Raline sudah sangat yakin jika Gara pasti akan langsung mundur. Belum apa-apa saja, kedua orangtuanya sudah terang-teranagan menunjukkan ketidak tertarikan mereka pada Gara, karena sudah ada Lucas yang lebih mereka restui bersama Raline. Walau Raline pun tidak akan menerima Lucas, tetapi setidaknya itu akan membuat Raline bebas dari Gara setelah ini. Soal Lucas, bisa ia pikirkan lagi lain waktu.
“Saya tahu kok, Om. Raline juga sudah bercerita pada saya, kalau dia dijodohkan dengan anak sahabat ibunya,” ucap Gara. Raline mengangguk membenarkan.“Dan kamu masih melanjutkan hubungan kalian meski tahu kamu dan Raline tidak akan bisa bersama?” heran Pak Edi.Gara tersenyum penuh arti. “Soalnya saya juga tahu, kalau Raline tidak setuju dengan perjodohan itu. Dan saya pun tidak mau menyerah begitu saja, melihat masih adanya peluang untuk saya dan Raline bisa bersama.”Pak Edi berdehem kaku. Sedangkan Bu Arum mulai menyapukan pandangannya ke segala penjuru ruangan, ke mana saja asal netranya tak bersitatap dengan manik hitam legam milik Gara. “Ah iya. Nak Gara mau minum apa? Biar Tante buatkan,” tawar Bu Arum, berniat untuk secepatnya kabur dari ruang tamu.“Tidak usah, Tante. Saya lebih membutuhkan Tante untuk ikut mengobrol di sini, dibanding segelas minuman. Sebab, saya juga ingin mengenal kedua orangtua kekasih saya dengan lebih baik,” tolak Gara.“Pak Gara, apa nggak sebaiknya Bapak pulang aja? Kasihan loh Cinta. Gimana kalau nanti dia bangun terus nyariin Bapak?” bujuk Raline. Ia hanya ingin Gara segera pergi dari rumahnya, sebelum pria itu membahas hal yang lebih serius dengan kedua orangtuanya.“Pasti dia akan mengerti. Dia bukan anak yang rewel kok,” balas Gara.‘Dasar, pria tidak peka!’ umpat Raline dalam hati.Kembali ke percakapan serius antara Gara dengan kedua orangtua Raline. Setelah terdiam cukup lama, Pak Edi pun mulai kembali bersuara. “Begini, Nak Gara. Bukan kami tidak menyukaimu. Hanya saja, perjodohan Raline dengan Lucas sudah terjadi sebelum kamu datang. Dan kami tidak bisa membatalkannya begitu saja hanya karena kedatangan kamu yang tiba-tiba seperti ini.”“Jadi, meski Om dan Tante tahu jika Raline tidak suka pada pria itu, kalian tetap akan memaksa Raline menikah dengannya?” tanya Gara.“Raline hanya belum. Tapi Nak Lucas adalah anak yang baik. Jadi Tante rasa, hanya butuh waktu bagi Raline untuk bisa menerima Lucas menjadi calon suaminya. Apalagi, umur Raline sudah tidak muda lagi. Bukan saatnya bagi dia untuk main-main soal cinta,” sambung Bu Arum.“Oh, jadi ini juga soal Om dan Tante yang ingin Raline segera menikah, dan tidak sekadar bermain-main?” tanya Gara, yang diangguki kedua orangtua Raline.Melihat reaksi kedua orangtuanya, Raline hanya menghela napas panjang. Ia sudah tahu ke arah mana pemikiran kedua orangtuanya itu. Meski sudah ratusan kali Raline jelaskan jika ia memang masih ingin sendiri, tetapi kenyataannya kedua orangtuanya itu masih saja mendesaknya untuk segera menikah. Memang, salah satu alasan terbesar Raline dijodohkan adalah karena Raline masih tampak melajang di usianya yang sudah matang. Padahal, Raline memutuskan untuk sendiri karena memang ia masih ingin menikmati kehidupan masa mudanya.Gara terdiam, tampak seperti merenung sebentar, sebelum akhirnya mendongak agar bisa bersitatap dengan manik sendu Raline yang memasang raut memelas. Gara seakan bisa merasakan kesedihan dari pancaran mata gadis itu. Amat jelas terlihat jikaa Raline tidak sependapat dengan kedua orangtuanya. Ia sangat tidak setuju dengan perjodohan itu.Dan tiba-tiba saja, bayangan senyum cerah Cinta siang tadi kembali masuk ke dalam ingatan Gara. Belum pernah ia melihat putri kesayangannya itu sebahagia saat bersama Raline tadi, bahkan meski semua keinginannya telah Gara turuti. Bisa dibilang, mungkin Raline lah kunci kebahagiaan Cinta – sesuatu yang Cinta butuhkan agar gadis kecil itu bisa tumbuh dengan riang layaknya anak seusianya yang lain.Gara berdehem, membuat atensi Raline beralih padanya. Ia mendadak gugup saat menyadari tatapan Gara yang begitu dalam terarah padanya.“Usia saya saat ini 33 tahun, dan saya menjabat sebagai wakil direktur perencanaan di salah satu cabang Mahawira Group yang merupakan milik keluarga saya. Secara finansial dan usia, saya sudah cukup mapan. Saya juga pernah berumah tangga, dan semua berjalan baik-baik saja. Saya juga berhasil membesarkan putri saya seorang diri hingga kini usianya menginjak 6 tahun,” ungkap Gara, membuat tiga orang di hadapannya mengerutkan keningnya. Mereka sama-sama bingung kenapa tiba-tiba Gara menjelaskan begitu banyak tentang dirinya tanpa ada yang meminta.“Pak-““Iya, lalu?” Pak Edi memotong ucapan putrinya.“Dengan keadaan saya yang seperti ini, saya rasa saya sudah lebih dari mampu untuk membahagiakan Raline, lebih dari yang pria bernama Lucas itu berikan. Jadi, apa Om dan Tante masih akan melepaskan saya begitu saja, dan membiarkan Raline dengan lelaki yang tidak ia cintai itu?” tanya Gara, dengan nada seperti menantang.Raline tampak paling terkejut mendengar ucapan Gara itu. Ia langsung membulatkan matanya dan menatap Gara dengan penuh ancaman.“Pak, nggak usah bercanda!” protes Raline.“Saya yakin saya lebih mampu membahagiakan kamu dibandingkan dia,” balas Gara.Raline menggeleng kuat. Melihat kedua orangtuanya yang masih tak bereaksi, Raline pun segera menyeret tangan Gara keluar dari sana. Sempat terdengar panggilan dari sang ibu sekali, tetapai Raline mengabaikannya.“Raline, saya belum selesai bicara dengan kedua orangtua kamu,” protes Gara.“Kita juga perlu bicara! Empat mata, tanpa ada orangtua saya!” tegas Raline.Gara menghentikan langkahnya hingga mau tak mau Raline pun harus ikut berhenti. Ia memutar tubuhnya menghadap ke arah Gara dan menatapnya kesal. “Nggak bisa di sini. Nanti orangtua saya nyamperin.”“Ya sudah, kita keluar pakai mobil saya,” usul Gara. Raline tampak keberatan. Gara mengembuskan napas panjang, berusaha bersabar. “Lalu bagaimana? Kamu lebih suka saya ikut kamu berjalan tanpa tujuan sampai sekiranya orangtua kamu nggak bisa ngejar?”“Ya nggak gitu juga sih. Ya udah ayo! Tapi saya yang milih tempatnya,” putus Raline. Tentu, harus ia yang memilih tempatnya untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Misalnya, seperti Gara yang akan menculiknya, mungkin?Raline membawa Gara ke sebuah danau yang cukup ramai. Gara pun segera menepikan mobilnya sesuai intruksi Raline. Namun, saat Gara ingin keluar, Raline menahannya. “Kita bicara di sini saja! Di luar cukup ramai dan saya nggak mau ada yang dengar obrolan kita.”“Di sini?” tanya Gara ragu. Raline mengangguk mantab.“Baik. Tunggu sebentar! Saya beli minum buat kita dulu,” pamit Gara. Pria itu buru-buru keluar, menghampiri seorang pedagang minuman dingin dan membeli dua botol untuk dirinya dan Raline. Beberapa menit kemudian, ia kembali dan menyodorkan salah satu botol miliknya untuk Raline.“Makasih. Nanti uangnya saya ganti,” ungkap Raline.Gara terkekeh mendengarnya. “Nggak perlu. Mungkin sebaliknya saya akan minta tolong kamu buat gantian traktir Cinta saja. Dia pasti akan sangat senang,” balas Gara.Raline berusaha mengabaikannya, karena ia ingin lebih dulu membasahi tenggorokannya yang terasa sangat kering. Keduanya sama-sama terdiam selama hampir lima menit, seolah berpikir harus dari mana pembicaraan itu dimulai. Hingga akhirnya, suara Raline sudah lebih dulu terdengar, dan Gara pun menyimak dengan raut wajah sabarnya.“Pak, saya rasa apa yang Anda ucapkan di depan orangtua saya tadi sudah agak berlebihan deh. Anda nggak perlu mengatakan hal seperti itu. Saya takut mereka justru akan berharap lebih nantinya,” ungkap Raline.“Di mana letak kesalahan ucapan saya?” bingung Gara. Raline mendengus kesal. Padahal ia sudah berusaha untuk mengatakannya sejelas mungkin, kan? Lagi pula, bisa-bisanya Gara tidak menyadari kesalahannya.“Soal Anda yang bilang ingin membahagiakan saya. Kesannya Anda seperti mau menikahi saya. Dan saya yakin, orangtua saya pun pasti akan beranggapan demikian. Saya rasa itu hanya akan membuat mereka berharap berlebihan dan-““Tapi Raline, bagaimana kalau saya serius?” tanya Gara.“Hah?!”“Iya. Bagaimana kalau saya memang berniat menjalin hubungan yang lebih serius dengan kamu? Bagaimana kalau kita langsung menikah saja? Dengan begitu, perjodohan kamu dengan pria bernama Lucas itu juga pasti akan gagal, kan?” usul Gara, yang membuat Raline langsung bungkam dan kehabisan kata-kata.Bagaimana ada lelaki yang bisa semudah itu mengatakan soal pernikahan? Apa Gara pikir pernikahan adalah sesuatu yang main-main? Bahkan, mereka saja baru bertemu hari ini. Dan sejak awal, Raline hanya meminta Gara untuk menjadi pacar pura-puranya agar orangtuanya berhenti mendesaknya untuk menikah dengan Lucas. Namun, kenapa sekarang justru Gara yang tiba-tiba mengajak Raline untuk benar-benar menjalin hubungan seserius itu?Tawa Raline pecah saat ia teringat kembali ucapan Gara beberapa detik yang lalu. Tentu. Pria itu pasti hanya bercanda, kan? Tidak mungkin ada orang yang bisa memutuskan soal pernikahan secepat itu. “Kamu tertawa?” bingung Gara. “Ya iya lah, Pak. Habisnya bercanda Bapak lucu banget. Saya sampai sudah mau percaya loh, Pak. Untung saya masih waras, jadi-“ “Tapi saya serius, Raline. Saya mau menikahi kamu,” potong Gara, membuat tawa Raline terhenti seketika. “Bapak ini nggak bisa serius sedikit, ya? Saya nggak lagi ngajakin Bapak bercanda loh. Saya jauh-jauh bawa Bapak ke sini buat jelasin ke Bapak kalau nggak seharusnya Bapak bicara seperti itu pada orangtua saya. Gini deh. Pokoknya habis ini, Bapak ngantar saya pulang, lalu habis itu kita nggak usah ketemu lagi! Bapak lupain aja kalau Bapak pernah bertemu orang seperti saya dan saya pun akan melakukan hal yang sama. Lupakan saja permintaan bodoh saya sebelumnya. Saya sudah sadar kok kalau itu salah, dan saya bis acari jalan lain bua
Raline mengetukkan jarinya berkali-kali di atas meja. Gelas minuman dinginnya sudah mengembun sejak tadi, tapi isinya belum juga berkurang sedikit pun. Tampak sekali jika gadis itu sedang sangat gugup sekarang. Dan pria di hadapannya masih terdiam, membiarkan Raline hingga gadis itu siap untuk bicara. “Anda nggak punya kerjaan apa? Katanya punya jabatan tinggi di perusahaan. Kok mau-maunya aja saya ajak ketemu di sini?” tanya Raline. Gadis itu terlalu bingung untuk mengutarakan maksud kedatangannya, sehingga ia pun tiba-tiba saja mengatakan hal se-random itu. Gara – pria yang ada di hadapan Raline itu berdehem. “Karena saya pikir kamu akan mengatakan sesuatu yang penting. Lagi pula, kebetulan juga sebentar lagi jam pulang Cinta. Saya sekalian mau jemput dia.” Raline mengangguk-anggukkan kepalanya. Baiklah, sekarang ia tidak punya bahan bahasan yang lain lagi. Suasana canggung pun kembali terjadi selama beberapa saat. “Jadi, kamu mau bicara apa? Kalau kamu masih ragu untuk mengatak
Raline membalas pelukan erat Cinta yang kini berada di atas pangkuannya. Anak itu tampaknya mulai mengantuk. Intensitas obrolan di antara mereka sudah semakin berkurang, begitu pun gerakan-gerakan kecil pada jemari Cinta. “Cinta, jangan tidur dulu ya, sayang! Kamu kan belum makan siang,” ujar Gara, sambil sesekali melirik ke arah putrinya. “Sudahlah, Pak. Lagian kayaknya Cinta ngantuk banget. Dia pasti juga capek, habis main sama teman-temannya.” Raline menengahi. Cinta segera menegakkan tubuhnya, menatap wajah Raline yang ada di hadapannya. Anak itu tampak memaksakan matanya agar terus terbuka, membuat Raline yang menyadari hal itu menyeritkan alisnya. “Kenapa?” “Nggak. Cinta nggak ngantuk kok, Ma, Pa. Cinta nggak mau ketiduran lagi. Cinta nggak mau kayak waktu itu, saat Cinta bangun, tiba-tiba Mama udah nggak ada. Kali ini Cinta nggak akan tidur lagi, biar Cinta bisa selalu jagain Mama,” terang Cinta, sambil kembali memeluk Raline dengan begitu erat. “Tapi kamu kelihatan ngantu
Gara menekan tombol loadspeaker agar percakapannya dengan lawan bicaranya dapat didengar pula oleh Raline. “Saya Gara, calon suaminya Raline,” jawab Gara santai. Sepertinya, orang di seberang sana itu baru saja bertanya siapa Gara. ‘Calon suami? Jangan bercanda! Tolong berikan teleponnya pada Raline! Saya ingin bicara dengannya.’ Raline hendak merebut ponselnya dari Gara. Namun, pria itu segera menjauhkan benda pipih tersebut dari jangkauan Raline. “Saya bukan seorang pelawak, dan saya juga tidak suka bercanda. Bisa kamu katakan saja apa yang ingin kamu sampaikan pada Raline? Kebetulan dia ada di sebelah saya sekarang,” ujar Gara. “Pak, jangan main-main! Siniin teleponnya!” pinta Raline. Namun Gara masih tidak mengindahkannya. ‘Sebenarnya siapa kamu? Kenapa lancang sekali mengaku sebagai calon suami Raline? Apa kamu tidak tahu siapa saya?’ “Apa itu penting?” balas Gara dengan nada meremehkan. “Lucas, kamu matiin aja teleponnya! Nanti kita bicara lagi saat-“ “Katakan saja apa
Raline mencengkram erat seatbelt yang ia kenakan. Mulutnya terkatup rapat bahkan ketika pria di sampingnya sudah keluar dari mobil. Raline sedikit terkejut. Pupil matanya membesar saat mengetahui pintu di sampingnya sudah terbuka dari luar. “Ayo cepat keluar!” ajak orang tersebut – Gara. Raline menggeleng ribut. Ia tidak mau. Ia bahkan sudah menolaknya sejak mereka masih dalam perjalanan tadi. Namun, lihatlah sekarang! Gara tetap keras kepala membawa Raline ke sebuah rumah mewah yang didominasi cat putih dan cokelat, tetapi bukan rumah Gara yang sudah beberapa kali Raline kunjungi. “Cepat, Raline! Mama saya sudah menunggu,” ucap Gara. Raline mendelik sebal. “Bapak udah ngomong ke orangtua Bapak kalau Bapak ngajak saya ke sini?” “Sudah. Kebetulan Papa juga lagi libur ngantor. Maka dari itu saya langsung ajak kamu ke sini. Oh iya, stop panggil saya ‘Bapak’!” tegas Gara. “Lah terus saya manggil apa dong? Kan memang Bapak lebih tua dari saya,” bingung Raline. “’Mas’.” “Hah?” “Kam
Usai makan malam, Cinta segera dibawa pergi oleh salah seorang asisten rumah tangga, menyisakan empat orang dewasa yang masih di sana. Hal itu membuat Raline merasa gugup bukan main. Bahkan, ia sempat berpura-pura bodoh dengan menyetujui ajakan Cinta untuk bermain dengan anak itu, sebelum suara Pak Naga menginterupsinya. “Apa rencana kalian ke depanna?” tanya Pak Naga, langsung pada intinya. “Gara mau membawa Raline ke jenjang yang serius. Gara ingin Mama dan Papa melamarkan Raline untuk Gara,” jawab Gara dengan tenang, berbeda dengan Raline yang kini sedang meremat pakaiannya dengan tangan yang sedikit bergetar. “Kamu sudah bicara dengan kedua orangtua Raline? Mereka setuju? Karena Papa rasa, mungkin tidak akan mudah buat kamu meyakinkan mereka, mengingat statusmu yang sudah pernah berumah tangga. Apalagi kamu sudah punya Cinta, sedangkan Raline masih muda,” terang Pak Naga. Raline otomatis membenarkan dengan menganggukkan kepalanya. Karena memang, menurutnya itulah salah satu al
Raline seketika gugup dan kembali bimbang meski kini ia sudah berada di depan sekolah Cinta. Seperti janjinya kemarin, ia ingin menjemput dan mengajak Cinta makan siang berdua dengannya. Hanya saja, ia masih bingung dengan langkah apa yang akan ia ambil setelah ini. Karena biar bagaimana pun juga ucapan kedua orangtuanya semalam memberikan pengaruh yang cukup besar bagi pikirannya.“Mama! Bu Ayu, itu mamanya Cinta!” seru seorang gadis cilik dengan rambut kucir kuda yang sangat lucu.Melihat anak itu berlarian ke arahnya diikuti oleh salah seorang guru, senyum Raline pun otomatis tersungging. Gadis itu bersimpuh dan langsung menerima pelukan erat dari Cinta.“Cinta seneng banget Mama menepati janji Mama buat jemput Cinta. Cinta udah kangen banget sama Mama,” ujar Cinta, yang membuat Raline terkekeh.“Baru juga kemarin kita bertemu,” balasnya.Cinta segera mengurai pelukannya agar ia bisa memandangi wajah Raline sepuas hatinya. “Kalau bisa, Cinta maunya sama Mama terus. Nggak mau pisah
“Sudah susah-susah saya selalu berusaha meyakinkan kamu, kamu masih saja sering ragu?” ketus Gara, begitu ia mendengar penjelasan dari Raline, tentang kenapa gadis itu kembali bersikap aneh sebelumnya.“Ya maaf. Lagian kan wajar, saya sebagai perempuan yang latar belakangnya terlalu bias aini ragu buat nerusin hubungan sama orang kayak Mas,” balas Raline.“Memang dari yang kamu lihat, baik saya maupun orangtua saya, peduli dengan apa yang kamu takutkan tadi?” Raline menggelengkan kepalanya.“Namanya juga takut, Mas. Dan lagi, masalah utamanya bukan itu sekarang. Tapi Bunda dan Ayah. Gimana cara Mas mau meyakinkan mereka? Saya aja tiap ngobrol sama mereka, pasti saya yang kalah. Pasti saya yang akhirnya jadi bimbang lagi,” terang Raline.“Posisi kamu sesulit itu, tapi kamu masih saja sering menghalang-halangi saya untuk bicara dengan kedua orangtua kamu,” balas Gara yang membuat Raline kembali meminta maaf.“Hhhh … sudahlah. Biar kali ini saya yang pikirkan jalan keluarnya. Kamu hanya
Raline berencana bangun lebih pagi. Saking kepikirannya, ia bahkan sampai tidak bisa benar-benar lelap dalam tidurnya. Tidur Raline mudah terusik. Begitu pun saat ia merasakan gerakan kecil dari sampingnya. Sebuah tangan terasa mendekapnya begitu erat selama beberapa detik, sebelum terlepas dan berganti menyentuh bagian-bagian wajah Raline. Saat Raline membuka matanya, hal pertama yang ia lihat adalah senyum Cinta. Gadis kecil itu masih tampak pucat, meski sudah tidak sepucat kemarin. Namun, ada yang aneh dengan gadis cilik itu. "Mama sudah bangun? Cinta gangguin Mama, ya? Maaf, ya, Ma," ungkap Cinta sambil kembali mendekap Raline. Saat Cinta kembali memeluknya, Raline merasa semakin yakin jika ada yang tidak beres dengan anak sambungnya itu. Raline segera mengurai pelukan Cinta dan memeriksanya. Ia tempelkan punggung tangannya ke kening Cinta. Dan benar saja ... "Cinta, kamu demam?" heboh Raline. Ia langsung menarik dirinya paksa untuk duduk. Ia memastikan sekali lagi suhu keni
Untuk mengusir rasa bosan, Raline membantu asisten rumah tangganya menyiapkan makan malam. Ia juga ikut menatanya di atas meja makan. Hingga saat Raline terlalu fokus dengan barang bawaannya, ia nyaris saja bertabrakan dengan seselorang. Raline mendongak lalu mundur satu langkah saat melihat kuah semur yang ia bawa nyaris saja mengenai Gara. Andai itu terjadi, Raline yakin, masalahnya dengan Gara pasti akan menjadi semakin runyam. "Ah iya. Ini makan malamnya sudah siap. Mas tunggu di meja makan saja! Oh iya. Cinta mana?" Gadis itu berusaha bersikap biasa saja. "Cinta di kamar. Aku ke sini cuma mau ambilin makan dan obat buat dia,'' jawab Gara seperlunya. Melihat Raline yang terlalu lama mengambilkan apa yang Gara buruhkan, lelaki itu pun segera mengambil inisiatif untuk mengambil alih makanan yang Raline pegang. "Mas, tunggu! Lebih baik Mas makan saja. Biar makanan dan obat Cinta aku yang urus," Raline dengan begitu tulus. "Tidak perlu. Aku masih bisa mengurusnya sendiri kok,"
Tiga hari berlalu pasca pernikahan Raline dengan Gara. Namun, semua masih terasa sama. Gara masih terkesan dingin pada Raline. Bahkan Raline merasa seolah Gara enggan menganggap keberadaannya. Saat ini, Raline masih mengerjakan tugas-tugas kantornya. Pekerjaannya cukup banyak karena memang kesibukan Gara di kantor sedang meningkat. Namun, waktu menunjukkan pukul setengah empat sore. Yang artinya sudah akan memasuki jam pulang kantor. "Tinggalkan saja pekerjaannya! Prioritas kamu sekarang kan ngurusin Cinta," ucap Gara. "Iya, sebentar lagi ini selesai kok. Lagi bantu merapikan bahan meeting besok soalnya," balas Raline. "Tinggal saja! Nanti Cinta nyariin," Gara memaksa. "Sebentar. Paling lima belas sampai dua puluh menit lagi selesai kok." Dan Raline masih kekeuh ingin menyelesaikan pekerjaannya dulu. Saking fokusnya Raline pada pekerjaannya, gadis itu sampai tidak sadar jika bos sekaligus suaminya itu sudah beberapa kali menghela napas panjang. "Raline, kamu masih ingin bekerj
Pukul sembilan malam, Raline, Gara dan Cinta telah sampai di rumah. Beberapa kali Cinta mengucek matanya sambil menguap - menandakan jika anak itu sudah mengantuk. "Mama," panggil Cinta. "Ya, Cinta? Mau Mama yang nemenin kamu gosok gigi sama cuci muka?" tawar Raline. Cinta mengangguk dengan raut wajah yang sangat lucu. "Tapi Cinta juga mau tidur sama Mama, dikelonin Mama," pinta Cinta. Raline refleks menoleh ke arah Gara, seolah meminta persetujuan. Sebenarnya, Raline tidak keberatan tidur di mana saja malam ini. Entah bersama Gara atau pun Cinta, bagi Raline sama saja selagi ia masih bisa tidur untuk mengusir rasa lelahnya. Namun, biar bagaimana pun Gara adalah suaminya. Raline perlu meminta pendapat pria itu walau sekadar hanya untuk formalitas. "Ya udah sana! Cinta boleh tidur sama Mama. Tapi janji, ya, besok pagi jangan susah bangunnya!" pesan Gara. Raline tersenyum mendengarnya. Ia juga sebenarnya lebih senang jika ia tidur bersama Cinta. Karena rasanya pasti sangat cang
16. SAH! (Hari Pernikahan)Raline menghela napas panjang berkali-kali. Ternyata benar. Semakin mendekati hari pernikahan, maka ujian yang datang akan semakin berat. Hari itu telah tiba, dan Raline tak bisa menghindarinya. Pagi ini, ia sudah didandani sedemikian rupa untuk acara pesta pernikahannya. "Mama cantik banget!" seru Cinta yang baru saja datang. Anak itu mengenakan pakaian berwarna pink pastel yang cantik. Cinta sendiri yang memilih model tersebut saat mereka datang ke butik Bu Almira. "Anak Mama juga cantik. Yang ngehias rambutnya siapa, sayang?" tanya Raline melihat rambut anak tirinya yang sudah ditata bak seorang princess negeri dongeng. "Oma," jawab Cinta dengan senyum lebar di bibirnya. Tak lama, Bu Almira muncul. Dia memberitahukan jika pestanya akan segera dimulai sebentar lagi. Maka dari itu, dia datang untuk menjemput Raline dan Cinta. Sebelumnya, Raline sudah berpesan agar pesta pernikahan dilangsungkan secara sederhana saja. Sebab ia bukanlah tipe orang yang
Raline sering uring-uringan akhir-akhir ini. Sebab, ia tidak menyangka jika keluarganya dan Gara akan merencanakan pernikahan secepat ini. Raline pikir, pernikahan mereka mungkin akan digelar setidaknya enam bulan lagi. Namun, ternyata jauh dari itu – Gara meminta pernikahan mereka dilaksanakan dua bulan lagi, dan gilanya hal itu disetujui oleh semua orang kecuali Raline. Tentu, Raline kalah suara. Akhirnya ia pun hanya bisa pasrah menerima keputusan itu.Tidak banyak yang berubah dengan hubungan Raline dan Gara selama satu setengah bulan terakhir. Gara masih sibuk dengan urusan kantor sekaligus sesekali meluangkan waktunya untuk menyiapkan pernikahannya dengan Raline. Sedangkan Raline masih berusaha menyesuaikan diri dengan kesibukan barunya sebagai ‘pengasuh’ Cinta sekaligus pekerja kantoran.Waktu menunjukkan pukul dua siang. Raline masih setia menunggu Gara di ruang kerjanya. Pria itu belum kembali juga sejak jam makan siang tadi. Yang Raline tahu, Gara pergi bersama sekretarisnya
Satu hari setelah kedatangan Gara ke rumah Raline, Raline diizinkan pulang cepat. Pukul tiga sore ia sudah sampai rumah setelah diantar oleh sopir Gara. Gara menugaskan Raline untuk bersiap sebelum Gara menjemputnya dan kedua orangtuanya jam enam petang nanti.Setibanya di rumah, Raline langsung membuka bingkisan yang Gara titipkan melalui sopir. Dan ternyata isinya adalah sebuah gaun yang elegan – yang Raline yakini memiliki harga cukup fantastis.“Loh, ini kan brand-nya Tante Almira,” gumam Raline saat melihat label pada gaun berwarna olive itu.Baru saja Raline akan mencoba gaun itu, suara ketukan pintu mengalihkan perhatiannya. Tanpa bertanya pun ia tahu siapa yang mengetuk pintu kamarnya. Sebab, di rumah ini hanya ada dirinya dan sang bunda.“Masuk aja, Bun!” seru Raline.Tak lama berselang, sosok Bu Arum tampak memasuki kamar putrinya. Tatapan Bu Arum langsung tertuju pada kain berwarna olive di tangan Raline, juga paper bag yang ada di dekat putri tunggalnya itu.“Itu dari Nak
“Sudah susah-susah saya selalu berusaha meyakinkan kamu, kamu masih saja sering ragu?” ketus Gara, begitu ia mendengar penjelasan dari Raline, tentang kenapa gadis itu kembali bersikap aneh sebelumnya.“Ya maaf. Lagian kan wajar, saya sebagai perempuan yang latar belakangnya terlalu bias aini ragu buat nerusin hubungan sama orang kayak Mas,” balas Raline.“Memang dari yang kamu lihat, baik saya maupun orangtua saya, peduli dengan apa yang kamu takutkan tadi?” Raline menggelengkan kepalanya.“Namanya juga takut, Mas. Dan lagi, masalah utamanya bukan itu sekarang. Tapi Bunda dan Ayah. Gimana cara Mas mau meyakinkan mereka? Saya aja tiap ngobrol sama mereka, pasti saya yang kalah. Pasti saya yang akhirnya jadi bimbang lagi,” terang Raline.“Posisi kamu sesulit itu, tapi kamu masih saja sering menghalang-halangi saya untuk bicara dengan kedua orangtua kamu,” balas Gara yang membuat Raline kembali meminta maaf.“Hhhh … sudahlah. Biar kali ini saya yang pikirkan jalan keluarnya. Kamu hanya
Raline seketika gugup dan kembali bimbang meski kini ia sudah berada di depan sekolah Cinta. Seperti janjinya kemarin, ia ingin menjemput dan mengajak Cinta makan siang berdua dengannya. Hanya saja, ia masih bingung dengan langkah apa yang akan ia ambil setelah ini. Karena biar bagaimana pun juga ucapan kedua orangtuanya semalam memberikan pengaruh yang cukup besar bagi pikirannya.“Mama! Bu Ayu, itu mamanya Cinta!” seru seorang gadis cilik dengan rambut kucir kuda yang sangat lucu.Melihat anak itu berlarian ke arahnya diikuti oleh salah seorang guru, senyum Raline pun otomatis tersungging. Gadis itu bersimpuh dan langsung menerima pelukan erat dari Cinta.“Cinta seneng banget Mama menepati janji Mama buat jemput Cinta. Cinta udah kangen banget sama Mama,” ujar Cinta, yang membuat Raline terkekeh.“Baru juga kemarin kita bertemu,” balasnya.Cinta segera mengurai pelukannya agar ia bisa memandangi wajah Raline sepuas hatinya. “Kalau bisa, Cinta maunya sama Mama terus. Nggak mau pisah