apa Ario juga memperlakukan Raga seperti itu?“Ya sud—““Kenapa belum tidur juga?” Lagi-lagi, Intan pasti belum tidur ketika Safir kembali dari ruang kerjanya. “Aku, kan, sudah bilang nggak usah nungguin sampai selesai.” Tatapan Safir tertuju pada jam dinding. “Ini sudah setengah sebelas, tapi—““Aku nggak bisa tidur, Maaas.” Intan melipat kembal
Biya ikut menarik napas panjang, saat melihat Lintang melakukannya. Saudara perempuannya itu menyandarkan satu tangannya pada dinding, dan satu tangan lagi memegang perut bagian bawahnya. Apa benar Lintang akan segera melahirkan? Memangnya, berapa usia kandungan Lintang saat ini?Biya benar-benar tidak mengetahui hal tersebut sama sekali.Lantas, apa yang harus Biya lakukan saat ini? “Heh, kamu serius mau lahiran?” Belum sempat Lintang menjawab, Mana lebih dulu merengek dan mengulurkan tangannya yang belepotan pada mamanya. “Sama Onty dulu, mamamu lagi sakit perut.”“Nggak tahu.” Lintang menunjuk bagian belakang stroller Mana. “Dia minta susu, dotnya ada di belakang.”Biya segera menghampiri stroller, lalu mengambil sebuah botol susu yang isinya tinggal separuh. Karena tidak melihat tempat duduk, maka Biya segera meletakkan Mana di strollernya. Merebahkan bayi yang sudah lama tidak dilihatnya, lalu memberi botol susu tersebut dengan segera. “Kenapa kamu tambah berat gini?”“Udah, tin
Entah mengapa, Safir tidak bisa diam dan menenangkan diri di ruang operasi. Ia mondar mandir di atas kepala Intan yang berbaring di meja operasi, dan merasa resah dengan sekumpulan dokter yang berada berseberangan dengannya. Ada keinginan untuk melihat yang tengah dilakukan dokter di balik kain yang membentang di dada Intan, tetapi, anehnya Safir tidak memiliki keberanian melakukan hal tersebut. Safir merasa tidak punya nyali melihat tubuh Intan yang sedang disayat di bawah sana. Ia sudah membayangkan banyaknya darah yang akan keluar, dan Safir memilih untuk tidak mengalami trauma dalam hidupnya setelah melihat hal tersebut. “Mas …” “Aku di sini,” jawab Safir, tetapi masih saja mondar mandir untuk mengenyahkan rasa gusar dan gelisah di hatinya. “Masih lama nggak, sih, Dok?” Akhirnya ucapan tersebut terlepas juga dari mulut Safir. Ia menatap tim dokter dan perawat, yang justru terlihat santai-santai saja. Seperti tidak ada ketegangan sama sekali, dan itu membuat Safir geregetan. “S
“Yakin, Mbak, sudah nggak nambah lagi?” Intan terkekeh saat Lintang baru saja duduk di sampingnya. Hari ini, keluarga Sailendra mengadakan makan malam bersama, dan mengundang seluruh keluarga besar dari pihak Lintang, maupuun Intan. Sekaligus mengadakan syukuran, atas lahirnya kedua cucu mereka yang lahir di hari yang bersamaan.“Nggak, nggak.” Lintang sudah tidak ingin menambah anak lagi. Lintang sudah memutuskan, hanya memiliki tiga orang anak dan tidak lebih dari itu. “Kamu sendiri?”“Mas Safir nggak mau punya anak dulu.” Intan mengulas senyum saat tatapannya tertuju pada Safir yang sedang menggendong putri mereka. Karena usia Safira sudah satu bulan lebih, rasa khawatir Intan pun berangsur-angsur berkurang. Apalagi, putrinya sudah terlihat semakin berisi, dengan pipi yang benar-benar gembul. “Makanya, aku kemarin mau caesar aja. Kan, nggak kebelet kayak mas Raga yang pengen nambah anak terus.”“Beneran Safir nggak mau punya anak dulu?” “Beneran.” Saat ini putri Intan beralih ke