Aluna ingin membelokan mobilnya ke parkiran basement apartemen, matanya membulat sempurna tatkala melihat Steven sedang berdiri dibawah payung dekat mobilnya sendiri. Mereka saling bersitatap di teras lobby apartemen yang lengang, hanya ada guyuran hujan yang lebat. Tak lama ponsel Aluna berdering, tercantum nama Steven disana.
‘Pak Steven Kenzie’
Aluna jadi berpikir, “Kenapa ini?” lantas ia pun menjadi kalut.
“Halo pak Steven,” Aluna menjawab panggilan Steven gugup.
“Miss Aluna, bisa saya minta waktu anda sebentar? Ada yang ingin saya bahas dengan anda!” ungkap Steven tenang.
“Bisa pak, kalau begitu saya parkir dulu. Kita bertemu di coffee shop saja,” tawar Aluna.
Steven me
jadian ♥
Kasmaran!Bagai candu dalam memulai suatu hubungan. Steven sepakat dengan Aluna, mereka akan menjalin hubungan yang lebih dekat lagi bukan hanya sekedar guru dengan wali murid. Ya walau masih canggung satu sama lain, tapi kebahagiaan yang ada di hati mereka sangat terpancar dari rona wajah masing—masing.Steven begitu menjaga Aluna yang masih harus beristirahat di klinik sampai cairan infusnya habis. Hampir dua jam mereka disana, begitu selesai Steven mengurus keperluan Aluna termasuk membayar biaya perawatan wanita tersebut. Aluna sempat menolak namun Steven mulai menunjukkan sedikit jati dirinya yang keras kepala juga tidak suka adanya penolakan.Steven mengantarkan Aluna hingga ke depan pintu apartemen, “Tidur, jangan begadang. Besok saya jemput sekalian nganter Kenzie ke sekolah. Kita sarapan bareng,
Aluna dan Jeffry dipanggil menghadap ke ruang Denasari selaku kepala sekolah Vittorio Kiddy School. Mereka sempat chit chat membahas tugas masing—masing. “Jeffry, coba kamu lihat desain yang sudah saya buat semalam. Gimana pendapatmu?” Aluna menggeser notebook ke Jeffry memperlihat desain panggung juga dekorasi yang akan digunakan untuk acara penutupan akhir tahun nanti. Jeffry takjub karena mata tidak bisa berbohong, “Wonderful, gak salah saya minta kamu yang desain Aluna. Saya yakin miss Dena akan menyukainya!” lisan pria ini begitu mudah mengungkapkan pujian manis yang memabukan. “Sungguh? Baguslah, berarti gak sia—sia saya begadang semalaman!” sahut Aluna datar. Hatinya kecut, teringat pada perkataan Steven yang menyuruh agar beristirahat. Apalagi Aluna sempat diinfus di klinik yang ada di gedung apartemen.
Seorang kurir delivery mengantarkan makanan cepat saji ke Vittorio kiddy school. Pesanan diperiksa oleh security lalu mengimbau pemilik yang memesan makanan ini. Jeffry segera datang dengan membawa ponsel. Ia menggunakan layanan ojek makanan. Ia memesan banyak makanan, untuknya, Aluna juga pekerja lain yang membantu mereka membuat dekorasi acara penutupan akhir tahun sekolah.“Aluna ini makan dulu,” Jeffry menyerahkan satu set makanan cepat saji yang lengkap. Ada nasi, lauk, juga salad segar. Tak lupa minuman penyegar dahaga.“Whoa… thanks Jeff, next time saya yang traktir ya!” sambut Aluna menerima kebaikan yang lagi—lagi ditunjukan pria berkacamata itu.Jeffry tersenyum lebar, kini hatinya senang dan ia akan menunggu datangnya hari itu. Jeffry juga membagikan makanan ke yang la
Kenzie duduk manis di sofa yang ada dalam ruang kerja sang ayah, ia membaca buku cerita yang dibawa dari rumah. Steven sibuk mengurus pekerjaannya sambil melirik sesekali ke wajah putranya. Kenzie teringat akan audisi yang akan diadakan sekolah besok.“Dad, are you busy?” celetuk Kenzie memandang ke Steven.“Sedikit!”“Hmmm…… oke,” Kenzie membalik lagi buku ceritanya, melanjutkan bacaan yang sempat tertunda.Steven menghentikan sebentar pekerjaannya, “Kenzie mau ngomong sesuatu?” tanya ia penasaran.“Sebenarnya, aku ingin nanya pendapat daddy. Tapi nanti saja, daddy lanjutin aja kerjaannya.” Kenzie membuat Steven takjub. Putranya seperti menjelma bagai
Kenzie memberikan kejutan pada Steven yakni mengatakan keikutsertaannya dalam audisi yang akan diadakan hari ini di sekolah. Tentu daddy tampan itu terkejut mendengar keinginan putranya, “Kenzie pilih yang mana?” tanya Steven penasaran.“Aku akan nyanyi dad. Aku juga udah bilang ke miss Aluna, semoga aku terpilih buat tampil di acara itu ya dad.” Begitulah harapan Kenzie. Sebenarnya, salah satu alasannya ingin bernyanyi adalah agar Steven bisa mendengar suara indahnya. Sebab waktu mothers’ day Steven tak sempat menonton aksi Kenzie karena telat sampai di lokasi acara.Selesai sarapan, Steven mengantar Kenzie ke Vittorio diikuti bodyguard juga Hunter ada disana. Mereka bersama—sama membelah jalanan agar cepat sampai sekolah.“Bye dad,” Kenzie mengecup wajah ayahnya lalu
Aluna kaget bukan kepalang, ia tak menyangka jika pria itu akan datang menyaksikan audisi seleksi penampilan anak—anak untuk acara penutupan akhir tahun. Yup, Steven tidak mengatakan kehadirannya di siang hari ini. Dia sengaja, ingin memberi kejutan pada kekasih, pun Aluna terperangah mendapati kehadiran sang pujaan. Mereka saling memandangi dengan seulas senyum tipis kerinduan.Jeffry membuka audisi, pria berkacamata ini memanggil anak—anak one by one, agar berdiri di dalam lingkaran bulat berwarna putih dengan diameter cukup lebar.Di kursi juri, ada Jeffry yang berada ditengah dengan Aluna dan Denasari di sampingnya. Mereka bertiga terhibur dengan bakat yang ditampilkan anak—anak. Mereka tak menyangka antusias mereka sebesar ini, begitu juga dengan wali murid yang ikut menyaksikan. Selain Steven, ada juga barisan mama muda bangga karena dud
Kebisingan itu asalnya dari dia. Dentuman suara kaki Hunter mengisi lorong temaram minim pencahayaan. Ia begitu berani pergi sendirian bahkan tanpa menghidupkan fitur flash yang ada di ponsel pintarnya. Aura yang dipancarkan dingin juga tegang. Fokusnya telah hilang sejak menerima panggilan pagi tadi. Nasihat itu selalu dalam ingatannya, Nathan yang berkata ‘Bekerjalah dengan benar, jangan kau coreng muka saya dengan sikap tidak profesional!’ pun terbukti ampuh mengembalikan fokusnya.Ttok…Tangan pria ini mengepal kuat hingga suara ketukan terdengar mengerikan. Ia tak menunggu karena si pemilik kosan langsung membukakan pintu, “Silahkan masuk tuan,” suruh si tuan rumah.Hunter membawa kaki bagai memasuki dimensi berbeda. Lokasi kosan tidaklah relevan dengan bentukan dalamnya yang begi
Satu lagi pagi yang harus dikuasai Hunter!Sleep was a good healing to the all the problems. Hunter getting better now. Ya tidak sepenuhnya juga, mendingan cocok tersemat untuknya. Ia beberes saat subuh berkumandang. Taking a shower, dressing and a cup of coffee.Rahang pria ini mengeras begitu melihat pantulan dirinya di cermin yang menggantung di dinding. Matanya yang seperti diamond hitam itu membulat tegang. Ia sudah siap menghabisi musuh hingga ke kulit mereka sekalipun. Hunter menyematkan si kecil mungil berharga berdampingan dengan kunci mobil kebanggaan.“Halo tuan?”“Cepat ke mansion!”“Baik tuan, saya dalam perjalanan sekarang.” Kemudian pria kuat itu memburu mesin mobil agar mele
Sebelum waktu subuh menyapa, Edwin sudah rapi mengenakan kemeja lengan panjang, celana bahan, juga menggamit blazer beige di lengan. Ia menjinjing tas kerjanya yang berwarna coklat. Oxford shoes yang dikenakan senada dengan warna tas. Menuruni anak tangga rumah berbelok ke ruang makan. Sesibuk apapun pekerjaan, Edwin tidak pernah melewatkan waktu makan. Petunia meneliti menu sarapan yang akan dilahap tuan muda Rusyadi itu.“Morning Petunia,” sapa Edwin layaknya anak ke ibu.“Good morning tuan Edwin, silahkan sarapan dulu,” Petunia menunjuk ke hidangan waffle saus blueberry juga secangkir kopi hitam.“Thank you Petunia,” Edwin menyeruput kopi panas itu santai, “Kabar Aluna bagaimana Petunia, masih suka menangis?” ujarnya seraya memotong waffle.Petunia berdiri di samping kanan Edwin, “Masih tuan. Nona Aluna menutup diri, hanya di kamar saja.”“Selera makannya bagaimana?” tanya Edwin datar.“Susah tuan, kalau tidak dipaksa nona tidak mau makan. Paling banyak cuma tiga kali suapan, saya
Satu jam Steven duduk termenung, menanti namanya yang dipanggil. Ia lesu. Wajahnya di lekuk, bahkan ia tak memperdulikan pandangan pasien lain. Penyesalan yang sudah tidak ada artinya lagi. Steven hanya bisa pasrah, kejadian ini belum masuk logikanya, tapi semua yang telah terjadi. Fakta adalah kenyataan yang tidak bisa ia rubah lagi.‘Aku harus apa-in Serena? Demi Tuhan, cinta ini hanya untuk Aluna. Bagaimana kalau Serena berbadan dua karenanya? Argh…’Kepala Steven semakin sakit. Ulah ia menerka—nerka kemungkinan terburuk yang akan menimpa hidupnya. Hatinya sudah terisi sosok Aluna, tidak ada tempat lain lagi, kecuali itu mama Matilda juga putra semata wayang Kenzie.‘Aku nggak sanggup menceritakan kejadian ini pada Aluna. Tentu ia akan menangis bersedih, bahkan menampar pipi ini den
Steven semakin tersiksa, nyeri di tangan kanan terasa kian hebat. Sakit sekali. Kidal—nya beraksi, melalui telepon intercom memanggil supir pribadi. Ia tak menunggu lama, tepat di deringan nada pertama terdengar sahutan di seberang.“Halo tuan,” ujar seorang pria bernada sopan dibalik sambungan.“Jemput saya ke ruangan sekarang, cepat Anto!” tutup Steven.Anto, si supir pribadi termenung. Ia bertanya—tanya, selama mengabdi belum pernah sekali pun naik ke ruangan sang majikan guna menjemputnya. Dan kali ini?Steven terkenal jadi seorang yang mandiri, tegas dan dingin. Kemarahannya akan lama susut, bahkan ribuan cara pun dilakukan belum tentu akan membantu. Steven tipikal seorang pendendam.“Ah,… sudahlah, lebih baik segera naik. Jangan sampai tuan marah juga ke saya!” Anto mengetahui retaknya hubungan kerja antara Steven dengan Hunter juga Nathan. Kini ia pun menjadi kaki tangan mereka diam—diam, tanpa diketahui si bos besar.Anto naik elevator eksekutif, ruang kedap signal titanium it
Steven kelimpungan dalam ruangan. Ia heran pada Aluna, kekasihnya itu kenapa tidak bisa di telpon. Nomornya dialihkan ke pesan suara. Ia tak bisa mendengar lagi pesan manis yang sempat direkam Aluna kemarin. Ribuan tanya tersisipkan, “Apa terjadi sesuatu dengan Aluna? Angkat dong sayang, ku mohon Aluna,…”Beban pikirannya kian bertambah, kemanakah Steven harus mencari Aluna?Pada siapa pula ia harus bertanya?“Sekolah ‘kan masih libur, gak mungkin ada orang disana. Pasti cuma ada pegawai tata usaha disana, Aluna ‘kan tenaga pengajar, mustahil ia kesana!” Steven menjambak rambutnya marah.Sebuah memori tersampir dalam ingatan Steven.“Ya,.. Hunter, jawabannya. Benar sekali!”Steven memanggil sang asisten melalui panggilan intercom, “Ke ruangan saya sekarang!” kemudian nada kereta api yang terdengar.Hunter melerai gagang intercom, lalu memandangnya penuh tanya, ‘Ada apa lagi ya?’ telepon sudah diletakkan pada tempatnya. Ia melangkah lebar hendak menemui sang atasan.Pintu ruangan priba
Amićo terparkir di halaman mansion. Steven keluar tanpa menutup pintu mobil, bahkan deru mesin mobil masih terdengar. Ia meninggalkan jagoan jalannya hidup—hidup. Steven menaiki anak tangga teras kemudian masuk ke dalam mansion. Ia mematung mendapati dua sosok yang masih ia kecam, kini sedang berdiri di depannya.“Ngapain kalian di rumah saya pagi—pagi?” sembur Steven masam.Mereka menunduk. Nathan berdehem, “Mohon beri kami maaf tuan. Tadi Kenzie mencari anda, bodyguard memberitahu kalau anda sedang keluar. Tadi Hunter yang mengantar Kenzie ke tempat kursus renang, dia sempat bertanya tentang anda.”“Lantas,.. kau beri jawaban apa pada putraku?” sahut Steven belum ingin senyum.“Saya hanya bilang kalau tuan sudah pergi ke kantor, ada rapat pagi ini dengan investor dari luar. Kenzie gak bertanya lagi, ia sudah paham dengan jam kerja anda yang sibuk.” Nathan memang ahli membuat alibi.“Kerja bagus,” sahut Steven lunak. Ia dirundung rasa bersalah pada Kenzie, tak seharusnya ia meninggal
Steven menggaruk jemarinya yang terasa gatal. Matanya masih terpejam. Tak lama ia menggeliat sedikit, melonggarkan otot—ototnya yang sedikit kram. Bughh,…‘Kenzie?’Pikirnya ada putranya sedang berbaring disebelah. Tanpa ragu, Steven merangkul hingga mendekap erat. Bahkan Steven membubuhkan kecupan di pucuk kepala.‘Hemm? Ini bukan wangi shampoo Kenzie!’Steven ingin tahu, siapakah gerangan yang mengisi sisi sebelah ranjangnya kini?Perlahan ia membuka matanya, sedikit ia paksa. Steven terperanjat, kasur yang ia huni berombak. Tubuh Steven bergetar karena mendapati ada seorang wanita tengah memunggungi dirinya. Nafasnya tersengal—sengal, matanya belum menyusut. Sungguh ia terkejut. Ia menyibak selimut yang menyelimuti mereka, kembali ia membelalak. Tak satupun helai kain menutupi tubuhnya. Keadaan sama juga pada wanita yang belum ia ketahui siapa namanya.‘Tapi king ku keset, nggak ada tanda—tanda habis main. Siapa nih perempuan?’Steven menelan saliva yang membumbung di tenggorokan.
Edwin terperangah sampai dirinya terhempas duduk di atas sofa. Sungguh ia terkejut mendengar pengakuan Aluna, ‘Kekasih?’ satu kata ini tertempel kuat dalam pikirannya. “Jadi putri papa ini menjalin hubungan asmara dengan anak dari pasien yang ada di rumah sakit kita?” sahut Lukman tak percaya. “Kami belum lama jadiannya pa. Aku minta maaf ya pa,” ungkap Aluna jujur. Kini, ia merasa sangat bersalah. “Kamu tahu status kekasihmu itu?” cicit Edwin menatap tajam. Aluna mengangguk, “Tentu saja abang. Putranya ‘kan aku yang ngajar di Vittorio. Aku juga wali kelasnya, semua data mereka aku yang pegang. Mustahil sekali aku gak tahu soal itu abang. I’m really sorry,..” “Kamu tahu soal ibu kandung murid mu itu?” cecar Edwin. “Setahuku, mommy 'nya Kenzie itu, istri Steven sudah tidak ada. Kenzie bilang kalau mommy 'nya sudah tenang di surga Bapa. Aku gak ngerebut suami orang pa, please abang ngertiin dong… aku juga gak minta sama Tuhan untuk rasa ini. Ngalir gitu aja,” jelas Aluna ke mereka.
Edwin mendapat laporan dari security rumah, jika ada paket untuk Aluna yang dikirim ke mansion. Mereka sengaja memberitahu padanya sebagai penanggung jawab seisi rumah. Lukman Rusyadi menunjuk Edwin untuk memikul tanggung jawab sebagai kepala keluarga Rusyadi. Lukman akui, dirinya semakin sepuh. Bulat tekadnya mendelegasikan satu tanggungan dirinya pada putra sulung satu—satunya.“Siapa pengirimnya?” selidik Edwin khas suara baritone.“Tidak ada namanya tuan. Paket dihantar oleh driver ojek online, waktu saya introgasi ia pun tidak tahu. Paket ini dia ambil dari seseorang bernama Poni.”“Taro paket itu di ruang kerja saya. Siapa yang tau soal paket itu?” sahut Edwin.“Baru tuan, saya tidak bisa menghubungi nona Aluna. Apa perlu saya—”“Tidak perlu. Kerjakan yang tadi saya suruh!” tandas Edwin.***Malam itu Edwin pergi ke ruang kerjanya. Selesai makan malam berdua Lukman, ia pamit duluan. Alasannya ada laporan mingguan yang belum selesai direvisi. Sesampainya di dekat meja kerja, mata
Vin valley residence, lokasi penginapan mewah yang dihuni Aluna. Strategis, dekat dengan tempat ia bekerja, Vittorio kiddy school. Hunter memberhentikan mobil yang dikemudikan, segera Nathan menghamburkan diri langsung keluar tanpa alih—alih permisi. Hunter cuma menatap punggung itu merasa kasihan, ‘Beruntung sekali anda tuan Steven Wijaya!’ tak lama ia pun menyusul langkah kaki yang masih menjejak.Mereka sudah tahu lokasi unit milik Aluna. Kini mereka telah berdiri tepat di depan pintu, dengan keberanian penuh Hunter menekan bel yang menempel di dinding. Sekali, belum juga keluar. Tatapan mata Nathan menyuruhnya mengulangi lagi. Hunter menggeleng, “Sepertinya tidak ada orang didalam tuan.”Nathan menghembuskan nafasnya, tapi sesak belum juga berkurang, “Kemana mereka?” monolog-nya bertanya.Hunter melirik, “Belum pasti mereka sedang bersama tuan,” sahutnya yakin.Bidikan mata Nathan tak setuju, “Seyakin itu kau, Nathan?”“Nada pesan yang disematkan miss Aluna terdengar padat, ia sep