“Bagaimana? Apa sudah ada hasil?” ketus Hunter dengan tikaman mata mautnya pada manager mom and kiddy care.
Wanita itu ketakutan, jarinya bergetar mendengar pertanyaan mudah dari orang kepercayaan Nathan tersebut.
“Tak mau menjawab? Baik. Saya akan buat anda membuka mulut dengan-”
“Jangan sakiti saya.” Potong wanita itu menjawab dengan cemas.
Hunter menatapnya dengan lekat, “Kalau begitu, jawablah dengan benar!” desaknya semakin geram.
Manager perempuan ini semakin tersudut, suara Hunter yang pelan namun terasa menusuk hingga ke tulang.
“Kami tidak berhasil. Tolong beri kami maaf. Sungguh kami sudah berusaha semaksimal mungkin,
Pintu kedatangan itu bergeser, sensor menangkap adanya jiwa kehidupan yang akan melewatinya. Seorang pria tampan memakai blazer sederhana tapi harganya bikin geleng kepala. Berjalan menenteng sebuah tas dengan menggamit koper yang ikut digerek. Tangannya begitu sibuk, begitu juga dengan yang satunya lagi. Ia juga, sedang menggenggam jari—jari kecil kepunyaan putranya, tampan? Pasti. Gen tidak bisa dibohongi disini. Mereka bagai pinang dibelah dua. Rambut, warna kulit hingga genetik pun sama. Syukurnya wajahnya mirip sang mama juga sifatnya yang riang, suka tersenyum persis dengan ibu yang melahirkannya. “Tunggu, daddy mau calling paman Nathan dulu.” Ucap pria tampan pada putranya. Langkah kaki mereka berhenti di dekat tiang besar. Si pria mengambil handphone dengan tangan kirinya. Karena kesusahan, putranya menawarkan bantuan. “Dad, aku bantu ya?” tawar denga
Steven menggulir layar tablet perlahan. Hazel iris tersebut sedang membaca berkas kerja dari proyek yang akan dikerjakan. Ini adalah pekerjaan pertama di negara mendiang sang istri. Sendu semalam mulai menghilang, ia menyibukan diri dengan mengurus keperluan Kenzie juga dirinya sendiri. Kesedihannya teralihkan dengan kesibukan yang menyenangkan hati.Ngomongin Kenzie, anak tampan itu sedang duduk disamping Steven sembari menyuap menu sarapannya sendiri. Sereal yang dicampur dengan sùsu coklat kesukaannya. Jemari kecil itu menggenggam erat gagang sendok, ia begitu fokus hingga tak terganggu dengan kesibukan sang ayah.“Enak?” celetuk daddy tampan pada putranya.Kenzie mengangguk, “Daddy udah selesai liat file—nya?” sahutnya dengan berbinar.
Matilda menikmati waktu bersantainya dengan secangkir green tea hangat. Ia percaya bahwa kandungan green tea mampu menekan angka dari tekanan darahnya yang meninggi. Cover majalah itu dibalik seraya memperhatikan bahan bacaan. “Granny lagi baca apa?” tanya Kenzie sambil mendekat pada Matilda. “Majalah,” Matilda mengendus aroma Kenzie, “Wangi banget nih, mau kemana sih baby boy?” kelakar Matilda. Pipi Kenzie bersemu merah bagai tomat yang sudah ranum. Ia jadi malu—malu berujar, “Aku habis mandi granny, terus mba maid pakein aku lotion dan parfume biar makin wangi katanya. Oya granny, kata daddy granda mau kesini lho.” “Oya? bagus dong, jadi nanti Kenzie bisa main bola deh sama granda sampe puas. Senang gak?” sahut Matilda riang walau masih terkejut dengan berita yang
Steven kembali bekerja. Pagi ini ia berpakaian rapi layaknya seorang CEO, pimpinan perusahaan. Ia pergi bersama Nathan, seperti dulu. Kenzie tidak dibawa karena ia hanya akan mengganggu pekerjaan sang ayah. Makanya Matilda menyogok supaya mau tinggal dirumah bersamanya.Sesampainya di gedung kantor, Steven memandang dengan asing. Lantai teratas gedung memiliki interior yang berbeda dari yang dulu. Lirikannya tajam pada Nathan.“Apa ibu saya yang merubah ruangan di lantai ini?” tebaknya.Gelengan kepala Nathan seakan membantah semua tuduhan yang disebutkan.“Bukan tuan. Ini berubah sudah lama. Kebetulan bukan hanya ruangan di lantai ini saja yang berubah. Hampir seluruhnya dirombak,” jelas Nathan pelan.
Steven baru saja selesai menidurkan Kenzie. Ia menunaikan janjinya yakni membacakan buku cerita. Kenzie senang dan beruntung punya seorang ayah yang perhatian padanya. Tidak melupakan dirinya, selalu memprioritaskan anak ketimbang pekerjaannya sendiri.Ketika hendak ke kamar tidur, Steven lihat lampu di ruang baca masih menyala, ia memutuskan untuk melihat siapakah gerangan yang melakukan. Ternyata disana sedang duduk Matilda dengan buku yang terbuka.“Ma,” tegur Steven mengusap pundak Matilda.“Ya, Kenzie udah tidur?” sahutnya tersenyum.Steven mengiyakan dengan kepala menunduk, matanya fokus pada buku yang terkembang. Ia berdehem, “Ma, sabtu ini aku mau ajak Kenzie ketemu Maria. Papa Franky juga akan ikut dengan kami, mama ikut juga ya?&rd
Makanan itu diaduk—aduk saja tanpa berniat untuk melahap sampai tandas. Pasta, salah satu menu kesukaan Kenzie. Biasanya ia memakan dua piring pasta porsi anak kecil, tapi ini Kenzie tidak menyuap menu tersebut barang sesendok.“Kenzie, kenapa begitu sama makanan?” protes Steven tak suka.“Aku sedih dad, apa mommy suka makan pasta kayak aku?” sahutnya membahas Maria.“Iya, salah satu makanan yang disukai mommy. Jadi makan yang benar ya, kita harus bersyukur karena masih bisa menikmati makanan yang kita sukai.” Nasihat Steven menyuruh putranya menghormati menu.Kenzie akhirnya menyuap menu tersebut ke mulut. Kunyahannya sedikit berat, terlihat sangat terpaksa. Franky pun khawatir, ia cemas kalau cucunya nanti bisa masuk angin kare
Steven menerima pesan dari Nathan.‘Banyak juga yang dibutuhkan Kenzie, mumpung ini minggu sekalian jalanlah.’Daddy tampan melipir ke kamar sang putra. Pintu kamar terbuka sedikit, sudut kecil tersebut memperlihatkan kegiatan yang dilakukan oleh Kenzie. Putra bening ini sedang membaca buku cerita tentang kasih seorang ibu. Steven mengurungkan niatnya.‘Apa Kenzie masih penasaran dengan Maria? apa lagi tanya ia sekarang?’Ttuk...Steven memberanikan dirinya lagi, “Daddy boleh masuk? Are you busy?” kelakarnya pada sang anak.Kenzie mengikik, “Hohoho... not really. Masuk dad,” balasnya.Ste
“Ready?”“Yes sir!”Hari yang ditunggu tiba, Kenzie berpamitan pada granny Matilda untuk berangkat ke sekolah barunya. Seragam baru, sepatu baru, tas pun baru hingga rambut baru. Sepulang dari grand galaxy, Kenzie dibawa oleh Steven mengunjungi barbershop terkemuka untuk merapikan penampilan.Tiga mobil bersiap, satu amićo dan dua lagi mobil bodyguard. Amićo berada ditengah. Steven mengendarainya sendiri dimana putra kesayangan duduk manis di sampingnya sekarang.“Dad, apa sakit granny serius? Pagi ini granny gak bisa antar aku ke sekolah, padahal granny sudah janji padaku.” Kenzie teringat ucapan Matilda yang akan mengantarnya pergi ke sekolah.“Kenzie dengar daddy ya, tugas Kenzie s
Sebelum waktu subuh menyapa, Edwin sudah rapi mengenakan kemeja lengan panjang, celana bahan, juga menggamit blazer beige di lengan. Ia menjinjing tas kerjanya yang berwarna coklat. Oxford shoes yang dikenakan senada dengan warna tas. Menuruni anak tangga rumah berbelok ke ruang makan. Sesibuk apapun pekerjaan, Edwin tidak pernah melewatkan waktu makan. Petunia meneliti menu sarapan yang akan dilahap tuan muda Rusyadi itu.“Morning Petunia,” sapa Edwin layaknya anak ke ibu.“Good morning tuan Edwin, silahkan sarapan dulu,” Petunia menunjuk ke hidangan waffle saus blueberry juga secangkir kopi hitam.“Thank you Petunia,” Edwin menyeruput kopi panas itu santai, “Kabar Aluna bagaimana Petunia, masih suka menangis?” ujarnya seraya memotong waffle.Petunia berdiri di samping kanan Edwin, “Masih tuan. Nona Aluna menutup diri, hanya di kamar saja.”“Selera makannya bagaimana?” tanya Edwin datar.“Susah tuan, kalau tidak dipaksa nona tidak mau makan. Paling banyak cuma tiga kali suapan, saya
Satu jam Steven duduk termenung, menanti namanya yang dipanggil. Ia lesu. Wajahnya di lekuk, bahkan ia tak memperdulikan pandangan pasien lain. Penyesalan yang sudah tidak ada artinya lagi. Steven hanya bisa pasrah, kejadian ini belum masuk logikanya, tapi semua yang telah terjadi. Fakta adalah kenyataan yang tidak bisa ia rubah lagi.‘Aku harus apa-in Serena? Demi Tuhan, cinta ini hanya untuk Aluna. Bagaimana kalau Serena berbadan dua karenanya? Argh…’Kepala Steven semakin sakit. Ulah ia menerka—nerka kemungkinan terburuk yang akan menimpa hidupnya. Hatinya sudah terisi sosok Aluna, tidak ada tempat lain lagi, kecuali itu mama Matilda juga putra semata wayang Kenzie.‘Aku nggak sanggup menceritakan kejadian ini pada Aluna. Tentu ia akan menangis bersedih, bahkan menampar pipi ini den
Steven semakin tersiksa, nyeri di tangan kanan terasa kian hebat. Sakit sekali. Kidal—nya beraksi, melalui telepon intercom memanggil supir pribadi. Ia tak menunggu lama, tepat di deringan nada pertama terdengar sahutan di seberang.“Halo tuan,” ujar seorang pria bernada sopan dibalik sambungan.“Jemput saya ke ruangan sekarang, cepat Anto!” tutup Steven.Anto, si supir pribadi termenung. Ia bertanya—tanya, selama mengabdi belum pernah sekali pun naik ke ruangan sang majikan guna menjemputnya. Dan kali ini?Steven terkenal jadi seorang yang mandiri, tegas dan dingin. Kemarahannya akan lama susut, bahkan ribuan cara pun dilakukan belum tentu akan membantu. Steven tipikal seorang pendendam.“Ah,… sudahlah, lebih baik segera naik. Jangan sampai tuan marah juga ke saya!” Anto mengetahui retaknya hubungan kerja antara Steven dengan Hunter juga Nathan. Kini ia pun menjadi kaki tangan mereka diam—diam, tanpa diketahui si bos besar.Anto naik elevator eksekutif, ruang kedap signal titanium it
Steven kelimpungan dalam ruangan. Ia heran pada Aluna, kekasihnya itu kenapa tidak bisa di telpon. Nomornya dialihkan ke pesan suara. Ia tak bisa mendengar lagi pesan manis yang sempat direkam Aluna kemarin. Ribuan tanya tersisipkan, “Apa terjadi sesuatu dengan Aluna? Angkat dong sayang, ku mohon Aluna,…”Beban pikirannya kian bertambah, kemanakah Steven harus mencari Aluna?Pada siapa pula ia harus bertanya?“Sekolah ‘kan masih libur, gak mungkin ada orang disana. Pasti cuma ada pegawai tata usaha disana, Aluna ‘kan tenaga pengajar, mustahil ia kesana!” Steven menjambak rambutnya marah.Sebuah memori tersampir dalam ingatan Steven.“Ya,.. Hunter, jawabannya. Benar sekali!”Steven memanggil sang asisten melalui panggilan intercom, “Ke ruangan saya sekarang!” kemudian nada kereta api yang terdengar.Hunter melerai gagang intercom, lalu memandangnya penuh tanya, ‘Ada apa lagi ya?’ telepon sudah diletakkan pada tempatnya. Ia melangkah lebar hendak menemui sang atasan.Pintu ruangan priba
Amićo terparkir di halaman mansion. Steven keluar tanpa menutup pintu mobil, bahkan deru mesin mobil masih terdengar. Ia meninggalkan jagoan jalannya hidup—hidup. Steven menaiki anak tangga teras kemudian masuk ke dalam mansion. Ia mematung mendapati dua sosok yang masih ia kecam, kini sedang berdiri di depannya.“Ngapain kalian di rumah saya pagi—pagi?” sembur Steven masam.Mereka menunduk. Nathan berdehem, “Mohon beri kami maaf tuan. Tadi Kenzie mencari anda, bodyguard memberitahu kalau anda sedang keluar. Tadi Hunter yang mengantar Kenzie ke tempat kursus renang, dia sempat bertanya tentang anda.”“Lantas,.. kau beri jawaban apa pada putraku?” sahut Steven belum ingin senyum.“Saya hanya bilang kalau tuan sudah pergi ke kantor, ada rapat pagi ini dengan investor dari luar. Kenzie gak bertanya lagi, ia sudah paham dengan jam kerja anda yang sibuk.” Nathan memang ahli membuat alibi.“Kerja bagus,” sahut Steven lunak. Ia dirundung rasa bersalah pada Kenzie, tak seharusnya ia meninggal
Steven menggaruk jemarinya yang terasa gatal. Matanya masih terpejam. Tak lama ia menggeliat sedikit, melonggarkan otot—ototnya yang sedikit kram. Bughh,…‘Kenzie?’Pikirnya ada putranya sedang berbaring disebelah. Tanpa ragu, Steven merangkul hingga mendekap erat. Bahkan Steven membubuhkan kecupan di pucuk kepala.‘Hemm? Ini bukan wangi shampoo Kenzie!’Steven ingin tahu, siapakah gerangan yang mengisi sisi sebelah ranjangnya kini?Perlahan ia membuka matanya, sedikit ia paksa. Steven terperanjat, kasur yang ia huni berombak. Tubuh Steven bergetar karena mendapati ada seorang wanita tengah memunggungi dirinya. Nafasnya tersengal—sengal, matanya belum menyusut. Sungguh ia terkejut. Ia menyibak selimut yang menyelimuti mereka, kembali ia membelalak. Tak satupun helai kain menutupi tubuhnya. Keadaan sama juga pada wanita yang belum ia ketahui siapa namanya.‘Tapi king ku keset, nggak ada tanda—tanda habis main. Siapa nih perempuan?’Steven menelan saliva yang membumbung di tenggorokan.
Edwin terperangah sampai dirinya terhempas duduk di atas sofa. Sungguh ia terkejut mendengar pengakuan Aluna, ‘Kekasih?’ satu kata ini tertempel kuat dalam pikirannya. “Jadi putri papa ini menjalin hubungan asmara dengan anak dari pasien yang ada di rumah sakit kita?” sahut Lukman tak percaya. “Kami belum lama jadiannya pa. Aku minta maaf ya pa,” ungkap Aluna jujur. Kini, ia merasa sangat bersalah. “Kamu tahu status kekasihmu itu?” cicit Edwin menatap tajam. Aluna mengangguk, “Tentu saja abang. Putranya ‘kan aku yang ngajar di Vittorio. Aku juga wali kelasnya, semua data mereka aku yang pegang. Mustahil sekali aku gak tahu soal itu abang. I’m really sorry,..” “Kamu tahu soal ibu kandung murid mu itu?” cecar Edwin. “Setahuku, mommy 'nya Kenzie itu, istri Steven sudah tidak ada. Kenzie bilang kalau mommy 'nya sudah tenang di surga Bapa. Aku gak ngerebut suami orang pa, please abang ngertiin dong… aku juga gak minta sama Tuhan untuk rasa ini. Ngalir gitu aja,” jelas Aluna ke mereka.
Edwin mendapat laporan dari security rumah, jika ada paket untuk Aluna yang dikirim ke mansion. Mereka sengaja memberitahu padanya sebagai penanggung jawab seisi rumah. Lukman Rusyadi menunjuk Edwin untuk memikul tanggung jawab sebagai kepala keluarga Rusyadi. Lukman akui, dirinya semakin sepuh. Bulat tekadnya mendelegasikan satu tanggungan dirinya pada putra sulung satu—satunya.“Siapa pengirimnya?” selidik Edwin khas suara baritone.“Tidak ada namanya tuan. Paket dihantar oleh driver ojek online, waktu saya introgasi ia pun tidak tahu. Paket ini dia ambil dari seseorang bernama Poni.”“Taro paket itu di ruang kerja saya. Siapa yang tau soal paket itu?” sahut Edwin.“Baru tuan, saya tidak bisa menghubungi nona Aluna. Apa perlu saya—”“Tidak perlu. Kerjakan yang tadi saya suruh!” tandas Edwin.***Malam itu Edwin pergi ke ruang kerjanya. Selesai makan malam berdua Lukman, ia pamit duluan. Alasannya ada laporan mingguan yang belum selesai direvisi. Sesampainya di dekat meja kerja, mata
Vin valley residence, lokasi penginapan mewah yang dihuni Aluna. Strategis, dekat dengan tempat ia bekerja, Vittorio kiddy school. Hunter memberhentikan mobil yang dikemudikan, segera Nathan menghamburkan diri langsung keluar tanpa alih—alih permisi. Hunter cuma menatap punggung itu merasa kasihan, ‘Beruntung sekali anda tuan Steven Wijaya!’ tak lama ia pun menyusul langkah kaki yang masih menjejak.Mereka sudah tahu lokasi unit milik Aluna. Kini mereka telah berdiri tepat di depan pintu, dengan keberanian penuh Hunter menekan bel yang menempel di dinding. Sekali, belum juga keluar. Tatapan mata Nathan menyuruhnya mengulangi lagi. Hunter menggeleng, “Sepertinya tidak ada orang didalam tuan.”Nathan menghembuskan nafasnya, tapi sesak belum juga berkurang, “Kemana mereka?” monolog-nya bertanya.Hunter melirik, “Belum pasti mereka sedang bersama tuan,” sahutnya yakin.Bidikan mata Nathan tak setuju, “Seyakin itu kau, Nathan?”“Nada pesan yang disematkan miss Aluna terdengar padat, ia sep