Raline tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Namun, saat ini ia sedang bersama anak perempuan yang ia ketahui bernama Cinta – yang telah berganti pakaian itu, dan juga ayah sang anak. Cinta tampak begitu menikmati es krimnya, tanpa mau melirik makan siangnya sama sekali.
“Cinta, di makan dulu dong nasinya! Es krimnya nanti lagi, ya!” ucap sang ayah sambil menarik es krim milik cinta. Namun, gadis mungil itu menahannya sambil menggelengkan kepala. “Cinta nggak mau makan nasi, Pa. Cinta mau es krimnya aja.” Setelah mengatakan itu, Cinta beralih menatap Raline yang sejak tadi masih tampak blank akibat kemunculan anak itu yang tiba-tiba memanggilnya Mama. “Mama juga nggak mau makan? Kok dari tadi Mama cuma lihatin Cinta terus? Pasti Mama juga kangen, kan, sama Cinta? Cinta kangen banget sama Mama. Dan sekarang Cinta senang, Mama sudah kembali lagi,” ujar Cinta. Eh, kembali ke mana maksud anak ini? Mendnegar suara deheman dari ayah Cinta, Raline pun segera menatapnya. “Makanlah makanan kamu! Atau kamu bisa pesan yang lain sepuas kamu. Siang ini, saya yang traktir sebagai ucapan terima kasih.” “Eh? Tidak perlu. Saya tadi bawa uang, kok. Dan uang saya juga masih cukup untuk membayar pesanan saya sendiri,” tolak Raline. “Tidak apa-apa. Pesanlah sepuas kamu!” ujar pria itu. “Iya Mama harus makan banyak biar Mama sehat!” imbuh Cinta. Raline selalu merasa gugup setiap kali anak itu memanggilnya demikian. Ia merasa kurang nyaman – tentu, karena ia bukan anak gadis itu, dan ia takut akan ada orang yang salah paham jika mendengar bagaimana Cinta memanggilnya. “Papa, es Cinta habis. Tapi cinta masih mau lagi. Boleh, kan, Pa?” ujar Cinta. “Boleh. Tapi Cinta makan dulu nasinya, ya! Kalau Cinta nggak mau makan nasinya, Papa nggak izinin kamu nambah lagi es krimnya,” jawab lelaki itu. Cinta mengangguk dengan wajah yang begitu menggemaskan hingga Raline pun sempat terbuai selama beberapa detik. “Eh?!” Raline terkejut saat melihat Cinta turun dari kursinya. Namun, baru saja ia hendak menegur gadis itu, ayah Cinta sudah menghentikannya. “Dia bisa pesan sendiri. Jadi kamu tidak perlu khawatir!” ucap ayah CInta dengan nada yang begitu tenang. Melihat ayahnya saja bisa sesantai ini membiarkan Cinta, Raline pun ikut bernapas lega. “Oh iya. Boleh saya tahu, kenapa Anda diam saja saat Cinta memanggil saya Mama?” tanya Raline. Akhirnya kini ia punya kesempatan untuk bertanya. Ayah Cinta yang baru saja hendak mulai makan pun segera meletakkan sendoknya, lalu beralih menatap Raline. “Saya hanya tidak mau membuat dia menangis. Saya nggak mau nanti dia mogok makan, padahal ini sudah jam makan siang.” “Memang di mana mamanya? Kok nggak diajak aja?” bingung Raline. Ayah Cinta tersenyum miris. Raline menyadari ada sesuatu yang tidak beres sehingga laki-laki itu seketika mengubah ekspresinya. “Apa saya salah bicara? Kalau begitu saya-“ “Ibu Cinta sudah meninggal saat melahirkannya. Jadi, dia belum pernah bertemu dengan ibunya. saya juga tidak tahu kenapa dia tiba-tiba memanggil kamu Mama. Kami memang habis dari makan istri saya – ibunya Cinta. Namun tidak biasanya Cinta seperti ini,” terang lelaki itu. “Oh iya. Nama saya Gara. Boleh saya tahu nama kamu juga?” Raline segera menerima uluran tangan lelaki bernama Gara itu dengan kaku. “Eh, maaf, Pak. Saya nggak tahu. Saya nggak bermaksud mengungkit luka lama. Nama saya Raline,” jawabnya. Gara tersenyum. “Sepertinya kamu masih cukup muda. Kamu masih kuliah?” Tampaknya ia tak mau lagi membahas tentanng mendiang istrinya yang telah tiada. “Memangnya muka saya se-baby face itu, ya?” Raline langsung menangkup kedua pipinya sendiri, dan menatap Gara dengan penuh harap. Melihat sikap aneh Raline, Gara berdehem kaku. “Hm, maksud saya kamu kelihatan muda. Memang, kamu sudah nggak kuliah? Sudah kerja?” “Iya saya sudah kerja. Wah saya nggak nyangka mata Anda masih bagus juga ya, ternyata? Bisa melihat-“ “Maksud kamu, saya kelihatan seperti orang yang penglihatannya sudah menurun? Saya masih 33 tahun, Raline,” protes Gara. “Loh, jadi Cinta anak pertama? Saya kira Anda sudah empat puluhan. Soalnya style Anda seperti orang kantoran yang punya jabatan tinggi. Kan biasanya … hm pokoknya begitu lah, hehe.” Melihat raut wajah Gara sudah tidak terlalu bersahabat, Raline segera menghentikan ocehannya. Namun, setelah itu, giliran ponselnya yang menyita perhatian keduanya. “Ada telepon. Kenapa nggak kamu angkat?” tanya Gara. “S- sepertinya salah sambung. Ng- nggak perlu, kok,” jawab Raline. “Tapi itu ada namanya, kok. Lucas, kan? Pacar kamu?” tanya Gara. Ia memang sempat melihat layar ponsel Raline yang menyala sebelum gadis itu menyembunyikan. “Ck, pacar apa sih. Bukan kok, Pak,” balas Raline. Gara terkekeh kecil melihat ekspresi kesal gadis di hadapannya. Namun, setelah itu kehadiran Cinta berhasil mengambil alih semua perhatiannya. Gara segera menolong putrinya itu untuk duduk kembali di kursinya. “Sudah pesan esnya?” “Sudah, Papa. Cinta juga pesankan buat Mama. Mama pasti suka. Soalnya kata Papa, Mama juga suka sama es krim coklat, sama seperti Cinta,” ujar Cinta. “Eh? Seharusnya nggak perlu,” tolak Raline. “Kenapa, Ma? Mama nggak mau makan es krim bareng Cinta, ya?” “Bukannya seperti itu. Tante cuma … cum- cuma lagi pilek aja. Makanya-“ “Kok Mama nyebut dirinya sendiri Tante sih, Pa?” tanya Cinta dengan nada lesu ke arah ayahnya. Gara menatap Raline penuh harap. Sebenarnya Raline tidak mengerti. Namun akhirnya ia memilih diam dari pada ia mengatakan sesuatu yang salah. “Mama cuma salah bicara, Cinta. Sudah jangan dipikirkan! Sekarang, sesuai janji Cinta ke Papa, Cinta harus segera makan, oke? Buruan, sebelum es krim pesanan kamu datang!” ujar Gara. Cinta mengangguk patuh. Kemudian, anak itu mulai menyantap makanannya dengan lesu. Sesekali, Raline mencuri pandang ke arah anak itu. Kenapa ia mendadak merasa bersalah melihat senyum di wajah Cinta yang menghilang setelah mendengar ucapannya tadi? Selesai makan siang, Raline ikut Gara dan Cinta keluar dari café. Dan seperti yang Gara katakan, ia benar-benar membayarkan makanan Raline tadi, meski Raline sudah berkali-kali menolaknya. Kini, mereka sudah sampai di parkiran. Raline berniat untuk langsung pamit setelah ia mengucapkan terima kasih atas traktiran Gara. Namun, belum sempat ia berpamitan, Cinta sudah lebih dulu menggenggam erat tangannya. “Mama, Mama akan pulang bersama Cinta dan Papa, kan, Ma? Mama akan sama-sama kami dan nggak akan pernah ninggalin kami lagi, kan, Ma?” tanya Cinta dengan nada sendu. “Cinta, biarkan Mama pulang, ya! Mama nggak bisa ikut kita,” ucap Gara, berusaha membuat putrinya mengerti. “Kenapa nggak bisa, Pa? Teman-teman Cinta juga tinggal sama mamanya, kok. Mereka aja bisa. Kenapa Cinta nggak bisa? Apa karena Mama sudah meninggal? Kalau begitu, Mama jangan meninggal lagi! Kita harus jagain Mama biar Mama nggak meninggal lagi, Pa! Cinta nggak mau pisah sama Mama lagi. Cinta mau sama-sama Mama!” rengek Cinta. Mata gadis kecil itu sudah mulai berkaca-kaca. Bahkan suaranya sudah mulai terdengar sengau. Tampaknya sebentar lagi anak itu akan menangis. Gara segera menegakkan tubuhnya kemudian menatap Raline. “Rumah kamu di mana? Boleh saya antar kamu pulang, supaya Cinta bisa sedikit lebih lama bersama kamu?” “Ya?” kaget Raline. “Saya janji akan pelan-pelan menjelaskan pada Cinta di jalan nanti. Kamu bantu saya, ya!” pinta Gara. Raline menelan salivanya dengan susah payah. Sungguh, ia tidak suka dengan anak-anak. Lalu, ketika kini ada seorang anak kecil yang rewel karena merindukan ibunya, kenapa ia harus ikut repot? “Ma, Mama ikut Cintas ama Papa, ya! Cinta mohon, Ma. Cinta mau punya Mama. Cinta mau ngerasain dipeluk Mama, seperti teman-teman Cinta yang lain,” lirih Cinta dengan tatapan memohon. Sungguh, kalau sudah seperti ini, lantas bagaimana bisa Raline menolak? Jika ia menolak, itu artinya ia sama saja membiarkan Cinta menangis. Dan melihat tatapan gadis mungil itu, rasanya Raline tidak tega mengecewakannya. Biar bagaimana pun, Cinta hanyalah anak kecil yang ingin merasakan kasih sayang ibunya. Tidak ada yang salah dengan itu. Dan rasanya sangat jika Raline tega menghancurkan harapan sederhana anak itu. ‘Hanya sebentar, kan? Mungkin tidak apa-apa. Sekalian saja aku bisa memanfaatkan ini agar bisa lebih lama berada di luar, agar saat aku kembali, Lucas sudah pergi,’ batin Raline. Mungkin tidak apa-apa jika kali ini Raline memanfaatkan orang lain untuk menghindari Lucas. Atau justru, ini adalah kali pertama, dan akan ada kali kedua, ketiga dan seterusnya di mana Raline akan mendapatkan bantuan dari orang lain untuk menghindari Lucas? “Ayo, Ma! Cinta mau duduk di depan sama Mama!” rengek Cinta, sambil menarik tangan Raline cukup kuat ke arah mobil ayahnya. Raline memilih tidak menolak. Akhirnya ia menatap Gara sembari menganggukkan kepalanya, sebelum akhirnya mengikuti langkah Cinta – membuat gadis kecil itu tersenyum lebar.***Bersambung ...Hampir setengah jam Gara menyetir, tetapi ia belum benar-benar tahu ke mana sebenarnya gadis di sebelahnya itu akan membawanya pergi. Pasalnya, setiap kali Gara bertanya arah, Raline seperti ragu-ragu menjawabnya. Tidak mungkin, kan, Raline lupa dengan alamat rumahnya sendiri?“Raline, kamu tidak sedang mempermainkan saya, kan? Di mana sebenarnya rumahmu? Katakan sasja alamatnya, agar saya bisa cari di maps,” ujar Gara mulai lelah, dan kini ia menghentikan mobilnya di pinggir jalan.Seperti biasa, Raline tampak seperti oranag blank. Padahal, bukankah pertanyaan Gara seharusnya sangat mudah untuk ia jawab? Reaksi Raline membuat Gara semakin yakin jika gadis itu sejak tadi memang tidak menunjukkan jalan menuju ke rumahnya dengan benar.Gara menghela napas panjang. “Apa kamu tidak lihat kalau Cinta mulai mengantuk? Cepat katakan alamatmu, Raline!”“Papa jangan marahin Mama! Lagi pula rumah Mama kan sama dengan rumah kita. Ayo kita langsung pulang aja, Pa!” sambung Cinta yang sadar n
Raline masih duduk tegang di ruang tamu rumah Gara. Sedangkan laki-laki itu berpamitan untuk mengangkat telepon beberapa saat yang lalu. Setelah sekian menit sendirian, akhirnya Gara kembali, membuat tubuh Raline kian menegang. Ia seakan masih tidak percaya jika laki-laki seperti Gara akan dengan mudah menerima tawarannya. Entah apa yang sebenarnya pria itu pikirkan hingga bisa-bisanya ia setuju dengan rencana gila Raline. Ia jadi sedikit menyesal karena telah berani meminta tolong untuk hal seperti itu pada Gara.“Raline, saya ada urusan mendadak di luar, masalah pekerjaan. Kamu mau tetap di sini, atau saya antar pulang?” tawar Gara.Raline mengejapkan matanya. Menyadari ia belum lama di sini, ia yakin Lucas masih ada di rumahnya. Atau bahkan jika dia sudah pulang pun, ia pasti akan datang kembali jika tahu Raline sudah pulang. Namun, jika ia mau menunggu di sini, ia juga sungkan karena sang tuan rumah yang akan pergi dan Cinta yang masih tidur.“Kalau ikut saja, nggak boleh mema
Raline berusaha tak memperdulikan ucapan ibunya siang tadi. Saat ini, ia hanya ingin bersantai dan menikmati sore di kamarnya dengan sebuah drama dan secangkir teh melati. Telinganya ia sumpal dengan headset yang tersambung di laptop. Ia begitu menikmati dramanya, hingga tidak sadar jika dari tadi ada nomor yang terus berusaha menghubunginya.Hari ini sudah terasa terlalu melelahkan bagi Raline. Dan ia hanya ingin menghabiskan sisa waktunya dengan bersantai. Tanpa ia sadari, sebuah bahaya kian mendekat karena ia yang tak kkunjung mengangkat telepon orang itu.“Astaga, Raline! Pantes Bunda panggil dari tadi nggak nyaut,” tegur ibu Raline saat menemukan putrinya masih sibuk menonton Drama Korea.Menyadari kedatangan ibunya, Raline pun segera melepas headset di telinganya. “Ada apa, Bun? Soal rencana aku daftar kerja di dekat kantor Ayah? Berkasnya sudah siap kok. Besok tinggal masukin aja.”Bu Arum – ibu dari Raline menggeleng-gelengkan kepalanya. Meski ia sudah hidup puluhan tahun deng
Raline sudah sangat yakin jika Gara pasti akan langsung mundur. Belum apa-apa saja, kedua orangtuanya sudah terang-teranagan menunjukkan ketidak tertarikan mereka pada Gara, karena sudah ada Lucas yang lebih mereka restui bersama Raline. Walau Raline pun tidak akan menerima Lucas, tetapi setidaknya itu akan membuat Raline bebas dari Gara setelah ini. Soal Lucas, bisa ia pikirkan lagi lain waktu. “Saya tahu kok, Om. Raline juga sudah bercerita pada saya, kalau dia dijodohkan dengan anak sahabat ibunya,” ucap Gara. Raline mengangguk membenarkan. “Dan kamu masih melanjutkan hubungan kalian meski tahu kamu dan Raline tidak akan bisa bersama?” heran Pak Edi. Gara tersenyum penuh arti. “Soalnya saya juga tahu, kalau Raline tidak setuju dengan perjodohan itu. Dan saya pun tidak mau menyerah begitu saja, melihat masih adanya peluang untuk saya dan Raline bisa bersama.” Pak Edi berdehem kaku. Sedangkan Bu Arum mulai menyapukan pandangannya ke segala penjuru ruangan, ke mana saja asal netra
Tawa Raline pecah saat ia teringat kembali ucapan Gara beberapa detik yang lalu. Tentu. Pria itu pasti hanya bercanda, kan? Tidak mungkin ada orang yang bisa memutuskan soal pernikahan secepat itu. “Kamu tertawa?” bingung Gara. “Ya iya lah, Pak. Habisnya bercanda Bapak lucu banget. Saya sampai sudah mau percaya loh, Pak. Untung saya masih waras, jadi-“ “Tapi saya serius, Raline. Saya mau menikahi kamu,” potong Gara, membuat tawa Raline terhenti seketika. “Bapak ini nggak bisa serius sedikit, ya? Saya nggak lagi ngajakin Bapak bercanda loh. Saya jauh-jauh bawa Bapak ke sini buat jelasin ke Bapak kalau nggak seharusnya Bapak bicara seperti itu pada orangtua saya. Gini deh. Pokoknya habis ini, Bapak ngantar saya pulang, lalu habis itu kita nggak usah ketemu lagi! Bapak lupain aja kalau Bapak pernah bertemu orang seperti saya dan saya pun akan melakukan hal yang sama. Lupakan saja permintaan bodoh saya sebelumnya. Saya sudah sadar kok kalau itu salah, dan saya bis acari jalan lain bua
Raline mengetukkan jarinya berkali-kali di atas meja. Gelas minuman dinginnya sudah mengembun sejak tadi, tapi isinya belum juga berkurang sedikit pun. Tampak sekali jika gadis itu sedang sangat gugup sekarang. Dan pria di hadapannya masih terdiam, membiarkan Raline hingga gadis itu siap untuk bicara. “Anda nggak punya kerjaan apa? Katanya punya jabatan tinggi di perusahaan. Kok mau-maunya aja saya ajak ketemu di sini?” tanya Raline. Gadis itu terlalu bingung untuk mengutarakan maksud kedatangannya, sehingga ia pun tiba-tiba saja mengatakan hal se-random itu. Gara – pria yang ada di hadapan Raline itu berdehem. “Karena saya pikir kamu akan mengatakan sesuatu yang penting. Lagi pula, kebetulan juga sebentar lagi jam pulang Cinta. Saya sekalian mau jemput dia.” Raline mengangguk-anggukkan kepalanya. Baiklah, sekarang ia tidak punya bahan bahasan yang lain lagi. Suasana canggung pun kembali terjadi selama beberapa saat. “Jadi, kamu mau bicara apa? Kalau kamu masih ragu untuk mengatak
Raline membalas pelukan erat Cinta yang kini berada di atas pangkuannya. Anak itu tampaknya mulai mengantuk. Intensitas obrolan di antara mereka sudah semakin berkurang, begitu pun gerakan-gerakan kecil pada jemari Cinta. “Cinta, jangan tidur dulu ya, sayang! Kamu kan belum makan siang,” ujar Gara, sambil sesekali melirik ke arah putrinya. “Sudahlah, Pak. Lagian kayaknya Cinta ngantuk banget. Dia pasti juga capek, habis main sama teman-temannya.” Raline menengahi. Cinta segera menegakkan tubuhnya, menatap wajah Raline yang ada di hadapannya. Anak itu tampak memaksakan matanya agar terus terbuka, membuat Raline yang menyadari hal itu menyeritkan alisnya. “Kenapa?” “Nggak. Cinta nggak ngantuk kok, Ma, Pa. Cinta nggak mau ketiduran lagi. Cinta nggak mau kayak waktu itu, saat Cinta bangun, tiba-tiba Mama udah nggak ada. Kali ini Cinta nggak akan tidur lagi, biar Cinta bisa selalu jagain Mama,” terang Cinta, sambil kembali memeluk Raline dengan begitu erat. “Tapi kamu kelihatan ngantu
Gara menekan tombol loadspeaker agar percakapannya dengan lawan bicaranya dapat didengar pula oleh Raline. “Saya Gara, calon suaminya Raline,” jawab Gara santai. Sepertinya, orang di seberang sana itu baru saja bertanya siapa Gara. ‘Calon suami? Jangan bercanda! Tolong berikan teleponnya pada Raline! Saya ingin bicara dengannya.’ Raline hendak merebut ponselnya dari Gara. Namun, pria itu segera menjauhkan benda pipih tersebut dari jangkauan Raline. “Saya bukan seorang pelawak, dan saya juga tidak suka bercanda. Bisa kamu katakan saja apa yang ingin kamu sampaikan pada Raline? Kebetulan dia ada di sebelah saya sekarang,” ujar Gara. “Pak, jangan main-main! Siniin teleponnya!” pinta Raline. Namun Gara masih tidak mengindahkannya. ‘Sebenarnya siapa kamu? Kenapa lancang sekali mengaku sebagai calon suami Raline? Apa kamu tidak tahu siapa saya?’ “Apa itu penting?” balas Gara dengan nada meremehkan. “Lucas, kamu matiin aja teleponnya! Nanti kita bicara lagi saat-“ “Katakan saja apa
Raline berencana bangun lebih pagi. Saking kepikirannya, ia bahkan sampai tidak bisa benar-benar lelap dalam tidurnya. Tidur Raline mudah terusik. Begitu pun saat ia merasakan gerakan kecil dari sampingnya. Sebuah tangan terasa mendekapnya begitu erat selama beberapa detik, sebelum terlepas dan berganti menyentuh bagian-bagian wajah Raline. Saat Raline membuka matanya, hal pertama yang ia lihat adalah senyum Cinta. Gadis kecil itu masih tampak pucat, meski sudah tidak sepucat kemarin. Namun, ada yang aneh dengan gadis cilik itu. "Mama sudah bangun? Cinta gangguin Mama, ya? Maaf, ya, Ma," ungkap Cinta sambil kembali mendekap Raline. Saat Cinta kembali memeluknya, Raline merasa semakin yakin jika ada yang tidak beres dengan anak sambungnya itu. Raline segera mengurai pelukan Cinta dan memeriksanya. Ia tempelkan punggung tangannya ke kening Cinta. Dan benar saja ... "Cinta, kamu demam?" heboh Raline. Ia langsung menarik dirinya paksa untuk duduk. Ia memastikan sekali lagi suhu keni
Untuk mengusir rasa bosan, Raline membantu asisten rumah tangganya menyiapkan makan malam. Ia juga ikut menatanya di atas meja makan. Hingga saat Raline terlalu fokus dengan barang bawaannya, ia nyaris saja bertabrakan dengan seselorang. Raline mendongak lalu mundur satu langkah saat melihat kuah semur yang ia bawa nyaris saja mengenai Gara. Andai itu terjadi, Raline yakin, masalahnya dengan Gara pasti akan menjadi semakin runyam. "Ah iya. Ini makan malamnya sudah siap. Mas tunggu di meja makan saja! Oh iya. Cinta mana?" Gadis itu berusaha bersikap biasa saja. "Cinta di kamar. Aku ke sini cuma mau ambilin makan dan obat buat dia,'' jawab Gara seperlunya. Melihat Raline yang terlalu lama mengambilkan apa yang Gara buruhkan, lelaki itu pun segera mengambil inisiatif untuk mengambil alih makanan yang Raline pegang. "Mas, tunggu! Lebih baik Mas makan saja. Biar makanan dan obat Cinta aku yang urus," Raline dengan begitu tulus. "Tidak perlu. Aku masih bisa mengurusnya sendiri kok,"
Tiga hari berlalu pasca pernikahan Raline dengan Gara. Namun, semua masih terasa sama. Gara masih terkesan dingin pada Raline. Bahkan Raline merasa seolah Gara enggan menganggap keberadaannya. Saat ini, Raline masih mengerjakan tugas-tugas kantornya. Pekerjaannya cukup banyak karena memang kesibukan Gara di kantor sedang meningkat. Namun, waktu menunjukkan pukul setengah empat sore. Yang artinya sudah akan memasuki jam pulang kantor. "Tinggalkan saja pekerjaannya! Prioritas kamu sekarang kan ngurusin Cinta," ucap Gara. "Iya, sebentar lagi ini selesai kok. Lagi bantu merapikan bahan meeting besok soalnya," balas Raline. "Tinggal saja! Nanti Cinta nyariin," Gara memaksa. "Sebentar. Paling lima belas sampai dua puluh menit lagi selesai kok." Dan Raline masih kekeuh ingin menyelesaikan pekerjaannya dulu. Saking fokusnya Raline pada pekerjaannya, gadis itu sampai tidak sadar jika bos sekaligus suaminya itu sudah beberapa kali menghela napas panjang. "Raline, kamu masih ingin bekerj
Pukul sembilan malam, Raline, Gara dan Cinta telah sampai di rumah. Beberapa kali Cinta mengucek matanya sambil menguap - menandakan jika anak itu sudah mengantuk. "Mama," panggil Cinta. "Ya, Cinta? Mau Mama yang nemenin kamu gosok gigi sama cuci muka?" tawar Raline. Cinta mengangguk dengan raut wajah yang sangat lucu. "Tapi Cinta juga mau tidur sama Mama, dikelonin Mama," pinta Cinta. Raline refleks menoleh ke arah Gara, seolah meminta persetujuan. Sebenarnya, Raline tidak keberatan tidur di mana saja malam ini. Entah bersama Gara atau pun Cinta, bagi Raline sama saja selagi ia masih bisa tidur untuk mengusir rasa lelahnya. Namun, biar bagaimana pun Gara adalah suaminya. Raline perlu meminta pendapat pria itu walau sekadar hanya untuk formalitas. "Ya udah sana! Cinta boleh tidur sama Mama. Tapi janji, ya, besok pagi jangan susah bangunnya!" pesan Gara. Raline tersenyum mendengarnya. Ia juga sebenarnya lebih senang jika ia tidur bersama Cinta. Karena rasanya pasti sangat cang
16. SAH! (Hari Pernikahan)Raline menghela napas panjang berkali-kali. Ternyata benar. Semakin mendekati hari pernikahan, maka ujian yang datang akan semakin berat. Hari itu telah tiba, dan Raline tak bisa menghindarinya. Pagi ini, ia sudah didandani sedemikian rupa untuk acara pesta pernikahannya. "Mama cantik banget!" seru Cinta yang baru saja datang. Anak itu mengenakan pakaian berwarna pink pastel yang cantik. Cinta sendiri yang memilih model tersebut saat mereka datang ke butik Bu Almira. "Anak Mama juga cantik. Yang ngehias rambutnya siapa, sayang?" tanya Raline melihat rambut anak tirinya yang sudah ditata bak seorang princess negeri dongeng. "Oma," jawab Cinta dengan senyum lebar di bibirnya. Tak lama, Bu Almira muncul. Dia memberitahukan jika pestanya akan segera dimulai sebentar lagi. Maka dari itu, dia datang untuk menjemput Raline dan Cinta. Sebelumnya, Raline sudah berpesan agar pesta pernikahan dilangsungkan secara sederhana saja. Sebab ia bukanlah tipe orang yang
Raline sering uring-uringan akhir-akhir ini. Sebab, ia tidak menyangka jika keluarganya dan Gara akan merencanakan pernikahan secepat ini. Raline pikir, pernikahan mereka mungkin akan digelar setidaknya enam bulan lagi. Namun, ternyata jauh dari itu – Gara meminta pernikahan mereka dilaksanakan dua bulan lagi, dan gilanya hal itu disetujui oleh semua orang kecuali Raline. Tentu, Raline kalah suara. Akhirnya ia pun hanya bisa pasrah menerima keputusan itu.Tidak banyak yang berubah dengan hubungan Raline dan Gara selama satu setengah bulan terakhir. Gara masih sibuk dengan urusan kantor sekaligus sesekali meluangkan waktunya untuk menyiapkan pernikahannya dengan Raline. Sedangkan Raline masih berusaha menyesuaikan diri dengan kesibukan barunya sebagai ‘pengasuh’ Cinta sekaligus pekerja kantoran.Waktu menunjukkan pukul dua siang. Raline masih setia menunggu Gara di ruang kerjanya. Pria itu belum kembali juga sejak jam makan siang tadi. Yang Raline tahu, Gara pergi bersama sekretarisnya
Satu hari setelah kedatangan Gara ke rumah Raline, Raline diizinkan pulang cepat. Pukul tiga sore ia sudah sampai rumah setelah diantar oleh sopir Gara. Gara menugaskan Raline untuk bersiap sebelum Gara menjemputnya dan kedua orangtuanya jam enam petang nanti.Setibanya di rumah, Raline langsung membuka bingkisan yang Gara titipkan melalui sopir. Dan ternyata isinya adalah sebuah gaun yang elegan – yang Raline yakini memiliki harga cukup fantastis.“Loh, ini kan brand-nya Tante Almira,” gumam Raline saat melihat label pada gaun berwarna olive itu.Baru saja Raline akan mencoba gaun itu, suara ketukan pintu mengalihkan perhatiannya. Tanpa bertanya pun ia tahu siapa yang mengetuk pintu kamarnya. Sebab, di rumah ini hanya ada dirinya dan sang bunda.“Masuk aja, Bun!” seru Raline.Tak lama berselang, sosok Bu Arum tampak memasuki kamar putrinya. Tatapan Bu Arum langsung tertuju pada kain berwarna olive di tangan Raline, juga paper bag yang ada di dekat putri tunggalnya itu.“Itu dari Nak
“Sudah susah-susah saya selalu berusaha meyakinkan kamu, kamu masih saja sering ragu?” ketus Gara, begitu ia mendengar penjelasan dari Raline, tentang kenapa gadis itu kembali bersikap aneh sebelumnya.“Ya maaf. Lagian kan wajar, saya sebagai perempuan yang latar belakangnya terlalu bias aini ragu buat nerusin hubungan sama orang kayak Mas,” balas Raline.“Memang dari yang kamu lihat, baik saya maupun orangtua saya, peduli dengan apa yang kamu takutkan tadi?” Raline menggelengkan kepalanya.“Namanya juga takut, Mas. Dan lagi, masalah utamanya bukan itu sekarang. Tapi Bunda dan Ayah. Gimana cara Mas mau meyakinkan mereka? Saya aja tiap ngobrol sama mereka, pasti saya yang kalah. Pasti saya yang akhirnya jadi bimbang lagi,” terang Raline.“Posisi kamu sesulit itu, tapi kamu masih saja sering menghalang-halangi saya untuk bicara dengan kedua orangtua kamu,” balas Gara yang membuat Raline kembali meminta maaf.“Hhhh … sudahlah. Biar kali ini saya yang pikirkan jalan keluarnya. Kamu hanya
Raline seketika gugup dan kembali bimbang meski kini ia sudah berada di depan sekolah Cinta. Seperti janjinya kemarin, ia ingin menjemput dan mengajak Cinta makan siang berdua dengannya. Hanya saja, ia masih bingung dengan langkah apa yang akan ia ambil setelah ini. Karena biar bagaimana pun juga ucapan kedua orangtuanya semalam memberikan pengaruh yang cukup besar bagi pikirannya.“Mama! Bu Ayu, itu mamanya Cinta!” seru seorang gadis cilik dengan rambut kucir kuda yang sangat lucu.Melihat anak itu berlarian ke arahnya diikuti oleh salah seorang guru, senyum Raline pun otomatis tersungging. Gadis itu bersimpuh dan langsung menerima pelukan erat dari Cinta.“Cinta seneng banget Mama menepati janji Mama buat jemput Cinta. Cinta udah kangen banget sama Mama,” ujar Cinta, yang membuat Raline terkekeh.“Baru juga kemarin kita bertemu,” balasnya.Cinta segera mengurai pelukannya agar ia bisa memandangi wajah Raline sepuas hatinya. “Kalau bisa, Cinta maunya sama Mama terus. Nggak mau pisah