Tawa Raline pecah saat ia teringat kembali ucapan Gara beberapa detik yang lalu. Tentu. Pria itu pasti hanya bercanda, kan? Tidak mungkin ada orang yang bisa memutuskan soal pernikahan secepat itu.
“Kamu tertawa?” bingung Gara.“Ya iya lah, Pak. Habisnya bercanda Bapak lucu banget. Saya sampai sudah mau percaya loh, Pak. Untung saya masih waras, jadi-““Tapi saya serius, Raline. Saya mau menikahi kamu,” potong Gara, membuat tawa Raline terhenti seketika.“Bapak ini nggak bisa serius sedikit, ya? Saya nggak lagi ngajakin Bapak bercanda loh. Saya jauh-jauh bawa Bapak ke sini buat jelasin ke Bapak kalau nggak seharusnya Bapak bicara seperti itu pada orangtua saya. Gini deh. Pokoknya habis ini, Bapak ngantar saya pulang, lalu habis itu kita nggak usah ketemu lagi! Bapak lupain aja kalau Bapak pernah bertemu orang seperti saya dan saya pun akan melakukan hal yang sama. Lupakan saja permintaan bodoh saya sebelumnya. Saya sudah sadar kok kalau itu salah, dan saya bis acari jalan lain buat menghindari perjodohan itu,” terang Raline panjang lebar. Ia masih beranggapan jika Gara hanya bercanda.“Setelah kamu membuat anak saya tersenyum bahagia setelah sekian lama, kamu tega pergi begitu saja?” ujar Gara.Raline menatap manik mata pria di hadapannya. Dari pancaran mat aitu, Raline bisa melihat kekecewaan yang sangat besar di sana. Namun, kenapa? Mereka bahkan baru kenal satu hari. Seharusnya tidak sulit bagi Gara untuk melupakan jika ia pernah bertemu Raline, kan?“Kalau menurut Bapak itu salah saya, saya mohon maaf. Tapi-““Raline, menikahlah dengan saya! Kamu butuh saya untuk menghindari perjodohan itu, kan? Dan saya juga butuh kamu untuk membuat putri saya bahagia.” Lagi-lagi, Gara memotong ucapan Raline. Pria itu tetap kekeuh mengatakan jika ia serius ingin memperistri Raline. Dan tentunya, hal itu membuat Raline merasa bingung sekaligus kesal sekarang.“Bapak sudah gila, ya? Bisa-bisanya ngajak orang yang baru ketemu sehari buat nikah?” kesal Raline. Ia merasa Gara seolah sedang merendahkannya. Ingin sekali rasanya Raline menampar pria itu, jika ia sudah tak ingat sopan santun yang sudah ditanamkan kedua orangtuanya sejak ia kecil.“Mungkin menurut kamu ini tidak wajar. Tapi, sebagai seorang ayah tunggal, saya hanya ingin yang terbaik untuk putri saya. Dan selama enam tahun saya bersama Cinta, saya belum pernah melihatnya bahagia seperti saat ia bersamamu. Dia butuh figure seorang ibu, tapi selama ini dia sulit dekat dengan orang lain. Maka dari itu, saya sangat senang saat akhirnya dia mau dekat dan tersenyum saat bersama kamu. Saya berharap banyak sama kamu, Raline. Ini demi Cinta,” ucap Gara dengan nada lembut, seolah menunjukkan jika apa yang ia katakan berasal langsung dari hatinya yang terdalam.“Tapi nggak harus saya, kan, Pak? Kita baru aja kenal. Baru tadi siang. Saya bahkan belum tahu apa-apa soal Bapak. Bisa-bisanya Bapak ngajak saya nikah gitu aja?! Nggak! Saya nggak bisa!” tegas Raline.Raline menghela napas panjang guna menetralkan kembali emosinya, sebelum ia meluapkannya di depan pria yang lebih tua darinya itu. Ia masih ingin menjaga sopan santunnya mengingat sikap Gara yang juga terkesan baik padanya.“Tapi kenyataannya hanya kamu yang bisa membuat Cinta bahagia, Raline. Dan ingatlah, ini bukan hanya akan menguntungkan untuk saya dan Cinta. Tapi kamu juga. Yang perlu kamu lakukan hanya menjadi istri saya sekaligus ibu untuk Cinta. Saya juga janji nggak akan batasi kehidupan pribadi kamu,” desak Gara.Raline terdiam. Ia merenung cukup lama. Ia memang tidak mau menikah dengan Lucas. Namun, bukan berarti ia mau menikah dengan pria lain begitu saja. Pada dasarnya, Raline memang tidak siap untuk menikah. Ini bukan perkara soal siapa yang akan menjadi suaminya saja, tapi Raline memang belum siap terikat.“Bapak tahu, kan, apa yang menjadi alasan awal saya minta Bapak jadi pacar pura-pura saya? Itu karena saya nggak mau nikah secepat ini, Pak. Kalau urusan nikah, Bapak cari saja yang lain! Keputusan saya tetap sama. Saya tidak ingin menikah, apalagi sampai melahirkan anak. Saya sudah bahagia kok, dengan kehidupan saya yang seperti ini,” tegas Raline pada pria yang baru saja meminangnya itu.“Tapi, kalau kamu menolak pinangan saya, bisa saya pastikan ibu kamu akan kembali menjodohkanmu dengan pria bernama Lucas itu. Kamu yakin, akan lebih memilih untuk menikah dengannya, dibanding aku yang bisa kamu ajak membuat kesepakatan pra-nikah? Setidaknya saya lebih bisa kamu ajak bekerjasama dan bisa lebih memahami kamu yang tidak ingin hidup serba terkekang, dibanding pria lain yang pasti akan langsung menuntut haknya sebagai suami pada kamu,” terang Gara.Raline mengacak-acak rambutnya frustrasi. Ia benar-benar belum ingin menikah. Namun, Gara ada benarnya juga. Meskipun Raline tidak akan menikah dengan Gara, pada akhirnya orangtuanya pasti akan kembali memaksanya untuk segera menerima pinangan Lucas.“Pikirkan baik-baik, Raline! Saya tidak mau kamu terlalu terburu-buru dalam membuat keputusan. Saya bisa menunggu, tapi entah dengan kedua orangtua kamu dan juga pria bernama Lucas itu,” imbuh Gara, sebelum akhirnya kembali diam untuk memberi waktu bagi Raline untuk memikirkan keputusannya.***Raline kembali dengan wajah kusut yang langsung menarik perhatian ibunya. Namun, wanita paruh baya itu memilih untuk memberi waktu pada Raline, hingga anak gadisnya tersebut mau untuk mengatakannya sendiri. Beliau memilih berpura-pura tidak melihat, dan kembali melanjutkan pekerjaannya menyiapkan makan malam untuk keluarganya.Raline membanting tubuhnya dalam keadaan tengkurap di kamar. Bibirnya masih terkunci rapat. Suasana hatinya masih kacau balau memikirkan setiap ucapan yang Gara katakan beberapa saat yang lalu.Raline merasa, usianya masih terlalu muda. Namun sesekali ia juga ingat jika teman-temannya memang sudah menikah. Hanya saja, apa yang salah dengan keputusannya untuk ingin lebih menikmati hidup lebih lama sebagai seorang single? Sejujurnya, ia hanya takut akan kecewa. Ia takut, cinta dan kehidupan berumah tangga justru akan menjadi alasan kehancurannya suatu hari nanti. Raline tidak mau, hidup yang sudah ia tata dengan begitu rapi dan menyenangkan akan menjadi kacau balau saat ia terlanjur membiarkan seseorang untuk masuk terlalu dalam dan memberi pengaruh yang terlalu besar bagi hidupnya – seperti peran seorang suami.“Aku cuma nggak mau ada di fase itu lagi. Fase di mana aku hancur hanya karena seorang laki-laki, yang akhirnya membuat hidupku stuck selama bertahun-tahun,” gumam Raline.Yup. Ia pernah dikecewakan sebelumnya. Bisa dibilang, hal itulah yang membuat Raline trauma untuk memulai hubungan yang baru – apalagi menuju jenjang yang lebih serius. Dulu saja, saat pria yang bahkan belum resmi menjadi kekasihnya itu mengecewakannya, Raline sampai harus mengurung diri selama berbulan-bulan dan kehilangan banyak momen dalam hidupnya. Apalagi jika dia sampai merasakan luka yang sama, tetapi orang yang melakukannya adalah orang yang telah resmi menjadi suaminya? Ia pasti akan jauh lebih hancur daripada saat itu.“Raline, buruan mandi! Habis ini kita makan malam!” seru Bu Arum dari depan kamar putri semata wayangnya.Raline menghela napas panjang. Ia pun segera mengambil pakaian ganti dan bergegas ke kamar mandi seperti yang dititahkan nyonya rumah. Selang dua puluh menit, ia keluar dari kamar mandi yang ada di kamarnya dengan keadaan yang lebih segar. Ia pun segera keluar untuk membantu ibunya menyiapkan alat makan dan memindahkan masakan dari dapur ke meja makan.“Sudah, kan? Bunda panggil Ayah dulu,” ucap Bu Arum. Raline hanya menganggukkan kepalanya, kemudian duduk di sebuah kursi. Petang ini, ia memang tidak berselera untuk terlalu banyak bicara. Dan entah hal itu akan disadari oleh kedua orangtuanya atau tidak nantinya.Kegiatan makan malam dikediaman Pak Edi berjalan dengan lancar seperti biasa. Hanya saja, ada satu hal kecil yang membedakan makan malam kali ini dengan yang sebelum-sebelumnya. Raline – anak gadis Pak Edi dan Bu Arum itu tampak lebih pendiam malam ini. Dan hal itu pun disadari oleh sang kepala keluarga.“Kenapa? Marahan lagi sama cowok kamu itu?” tanya Pak Edi, setelah melihat putrinya baru saja menelan suapan terakhir miliknya.Raline hanya diam tak menanggapi. Ia bahkan tidak tahu harus mengatakan apa pada kedua orangtuanya. Soal obrolannya dengan Gara di taman, mereka masih belum menemukan kesepakatan, karena Gara yang memilih untuk memberi waktu bagi Raline untuk berpikir terlebih dahulu sebelum akhirnya mengambil keputusan.“Umur kamu sudah berapa, Raline? Masih mau menjalani hubungan yang isinya cuma ngambek-ngambekan aja? Kalau memang tidak cocok, ya sudah lepaskan saja! Jujur, Ayah senang dengar anak Ayah sudah punya pacar. Setidaknya itu membuktikan kalau anak Ayah ini masih normal, bisa suka sama laki-laki. Namun, kamu harus ingat di usia kamu yang sekarang sudah bukan waktunya lagi buat kamu galau-galauan! Kalau memang tidak cocok, CUT! Jangan buang-buang waktu!” imbuh Pak Edi.Raline menghela napas panjang. Ia masih tidak tahu harus mengatakan apa pada kedua orangtuanya. Namun, sempat terbesit di benaknya untuk mengatakan yang sebenarnya pada kedua orangtuanya. Hanya saja, ia ragu. Karena itu mungkin akan membuat kedua orangtua Raline semakin mendesaknya untuk segera menikah dengan Lucas.“Ibu sendiri juga masih lebih suka sama Nak Lucas. Setidaknya kita sudah lebih jauh kenal keluarganya. Jadi, kalau mau serius, ya bisa secepatnya. Ibu bahkan juga nggak yakin kalau pacar kamu tadi benar-benar mau serius sama kamu. Sekilas saja, kelihatan loh kalau dia itu orang kaya. Nggak mungkin dia mau seriusin anak bau kencur kayak kamu. Ibu curiga dia mau main-main doang sama kamu,” sambung Bu Arum.Raline menatap ibunya tidak terima. Memangnya, ia setidak layak itu untuk pria seperti Gara? Walau Raline tidak punya perasaan terhadap Gara, tapi tetap saja ia tidak suka saat ada yang mengatakan hal yang seakan-akan Raline adalah sesuatu yang buruk seperti itu.“Bun, dia serius, kok. Sampai tadi kami ngobrol berdua pun, dia masih kekeuh ngajak Raline nikah,” ujar Raline, yang membuat kedua orangtuanya saling pandang.“Terus kamu gimana?” tanya Bu Arum.“Ya Raline masih nggak siap. Kalian kan tahu, intinya Raline belum mau nikah. Dengan siapa pun calonnya, entah itu Pak Gara atau Lucas, intinya Raline memang belum mau,” jawab Raline mantab.“Ck, meyakinkan kamu saja dia belum bisa, gimana Ayah sama Bunda bisa coba mempercayai dia? Sudahlah, kamu nggak usah coba-coba lagi, Raline! Mending sama Nak Lucas yang bibit bebet bobotnya kami juga sudah paham. Kalian cocok, kok,” putus Pak Edi.“Yah, Raline nggak siap. Dan Raline juga nggak suka sama Lucas,” tolak Raline.“Kamu itu cuma butuh waktu. Cinta itu gampang kalau nanti kalian sudah menikah. Pikirkan, Raline! Umur kamu kamu terus jalan. Umur Ayah sama Bunda juga entah sampai kapan. Kami cuma mau ingin melihat kamu sudah berada dalam penjagaan orang yang tepat di usia kami yang sudah menua ini,” balas Bu Arum yang membuat Raline terdiam.Apakah ia terlalu egois jika masih terus keras kepala menentang keinginan kedua orangtuanya untuk menikah? Ia seakan jika dirinya telah menjadi beban yang sangat berat bagi pikiran kedua orangtuanya selama ini. Hanya saja, untuk menuju ke jenjang pernikahan dan mendapat limpahan tanggungjawab sebagai istri dan juga ibu, Raline benar-benar merasa tidak siap.***Raline mengetukkan jarinya berkali-kali di atas meja. Gelas minuman dinginnya sudah mengembun sejak tadi, tapi isinya belum juga berkurang sedikit pun. Tampak sekali jika gadis itu sedang sangat gugup sekarang. Dan pria di hadapannya masih terdiam, membiarkan Raline hingga gadis itu siap untuk bicara. “Anda nggak punya kerjaan apa? Katanya punya jabatan tinggi di perusahaan. Kok mau-maunya aja saya ajak ketemu di sini?” tanya Raline. Gadis itu terlalu bingung untuk mengutarakan maksud kedatangannya, sehingga ia pun tiba-tiba saja mengatakan hal se-random itu. Gara – pria yang ada di hadapan Raline itu berdehem. “Karena saya pikir kamu akan mengatakan sesuatu yang penting. Lagi pula, kebetulan juga sebentar lagi jam pulang Cinta. Saya sekalian mau jemput dia.” Raline mengangguk-anggukkan kepalanya. Baiklah, sekarang ia tidak punya bahan bahasan yang lain lagi. Suasana canggung pun kembali terjadi selama beberapa saat. “Jadi, kamu mau bicara apa? Kalau kamu masih ragu untuk mengatak
Raline membalas pelukan erat Cinta yang kini berada di atas pangkuannya. Anak itu tampaknya mulai mengantuk. Intensitas obrolan di antara mereka sudah semakin berkurang, begitu pun gerakan-gerakan kecil pada jemari Cinta. “Cinta, jangan tidur dulu ya, sayang! Kamu kan belum makan siang,” ujar Gara, sambil sesekali melirik ke arah putrinya. “Sudahlah, Pak. Lagian kayaknya Cinta ngantuk banget. Dia pasti juga capek, habis main sama teman-temannya.” Raline menengahi. Cinta segera menegakkan tubuhnya, menatap wajah Raline yang ada di hadapannya. Anak itu tampak memaksakan matanya agar terus terbuka, membuat Raline yang menyadari hal itu menyeritkan alisnya. “Kenapa?” “Nggak. Cinta nggak ngantuk kok, Ma, Pa. Cinta nggak mau ketiduran lagi. Cinta nggak mau kayak waktu itu, saat Cinta bangun, tiba-tiba Mama udah nggak ada. Kali ini Cinta nggak akan tidur lagi, biar Cinta bisa selalu jagain Mama,” terang Cinta, sambil kembali memeluk Raline dengan begitu erat. “Tapi kamu kelihatan ngantu
Gara menekan tombol loadspeaker agar percakapannya dengan lawan bicaranya dapat didengar pula oleh Raline. “Saya Gara, calon suaminya Raline,” jawab Gara santai. Sepertinya, orang di seberang sana itu baru saja bertanya siapa Gara. ‘Calon suami? Jangan bercanda! Tolong berikan teleponnya pada Raline! Saya ingin bicara dengannya.’ Raline hendak merebut ponselnya dari Gara. Namun, pria itu segera menjauhkan benda pipih tersebut dari jangkauan Raline. “Saya bukan seorang pelawak, dan saya juga tidak suka bercanda. Bisa kamu katakan saja apa yang ingin kamu sampaikan pada Raline? Kebetulan dia ada di sebelah saya sekarang,” ujar Gara. “Pak, jangan main-main! Siniin teleponnya!” pinta Raline. Namun Gara masih tidak mengindahkannya. ‘Sebenarnya siapa kamu? Kenapa lancang sekali mengaku sebagai calon suami Raline? Apa kamu tidak tahu siapa saya?’ “Apa itu penting?” balas Gara dengan nada meremehkan. “Lucas, kamu matiin aja teleponnya! Nanti kita bicara lagi saat-“ “Katakan saja apa
Raline mencengkram erat seatbelt yang ia kenakan. Mulutnya terkatup rapat bahkan ketika pria di sampingnya sudah keluar dari mobil. Raline sedikit terkejut. Pupil matanya membesar saat mengetahui pintu di sampingnya sudah terbuka dari luar. “Ayo cepat keluar!” ajak orang tersebut – Gara. Raline menggeleng ribut. Ia tidak mau. Ia bahkan sudah menolaknya sejak mereka masih dalam perjalanan tadi. Namun, lihatlah sekarang! Gara tetap keras kepala membawa Raline ke sebuah rumah mewah yang didominasi cat putih dan cokelat, tetapi bukan rumah Gara yang sudah beberapa kali Raline kunjungi. “Cepat, Raline! Mama saya sudah menunggu,” ucap Gara. Raline mendelik sebal. “Bapak udah ngomong ke orangtua Bapak kalau Bapak ngajak saya ke sini?” “Sudah. Kebetulan Papa juga lagi libur ngantor. Maka dari itu saya langsung ajak kamu ke sini. Oh iya, stop panggil saya ‘Bapak’!” tegas Gara. “Lah terus saya manggil apa dong? Kan memang Bapak lebih tua dari saya,” bingung Raline. “’Mas’.” “Hah?” “Kam
Usai makan malam, Cinta segera dibawa pergi oleh salah seorang asisten rumah tangga, menyisakan empat orang dewasa yang masih di sana. Hal itu membuat Raline merasa gugup bukan main. Bahkan, ia sempat berpura-pura bodoh dengan menyetujui ajakan Cinta untuk bermain dengan anak itu, sebelum suara Pak Naga menginterupsinya. “Apa rencana kalian ke depanna?” tanya Pak Naga, langsung pada intinya. “Gara mau membawa Raline ke jenjang yang serius. Gara ingin Mama dan Papa melamarkan Raline untuk Gara,” jawab Gara dengan tenang, berbeda dengan Raline yang kini sedang meremat pakaiannya dengan tangan yang sedikit bergetar. “Kamu sudah bicara dengan kedua orangtua Raline? Mereka setuju? Karena Papa rasa, mungkin tidak akan mudah buat kamu meyakinkan mereka, mengingat statusmu yang sudah pernah berumah tangga. Apalagi kamu sudah punya Cinta, sedangkan Raline masih muda,” terang Pak Naga. Raline otomatis membenarkan dengan menganggukkan kepalanya. Karena memang, menurutnya itulah salah satu al
Raline seketika gugup dan kembali bimbang meski kini ia sudah berada di depan sekolah Cinta. Seperti janjinya kemarin, ia ingin menjemput dan mengajak Cinta makan siang berdua dengannya. Hanya saja, ia masih bingung dengan langkah apa yang akan ia ambil setelah ini. Karena biar bagaimana pun juga ucapan kedua orangtuanya semalam memberikan pengaruh yang cukup besar bagi pikirannya.“Mama! Bu Ayu, itu mamanya Cinta!” seru seorang gadis cilik dengan rambut kucir kuda yang sangat lucu.Melihat anak itu berlarian ke arahnya diikuti oleh salah seorang guru, senyum Raline pun otomatis tersungging. Gadis itu bersimpuh dan langsung menerima pelukan erat dari Cinta.“Cinta seneng banget Mama menepati janji Mama buat jemput Cinta. Cinta udah kangen banget sama Mama,” ujar Cinta, yang membuat Raline terkekeh.“Baru juga kemarin kita bertemu,” balasnya.Cinta segera mengurai pelukannya agar ia bisa memandangi wajah Raline sepuas hatinya. “Kalau bisa, Cinta maunya sama Mama terus. Nggak mau pisah
“Sudah susah-susah saya selalu berusaha meyakinkan kamu, kamu masih saja sering ragu?” ketus Gara, begitu ia mendengar penjelasan dari Raline, tentang kenapa gadis itu kembali bersikap aneh sebelumnya.“Ya maaf. Lagian kan wajar, saya sebagai perempuan yang latar belakangnya terlalu bias aini ragu buat nerusin hubungan sama orang kayak Mas,” balas Raline.“Memang dari yang kamu lihat, baik saya maupun orangtua saya, peduli dengan apa yang kamu takutkan tadi?” Raline menggelengkan kepalanya.“Namanya juga takut, Mas. Dan lagi, masalah utamanya bukan itu sekarang. Tapi Bunda dan Ayah. Gimana cara Mas mau meyakinkan mereka? Saya aja tiap ngobrol sama mereka, pasti saya yang kalah. Pasti saya yang akhirnya jadi bimbang lagi,” terang Raline.“Posisi kamu sesulit itu, tapi kamu masih saja sering menghalang-halangi saya untuk bicara dengan kedua orangtua kamu,” balas Gara yang membuat Raline kembali meminta maaf.“Hhhh … sudahlah. Biar kali ini saya yang pikirkan jalan keluarnya. Kamu hanya
Satu hari setelah kedatangan Gara ke rumah Raline, Raline diizinkan pulang cepat. Pukul tiga sore ia sudah sampai rumah setelah diantar oleh sopir Gara. Gara menugaskan Raline untuk bersiap sebelum Gara menjemputnya dan kedua orangtuanya jam enam petang nanti.Setibanya di rumah, Raline langsung membuka bingkisan yang Gara titipkan melalui sopir. Dan ternyata isinya adalah sebuah gaun yang elegan – yang Raline yakini memiliki harga cukup fantastis.“Loh, ini kan brand-nya Tante Almira,” gumam Raline saat melihat label pada gaun berwarna olive itu.Baru saja Raline akan mencoba gaun itu, suara ketukan pintu mengalihkan perhatiannya. Tanpa bertanya pun ia tahu siapa yang mengetuk pintu kamarnya. Sebab, di rumah ini hanya ada dirinya dan sang bunda.“Masuk aja, Bun!” seru Raline.Tak lama berselang, sosok Bu Arum tampak memasuki kamar putrinya. Tatapan Bu Arum langsung tertuju pada kain berwarna olive di tangan Raline, juga paper bag yang ada di dekat putri tunggalnya itu.“Itu dari Nak
Raline berencana bangun lebih pagi. Saking kepikirannya, ia bahkan sampai tidak bisa benar-benar lelap dalam tidurnya. Tidur Raline mudah terusik. Begitu pun saat ia merasakan gerakan kecil dari sampingnya. Sebuah tangan terasa mendekapnya begitu erat selama beberapa detik, sebelum terlepas dan berganti menyentuh bagian-bagian wajah Raline. Saat Raline membuka matanya, hal pertama yang ia lihat adalah senyum Cinta. Gadis kecil itu masih tampak pucat, meski sudah tidak sepucat kemarin. Namun, ada yang aneh dengan gadis cilik itu. "Mama sudah bangun? Cinta gangguin Mama, ya? Maaf, ya, Ma," ungkap Cinta sambil kembali mendekap Raline. Saat Cinta kembali memeluknya, Raline merasa semakin yakin jika ada yang tidak beres dengan anak sambungnya itu. Raline segera mengurai pelukan Cinta dan memeriksanya. Ia tempelkan punggung tangannya ke kening Cinta. Dan benar saja ... "Cinta, kamu demam?" heboh Raline. Ia langsung menarik dirinya paksa untuk duduk. Ia memastikan sekali lagi suhu keni
Untuk mengusir rasa bosan, Raline membantu asisten rumah tangganya menyiapkan makan malam. Ia juga ikut menatanya di atas meja makan. Hingga saat Raline terlalu fokus dengan barang bawaannya, ia nyaris saja bertabrakan dengan seselorang. Raline mendongak lalu mundur satu langkah saat melihat kuah semur yang ia bawa nyaris saja mengenai Gara. Andai itu terjadi, Raline yakin, masalahnya dengan Gara pasti akan menjadi semakin runyam. "Ah iya. Ini makan malamnya sudah siap. Mas tunggu di meja makan saja! Oh iya. Cinta mana?" Gadis itu berusaha bersikap biasa saja. "Cinta di kamar. Aku ke sini cuma mau ambilin makan dan obat buat dia,'' jawab Gara seperlunya. Melihat Raline yang terlalu lama mengambilkan apa yang Gara buruhkan, lelaki itu pun segera mengambil inisiatif untuk mengambil alih makanan yang Raline pegang. "Mas, tunggu! Lebih baik Mas makan saja. Biar makanan dan obat Cinta aku yang urus," Raline dengan begitu tulus. "Tidak perlu. Aku masih bisa mengurusnya sendiri kok,"
Tiga hari berlalu pasca pernikahan Raline dengan Gara. Namun, semua masih terasa sama. Gara masih terkesan dingin pada Raline. Bahkan Raline merasa seolah Gara enggan menganggap keberadaannya. Saat ini, Raline masih mengerjakan tugas-tugas kantornya. Pekerjaannya cukup banyak karena memang kesibukan Gara di kantor sedang meningkat. Namun, waktu menunjukkan pukul setengah empat sore. Yang artinya sudah akan memasuki jam pulang kantor. "Tinggalkan saja pekerjaannya! Prioritas kamu sekarang kan ngurusin Cinta," ucap Gara. "Iya, sebentar lagi ini selesai kok. Lagi bantu merapikan bahan meeting besok soalnya," balas Raline. "Tinggal saja! Nanti Cinta nyariin," Gara memaksa. "Sebentar. Paling lima belas sampai dua puluh menit lagi selesai kok." Dan Raline masih kekeuh ingin menyelesaikan pekerjaannya dulu. Saking fokusnya Raline pada pekerjaannya, gadis itu sampai tidak sadar jika bos sekaligus suaminya itu sudah beberapa kali menghela napas panjang. "Raline, kamu masih ingin bekerj
Pukul sembilan malam, Raline, Gara dan Cinta telah sampai di rumah. Beberapa kali Cinta mengucek matanya sambil menguap - menandakan jika anak itu sudah mengantuk. "Mama," panggil Cinta. "Ya, Cinta? Mau Mama yang nemenin kamu gosok gigi sama cuci muka?" tawar Raline. Cinta mengangguk dengan raut wajah yang sangat lucu. "Tapi Cinta juga mau tidur sama Mama, dikelonin Mama," pinta Cinta. Raline refleks menoleh ke arah Gara, seolah meminta persetujuan. Sebenarnya, Raline tidak keberatan tidur di mana saja malam ini. Entah bersama Gara atau pun Cinta, bagi Raline sama saja selagi ia masih bisa tidur untuk mengusir rasa lelahnya. Namun, biar bagaimana pun Gara adalah suaminya. Raline perlu meminta pendapat pria itu walau sekadar hanya untuk formalitas. "Ya udah sana! Cinta boleh tidur sama Mama. Tapi janji, ya, besok pagi jangan susah bangunnya!" pesan Gara. Raline tersenyum mendengarnya. Ia juga sebenarnya lebih senang jika ia tidur bersama Cinta. Karena rasanya pasti sangat cang
16. SAH! (Hari Pernikahan)Raline menghela napas panjang berkali-kali. Ternyata benar. Semakin mendekati hari pernikahan, maka ujian yang datang akan semakin berat. Hari itu telah tiba, dan Raline tak bisa menghindarinya. Pagi ini, ia sudah didandani sedemikian rupa untuk acara pesta pernikahannya. "Mama cantik banget!" seru Cinta yang baru saja datang. Anak itu mengenakan pakaian berwarna pink pastel yang cantik. Cinta sendiri yang memilih model tersebut saat mereka datang ke butik Bu Almira. "Anak Mama juga cantik. Yang ngehias rambutnya siapa, sayang?" tanya Raline melihat rambut anak tirinya yang sudah ditata bak seorang princess negeri dongeng. "Oma," jawab Cinta dengan senyum lebar di bibirnya. Tak lama, Bu Almira muncul. Dia memberitahukan jika pestanya akan segera dimulai sebentar lagi. Maka dari itu, dia datang untuk menjemput Raline dan Cinta. Sebelumnya, Raline sudah berpesan agar pesta pernikahan dilangsungkan secara sederhana saja. Sebab ia bukanlah tipe orang yang
Raline sering uring-uringan akhir-akhir ini. Sebab, ia tidak menyangka jika keluarganya dan Gara akan merencanakan pernikahan secepat ini. Raline pikir, pernikahan mereka mungkin akan digelar setidaknya enam bulan lagi. Namun, ternyata jauh dari itu – Gara meminta pernikahan mereka dilaksanakan dua bulan lagi, dan gilanya hal itu disetujui oleh semua orang kecuali Raline. Tentu, Raline kalah suara. Akhirnya ia pun hanya bisa pasrah menerima keputusan itu.Tidak banyak yang berubah dengan hubungan Raline dan Gara selama satu setengah bulan terakhir. Gara masih sibuk dengan urusan kantor sekaligus sesekali meluangkan waktunya untuk menyiapkan pernikahannya dengan Raline. Sedangkan Raline masih berusaha menyesuaikan diri dengan kesibukan barunya sebagai ‘pengasuh’ Cinta sekaligus pekerja kantoran.Waktu menunjukkan pukul dua siang. Raline masih setia menunggu Gara di ruang kerjanya. Pria itu belum kembali juga sejak jam makan siang tadi. Yang Raline tahu, Gara pergi bersama sekretarisnya
Satu hari setelah kedatangan Gara ke rumah Raline, Raline diizinkan pulang cepat. Pukul tiga sore ia sudah sampai rumah setelah diantar oleh sopir Gara. Gara menugaskan Raline untuk bersiap sebelum Gara menjemputnya dan kedua orangtuanya jam enam petang nanti.Setibanya di rumah, Raline langsung membuka bingkisan yang Gara titipkan melalui sopir. Dan ternyata isinya adalah sebuah gaun yang elegan – yang Raline yakini memiliki harga cukup fantastis.“Loh, ini kan brand-nya Tante Almira,” gumam Raline saat melihat label pada gaun berwarna olive itu.Baru saja Raline akan mencoba gaun itu, suara ketukan pintu mengalihkan perhatiannya. Tanpa bertanya pun ia tahu siapa yang mengetuk pintu kamarnya. Sebab, di rumah ini hanya ada dirinya dan sang bunda.“Masuk aja, Bun!” seru Raline.Tak lama berselang, sosok Bu Arum tampak memasuki kamar putrinya. Tatapan Bu Arum langsung tertuju pada kain berwarna olive di tangan Raline, juga paper bag yang ada di dekat putri tunggalnya itu.“Itu dari Nak
“Sudah susah-susah saya selalu berusaha meyakinkan kamu, kamu masih saja sering ragu?” ketus Gara, begitu ia mendengar penjelasan dari Raline, tentang kenapa gadis itu kembali bersikap aneh sebelumnya.“Ya maaf. Lagian kan wajar, saya sebagai perempuan yang latar belakangnya terlalu bias aini ragu buat nerusin hubungan sama orang kayak Mas,” balas Raline.“Memang dari yang kamu lihat, baik saya maupun orangtua saya, peduli dengan apa yang kamu takutkan tadi?” Raline menggelengkan kepalanya.“Namanya juga takut, Mas. Dan lagi, masalah utamanya bukan itu sekarang. Tapi Bunda dan Ayah. Gimana cara Mas mau meyakinkan mereka? Saya aja tiap ngobrol sama mereka, pasti saya yang kalah. Pasti saya yang akhirnya jadi bimbang lagi,” terang Raline.“Posisi kamu sesulit itu, tapi kamu masih saja sering menghalang-halangi saya untuk bicara dengan kedua orangtua kamu,” balas Gara yang membuat Raline kembali meminta maaf.“Hhhh … sudahlah. Biar kali ini saya yang pikirkan jalan keluarnya. Kamu hanya
Raline seketika gugup dan kembali bimbang meski kini ia sudah berada di depan sekolah Cinta. Seperti janjinya kemarin, ia ingin menjemput dan mengajak Cinta makan siang berdua dengannya. Hanya saja, ia masih bingung dengan langkah apa yang akan ia ambil setelah ini. Karena biar bagaimana pun juga ucapan kedua orangtuanya semalam memberikan pengaruh yang cukup besar bagi pikirannya.“Mama! Bu Ayu, itu mamanya Cinta!” seru seorang gadis cilik dengan rambut kucir kuda yang sangat lucu.Melihat anak itu berlarian ke arahnya diikuti oleh salah seorang guru, senyum Raline pun otomatis tersungging. Gadis itu bersimpuh dan langsung menerima pelukan erat dari Cinta.“Cinta seneng banget Mama menepati janji Mama buat jemput Cinta. Cinta udah kangen banget sama Mama,” ujar Cinta, yang membuat Raline terkekeh.“Baru juga kemarin kita bertemu,” balasnya.Cinta segera mengurai pelukannya agar ia bisa memandangi wajah Raline sepuas hatinya. “Kalau bisa, Cinta maunya sama Mama terus. Nggak mau pisah