“Kamarmu di bawah, ujung.” Safir menunjuk sebuah kamar yang berada di ujung lorong. Tepat berhadapan dengan pintu utama rumah. Karena Safir pernah berkunjung beberapa kali ke rumah tersebut, jadi ia sudah hafal dengan seluk beluk seluruh ruangannya. “Semua sudah dibersihkan, dan beberapa barang juga sudah diganti kata mas Raga. Kamu bisa istirahat langsung di sana.”Intan mengangguk. Interaksinya dengan Safir beberapa hari belakangan ini sangat minim sekali. Bahkan, pernah dalam sehari ia tidak bicara sama sekali dengan pria itu, meskipun mereka berada satu atap. Safir lebih banyak berada di kamar sendiri, dan hanya keluar jika makan, atau mandi.Intan sampai tidak berani mengajak Safir bicara, perihal mobil, dan kepindahan rumah setelah mendapatkan informasi dari Lintang.“Aku ke kamar dulu.”“Oke.” Safir bergerak lebih dulu mendahului Intan, untuk menaiki tangga. “Kamarku di atas, kalau ada apa kamu bisa telpon, dan nggak usah naik ke atas.”Alih-alih pergi ke kamar, Intan justru me
“Kamu yang ngajak Safir, Tan?”Setelah berpisah dari Raga, juga Rama, Lintang segera menginterogasi adik iparnya. Pasti telah terjadi sesuatu, sehingga Safir mendadak menelepon Raga dan mengatakan tidak perlu menjemput Intan. Jangan-jangan, kedua orang itu sudah berbaikan dan memutuskan untuk menjalani rumah tangga dengan baik.Intan menggeleng. Sejak tadi, ia tidak bisa menyamai langkah Lintang yang bisa berjalan dengan cepat daripadanya. Padahal, tubuh Lintang terlihat semakin berisi, dan perutnya pun lebih besar dari milik Intan. Kakak iparnya itu, sungguh tidak memiliki kendala apa pun, dan bisa berjalan tanpa beban sama sekali.Tidak seperti Intan, yang semakin ke sini, semakin tidak bisa berjalan terlalu jauh. Dirinya mudah lelah, padahal tubuhnya tidak terlihat seberat Lintang.“Mas Safir itu nggak jelas,” keluh Intan kemudian menceritakan semua hal yang dialaminya sejak tadi malam, hingga saat sedang menunggu jemputan Lintang. “Mbak Lin juga kenapa nggak ngabari, kalau nggak j
“Mas, kenapa mulutmu itu nggak berhenti ngunyah dari tadi?” Dari kentang goreng, popcorn, corndog, dan sekarang, Raga tengah menyantap es krim sambil berjalan menuju restoran untuk makan siang. Tidak hanya Raga, tetapi Rama pun sedang menyantap es krim yang sama, kecuali Safir.“Karena aku lapar,” jawab Raga terus terang.Bukan jawaban seperti itu yang sebenarnya ingin didengar Safir. Yang ia tahu, Raga tidak pernah makan camilan terus-terusan seperti sekarang. Jadi, apa sebenarnya pemicu perubahan Raga tersebut?“Oia, kalau kamu mau belajar masalah inves saham, kita bisa bicara sekalian makan siang,” tambah Raga lalu menunjuk restoran yang akan mereka masuki dengan dagunya. “Kita makan di sana.”Safir mengangguk pelan sembari ternganga. Lintang dan Intan, sudah lebih dulu berada di sana dan memesankan makanan untuk mereka. “Masih sanggup makan, Mas?”“Masih.” Jangankan Safir, Raga sendiri saja, juga terheran-heran dengan nafsu makannya belakangan ini. “Aku, kan, belum makan nasi.”“C
“Sudah sampai, Tan.” Safir melirik pada Intan, yang masih saja tertidur pulas sambil bersedekap memeluk tas selempangnya. Intan menunduk, dengan wajah yang tertutup dengan rambutnya yang terurai.Tidak kunjung mendapat respons hingga Safir membuka pintu mobil, ia pun tidak jadi keluar. Safir menepuk lengan Intan terlebih dahulu, untuk membangunkannya. “Tan, kita sudah sampai.”“Intan.” Suara Safir sedikit keras, karena gadis itu tidak juga meresponsnya. “Bangun.”“Hm.” Intan menggumam saat merasa tubuhnya sedikit berguncang. Ditambah dengan suara Safir, yang lumayan keras memanggilnya.“Bangun, kita sudah sampai rumah.”“Mas Safir duluan aja,” ujar Intan dengan suara berat dan serak. Tidak hanya itu, Intan juga sama sekali tidak membuka mata ketika bicara dengan Safir. “Aku capeek banget. Bentar lagi, mataku masih berat.”Safir berdecak, kemudian keluar untuk membuka pagar rumah. Kalau dulu, ia tidak perlu repot-repot keluar dari mobil untuk membuka pagar seperti sekarang, karena suda
“Sudah ditunggu mas Safir di meja makan, Mbak.”Intan sempat bengong untuk beberapa saat, guna memproses perkataan Imar yang berada di depan kamarnya. Wanita paruh baya itu baru saja mengetuk kamar, dan langsung menyampaikan hal tersebut ketika Intan membuka pintu.“Mau ngapain?” Jika Safir memang ingin bicara dengan Intan, mengapa pria itu tidak datang saja langsung ke kamar? Mengapa harus menyuruh Imar menghampiri Intan seperti sekarang.“Makan sore katanya, Mbak.”“Makan sore?” Sikap Safir semakin terasa aneh saja. “Siapa yang mau makan sore, Bu?”Imar menggaruk kepala bagian belakangnya. Memang terasa aneh, karena Safir tidak pernah bersikap seperti ini. Bila pria itu mau makan, Safir akan makan dengan mengambil semuanya seorang diri. Hanya jika ada Imar di dapur, barulah Safir minta untuk di siapkan segala sesuatunya. Namun, tidak demikian dengan sore ini. “Mas Safir sama Mbak Intan.”“Orang itu salah makan, apa, ya?” Intan keluar dan menutup pintu kamarnya. Ia berjalan bersama I
“Gimana kandungan Intan, Fir?” Setelah bertanya, Retno menyuapkan makanan ke mulutnya dan mengunyah dengan perlahan. Karena acara kunjungan dengan Ario selesai lebih awal, maka mereka memutuskan untuk mengajak kedua putranya makan siang di restoran yang berada tidak jauh dari kantor.“Nanti malam mau periksa lagi.” Setiap memikirkan Intan, atau membicarakan gadis itu, Safir selalu saja menjadi gusar. Sampai detik ini, Safir juga tidak bisa memberi jawaban pasti, mengenai hubungan mereka sebenarnya.Safir masih terlampau kesal pada Intan, karena telah bersikap ceroboh. Safir yang belum siap memiliki anak, akhirnya harus terjebak dalam pernikahan yang juga tidak diinginkannya. Mungkin, jika wanita yang ceroboh dan hamil itu adalah Biya, sikap Safir pastinya tidak akan seperti ini karena wanita itu berasal dari status sosial yang sama.Sementara Intan? Selain fisiknya yang tidak bisa terelakkan, di luar itu Intan bukanlah gadis impian Safir sama sekali.Kali ini, Safir benar-benar kena b
Berdamai? Intan skeptis jika harus memikirkan hal tersebut. Bukan Intan yang tidak mau berdamai, tetapi, Safir masih saja bersikap tidak menyenangkan, meskipun pria itu sempat memberi perhatian kepadanya. Perasaan Intan sampai terombang ambing tidak jelas, karena tidak bisa menentukan sikap. “Kenapa belum tidur?” Bak ketahuan sedang melakukan kesalahan, Intan segera meletakkan ponselnya begitu saja di tempat tidur. Safir yang masuk kamar tanpa mengetuk, jelas membuat jantung Intan sontak berdetak tidak karuan. “Ketok pintu dulu, Mas.” “Buat apa?” Safir mematikan lampu kamar, lalu berbaring di samping Intan. Karena titah dari Retno, akhirnya Safir malam ini kembali tidur satu kamar dengan Intan. “Rumah ini, rumahku. Jadi terserah aku.” Intan yang masih duduk bersandar pada kepala ranjang, dengan cepat meletakkan guling di tengah tempat tidur. Selama Safir tidak memberinya kejelasan apa pun, Intan akan tetap memasang pembatas di antara mereka. “Buruan tidur,” titah Safir melihat In
Seperti mimpi. Intan tidak pernah menduga, jika ia akan kembali menyatukan bibirnya dengan Safir. Begitu manis dan penuh kelembutan. Sama seperti dahulu kala, ketika badai belum menghampiri hubungan mereka berdua.Tidak hanya bibir, tetapi tangan Safir mulai menyentuh kulit Intan dengan perlahan dan pasti.“Mas …” Sejenak, Intan tidak membalas ciuman Safir yang terasa semakin panas. Napasnya memburu, dengan debaran jantung yang berdegup kencang. Sekali lagi, ini semua seperti mimpi. “I-ini, ruang tamu.”Mendengar hal tersebut, Safir langsung tersadar dan mengumpat. Semuanya sudah begitu pas dan mendukung, tetapi ucapan Intan langsung membuyarkan semuanya. Namun, kepala Safir sudah terlanjur pening, dan ada sesuatu yang juga sudah bergejolak di bawah sana. Di saat seperti ini, mana mungkin Safir bisa menghentikan kegiatan mereka yang semakin memanas itu?“Kita pindah.” Safir beranjak dari sofa terlebih dahulu, sejurus itu ia segera mengangkat tubuh Intan tanpa membutuhkan effort yang b