Dua insan itu menikmati cumbuan mesra mereka, kini mereka masih nyaman bergelung dalam selimut tipis itu. Lengan kokoh perkasa milik lelaki ini, dijadikan bantalan lembut yang memberi rasa tentram bagi Aluna. Perempuan ini tengah menindih prianya, Aluna mengukir remang—remang roti sobek Steven yang menggodai sedari tadi.
“Apa kamu tersiksa? Aku begini, kita masih seperti ini?” hobi baru Aluna mencibir sang kekasih, yang belum mau menyentuhnya. Bahkan Aluna sudah memberi izin, sebagai bukti keseriusan dirinya dalam mencintai lelaki berstatus duda ini.
“Arrgghh… mau sampai kapan kamu mencemooh begitu Aluna?” lenguhan Steven terdengar berat.
“Hemm… entahlah, aku pun tak tau rentang waktunya. Kenapa, apa dia sangat menyakitimu?” ejek Aluna, sorot matanya melihat benda yang berpapasan dengan mesra di bawah sana. Dia m
Feel freee cit chat di kolom komentar ya guys ♥ Dira pengen baca isi pikiran kalian hhohoho
Serena meremas—remas kemudi mobil dengan gemas. Bibirnya melipit berbuku—buku, sesekali mengetat, lalu mengutuk Boy. Lelaki yang ia pekerjakan demi melancarkan aksinya.Pertemuan tempo hari, sungguh membekas di pikirannya. Serena mampu membaca gelagat Boy, yang sedang menyembunyikan sesuatu. Mereka sudah lama berteman, sangat dekat, bahkan sampai Boy menyimpan rasa padanya. Serena tidak menggubris, berpura-pura tidak tahu. Dia tak mau menjadikan Boy yang notabene—nya teman menjadi dedemenan.“Heh…. Apa sih yang disembunyikan Boy dari gue?” picingan matanya menajam, bagai laser yang siap menghunus kornea.Pagi ini, Serena sengaja mengemudikan mobil kesayangan menuju mansion yang dihuni Steven. Ia mengirim mail pertanda sakit ke bagian HRD. Ia tidak mau nguli terus—terusan, t
Amićo keluar dari mansion. Steven mengendarai jagoan arena itu bersama putranya, yang juga menggilai mobil sport tersebut. Steven menggelontorkan sejumlah uang membawanya kembali dari Italia, kampung halamannya.Perjalanan mereka dibuntuti mobil bodyguard seperti biasanya, sesekali Steven mengawasi duduk Kenzie yang ada disebelahnya. Wajah cerah dan senyum berbinar, kini tersematkan pada wajah kecil Kenzie. Putra kecil Steven sudah tak sabar untuk pergi jalan—jalan.Mobil berhenti di area yang tidak asing bagi Kenzie. Matanya membola, mulutnya sedikit terbuka, dengan kepala yang mengarah ke samping tempat duduknya, “Dad……” serunya menahan gembira.“Yes? I know… it’s real! Miss Aluna akan ikut jalan—jalan bareng kita, are you happy?” tandas Steven menyung
Serena mendekati Aluna yang sedang mengantri di konter es krim, dia sendirian. Steven dan Kenzie sedang menikmati wahana permainan. Serena memanfaatkan keadaan tersebut. Ia ikut mengantri di deretan es krim. Sesekali mata Aluna tertuju pada dua laki—laki beda generasi itu. Senyumnya makin mengembang. Aluna tak menyangka, jika libur akhir tahunnya kali ini terasa berbeda. Dia yang biasanya sendirian, sekarang ada dua laki—laki kesayangan yang terus membuntutinya. Bahkan mereka melimpahkan kasih sayang yang begitu menghangatkan lubuk hati yang terkadang kesepian. ‘Tuhan, bahagia sekali berkatMu tahun ini. Terimakasih, sudah mengirim mereka ke dalam hidupku!’ Sanking senangnya, Aluna sampai tak menyadari, ada sepasang mata yang terus menatap tajam padanya. Mengutuknya dalam hati, berbagai ocehan penuh kemurkaan tela
Angin malam bertiup kencang. Menggoyang daun bunga aglaonema yang tertata rapi di balkon kamar milik Serena. Tangan kanannya mencengkram ponsel, sedangkan tangan kirinya dipenuhi gelas kristal yang terisi wine segar, hingga memuat setengah badan benda bening tersebut. Serena tak mengikat dress pajamas. Ia lepas, terurai bebas, bagian tali pengikat di pinggang. Begitu pula keadaan rambut ash gray, yang sudah memanjang, melewati bahu. Oglek… “Kenapa rasa wine ini tidak enak? Apa dia tahu, kalau hati gue pun hambar, hancur, sama seperti rasanya yang tak enak sama sekali!” Setetes bulir bening mengaliri wajah Serena yang memucat. Ia tidak memoles kulitnya, bahkan skincare sekalipun. Ia benar—benar malas, semangat hidupnya terurai. Melebur lenyap disertai rasa kecewa di hati. “Gue harus melakukan sesuatu. Gue sama sekali gak rela, kalau Steven sampai dimiliki perempuan itu. Susah payah gue sampai ke titik ini, gue belum kalah. Gue gak boleh kalah!” Keteguhan Serena membulat. Gelas win
Steven dikuasai egonya, begitu pula Nathan yang kecewa. Hunter memilih diam, tapi tetap melayani kebutuhan sang atasan, ia tak lengah seraya mengawasi gerak gerik Serena. Dalang dari kesedihan yang memilukan keluarga Wijaya. Ketiganya sudah tidak sehangat dulu, sebab kesalahpahaman yang sedang terjadi. Hubungan mereka pun merenggang.Steven dingin bagai bongkahan es yang padat di kutub utara. Hunter tak mempersoalkan sikap Steven yang demikian, ia masih teringat akan perkataan Steven tempo hari. Kemudian sang boss besar pun masuk ke ruangan hingga menghempas pintu sampai kencang terdengar.Disisi lain, sudut kubikel di kantor Wijaya.Serena masih menyusun siasat, entah apa itu hanya dia yang tahu. Hunter dengan mata yang membesar dari biasanya, melihat dari sudut mata yang tajam, bahkan alisnya pun menukik bak tanjakan curam menaiki perbukitan.‘Oke, gue yakin ini pasti akan berhasil. Gue gak boleh menunda lagi. Steven, sebentar lagi, gue yakin bisa menjadi pendamping lo!’Zzuip…Sebu
Steven menggebrak pintu utama mansion, bergaya trendi casual sangat santai jauh berbeda dari biasanya. Ia mengedikkan satu jari, memanggil seorang bodyguard. Tergopoh—gopoh pria bodyguard menghampiri tuannya. Membungkuk setengah badan pertanda hormat tak pernah ia lupakan.“Saya akan keluar, jangan satupun dari kalian yang memberi laporan pada Hunter maupun Nathan. Kalian masih ingatkan kalau saya lah yang memberi kalian gaji, bukan mereka!”“Ingat tuan, baik saya paham. Boleh saya tau tuan hendak kemana?”“Kau tak mendengar apa yang baru saja saya katakan?” sembur Steven berang.“Saya perlu menyiapkan jawaban untuk tuan muda Kenzie tuan,” tutur bodyguard merunduk.Steven menghela nafas kasar, “Sebelum Kenzie bangun, saya sudah di rumah. Sekarang buka gerbang!” titahnya sembari unlock amićo.Sport car blue metallic melesat keluar mansion Wijaya. Steven mengemudi sendiri, pergi pun mandiri tanpa ditemani para pengawal bayaran-nya.Pria bodyguard tadi membuka komputer, fokusnya kini ke
“Anda paham kan gimana rasanya tuan Prayoga?” tanya Steven ngawur.“Iya tuan saya paham. Seharusnya kekasih tuan bersama anda sekarang, tapi kenyataan malah saya yang menemani tuan!” Prayoga menuang lagi botol alkohol ke gelas Steven. Cekokan alcohol itu dosis berat.Prayoga sengaja menutup—nutupi, ia tak ingin Steven menyadari aksi liciknya. Meja pojok di sudut kanan yang mereka huni sangat private. Tidak ada yang peduli, sibuk sama urusan masing—masing. Prayoga memesan dua whisky beda dosis, gelas pertama memang sama tapi gelas berikutnya Steven telah masuk perangkap.Siapa dalang kejadian ini?Right, she’s Serena. Putri yang dirindukan Prayoga. Ia sadar kalau kesalahan yang dulu pernah diperbuat mengenai mental Serena sangat d
Vin valley residence, lokasi penginapan mewah yang dihuni Aluna. Strategis, dekat dengan tempat ia bekerja, Vittorio kiddy school. Hunter memberhentikan mobil yang dikemudikan, segera Nathan menghamburkan diri langsung keluar tanpa alih—alih permisi. Hunter cuma menatap punggung itu merasa kasihan, ‘Beruntung sekali anda tuan Steven Wijaya!’ tak lama ia pun menyusul langkah kaki yang masih menjejak.Mereka sudah tahu lokasi unit milik Aluna. Kini mereka telah berdiri tepat di depan pintu, dengan keberanian penuh Hunter menekan bel yang menempel di dinding. Sekali, belum juga keluar. Tatapan mata Nathan menyuruhnya mengulangi lagi. Hunter menggeleng, “Sepertinya tidak ada orang didalam tuan.”Nathan menghembuskan nafasnya, tapi sesak belum juga berkurang, “Kemana mereka?” monolog-nya bertanya.Hunter melirik, “Belum pasti mereka sedang bersama tuan,” sahutnya yakin.Bidikan mata Nathan tak setuju, “Seyakin itu kau, Nathan?”“Nada pesan yang disematkan miss Aluna terdengar padat, ia sep