Kebisingan itu asalnya dari dia. Dentuman suara kaki Hunter mengisi lorong temaram minim pencahayaan. Ia begitu berani pergi sendirian bahkan tanpa menghidupkan fitur flash yang ada di ponsel pintarnya. Aura yang dipancarkan dingin juga tegang. Fokusnya telah hilang sejak menerima panggilan pagi tadi. Nasihat itu selalu dalam ingatannya, Nathan yang berkata ‘Bekerjalah dengan benar, jangan kau coreng muka saya dengan sikap tidak profesional!’ pun terbukti ampuh mengembalikan fokusnya.
Ttok…
Tangan pria ini mengepal kuat hingga suara ketukan terdengar mengerikan. Ia tak menunggu karena si pemilik kosan langsung membukakan pintu, “Silahkan masuk tuan,” suruh si tuan rumah.
Hunter membawa kaki bagai memasuki dimensi berbeda. Lokasi kosan tidaklah relevan dengan bentukan dalamnya yang begi
Satu lagi pagi yang harus dikuasai Hunter!Sleep was a good healing to the all the problems. Hunter getting better now. Ya tidak sepenuhnya juga, mendingan cocok tersemat untuknya. Ia beberes saat subuh berkumandang. Taking a shower, dressing and a cup of coffee.Rahang pria ini mengeras begitu melihat pantulan dirinya di cermin yang menggantung di dinding. Matanya yang seperti diamond hitam itu membulat tegang. Ia sudah siap menghabisi musuh hingga ke kulit mereka sekalipun. Hunter menyematkan si kecil mungil berharga berdampingan dengan kunci mobil kebanggaan.“Halo tuan?”“Cepat ke mansion!”“Baik tuan, saya dalam perjalanan sekarang.” Kemudian pria kuat itu memburu mesin mobil agar mele
Hunter melangkah lebar keluar dari lobby kantor pusat. Ia menitipkan kantor pada general manager, memberitahu kalau ia harus bertemu direktur dari kantor cabang. Begitu mobilnya sampai dari valet parking, Hunter memburu kursi kemudi sampai duduk tergesa—gesa. Mobil keluar begitu kencang hingga membelah jalanan sesak oleh pejalan kaki.‘Kira—kira dia mau pergi kemana ya?’Serena mengendap—endap bagai siput mengikuti mangsanya. Perasaan janggal tidak terelakkan, bahkan tugas yang seharusnya diserahkan ke Hunter tiba—tiba general manager yang menjemput ke meja kerjanya. Ia belum melihat Steven pagi ini, sampai ia menanyakan hal sederhana tersebut pada pekerja dapur.“Sudah lama kami tidak membuatkan minuman untuk tuan Steven. Ada hal lain lagi yang harus kami jawab nona?”
Aluna berbisik dibalik telepon genggam, ia sengaja mengambil sudut panggung acara agar tidak terdengar oleh siapapun. Namun ada satu orang telah mengikuti langkahnya yang menyerupai pencuri tersebut, Jeffry, pria yang punya rasa padanya mengetahui gelagat perempuan ini. Ada yang lain darinya. ‘Siapakah orang itu, sampai membuat Aluna seperti ini, tersenyum layaknya menggenggam berlian mahal?!’ Acara penutupan akhir tahun terselenggara dengan meriah. Anak—anak juga wali murid menikmati suguhan berkonsep keakraban itu. Semua larut, tapi Jeffry seorang yang tenggelam dalam perasaannya sendiri. Memikirkan Aluna, tempo hari ia sendiri memberikan jeda bagi perempuan yang dicintai itu, supaya bisa menyelami kedekatan mereka selama ini. “Aluna, bisa bicara sebentar?” Jeffry memanggil sang gadis pujaan.
Aluna tengah memikirkan pertemuannya dengan Jeffry barusan. Hatinya masih berisi penuh dengan rasa bersalah, yang kini menjelma bagai jurang yang semakin dalam. Mereka berpisah seperti tempo hari, pulang dari restoran menggunakan kendaraan sendiri—sendiri.Kepala Aluna semakin berat, semua berkecamuk dalam otaknya. Kesuksesan acara yang diemban. Bersamaan, penolakan pada ajakan sang kekasih. Tak berniat lupa, ia telah mematahkan hati dari seorang pria yang baik pula.‘Semoga Jeffry baik—baik saja. Sorry banget Jeff, hati saya cuma milik Steven. Terlambat ataupun tidak kamu bilangnya, tapi dari awal, kamu tidak bisa menyentuh hati saya.’Aluna memejamkan matanya sesaat, kilauan lampu jalan yang dilewati begitu menyilaukan. Tak bisa matanya menetralisir, agar tenang dilihat. Rasa dihati masih b
Dua insan itu menikmati cumbuan mesra mereka, kini mereka masih nyaman bergelung dalam selimut tipis itu. Lengan kokoh perkasa milik lelaki ini, dijadikan bantalan lembut yang memberi rasa tentram bagi Aluna. Perempuan ini tengah menindih prianya, Aluna mengukir remang—remang roti sobek Steven yang menggodai sedari tadi. “Apa kamu tersiksa? Aku begini, kita masih seperti ini?” hobi baru Aluna mencibir sang kekasih, yang belum mau menyentuhnya. Bahkan Aluna sudah memberi izin, sebagai bukti keseriusan dirinya dalam mencintai lelaki berstatus duda ini. “Arrgghh… mau sampai kapan kamu mencemooh begitu Aluna?” lenguhan Steven terdengar berat. “Hemm… entahlah, aku pun tak tau rentang waktunya. Kenapa, apa dia sangat menyakitimu?” ejek Aluna, sorot matanya melihat benda yang berpapasan dengan mesra di bawah sana. Dia m
Serena meremas—remas kemudi mobil dengan gemas. Bibirnya melipit berbuku—buku, sesekali mengetat, lalu mengutuk Boy. Lelaki yang ia pekerjakan demi melancarkan aksinya.Pertemuan tempo hari, sungguh membekas di pikirannya. Serena mampu membaca gelagat Boy, yang sedang menyembunyikan sesuatu. Mereka sudah lama berteman, sangat dekat, bahkan sampai Boy menyimpan rasa padanya. Serena tidak menggubris, berpura-pura tidak tahu. Dia tak mau menjadikan Boy yang notabene—nya teman menjadi dedemenan.“Heh…. Apa sih yang disembunyikan Boy dari gue?” picingan matanya menajam, bagai laser yang siap menghunus kornea.Pagi ini, Serena sengaja mengemudikan mobil kesayangan menuju mansion yang dihuni Steven. Ia mengirim mail pertanda sakit ke bagian HRD. Ia tidak mau nguli terus—terusan, t
Amićo keluar dari mansion. Steven mengendarai jagoan arena itu bersama putranya, yang juga menggilai mobil sport tersebut. Steven menggelontorkan sejumlah uang membawanya kembali dari Italia, kampung halamannya.Perjalanan mereka dibuntuti mobil bodyguard seperti biasanya, sesekali Steven mengawasi duduk Kenzie yang ada disebelahnya. Wajah cerah dan senyum berbinar, kini tersematkan pada wajah kecil Kenzie. Putra kecil Steven sudah tak sabar untuk pergi jalan—jalan.Mobil berhenti di area yang tidak asing bagi Kenzie. Matanya membola, mulutnya sedikit terbuka, dengan kepala yang mengarah ke samping tempat duduknya, “Dad……” serunya menahan gembira.“Yes? I know… it’s real! Miss Aluna akan ikut jalan—jalan bareng kita, are you happy?” tandas Steven menyung
Serena mendekati Aluna yang sedang mengantri di konter es krim, dia sendirian. Steven dan Kenzie sedang menikmati wahana permainan. Serena memanfaatkan keadaan tersebut. Ia ikut mengantri di deretan es krim. Sesekali mata Aluna tertuju pada dua laki—laki beda generasi itu. Senyumnya makin mengembang. Aluna tak menyangka, jika libur akhir tahunnya kali ini terasa berbeda. Dia yang biasanya sendirian, sekarang ada dua laki—laki kesayangan yang terus membuntutinya. Bahkan mereka melimpahkan kasih sayang yang begitu menghangatkan lubuk hati yang terkadang kesepian. ‘Tuhan, bahagia sekali berkatMu tahun ini. Terimakasih, sudah mengirim mereka ke dalam hidupku!’ Sanking senangnya, Aluna sampai tak menyadari, ada sepasang mata yang terus menatap tajam padanya. Mengutuknya dalam hati, berbagai ocehan penuh kemurkaan tela
Sebelum waktu subuh menyapa, Edwin sudah rapi mengenakan kemeja lengan panjang, celana bahan, juga menggamit blazer beige di lengan. Ia menjinjing tas kerjanya yang berwarna coklat. Oxford shoes yang dikenakan senada dengan warna tas. Menuruni anak tangga rumah berbelok ke ruang makan. Sesibuk apapun pekerjaan, Edwin tidak pernah melewatkan waktu makan. Petunia meneliti menu sarapan yang akan dilahap tuan muda Rusyadi itu.“Morning Petunia,” sapa Edwin layaknya anak ke ibu.“Good morning tuan Edwin, silahkan sarapan dulu,” Petunia menunjuk ke hidangan waffle saus blueberry juga secangkir kopi hitam.“Thank you Petunia,” Edwin menyeruput kopi panas itu santai, “Kabar Aluna bagaimana Petunia, masih suka menangis?” ujarnya seraya memotong waffle.Petunia berdiri di samping kanan Edwin, “Masih tuan. Nona Aluna menutup diri, hanya di kamar saja.”“Selera makannya bagaimana?” tanya Edwin datar.“Susah tuan, kalau tidak dipaksa nona tidak mau makan. Paling banyak cuma tiga kali suapan, saya
Satu jam Steven duduk termenung, menanti namanya yang dipanggil. Ia lesu. Wajahnya di lekuk, bahkan ia tak memperdulikan pandangan pasien lain. Penyesalan yang sudah tidak ada artinya lagi. Steven hanya bisa pasrah, kejadian ini belum masuk logikanya, tapi semua yang telah terjadi. Fakta adalah kenyataan yang tidak bisa ia rubah lagi.‘Aku harus apa-in Serena? Demi Tuhan, cinta ini hanya untuk Aluna. Bagaimana kalau Serena berbadan dua karenanya? Argh…’Kepala Steven semakin sakit. Ulah ia menerka—nerka kemungkinan terburuk yang akan menimpa hidupnya. Hatinya sudah terisi sosok Aluna, tidak ada tempat lain lagi, kecuali itu mama Matilda juga putra semata wayang Kenzie.‘Aku nggak sanggup menceritakan kejadian ini pada Aluna. Tentu ia akan menangis bersedih, bahkan menampar pipi ini den
Steven semakin tersiksa, nyeri di tangan kanan terasa kian hebat. Sakit sekali. Kidal—nya beraksi, melalui telepon intercom memanggil supir pribadi. Ia tak menunggu lama, tepat di deringan nada pertama terdengar sahutan di seberang.“Halo tuan,” ujar seorang pria bernada sopan dibalik sambungan.“Jemput saya ke ruangan sekarang, cepat Anto!” tutup Steven.Anto, si supir pribadi termenung. Ia bertanya—tanya, selama mengabdi belum pernah sekali pun naik ke ruangan sang majikan guna menjemputnya. Dan kali ini?Steven terkenal jadi seorang yang mandiri, tegas dan dingin. Kemarahannya akan lama susut, bahkan ribuan cara pun dilakukan belum tentu akan membantu. Steven tipikal seorang pendendam.“Ah,… sudahlah, lebih baik segera naik. Jangan sampai tuan marah juga ke saya!” Anto mengetahui retaknya hubungan kerja antara Steven dengan Hunter juga Nathan. Kini ia pun menjadi kaki tangan mereka diam—diam, tanpa diketahui si bos besar.Anto naik elevator eksekutif, ruang kedap signal titanium it
Steven kelimpungan dalam ruangan. Ia heran pada Aluna, kekasihnya itu kenapa tidak bisa di telpon. Nomornya dialihkan ke pesan suara. Ia tak bisa mendengar lagi pesan manis yang sempat direkam Aluna kemarin. Ribuan tanya tersisipkan, “Apa terjadi sesuatu dengan Aluna? Angkat dong sayang, ku mohon Aluna,…”Beban pikirannya kian bertambah, kemanakah Steven harus mencari Aluna?Pada siapa pula ia harus bertanya?“Sekolah ‘kan masih libur, gak mungkin ada orang disana. Pasti cuma ada pegawai tata usaha disana, Aluna ‘kan tenaga pengajar, mustahil ia kesana!” Steven menjambak rambutnya marah.Sebuah memori tersampir dalam ingatan Steven.“Ya,.. Hunter, jawabannya. Benar sekali!”Steven memanggil sang asisten melalui panggilan intercom, “Ke ruangan saya sekarang!” kemudian nada kereta api yang terdengar.Hunter melerai gagang intercom, lalu memandangnya penuh tanya, ‘Ada apa lagi ya?’ telepon sudah diletakkan pada tempatnya. Ia melangkah lebar hendak menemui sang atasan.Pintu ruangan priba
Amićo terparkir di halaman mansion. Steven keluar tanpa menutup pintu mobil, bahkan deru mesin mobil masih terdengar. Ia meninggalkan jagoan jalannya hidup—hidup. Steven menaiki anak tangga teras kemudian masuk ke dalam mansion. Ia mematung mendapati dua sosok yang masih ia kecam, kini sedang berdiri di depannya.“Ngapain kalian di rumah saya pagi—pagi?” sembur Steven masam.Mereka menunduk. Nathan berdehem, “Mohon beri kami maaf tuan. Tadi Kenzie mencari anda, bodyguard memberitahu kalau anda sedang keluar. Tadi Hunter yang mengantar Kenzie ke tempat kursus renang, dia sempat bertanya tentang anda.”“Lantas,.. kau beri jawaban apa pada putraku?” sahut Steven belum ingin senyum.“Saya hanya bilang kalau tuan sudah pergi ke kantor, ada rapat pagi ini dengan investor dari luar. Kenzie gak bertanya lagi, ia sudah paham dengan jam kerja anda yang sibuk.” Nathan memang ahli membuat alibi.“Kerja bagus,” sahut Steven lunak. Ia dirundung rasa bersalah pada Kenzie, tak seharusnya ia meninggal
Steven menggaruk jemarinya yang terasa gatal. Matanya masih terpejam. Tak lama ia menggeliat sedikit, melonggarkan otot—ototnya yang sedikit kram. Bughh,…‘Kenzie?’Pikirnya ada putranya sedang berbaring disebelah. Tanpa ragu, Steven merangkul hingga mendekap erat. Bahkan Steven membubuhkan kecupan di pucuk kepala.‘Hemm? Ini bukan wangi shampoo Kenzie!’Steven ingin tahu, siapakah gerangan yang mengisi sisi sebelah ranjangnya kini?Perlahan ia membuka matanya, sedikit ia paksa. Steven terperanjat, kasur yang ia huni berombak. Tubuh Steven bergetar karena mendapati ada seorang wanita tengah memunggungi dirinya. Nafasnya tersengal—sengal, matanya belum menyusut. Sungguh ia terkejut. Ia menyibak selimut yang menyelimuti mereka, kembali ia membelalak. Tak satupun helai kain menutupi tubuhnya. Keadaan sama juga pada wanita yang belum ia ketahui siapa namanya.‘Tapi king ku keset, nggak ada tanda—tanda habis main. Siapa nih perempuan?’Steven menelan saliva yang membumbung di tenggorokan.
Edwin terperangah sampai dirinya terhempas duduk di atas sofa. Sungguh ia terkejut mendengar pengakuan Aluna, ‘Kekasih?’ satu kata ini tertempel kuat dalam pikirannya. “Jadi putri papa ini menjalin hubungan asmara dengan anak dari pasien yang ada di rumah sakit kita?” sahut Lukman tak percaya. “Kami belum lama jadiannya pa. Aku minta maaf ya pa,” ungkap Aluna jujur. Kini, ia merasa sangat bersalah. “Kamu tahu status kekasihmu itu?” cicit Edwin menatap tajam. Aluna mengangguk, “Tentu saja abang. Putranya ‘kan aku yang ngajar di Vittorio. Aku juga wali kelasnya, semua data mereka aku yang pegang. Mustahil sekali aku gak tahu soal itu abang. I’m really sorry,..” “Kamu tahu soal ibu kandung murid mu itu?” cecar Edwin. “Setahuku, mommy 'nya Kenzie itu, istri Steven sudah tidak ada. Kenzie bilang kalau mommy 'nya sudah tenang di surga Bapa. Aku gak ngerebut suami orang pa, please abang ngertiin dong… aku juga gak minta sama Tuhan untuk rasa ini. Ngalir gitu aja,” jelas Aluna ke mereka.
Edwin mendapat laporan dari security rumah, jika ada paket untuk Aluna yang dikirim ke mansion. Mereka sengaja memberitahu padanya sebagai penanggung jawab seisi rumah. Lukman Rusyadi menunjuk Edwin untuk memikul tanggung jawab sebagai kepala keluarga Rusyadi. Lukman akui, dirinya semakin sepuh. Bulat tekadnya mendelegasikan satu tanggungan dirinya pada putra sulung satu—satunya.“Siapa pengirimnya?” selidik Edwin khas suara baritone.“Tidak ada namanya tuan. Paket dihantar oleh driver ojek online, waktu saya introgasi ia pun tidak tahu. Paket ini dia ambil dari seseorang bernama Poni.”“Taro paket itu di ruang kerja saya. Siapa yang tau soal paket itu?” sahut Edwin.“Baru tuan, saya tidak bisa menghubungi nona Aluna. Apa perlu saya—”“Tidak perlu. Kerjakan yang tadi saya suruh!” tandas Edwin.***Malam itu Edwin pergi ke ruang kerjanya. Selesai makan malam berdua Lukman, ia pamit duluan. Alasannya ada laporan mingguan yang belum selesai direvisi. Sesampainya di dekat meja kerja, mata
Vin valley residence, lokasi penginapan mewah yang dihuni Aluna. Strategis, dekat dengan tempat ia bekerja, Vittorio kiddy school. Hunter memberhentikan mobil yang dikemudikan, segera Nathan menghamburkan diri langsung keluar tanpa alih—alih permisi. Hunter cuma menatap punggung itu merasa kasihan, ‘Beruntung sekali anda tuan Steven Wijaya!’ tak lama ia pun menyusul langkah kaki yang masih menjejak.Mereka sudah tahu lokasi unit milik Aluna. Kini mereka telah berdiri tepat di depan pintu, dengan keberanian penuh Hunter menekan bel yang menempel di dinding. Sekali, belum juga keluar. Tatapan mata Nathan menyuruhnya mengulangi lagi. Hunter menggeleng, “Sepertinya tidak ada orang didalam tuan.”Nathan menghembuskan nafasnya, tapi sesak belum juga berkurang, “Kemana mereka?” monolog-nya bertanya.Hunter melirik, “Belum pasti mereka sedang bersama tuan,” sahutnya yakin.Bidikan mata Nathan tak setuju, “Seyakin itu kau, Nathan?”“Nada pesan yang disematkan miss Aluna terdengar padat, ia sep