Aluna kaget bukan kepalang, ia tak menyangka jika pria itu akan datang menyaksikan audisi seleksi penampilan anak—anak untuk acara penutupan akhir tahun. Yup, Steven tidak mengatakan kehadirannya di siang hari ini. Dia sengaja, ingin memberi kejutan pada kekasih, pun Aluna terperangah mendapati kehadiran sang pujaan. Mereka saling memandangi dengan seulas senyum tipis kerinduan.
Jeffry membuka audisi, pria berkacamata ini memanggil anak—anak one by one, agar berdiri di dalam lingkaran bulat berwarna putih dengan diameter cukup lebar.
Di kursi juri, ada Jeffry yang berada ditengah dengan Aluna dan Denasari di sampingnya. Mereka bertiga terhibur dengan bakat yang ditampilkan anak—anak. Mereka tak menyangka antusias mereka sebesar ini, begitu juga dengan wali murid yang ikut menyaksikan. Selain Steven, ada juga barisan mama muda bangga karena dud
Kebisingan itu asalnya dari dia. Dentuman suara kaki Hunter mengisi lorong temaram minim pencahayaan. Ia begitu berani pergi sendirian bahkan tanpa menghidupkan fitur flash yang ada di ponsel pintarnya. Aura yang dipancarkan dingin juga tegang. Fokusnya telah hilang sejak menerima panggilan pagi tadi. Nasihat itu selalu dalam ingatannya, Nathan yang berkata ‘Bekerjalah dengan benar, jangan kau coreng muka saya dengan sikap tidak profesional!’ pun terbukti ampuh mengembalikan fokusnya.Ttok…Tangan pria ini mengepal kuat hingga suara ketukan terdengar mengerikan. Ia tak menunggu karena si pemilik kosan langsung membukakan pintu, “Silahkan masuk tuan,” suruh si tuan rumah.Hunter membawa kaki bagai memasuki dimensi berbeda. Lokasi kosan tidaklah relevan dengan bentukan dalamnya yang begi
Satu lagi pagi yang harus dikuasai Hunter!Sleep was a good healing to the all the problems. Hunter getting better now. Ya tidak sepenuhnya juga, mendingan cocok tersemat untuknya. Ia beberes saat subuh berkumandang. Taking a shower, dressing and a cup of coffee.Rahang pria ini mengeras begitu melihat pantulan dirinya di cermin yang menggantung di dinding. Matanya yang seperti diamond hitam itu membulat tegang. Ia sudah siap menghabisi musuh hingga ke kulit mereka sekalipun. Hunter menyematkan si kecil mungil berharga berdampingan dengan kunci mobil kebanggaan.“Halo tuan?”“Cepat ke mansion!”“Baik tuan, saya dalam perjalanan sekarang.” Kemudian pria kuat itu memburu mesin mobil agar mele
Hunter melangkah lebar keluar dari lobby kantor pusat. Ia menitipkan kantor pada general manager, memberitahu kalau ia harus bertemu direktur dari kantor cabang. Begitu mobilnya sampai dari valet parking, Hunter memburu kursi kemudi sampai duduk tergesa—gesa. Mobil keluar begitu kencang hingga membelah jalanan sesak oleh pejalan kaki.‘Kira—kira dia mau pergi kemana ya?’Serena mengendap—endap bagai siput mengikuti mangsanya. Perasaan janggal tidak terelakkan, bahkan tugas yang seharusnya diserahkan ke Hunter tiba—tiba general manager yang menjemput ke meja kerjanya. Ia belum melihat Steven pagi ini, sampai ia menanyakan hal sederhana tersebut pada pekerja dapur.“Sudah lama kami tidak membuatkan minuman untuk tuan Steven. Ada hal lain lagi yang harus kami jawab nona?”
Aluna berbisik dibalik telepon genggam, ia sengaja mengambil sudut panggung acara agar tidak terdengar oleh siapapun. Namun ada satu orang telah mengikuti langkahnya yang menyerupai pencuri tersebut, Jeffry, pria yang punya rasa padanya mengetahui gelagat perempuan ini. Ada yang lain darinya. ‘Siapakah orang itu, sampai membuat Aluna seperti ini, tersenyum layaknya menggenggam berlian mahal?!’ Acara penutupan akhir tahun terselenggara dengan meriah. Anak—anak juga wali murid menikmati suguhan berkonsep keakraban itu. Semua larut, tapi Jeffry seorang yang tenggelam dalam perasaannya sendiri. Memikirkan Aluna, tempo hari ia sendiri memberikan jeda bagi perempuan yang dicintai itu, supaya bisa menyelami kedekatan mereka selama ini. “Aluna, bisa bicara sebentar?” Jeffry memanggil sang gadis pujaan.
Aluna tengah memikirkan pertemuannya dengan Jeffry barusan. Hatinya masih berisi penuh dengan rasa bersalah, yang kini menjelma bagai jurang yang semakin dalam. Mereka berpisah seperti tempo hari, pulang dari restoran menggunakan kendaraan sendiri—sendiri.Kepala Aluna semakin berat, semua berkecamuk dalam otaknya. Kesuksesan acara yang diemban. Bersamaan, penolakan pada ajakan sang kekasih. Tak berniat lupa, ia telah mematahkan hati dari seorang pria yang baik pula.‘Semoga Jeffry baik—baik saja. Sorry banget Jeff, hati saya cuma milik Steven. Terlambat ataupun tidak kamu bilangnya, tapi dari awal, kamu tidak bisa menyentuh hati saya.’Aluna memejamkan matanya sesaat, kilauan lampu jalan yang dilewati begitu menyilaukan. Tak bisa matanya menetralisir, agar tenang dilihat. Rasa dihati masih b
Dua insan itu menikmati cumbuan mesra mereka, kini mereka masih nyaman bergelung dalam selimut tipis itu. Lengan kokoh perkasa milik lelaki ini, dijadikan bantalan lembut yang memberi rasa tentram bagi Aluna. Perempuan ini tengah menindih prianya, Aluna mengukir remang—remang roti sobek Steven yang menggodai sedari tadi. “Apa kamu tersiksa? Aku begini, kita masih seperti ini?” hobi baru Aluna mencibir sang kekasih, yang belum mau menyentuhnya. Bahkan Aluna sudah memberi izin, sebagai bukti keseriusan dirinya dalam mencintai lelaki berstatus duda ini. “Arrgghh… mau sampai kapan kamu mencemooh begitu Aluna?” lenguhan Steven terdengar berat. “Hemm… entahlah, aku pun tak tau rentang waktunya. Kenapa, apa dia sangat menyakitimu?” ejek Aluna, sorot matanya melihat benda yang berpapasan dengan mesra di bawah sana. Dia m
Serena meremas—remas kemudi mobil dengan gemas. Bibirnya melipit berbuku—buku, sesekali mengetat, lalu mengutuk Boy. Lelaki yang ia pekerjakan demi melancarkan aksinya.Pertemuan tempo hari, sungguh membekas di pikirannya. Serena mampu membaca gelagat Boy, yang sedang menyembunyikan sesuatu. Mereka sudah lama berteman, sangat dekat, bahkan sampai Boy menyimpan rasa padanya. Serena tidak menggubris, berpura-pura tidak tahu. Dia tak mau menjadikan Boy yang notabene—nya teman menjadi dedemenan.“Heh…. Apa sih yang disembunyikan Boy dari gue?” picingan matanya menajam, bagai laser yang siap menghunus kornea.Pagi ini, Serena sengaja mengemudikan mobil kesayangan menuju mansion yang dihuni Steven. Ia mengirim mail pertanda sakit ke bagian HRD. Ia tidak mau nguli terus—terusan, t
Amićo keluar dari mansion. Steven mengendarai jagoan arena itu bersama putranya, yang juga menggilai mobil sport tersebut. Steven menggelontorkan sejumlah uang membawanya kembali dari Italia, kampung halamannya.Perjalanan mereka dibuntuti mobil bodyguard seperti biasanya, sesekali Steven mengawasi duduk Kenzie yang ada disebelahnya. Wajah cerah dan senyum berbinar, kini tersematkan pada wajah kecil Kenzie. Putra kecil Steven sudah tak sabar untuk pergi jalan—jalan.Mobil berhenti di area yang tidak asing bagi Kenzie. Matanya membola, mulutnya sedikit terbuka, dengan kepala yang mengarah ke samping tempat duduknya, “Dad……” serunya menahan gembira.“Yes? I know… it’s real! Miss Aluna akan ikut jalan—jalan bareng kita, are you happy?” tandas Steven menyung