Share

BAB 6 Hari Pertama

“Eunghh.” Suara desahan terdengar di telinga Aca.

Wanita itu sekarang sedang berada di dalam toilet perusahaan.

“Sayang, eunghhh....” Lagi-lagi suara desahan terdengar, membuat Aca jadi bergidik ngeri mendengarnya.

Apakah telinga Aca tidak salah dengar? Kenapa bisa mereka berdua melakukan hal tidak senonoh itu di dalam toilet perusahaan.

“Jangan berhenti, ehmmmeh.” Suaranya semakin berani.

Aca dengan cepat keluar dari dalam toilet.

“Gila, enggak ngotak! Berani-beraninya melakukan hal seperti itu di tempat umum!” Ucap Aca kesal.

Ini adalah hari pertama Aca bekerja, tapi dia sudah mendapatkan hal yang tidak menyenangkan.

Mawar melihat Aca yang sedang berjalan dengan ekspresi kesal. Dengan cepat ia menghampiri Aca.

“Kamu kenapa, Ca?” Mawar bertanya dengan lembut.

Aca tersenyum kikuk, dia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Gimana jelasinnya ya.” Ucap Aca kebingungan.

“Kenapa, Ca?” Mawar sangat penasaran dengan sesuatu yang sedang disembunyikan oleh Aca.

“Tadi aku dengar suara desahan di dalam toilet.” Aca menjawab sambil menutup wajahnya. Kedua pipi Aca merah merona karena malu.

“HAHAHA!” Mawar tertawa.

“Kok ketawa sih?” Tanya Aca kesal.

“Soalnya kamu lucu. Asal kamu tahu, Ca. Di sini, hal seperti itu sudah lumrah.” Mawar menjelaskan kepada Aca.

Mata Aca melotot mendengar ucapan Mawar yang tidak masuk akal. Kenapa bisa hal seperti itu dianggap lumrah.

“Beneran?” Aca tidak percaya dengan Mawar.

“Iya, Ca.”

Aca menghela napas panjang. “Kehidupanku sepertinya sebentar lagi akan penuh dengan bencana.”

“Jangan ngomong gitu, Ca, enggak baik!” Mawar memperingati Aca yang sudah berkata tidak benar.

“Huft! Semua ini hal baru bagi aku, Mawar. Seandainya Papaku enggak di bunuh, pasti dia masih hidup sampai sekarang. Aku enggak perlu kerja begini.” Aca mengeluh. Wanita itu lelah dengan keadaannya.

“Ca, maaf ya sebelumnya, mungkin karena kamu dari kecil udah terlahir kaya. Dari kecil kamu udah dikasih enak. Setelah semuanya berubah, kamu jadi kaget, kamu enggak terbiasa melakukan hal seperti ini. Kamu harus bersyukur, Ca.” Ucap Mawar menasehati sahabatnya.

“Sorry, War. Aku enggak seharusnya mengeluh begini. Benar ucapanmu itu, semua ini karena dari awal aku sudah hidup enak dan bahagia. Setelah berubah, aku jadi tidak terbiasa.” Aca menangis. Wanita itu masih merindukan Ayahnya.

Mawar memeluk Aca erat, Dia tahu jika Aca sedang tidak baik-baik saja.

“Makasih banyak, War. Sekarang aku sudah tenang.” Aca melepas pelukan Mawar.

“Maaf ya, Ca. Aku enggak mengerti perasaan kamu.” Kata Mawar jadi ikut bersedih.

“Enggak apa-apa.” Jawab Aca.

“Tapi ngomong-ngomong, jam segini siapa yang lagi main di toilet sih.” Mawar berkacak pinggang. “Berani-beraninya dia menodai telinga Aca.” Ucap Mawar.

Aca tertawa karena ucapan Mawar. Dia harus berusaha melupakan semuanya. Dia harus bisa menerima semuanya.

Dua orang wanita tiba-tiba keluar dari dalam toilet. Pakainya sudah compang-camping tidak keruan. Pipi keduanya memerah seperti kepiting rebus yang sudah matang. Aca dan Mawar sama-sama saling pandang.

“Itu enggak salah?” Aca berbisik pelan di telinga Mawar.

“Aku enggak tau.” Jawab Mawar sambil menengadahkan bahunya.

“Tunggu, itu beneran?” Tanya Aca lagi. Wanita itu tidak percaya dengan apa yang barusan mereka lihat.

“Itu perempuan semua loh!” Ucap Aca sambil memicingkan matanya.

“Aku juga enggak nyangka, Ca.” Mawar memegang tembok dan berusaha fokus.

Mawar langsung menarik tangan Aca agar segera menjauh dari toilet.

“Udah, Ca, kita pergi dari sini.” Ucap Mawar dengan napas yang ngos-ngosan.

“War, aku baru tau, kalau pemilik perusahaan Raffles Madrasi itu orang yang beli rumahku tempo lalu.” Aca berbicara sambil memposisikan dirinya duduk di kantin perusahaan.

“Masa sih?” Tanya Mawar tidak percaya.

“Iya! Aku juga kaget saat tahu, Pak Andrew adalah pemilik perusahaan ini.”

“Kebetulan sekali, Ca. Untung saja yang menginterview kamu bukan Bu Raisa.” Ucap Mawar sambil menatap langit-langit.

“Siapa Bu Raisa?” Tanya Aca tidak tahu.

“Dia tunangan Pak Andrew.” Jawab Mawar.

“Ah, aku tahu. Mungkin dia wanita yang waktu itu mengusirku dari rumah.” Kata Aca sambil mengingat-ingat kejadian di saat Andrew dan Raisa membeli rumahnya.

Aca dan Mawar kembali ke dalam perusahaan. Mereka berdua tidak tahu, jika sedari radiada orang yang mendengarkan ucapan mereka.

“Bu Aca, anda dipanggil oleh Pak Daren untuk ke ruangannya sekarang juga.” Kata seorang resepsionis kepada Aca.

“Hah, ngapain?” Tanya Mawar kaget.

“Saya juga kurang paham.” Jawab sang resepsionis.

“Hati-hati, Ca. Mau aku temani?” Tanya Mawar kepada Aca.

“Enggak usah, War. Biar aku kesana sendiri.” Aca tersenyum untuk memperlihatkan bahwa dirinya baik-baik saja.

Aca berjalan menuju ruangan Daren. Sebenarnya dia tidak tahu mana ruangan milik Daren.

Setelah sampai, dia bingung di mana letak ruangan Daren. Tidak ada satupun orang di depan ruangan para bos itu.

“Waduh, pintu sebelah mana yang harus aku buka?” Aca merasa frustasi. Kenapa dia tidak bertanya kepada Mawar di mana ruangan milik Daren.

Dengan cepat Aca membuka pintu sebelah kiri. Ia kira akan ada Daren di dalamnya, ternyata kosong, tidak ada siapa-siapa.

“Hallo, apa ada orang?” Tanya Aca di dalam ruangan yang entah milik siapa.

“Cari siapa?” Aca terperangah saat melihat Andrew yang hanya mengenakan handuk kecil di pinggangnya. Badannya yang kotak-kotak itu membuat napas Aca naik turun.

“Maaf, sepertinya saya salah ruangan.” Ucap Aca. Wanita itu menutup matanya dengan erat.

“Kamu Aca kan?” Tanya Andrew sambil tersenyum lebar.

“Iya, maaf Pak Andrew, saya permisi.” Aca ingin segera pergi, tapi tiba-tiba Andrew mengunci pintu ruangannya.

“Makanya, jangan salah masuk kandang orang.” Andrew tertawa kencang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status