“Ready?”
“Yes sir!”
Hari yang ditunggu tiba, Kenzie berpamitan pada granny Matilda untuk berangkat ke sekolah barunya. Seragam baru, sepatu baru, tas pun baru hingga rambut baru. Sepulang dari grand galaxy, Kenzie dibawa oleh Steven mengunjungi barbershop terkemuka untuk merapikan penampilan.
Tiga mobil bersiap, satu amićo dan dua lagi mobil bodyguard. Amićo berada ditengah. Steven mengendarainya sendiri dimana putra kesayangan duduk manis di sampingnya sekarang.
“Dad, apa sakit granny serius? Pagi ini granny gak bisa antar aku ke sekolah, padahal granny sudah janji padaku.” Kenzie teringat ucapan Matilda yang akan mengantarnya pergi ke sekolah.
“Kenzie dengar daddy ya, tugas Kenzie s
Steven memberi beberapa lembar tissue pada Matilda. Ibu itu menerima dalam diamnya. Ia hanya sedang berusaha menyembunyikan kesedihan. Setelah menangis bersama, mereka juga terdiam berbarengan.“Okay mama akan mundur dari kerjaan!” celetuk Matilda pelan dan berhasil membuat Steven membelalak.Tatapan mereka beradu pandang.“Tapi dengan satu syarat, Nathan harus jadi pengganti mama!” sambung Matilda lantang.“Apa?” sahut Steven tak percaya.Matilda mengumumkan ia akan menurut pada dokter Lubis jika Nathan sang asisten Steven mengambil alih semua pekerjaannya di perusahaan cabang. Dulu saat Steven berjuang dengan depresi yang diidap, Matilda bekerja di perusahaan pusat sedangkan Nathan memban
Keluarga Wijaya mulai menunaikan janji yang dikumandangkan. Matilda sudah mendapatkan jadwal rutin pengobatan penyakitnya. Dokter Lubis sangat senang saat Steven memberinya kabar kalau sang ibu mau kooperatif menjalani rangkaian pengobatan, tim dokter langsung diluncurkan oleh Lubis menemui Matilda.Nathan disambut bahagia oleh karyawan di perusahaan cabang. Ia bukan orang asing bagi mereka. Cara kerja mereka pun sudah menemui chemistry jadi mengulang kembali dengan pimpinan yang sama di waktu berbeda bukanlah hal yang sulit. Karyawan menyukai bagaimana Nathan memimpin, hampir sama dengan big boss Wijaya group Steven namun lebih ramah sedikit. Kedisiplinan serta tanggung jawab bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan lagi.Selesai mengantarkan Kenzie ke sekolah, Steven meluncur ke perusahaan untuk bekerja. Mulai hari ini ia akan berdampingan dengan Hunter. Mantan
Kejadian naas kemarin membuat Kenzie belum bisa pergi sekolah. Steven memintanya sekolah dari rumah, sambil menjalani terapi bersama dokter Michael. Steven cemas putranya menyimpan trauma lebih lama. Itu bukanlah hal baik, kurang bagus juga untuk tumbuh kembang Kenzie yang notabene masih berusia dini. Steven semakin was—was pada Kenzie. Putranya bukanlah anak usia 6 tahun biasanya. Ia lebih kritis melebihi remaja jauh diatasnya. Diamnya Kenzie hanya alibi menyembunyikan rasa penasaran terhadap sesuatu.Mereka saling pandang. Michael mengajak Kenzie bermain tahan ketawa. Siapa yang paling lama, maka dialah yang akan jadi pemenang.‘Luar biasa anak Steven ini. Benar katanya, kalau Kenzie lebih cerdas dari seusianya. Bahkan tekadnya kuat, sangat berambisi.’Dokter Michael mengangkat kedua tangannya, &
SsshhhTangan Aluna mencubit kecil pahanya yang dari tadi gemetaran. Berhenti sebentar, lalu kakinya kembali bergoyang. Sekarang gerakannya semakin kencang juga hebat. Jantung Aluna ikut berdegup bagai gempa bumi yang menggetarkan permukaan kehidupan.“Silahkan diminum ibu guru,” maid menyuguhkan secangkir hot tea juga brownies cake yang baru saja matang.Aluna mengulas senyum ramahnya, “Terima kasih?” ia bingung harus memanggil apa pada pelayan ini.“Biasanya tuan muda Kenzie memanggil kami mba maid. Ibu guru boleh memanggil kami begitu,” sahut maid yang melayani Aluna.“Iya, terimakasih mba maid. Ngomong ngomong Kenzie nya mana ya? Bisa saya menemuinya sekarang?” tanya Aluna t
Aluna melamun di teras balkon kamar apartemen studio miliknya. Ia sudah mengenakan pajama, namun kedua mata belum mau diajak istirahat. Pikiran Aluna melayang teringat kejadian di rumah Steven.‘Kasihan sekali Kenzie. Ternyata ada yang lebih malàng dari padamu Aluna. Berhentilah mengumpat Tuhan yang lebih dulu memanggil mama, ya aku harus mencoba untuk berdamai dengan diri sendiri. Huuuuhhhh...’Deringan nada smartphone mengagetkan Aluna. Ia bangkit berdiri lalu berjalan ke dalam mengambil benda pipih yang mengganggu malam renungannya.‘Papa?’ alis Aluna terangkat naik.Aluna menggeser layar handphone lalu menyapa pria yang dihormati itu, “Halo papa, apa kabar?” tanya ia lembut.&ldq
Steven kembali ke rumah saat waktu sudah menginjak tengah malam. Guratan lelah tidak mampu ia sembunyikan. Sebelum beristirahat, ia melipir sebentar ke kamar Kenzie. Sekedar memberi kecupan hangat di dahi putranya. Steven mendorong pintu itu lalu duduk disamping ranjang yang ditiduri Kenzie. Tangannya yang lelah bekerja menyentuh wajah Kenzie yang sedang terlelap.‘Maafin daddy ya Kenzie. Daddy janji kalau ini yang terakhir. Mulai besok dan seterusnya daddy akan berikan waktu daddy untuk kamu, walau hanya sekedar makan malam saja. Daddy nggak akan biarin kamu sendirian nak.’ Cup!Steven menutup pintu kamar Kenzie lagi. Ia menarik dasinya hingga longgar. Kakinya terus melangkah menuju kamar tidurnya. Entah Steven menyadari atau tidak, sebenarnya Kenzie belum tidur. Ia menahan dirinya agar terlihat sedang tertidur tadi.
Steven terkesiap ketika memasuki rumahnya sendiri. Ia dikejutkan oleh sesosok yang sangat dikenali, “Hunter?” panggilnya tak percaya.Kepala bodyguard itu berdiri lalu membungkukkan badan, “Selamat malam tuan, maaf saya mengejutkan anda. Ada hal yang ingin saya sampaikan.”Steven menyuruhnya duduk kembali.“Ada apa? Apa terjadi sesuatu di sekolahan Kenzie?” cemas Steven bertanya.“Tidak tuan. Tapi ini,” Hunter menekan tombol play record di ponselnya.Steven tak asing dengan suara ini.“Kenzie,” sebutnya saat mendengar rekaman perbincangan tadi pagi.Hunter meminta Steven mende
Serena melangkah penuh percaya diri ketika memasuki lobby kantor utama Wijaya group. Dua hari yang lalu ia dapat mail notification, ia dinyatakan lulus tahap seleksi awal dan berhak mengikuti tahap selanjutnya. Para calon sekretaris akan disuguhkan berbagai tes penerimaan, menguji kemampuan, pengalaman, kepribadian serta pemenuhan persyaratan how to be a good secretary.Sorot mata Serena panjang, sejauh jaraknya dengan seorang rival. Ia duduk berdampingan dengan seorang pria. Merasa diperhatikan, pria ini salah tingkah. Pria itu berasumsi kalau Serena menaruh perhatian padanya.‘Dasar mata laki—laki itu nggak pernah bisa bohong ya, liat cantik mulus dikit langsung begini. Gue manfaatin lo!’Anak rambut yang keluar dari cuping telinga dirapikan Serena dengan gerakan menggoda. Ia mengulas senyum polo
Sebelum waktu subuh menyapa, Edwin sudah rapi mengenakan kemeja lengan panjang, celana bahan, juga menggamit blazer beige di lengan. Ia menjinjing tas kerjanya yang berwarna coklat. Oxford shoes yang dikenakan senada dengan warna tas. Menuruni anak tangga rumah berbelok ke ruang makan. Sesibuk apapun pekerjaan, Edwin tidak pernah melewatkan waktu makan. Petunia meneliti menu sarapan yang akan dilahap tuan muda Rusyadi itu.“Morning Petunia,” sapa Edwin layaknya anak ke ibu.“Good morning tuan Edwin, silahkan sarapan dulu,” Petunia menunjuk ke hidangan waffle saus blueberry juga secangkir kopi hitam.“Thank you Petunia,” Edwin menyeruput kopi panas itu santai, “Kabar Aluna bagaimana Petunia, masih suka menangis?” ujarnya seraya memotong waffle.Petunia berdiri di samping kanan Edwin, “Masih tuan. Nona Aluna menutup diri, hanya di kamar saja.”“Selera makannya bagaimana?” tanya Edwin datar.“Susah tuan, kalau tidak dipaksa nona tidak mau makan. Paling banyak cuma tiga kali suapan, saya
Satu jam Steven duduk termenung, menanti namanya yang dipanggil. Ia lesu. Wajahnya di lekuk, bahkan ia tak memperdulikan pandangan pasien lain. Penyesalan yang sudah tidak ada artinya lagi. Steven hanya bisa pasrah, kejadian ini belum masuk logikanya, tapi semua yang telah terjadi. Fakta adalah kenyataan yang tidak bisa ia rubah lagi.‘Aku harus apa-in Serena? Demi Tuhan, cinta ini hanya untuk Aluna. Bagaimana kalau Serena berbadan dua karenanya? Argh…’Kepala Steven semakin sakit. Ulah ia menerka—nerka kemungkinan terburuk yang akan menimpa hidupnya. Hatinya sudah terisi sosok Aluna, tidak ada tempat lain lagi, kecuali itu mama Matilda juga putra semata wayang Kenzie.‘Aku nggak sanggup menceritakan kejadian ini pada Aluna. Tentu ia akan menangis bersedih, bahkan menampar pipi ini den
Steven semakin tersiksa, nyeri di tangan kanan terasa kian hebat. Sakit sekali. Kidal—nya beraksi, melalui telepon intercom memanggil supir pribadi. Ia tak menunggu lama, tepat di deringan nada pertama terdengar sahutan di seberang.“Halo tuan,” ujar seorang pria bernada sopan dibalik sambungan.“Jemput saya ke ruangan sekarang, cepat Anto!” tutup Steven.Anto, si supir pribadi termenung. Ia bertanya—tanya, selama mengabdi belum pernah sekali pun naik ke ruangan sang majikan guna menjemputnya. Dan kali ini?Steven terkenal jadi seorang yang mandiri, tegas dan dingin. Kemarahannya akan lama susut, bahkan ribuan cara pun dilakukan belum tentu akan membantu. Steven tipikal seorang pendendam.“Ah,… sudahlah, lebih baik segera naik. Jangan sampai tuan marah juga ke saya!” Anto mengetahui retaknya hubungan kerja antara Steven dengan Hunter juga Nathan. Kini ia pun menjadi kaki tangan mereka diam—diam, tanpa diketahui si bos besar.Anto naik elevator eksekutif, ruang kedap signal titanium it
Steven kelimpungan dalam ruangan. Ia heran pada Aluna, kekasihnya itu kenapa tidak bisa di telpon. Nomornya dialihkan ke pesan suara. Ia tak bisa mendengar lagi pesan manis yang sempat direkam Aluna kemarin. Ribuan tanya tersisipkan, “Apa terjadi sesuatu dengan Aluna? Angkat dong sayang, ku mohon Aluna,…”Beban pikirannya kian bertambah, kemanakah Steven harus mencari Aluna?Pada siapa pula ia harus bertanya?“Sekolah ‘kan masih libur, gak mungkin ada orang disana. Pasti cuma ada pegawai tata usaha disana, Aluna ‘kan tenaga pengajar, mustahil ia kesana!” Steven menjambak rambutnya marah.Sebuah memori tersampir dalam ingatan Steven.“Ya,.. Hunter, jawabannya. Benar sekali!”Steven memanggil sang asisten melalui panggilan intercom, “Ke ruangan saya sekarang!” kemudian nada kereta api yang terdengar.Hunter melerai gagang intercom, lalu memandangnya penuh tanya, ‘Ada apa lagi ya?’ telepon sudah diletakkan pada tempatnya. Ia melangkah lebar hendak menemui sang atasan.Pintu ruangan priba
Amićo terparkir di halaman mansion. Steven keluar tanpa menutup pintu mobil, bahkan deru mesin mobil masih terdengar. Ia meninggalkan jagoan jalannya hidup—hidup. Steven menaiki anak tangga teras kemudian masuk ke dalam mansion. Ia mematung mendapati dua sosok yang masih ia kecam, kini sedang berdiri di depannya.“Ngapain kalian di rumah saya pagi—pagi?” sembur Steven masam.Mereka menunduk. Nathan berdehem, “Mohon beri kami maaf tuan. Tadi Kenzie mencari anda, bodyguard memberitahu kalau anda sedang keluar. Tadi Hunter yang mengantar Kenzie ke tempat kursus renang, dia sempat bertanya tentang anda.”“Lantas,.. kau beri jawaban apa pada putraku?” sahut Steven belum ingin senyum.“Saya hanya bilang kalau tuan sudah pergi ke kantor, ada rapat pagi ini dengan investor dari luar. Kenzie gak bertanya lagi, ia sudah paham dengan jam kerja anda yang sibuk.” Nathan memang ahli membuat alibi.“Kerja bagus,” sahut Steven lunak. Ia dirundung rasa bersalah pada Kenzie, tak seharusnya ia meninggal
Steven menggaruk jemarinya yang terasa gatal. Matanya masih terpejam. Tak lama ia menggeliat sedikit, melonggarkan otot—ototnya yang sedikit kram. Bughh,…‘Kenzie?’Pikirnya ada putranya sedang berbaring disebelah. Tanpa ragu, Steven merangkul hingga mendekap erat. Bahkan Steven membubuhkan kecupan di pucuk kepala.‘Hemm? Ini bukan wangi shampoo Kenzie!’Steven ingin tahu, siapakah gerangan yang mengisi sisi sebelah ranjangnya kini?Perlahan ia membuka matanya, sedikit ia paksa. Steven terperanjat, kasur yang ia huni berombak. Tubuh Steven bergetar karena mendapati ada seorang wanita tengah memunggungi dirinya. Nafasnya tersengal—sengal, matanya belum menyusut. Sungguh ia terkejut. Ia menyibak selimut yang menyelimuti mereka, kembali ia membelalak. Tak satupun helai kain menutupi tubuhnya. Keadaan sama juga pada wanita yang belum ia ketahui siapa namanya.‘Tapi king ku keset, nggak ada tanda—tanda habis main. Siapa nih perempuan?’Steven menelan saliva yang membumbung di tenggorokan.
Edwin terperangah sampai dirinya terhempas duduk di atas sofa. Sungguh ia terkejut mendengar pengakuan Aluna, ‘Kekasih?’ satu kata ini tertempel kuat dalam pikirannya. “Jadi putri papa ini menjalin hubungan asmara dengan anak dari pasien yang ada di rumah sakit kita?” sahut Lukman tak percaya. “Kami belum lama jadiannya pa. Aku minta maaf ya pa,” ungkap Aluna jujur. Kini, ia merasa sangat bersalah. “Kamu tahu status kekasihmu itu?” cicit Edwin menatap tajam. Aluna mengangguk, “Tentu saja abang. Putranya ‘kan aku yang ngajar di Vittorio. Aku juga wali kelasnya, semua data mereka aku yang pegang. Mustahil sekali aku gak tahu soal itu abang. I’m really sorry,..” “Kamu tahu soal ibu kandung murid mu itu?” cecar Edwin. “Setahuku, mommy 'nya Kenzie itu, istri Steven sudah tidak ada. Kenzie bilang kalau mommy 'nya sudah tenang di surga Bapa. Aku gak ngerebut suami orang pa, please abang ngertiin dong… aku juga gak minta sama Tuhan untuk rasa ini. Ngalir gitu aja,” jelas Aluna ke mereka.
Edwin mendapat laporan dari security rumah, jika ada paket untuk Aluna yang dikirim ke mansion. Mereka sengaja memberitahu padanya sebagai penanggung jawab seisi rumah. Lukman Rusyadi menunjuk Edwin untuk memikul tanggung jawab sebagai kepala keluarga Rusyadi. Lukman akui, dirinya semakin sepuh. Bulat tekadnya mendelegasikan satu tanggungan dirinya pada putra sulung satu—satunya.“Siapa pengirimnya?” selidik Edwin khas suara baritone.“Tidak ada namanya tuan. Paket dihantar oleh driver ojek online, waktu saya introgasi ia pun tidak tahu. Paket ini dia ambil dari seseorang bernama Poni.”“Taro paket itu di ruang kerja saya. Siapa yang tau soal paket itu?” sahut Edwin.“Baru tuan, saya tidak bisa menghubungi nona Aluna. Apa perlu saya—”“Tidak perlu. Kerjakan yang tadi saya suruh!” tandas Edwin.***Malam itu Edwin pergi ke ruang kerjanya. Selesai makan malam berdua Lukman, ia pamit duluan. Alasannya ada laporan mingguan yang belum selesai direvisi. Sesampainya di dekat meja kerja, mata
Vin valley residence, lokasi penginapan mewah yang dihuni Aluna. Strategis, dekat dengan tempat ia bekerja, Vittorio kiddy school. Hunter memberhentikan mobil yang dikemudikan, segera Nathan menghamburkan diri langsung keluar tanpa alih—alih permisi. Hunter cuma menatap punggung itu merasa kasihan, ‘Beruntung sekali anda tuan Steven Wijaya!’ tak lama ia pun menyusul langkah kaki yang masih menjejak.Mereka sudah tahu lokasi unit milik Aluna. Kini mereka telah berdiri tepat di depan pintu, dengan keberanian penuh Hunter menekan bel yang menempel di dinding. Sekali, belum juga keluar. Tatapan mata Nathan menyuruhnya mengulangi lagi. Hunter menggeleng, “Sepertinya tidak ada orang didalam tuan.”Nathan menghembuskan nafasnya, tapi sesak belum juga berkurang, “Kemana mereka?” monolog-nya bertanya.Hunter melirik, “Belum pasti mereka sedang bersama tuan,” sahutnya yakin.Bidikan mata Nathan tak setuju, “Seyakin itu kau, Nathan?”“Nada pesan yang disematkan miss Aluna terdengar padat, ia sep