“Serius, mereka sudah begitu-begitu?” Lintang memburu Raga, setelah meletakkan Mana di karpet busa yang berada di lantai kamar mereka. Ia tidak perlu khawatir Mana akan jatuh, karena berguling-guling ke sana kemari. “Begitu-begitu gimana?” Raga mentertawakan istilah yang diucapkan sang istri. Sambil melepas dasi dan duduk di sudut tempat tidur, Raga memperhatikan Mana yang semakin hari semakin tidak bisa dilarang. Jangan-jangan, sifat keras kepala Lintang menurun pada putra keduanya itu. “Yang jelas kalau ngomong, Ma.” “Jangan pura-pura nggak tahu.” Lintang berdiri tepat di hadapan Raga, lalu menyingkirkan tangan sang suami yang tengah membuka dasi. Ia mengambil alih pekerjaan tersebut, dan kembali mengungkapkan rasa penasarannya. “Jadi, jawab pertanyaanku tadi. Mereka udah baikan, kan?” “Sudah.” Raga meraih pinggul Lintang, lalu menjatuhkan kecupan pada perut yang mulai membesar itu. Setelah itu, Raga mengusap-usapnya dengan perlahan dan penuh kasih sayang. “Aku sudah nggak sabar m
Bangun dan tidak melihat Intan di sisinya, Safir segera beranjak menuju kamar mandi. Tidak menemukan Intan di sana, Safir lantas melihat jam dinding dan jarum jam masih menunjukkan pukul lima pagi. Namun, mengapa sepagi ini Intan sudah beranjak dari tempat tidur?“Tan,” panggil Safir setelah membuka pintu kamar, dan beranjak keluar mencari sang istri. “Intan.”“Dapur, Mas.” Baru mendengar suaranya saja, jantung Intan kembali jumpalitan. Bagaimana bia Safir berdiri di sampingnya? Intan pasti akan kembali gugup, menghadapi Safir yang manis, tetapi masih bertahan dengan gengsi dan egonya itu.“Ngapain?” Melihat Intan berdiri di depan kompor dan seperti sedang mengaduk sesuatu, Safir lantas menghampiri dengan cepat. “Nasi goreng? Kamu masak nasi goreng?”Intan mengangguk, sembari menarik napas panjang agar kegugupannya tidak terlihat. “Kan, bu Imar pulang dari semalam, terus ada sisa nasi. Makanya aku goreng aja.”“Aku sudah minta bu Idha masak di rumah.” Safir lupa mengatakan hal ini pad
“Duduk sini.” Safir melirik pada sisi kosong di sampingnya, sembari mengeluarkan ponsel. Selagi menunggu Intan menghampiri, ia membuka sebuah marketplace dan mencari sesuatu. Setelah mendapatkan yang dicarinya, Safir bersandar lalu memberikan ponselnya pada Intan yang baru saja duduk di ujung sofa. Gadis itu tidak duduk tepat di samping Safir, seperti yang ia perintahkan. “Pilih yang kamu suka.” Begitu ponsel Safir ada di tangan. Intan ternganga dan debaran jantungnya kembali bertalu. Bagaimana tidak, bila foto yang dilihatnya saat ini adalah, foto lingerie dan pakaian dalam dengan berbagai macam model. “I-ini.” Intan menelan ludah. Tidak bisa membayangkan, bila tubuhnya yang tengah hamil mengenakan pakaian seperti itu. Ada rasa tidak percaya diri, jika harus menunjukkan tubuhnya dengan kondisi seperti sekarang di depan Safir. “Ma-Mas Safir, mau aku … pake ini?” “Iyalah.” Safir menghabiskan jarak dengan Intan. “Kamu nggak pernah punya, kan? Dan nggak pernah make juga di depanku, kan
“Harusnya, kalian itu lebih sering jalan-jalan begini.” Lintang memberi senyum lebarnya pada Raga, setelah mendengar perkataan Retno. Ia mengangguk setuju 100 persen akan hal tersebut, karena liburan di luar rumah bisa membuat otak Lintang lebih segar. Sebagai ibu rumah tangga, sekaligus mompreneur yang hanya berkutat di rumah, Lintang pasti membutuhkan adanya refreshing setiap akhir pekan. Ya, seperti sekarang ini. “Rencananya memang begitu, Bu.” Bahagia rasanya melihat Retno ada untuk mendukungnya. “Minggu depan kami ada rencana mau jalan-jalan lagi.” “Ngidamnya anak kedua begitu, itu, Ma,” sambar Raga menyudahi sarapan paginya. “Coba bayangin kalau anakku nanti perempuan, terus …” Detik selanjutnya, Raga mengibas tangannya untuk mengenyahkan sebersit bayangan di kepala. “Dahlah, aku nggak mau nebak-nebak.” Retno dan Ario kompak tertawa kecil, setelah mendengar pemikiran Raga yang sudah membayangkan tentang masa depannya. “Nggak usah terlalu dipikirin,” sahut Retno sembari meman
“Mas, kamu ngerti artinya bulan madu nggak?” Safir menggeram dengan kedua tangan mengepal di atas meja. Saking kesalnya, Safir sampai ingin memukul Raga saat ini, juga jika tidak mengingat pria itu adalah kakaknya.Kedatangan kakaknya ke hotel, sangat-sangat tidak tepat sekali. Safir baru saja hendak memulai sesuatu dengan Intan, tetapi telepon hotel yang berada di nakas justru berdering nyaring tanpa henti. Tidak bisa menghubungi ponsel Safir, sang kakak justru menghubunginya langsung di kamar.“Siapa suruh nggak angkat hape.” Antara kasihan dan menahan tawa, karena Raga bisa mengerti mengapa wajah Safir terlihat kusut tidak berbentuk. Mungkin saja, Raga menelepon di saat yang tidak tepat, sehingga Safir saat ini tengah mengalami sakit kepala yang membuat emosinya meledak-ledak.“Aku sibuk!” Safir menarik napas, lalu memukul meja di hadapannya. Jika bukan Raga, mana mau Safir dipaksa turun ke lounge dan bicara empat mata dengan pria itu. Meskipun teramat kesal, tetapi Safir tidak bis
“Tapi maaf Pak Anwar, saya rasa, Lintang juga harus tahu dengan semua ini.” Raga menggeleng tidak setuju akan permintaan Anwar. Sebenarnya, Raga juga sudah mendengar hal tersebut dari Indri, tetapi, ia belum memberi komentar apa pun.Sampai akhirnya, Raga kembali lagi ke rumah sakit pada malam harinya untuk bertemu Anwar, dan ia terpaksa berbohong pada Lintang. Dengan membawa pengacaranya, Raga melakukan penandatanganan pengalihan saham dan ia tinggal mempelajari beberapa hal setelah ini.Namun, Raga tetap bertahan di rumah sakit untuk membicarakan masalah pribadi, dan membiarkan pengacaranya pulang lebih dulu.“Karena saya nggak bisa terus-terusan bohong sama Lintang, Pak,” sambung Raga.“Bapak cuma nggak mau nambah pikiran Lintang, Ga.” Indri mengambil alih untuk menjelaskan maksud Anwar dan dirinya melakukan ini semua. “Lintan lagi hamil, dan Bapak nggak mau dia sampai stres.”“Percaya sama saya, Lintang itu lebih kuat daripada kelihatannya.” Tidak hanya kuat, tetapi istrinya itu j
“Ini ruanganmu, Mas.” Biya masih saja tidak ikhlas, melihat Raga berada di jajaran direksi Media Kita. Seharusnya, Anwar bisa lebih percaya dengan kemampuan Biya, daripada melimpahkan puncak kepemimpinan pada Raga. Lagi pula, Raga sama sekali tidak punya pengalaman dalam mengurus perusahaan yang mobilitasnya sangat tinggi seperti Media Kita. “Ruangan Maha ada pas di depan sana, dan ruang kerjaku ada di sebelah kananmu. Kita punya connecting door, jadi kamu nggak perlu keluar kalau mau temui aku.” “Oke, terima kasih.” Raga manggut-manggut sambil melihat dekorasi ruang kerja, yang dulunya digunakan oleh Anwar. Sesekali, Anwar juga masih menyempatkan diri untuk berkunjung dan menerima beberapa tamu di ruangannya setelah memutuskan pensiun. Itu yang Raga dengar dari Biya sepanjang mereka berjalan ke lantai atas. “Oke!” Biya juga mengangguk. “Aku juga sudah hubungi orang IT dan minta dibuatkan e-mail perusahaan buat Mas Raga.” “Terima kasih.” “Sama-sama.” Biya mengangguk formal tanpa me
“Tapi setelah ada di tanganku, Media Kita nggak akan balik ke keluarga kita!” Biya menggeram setelah mengulang ucapan Raga. Ia tengah mengadu pada sang mama via telepon, setelah akhirnya Indri mengangkat panggilan darinya. Entah ke mana perginya Indri, sampai-sampai tidak langsung mengangkat panggilan dari Biya sedari tadi. “Begitu kata mas Raga, Ma. Jadi, papa sama Mama itu sudah ditipu mentah-mentah sama dia. Jangan-jangan, ini usulannya Lintang, karena mau balas dendam sama kita.”Indri menghela kecil di ujung sana. Terkadang, sikap Biya memang kelewatan, tetapi hal itu dilakukan semata-mata untuk mencari perhatian Anwar. “Jaga bicaramu, Bi.”“Mama nggak percaya sama aku.” Biya berdiri dari kursi kerjanya, lalu menendang sisi kaki meja dengan ujung pantofelnya. “Aku ini baru bicara sama mas Raga di ruangan papa, dan dia sendiri yang ngomong begitu ke aku.”“Biar, nanti mama yang ngomong ke Raga.” Lagi-lagi, Indri menghela dan kali ini lebih panjang. “Dan tolong jangan bicarakan ini