“Sudah sampai, Tan.” Safir melirik pada Intan, yang masih saja tertidur pulas sambil bersedekap memeluk tas selempangnya. Intan menunduk, dengan wajah yang tertutup dengan rambutnya yang terurai.Tidak kunjung mendapat respons hingga Safir membuka pintu mobil, ia pun tidak jadi keluar. Safir menepuk lengan Intan terlebih dahulu, untuk membangunkannya. “Tan, kita sudah sampai.”“Intan.” Suara Safir sedikit keras, karena gadis itu tidak juga meresponsnya. “Bangun.”“Hm.” Intan menggumam saat merasa tubuhnya sedikit berguncang. Ditambah dengan suara Safir, yang lumayan keras memanggilnya.“Bangun, kita sudah sampai rumah.”“Mas Safir duluan aja,” ujar Intan dengan suara berat dan serak. Tidak hanya itu, Intan juga sama sekali tidak membuka mata ketika bicara dengan Safir. “Aku capeek banget. Bentar lagi, mataku masih berat.”Safir berdecak, kemudian keluar untuk membuka pagar rumah. Kalau dulu, ia tidak perlu repot-repot keluar dari mobil untuk membuka pagar seperti sekarang, karena suda
“Sudah ditunggu mas Safir di meja makan, Mbak.”Intan sempat bengong untuk beberapa saat, guna memproses perkataan Imar yang berada di depan kamarnya. Wanita paruh baya itu baru saja mengetuk kamar, dan langsung menyampaikan hal tersebut ketika Intan membuka pintu.“Mau ngapain?” Jika Safir memang ingin bicara dengan Intan, mengapa pria itu tidak datang saja langsung ke kamar? Mengapa harus menyuruh Imar menghampiri Intan seperti sekarang.“Makan sore katanya, Mbak.”“Makan sore?” Sikap Safir semakin terasa aneh saja. “Siapa yang mau makan sore, Bu?”Imar menggaruk kepala bagian belakangnya. Memang terasa aneh, karena Safir tidak pernah bersikap seperti ini. Bila pria itu mau makan, Safir akan makan dengan mengambil semuanya seorang diri. Hanya jika ada Imar di dapur, barulah Safir minta untuk di siapkan segala sesuatunya. Namun, tidak demikian dengan sore ini. “Mas Safir sama Mbak Intan.”“Orang itu salah makan, apa, ya?” Intan keluar dan menutup pintu kamarnya. Ia berjalan bersama I
“Gimana kandungan Intan, Fir?” Setelah bertanya, Retno menyuapkan makanan ke mulutnya dan mengunyah dengan perlahan. Karena acara kunjungan dengan Ario selesai lebih awal, maka mereka memutuskan untuk mengajak kedua putranya makan siang di restoran yang berada tidak jauh dari kantor.“Nanti malam mau periksa lagi.” Setiap memikirkan Intan, atau membicarakan gadis itu, Safir selalu saja menjadi gusar. Sampai detik ini, Safir juga tidak bisa memberi jawaban pasti, mengenai hubungan mereka sebenarnya.Safir masih terlampau kesal pada Intan, karena telah bersikap ceroboh. Safir yang belum siap memiliki anak, akhirnya harus terjebak dalam pernikahan yang juga tidak diinginkannya. Mungkin, jika wanita yang ceroboh dan hamil itu adalah Biya, sikap Safir pastinya tidak akan seperti ini karena wanita itu berasal dari status sosial yang sama.Sementara Intan? Selain fisiknya yang tidak bisa terelakkan, di luar itu Intan bukanlah gadis impian Safir sama sekali.Kali ini, Safir benar-benar kena b
Berdamai? Intan skeptis jika harus memikirkan hal tersebut. Bukan Intan yang tidak mau berdamai, tetapi, Safir masih saja bersikap tidak menyenangkan, meskipun pria itu sempat memberi perhatian kepadanya. Perasaan Intan sampai terombang ambing tidak jelas, karena tidak bisa menentukan sikap. “Kenapa belum tidur?” Bak ketahuan sedang melakukan kesalahan, Intan segera meletakkan ponselnya begitu saja di tempat tidur. Safir yang masuk kamar tanpa mengetuk, jelas membuat jantung Intan sontak berdetak tidak karuan. “Ketok pintu dulu, Mas.” “Buat apa?” Safir mematikan lampu kamar, lalu berbaring di samping Intan. Karena titah dari Retno, akhirnya Safir malam ini kembali tidur satu kamar dengan Intan. “Rumah ini, rumahku. Jadi terserah aku.” Intan yang masih duduk bersandar pada kepala ranjang, dengan cepat meletakkan guling di tengah tempat tidur. Selama Safir tidak memberinya kejelasan apa pun, Intan akan tetap memasang pembatas di antara mereka. “Buruan tidur,” titah Safir melihat In
Seperti mimpi. Intan tidak pernah menduga, jika ia akan kembali menyatukan bibirnya dengan Safir. Begitu manis dan penuh kelembutan. Sama seperti dahulu kala, ketika badai belum menghampiri hubungan mereka berdua.Tidak hanya bibir, tetapi tangan Safir mulai menyentuh kulit Intan dengan perlahan dan pasti.“Mas …” Sejenak, Intan tidak membalas ciuman Safir yang terasa semakin panas. Napasnya memburu, dengan debaran jantung yang berdegup kencang. Sekali lagi, ini semua seperti mimpi. “I-ini, ruang tamu.”Mendengar hal tersebut, Safir langsung tersadar dan mengumpat. Semuanya sudah begitu pas dan mendukung, tetapi ucapan Intan langsung membuyarkan semuanya. Namun, kepala Safir sudah terlanjur pening, dan ada sesuatu yang juga sudah bergejolak di bawah sana. Di saat seperti ini, mana mungkin Safir bisa menghentikan kegiatan mereka yang semakin memanas itu?“Kita pindah.” Safir beranjak dari sofa terlebih dahulu, sejurus itu ia segera mengangkat tubuh Intan tanpa membutuhkan effort yang b
“Serius, mereka sudah begitu-begitu?” Lintang memburu Raga, setelah meletakkan Mana di karpet busa yang berada di lantai kamar mereka. Ia tidak perlu khawatir Mana akan jatuh, karena berguling-guling ke sana kemari. “Begitu-begitu gimana?” Raga mentertawakan istilah yang diucapkan sang istri. Sambil melepas dasi dan duduk di sudut tempat tidur, Raga memperhatikan Mana yang semakin hari semakin tidak bisa dilarang. Jangan-jangan, sifat keras kepala Lintang menurun pada putra keduanya itu. “Yang jelas kalau ngomong, Ma.” “Jangan pura-pura nggak tahu.” Lintang berdiri tepat di hadapan Raga, lalu menyingkirkan tangan sang suami yang tengah membuka dasi. Ia mengambil alih pekerjaan tersebut, dan kembali mengungkapkan rasa penasarannya. “Jadi, jawab pertanyaanku tadi. Mereka udah baikan, kan?” “Sudah.” Raga meraih pinggul Lintang, lalu menjatuhkan kecupan pada perut yang mulai membesar itu. Setelah itu, Raga mengusap-usapnya dengan perlahan dan penuh kasih sayang. “Aku sudah nggak sabar m
Bangun dan tidak melihat Intan di sisinya, Safir segera beranjak menuju kamar mandi. Tidak menemukan Intan di sana, Safir lantas melihat jam dinding dan jarum jam masih menunjukkan pukul lima pagi. Namun, mengapa sepagi ini Intan sudah beranjak dari tempat tidur?“Tan,” panggil Safir setelah membuka pintu kamar, dan beranjak keluar mencari sang istri. “Intan.”“Dapur, Mas.” Baru mendengar suaranya saja, jantung Intan kembali jumpalitan. Bagaimana bia Safir berdiri di sampingnya? Intan pasti akan kembali gugup, menghadapi Safir yang manis, tetapi masih bertahan dengan gengsi dan egonya itu.“Ngapain?” Melihat Intan berdiri di depan kompor dan seperti sedang mengaduk sesuatu, Safir lantas menghampiri dengan cepat. “Nasi goreng? Kamu masak nasi goreng?”Intan mengangguk, sembari menarik napas panjang agar kegugupannya tidak terlihat. “Kan, bu Imar pulang dari semalam, terus ada sisa nasi. Makanya aku goreng aja.”“Aku sudah minta bu Idha masak di rumah.” Safir lupa mengatakan hal ini pad
“Duduk sini.” Safir melirik pada sisi kosong di sampingnya, sembari mengeluarkan ponsel. Selagi menunggu Intan menghampiri, ia membuka sebuah marketplace dan mencari sesuatu. Setelah mendapatkan yang dicarinya, Safir bersandar lalu memberikan ponselnya pada Intan yang baru saja duduk di ujung sofa. Gadis itu tidak duduk tepat di samping Safir, seperti yang ia perintahkan. “Pilih yang kamu suka.” Begitu ponsel Safir ada di tangan. Intan ternganga dan debaran jantungnya kembali bertalu. Bagaimana tidak, bila foto yang dilihatnya saat ini adalah, foto lingerie dan pakaian dalam dengan berbagai macam model. “I-ini.” Intan menelan ludah. Tidak bisa membayangkan, bila tubuhnya yang tengah hamil mengenakan pakaian seperti itu. Ada rasa tidak percaya diri, jika harus menunjukkan tubuhnya dengan kondisi seperti sekarang di depan Safir. “Ma-Mas Safir, mau aku … pake ini?” “Iyalah.” Safir menghabiskan jarak dengan Intan. “Kamu nggak pernah punya, kan? Dan nggak pernah make juga di depanku, kan
“Pak Raga.” Maha segera menyusul Raga, ketika rapat umum yang dihadiri para direktur dan manajer perusahaan selesai dilaksanakan. Ia mensejajarkan langkahnya dengan mudah, saat Raga memperlambat langkahnya. “Bisa kita bicara?” Raga menoleh dan tetap berjalan menuju ruangannya. Ia mengangguk tegas, sembari berkata. “Silakan.” Maha balas mengangguk dan mereka memasuki ruangan Raga dalam ketenangan. Sesaat sebelum masuk, Raga meminta sekretarisnya untuk menghandle semua hal karena ia akan bicara empat mata dengan Maha. “Ada masalah?” tanya Raga tetap bersikap profesional, meskipun ia sudah muak melihat Maha berada di kantor. Namun, sebisa mungkin ia tidak mencampuradukkan hal pribadi, dengan semua hal yang berada di kantor. Maha menghela panjang, lalu duduk pada sofa tunggal yang berhadapan lurus dengan meja kerja Raga. “Seperti yang kita tahu … penetapan hasil pemilu sudah diputuskan MK dan kita tinggal menunggu agenda pengucapan sumpah dan janji—” “Bisa kita langsung ke inti dari p
“A-aku minta maaf, Lin.” Maha dengan segera menghampiri Lintang yang baru saja keluar dari ruang kesehatan. Ruang yang ada di lantai satu tersebut, memang dipersiapkan untuk jalan sehat pagi ini. Sudah ada seorang dokter yang bertugas dan beberapa perawat yang dengan sigap membantu jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. “Mana nggak papa, kan?” Belum sempat Lintang menjawab, pintu ruangan yang biasa digunakan sebagai tempat meeting terbuka. Raga keluar dengan menggendong Mana, yang sudah tidak lagi menangis keras akibat terjatuh dari tangga. Namun, wajah menggemaskan itu masih terlihat sembab dan sesenggukan sambil memeluk sang papa. Di saat Maha dan Biya berdebat, bocah gembul itu ternyata mencoba menaiki tangga kayu yang menuju panggung. Padahal, Maha sedikit lagi mencapai tubuh Mana saat ia melihatnya, tetapi, bocah itu lebih dulu terjatuh, sehingga membuat kehebohan. Bagaimana tidak heboh, jika yang terjatuh adalah putra direktur utama, sekaligus cucu dari pemilik perusahaan.
“Aku sebenarnya pengen banget ndepak Maha dari perusahaan.” Raga menyerahkan Mana pada Biya, yang baru saja menghampirinya. Bocah yang baru bisa berjalan itu, langsung mengulurkan kedua tangan dan minta digendong oleh tante yang selalu memanjakannya. “Tapi, sayangnya dia masih punya saham di sini dan sepertinya Maha nggak punya niat buat jual sahamnya sama siapa pun.” “Jangan lupa, tujuan dia masuk ke perusahaan ini karena papanya juga mau nyalon.” Meskipun bobot Mana semakin bertambah, tetapi Biya tidak bisa untuk tidak menggendong keponakan yang menggemaskan itu. Ia melirik sebentar pada Lintang yang baru keluar dari mobil, lalu kembali fokus pada Raga. “Sama seperti pak Ario, pak Anjas juga butuh media buat pencitraan. Mana sekarang lagi musim-musimnya, kan? Coba kita lihat aja sampai pileg nanti, apa Maha masih mau netap di sini.” “Bapak sama ibu di mana, Bi?” tanya Lintang sudah berusaha untuk berdamai dengan saudara perempuannya. Hubungan mereka memang tidak sedekat layaknya Li
“Ini bukan tempat yang cocok buat malam amal.” Fayra menyilang kaki, sekaligus bersedekap menatap gedung restoran yang ada di hadapannya. Tidak berniat keluar, kendati sopir sang papa sudah membukakan pintu mobil untuknya. “Papa pasti mau ketemu teman lama Papa yang bawa anak, terus mau ngenalin aku sama dia. Iya, kan?” “Fay—” “Apa Papa lupa, aku ini sudah punya pacar.” Fayra menyela dan tetap dalam keadaan tenang. “Apa Papa lupa sama Fajar? Atau, Papa nggak setuju sama dia, karena dia bukan berasal dari … keluarga kayak mas Raga, atau Nino? Begitu?” Eko menarik napas pelan, sembari mengeluarkan ponsel dan segera menghubungi seseorang. Ia masih berada di samping Fayra, tidak akan keluar sampai putrinya itu keluar lebih dulu. “Halo, Bik, tolong bereskan barang-barang Fayra dan langsung bakar malam—” “Papaaa.” Fayar bergerak cepat dan merampas ponsel sang papa, lalu berbicara dengan seseorang yang baru saja dihubungi Eko. “Bik, Bik, barangku jangan diapa-apain. Papa cuma becanda. Ja
“Ehm.” Tati menarik kursi di meja makan, yang berseberangan dengan Fajar. Putranya itu tengah sarapan dengan lahap seorang diri, karena Fikri sudah lebih dulu makan, sementara Tati tidak berselera sejak pertemuannya dengan Eko kemarin siang. “Kamu … minggu-minggu ini ada rencana ke luar kota, nggak, Jar?” “Nggak ada,” jawab Fajar tenang, tetapi mulai curiga. Jika Tati mulai bertanya-tanya tentang sesuatu di luar kebiasaan, pasti ada niat terselubung di balik kalimat tersebut. “Ooo.” Tati manggut-manggut, sembari mengingat ucapan Eko kemarin siang. Pria tua itu berkata, Fajar ada kunjungan ke kantor cabang. Sementar kantor cabang yang Tati tahu, semuanya berada di luar kota. Jika benar begitu, Fajar pasti sudah berpamitan dari kemarin-kemarin, untuk melakukan tugas kantor tersebut. Namun, kenyataannya tidak demikian. Fajar tetap berada di rumah, dan tidak pergi ke mana pun. Bahkan, rencana untuk ke luar kota juga tidak terbersit sama sekali. Itu berarti, Fajar telah membohongi Eko,
Kendati bingung, tetapi Fikri dan Tati tetap menyambut baik uluran tangan pria tua yang baru saja diperkenalkan Raga pada mereka. Entah apa maksud diadakannya makan siang bersama kali ini, tetapi mereka tidak menolak karena merasa penasaran. “Jadi … kita berkumpul di sini dalam rangka apa?” tanya Fikri pada Raga yang duduk berseberangan dengannya. Tidak mungkin pria seperti Raga sekonyong-konyong menghubunginya, lalu mengajak makan siang bersama. Apalagi, Raga meminta untuk tidak mengatakannya pada siapa pun. Cukup Fikri dan istrinya saja yang tahu mengenai makan siang kali ini. Raga menatap tanya pada Eko terlebih dahulu. Apakah pria itu yang akan memberi penjelasan, ataukah Raga saja yang mengatakan maksud pertemuan saat ini. Saat Eko memberi anggukan, serta menaikkan sedikit jemari di tangan kanannya, Raga akhirnya berdiam diri. “Saya, papanya Fayra.” Fikri dan Tati sontak saling lempar pandang. Untuk apa papa Fayra mengajak mereka berdua untuk makan siang secara mendadak se
Farya buru-buru keluar dari mobilnya, ketika melihat Fajar baru saja melewati pintu kantor. Pria itu sudah mengenakan jaket kulit, dan membawa helm full face di tangan kirinya. Sungguh terlihat berbeda, dengan Fajar yang ditemuinya saat di restoran dan siang tadi ketika mereka makan bersama Eko. “Jar!” Karena tidak memakai high heel, maka Fayra bisa dengan bebas berlari kecil menghampiri Fajar. “Aku mau ngomong bentar.” “Fayra?” Fajar kembali dibuat bingung dengan wanita satu itu. Kenapa lagi Fayra datang ke kantornya, di saat Fajar hendak pulang dan ingin mengistirahatkan tubuh secepatnya. Bukankah, akting mereka berdua siang tadi cukup meyakinkan? “Iya, Fayra!” Baru juga bertemu siang tadi, tetapi Fajar kembali bengong saat melihatnya. Apa ada yang salah dengan penampilan Fayra saat ini? “Ngobrol bentar, yuk!” “Ngobrol apa lagi?” “Ada tempat duduk, nggak?” Fayra menoleh ke kiri dan ke kanan, untuk mencari sebuah tempat untuk bicara singkat dengan Fajar. Namun, sepertinya tida
“Fayra?” Fajar menggumam sendiri, sesaat setelah meletakkan gagang telepon di meja kerjanya. Tatapannya tertuju pada jam digital di sudut layar komputer, sembari mengingat kejadian di restoran kemarin. Raga menghampirinya, dan meminta bantuan Fajar untuk menemani adik mendiang istrinya yang sedang melakukan kencan buta. Entah mengapa, Fajar saat itu setuju membantu Fayra agar tidak dijodohkan dengan pria pilihan papanya. Melihat dari wajah frustrasi Fayra, serta penampilan yang terlihat memelas itu, membuat Fajar tidak tega menolaknya. Alhasil, Fajar tidak menyesal membantu Fayra setelah bertemu dengan pria yang hendak dijodohkan dengan wanita itu. Pria kaya yang pongah, dan menurut Fajar sama sekali tidak cocok dijodohkan dengan Fayra yang sangat sederhana. Bisa-bisa, pria itu akan “menindas” Fayra jika mereka benar-benar menikah nantinya. Namun, untuk apa wanita itu mendatangi Fajar di saat jam makan siang hampir tiba seperti sekarang? Fajar men-sleep komputernya terlebih dahu
“Ayo turun.” Safir memberi perintah pada putrinya, yang hari ini tepat berusia satu tahun. Di depan mereka, sudah ada satu buah meja panjang yang berisi dua buah cake ulang tahun, dengan lilin angka yang sama. Fira menggeleng, sembari mengeratkan pelukannya pada leher Safir. Bibir merah nan mungil itu mengerucut, lalu merebahkan kepala di pundak Safir. “Ya begitu itu, kalau kebanyakan digendong, Pi,” ujar Intan sambil mengulurkan kedua tangannya pada Fira. “Duduk sama Mimi, yok. Habis ini ada mama Lintang.” Agar ketiga bayi yang ada di keluarga Sailendra tidak kebingungan saat memanggil mama dan papanya, maka Intan dan Safir memutuskan untuk mengganti panggilan mereka pada Fira. Yang tadinya juga menggunakan papa dan mama, akhirnya mereka ganti menjadi pipi dan mimi, daripada harus mencari-cari nama panggilan lain. “Sama aku aja,” balas Safir. Ia tidak keberatan menggendong putrinya ke mana-mana. Karena Safir sadar, waktu akan cepat sekali berlalu dan pasti ada waktunya Fira tida