Steven terkesiap ketika memasuki rumahnya sendiri. Ia dikejutkan oleh sesosok yang sangat dikenali, “Hunter?” panggilnya tak percaya.
Kepala bodyguard itu berdiri lalu membungkukkan badan, “Selamat malam tuan, maaf saya mengejutkan anda. Ada hal yang ingin saya sampaikan.”
Steven menyuruhnya duduk kembali.
“Ada apa? Apa terjadi sesuatu di sekolahan Kenzie?” cemas Steven bertanya.
“Tidak tuan. Tapi ini,” Hunter menekan tombol play record di ponselnya.
Steven tak asing dengan suara ini.
“Kenzie,” sebutnya saat mendengar rekaman perbincangan tadi pagi.
Hunter meminta Steven mende
Serena melangkah penuh percaya diri ketika memasuki lobby kantor utama Wijaya group. Dua hari yang lalu ia dapat mail notification, ia dinyatakan lulus tahap seleksi awal dan berhak mengikuti tahap selanjutnya. Para calon sekretaris akan disuguhkan berbagai tes penerimaan, menguji kemampuan, pengalaman, kepribadian serta pemenuhan persyaratan how to be a good secretary.Sorot mata Serena panjang, sejauh jaraknya dengan seorang rival. Ia duduk berdampingan dengan seorang pria. Merasa diperhatikan, pria ini salah tingkah. Pria itu berasumsi kalau Serena menaruh perhatian padanya.‘Dasar mata laki—laki itu nggak pernah bisa bohong ya, liat cantik mulus dikit langsung begini. Gue manfaatin lo!’Anak rambut yang keluar dari cuping telinga dirapikan Serena dengan gerakan menggoda. Ia mengulas senyum polo
Kenzie dan teman—temannya sedang berlatih vocal, mereka akan menyanyikan sebuah lagu khusus mengenang jasa seorang ibu. Latihan dipandu oleh guru seni bernama Mr.Jeffry dan dimulai setelah jam sekolah usai. Pemberitahuan telah disebarkan melalui edaran surat pada setiap orang tua murid. Para wali antusias juga tak sabar menanti penampilan jagoan mereka.“Hai mama Russel, gimana kabarnya? Udah lama lho kita gak ngobrol santai,” mama Malvin menyambut hadirnya ibu dari teman putranya. Mereka berbagi kecupan pipi di kiri juga di kanan.“Aku baik mama Malvin, kamu makin kinclong aja nih!” puji mama Russel.Mama Malvin tersipu malu, “Bisa aja nih mama Russel. Kemarin aku treatment glow up di klinik dokter Lee, huh gak nyesel deh. Papa Malvin makin lengket kayak prangko haha...” bi
Semua mengambil porsi masing—masing dalam kehidupan. Ayah, pria kuat yang dilabeli sebagai kepala keluarga. Mengayomi, menjaga serta menafkahi semua anggota keluarga sampai ajal menjemputnya. Sedangkan ibu, perempuan tangguh yang telah diuji sejak dini. Kehamilan, rasa sakit yang beruntun. Ibu rela dan ikhlas menderita itu semua kurang lebih 9 bulan 10 hari lamanya.Senyum mereka terbit ketika mendengar satu kata, tangisan. Suara merdu dari buah cinta mereka. Penantian panjang keduanya usai setelah melihat seorang manusia berukuran kecil, hanya segenggam tangan namun berhasil membawa sebongkah kebahagiaan.Vittorio kiddy school begitu ramai. Sorak sorai mengisi seluruh sudut ruang. Perayaan mother’s day dibuat spektakuler. Hall yang dimiliki sangat luas telah terisi penuh oleh manusia dari berbagai usia juga profesi. Seluruh wali murid menyempatkan
Serena takjub akan bagaimana cara bekerjanya semesta. Bahkan ia sudah mempersiapkan beberapa rencana untuk memuluskan keinginannya supaya terwujud. Beribu akal bulus sudah terpatri dalam pikiran, kini semua itu sia—sia belaka. Mail yang diterima dari Wijaya group menyatakan bahwa ia akan bekerja sebagai sekretaris Steven.“Woah...” tarikan nafasnya terdengar mimpi.“Kalau begini ceritanya buat apa gue panik dan mikir kemarin kemarin hah?” senyum mengejek terlihat di wajahnya yang cantik.“Lo emang ditakdirin buat gue Steven. Buktinya Tuhan kasih jalan ke gue buat deket lagi sama lo!” lucu sekali, seorang Serena menyebut nama Tuhan dikala begini. Apa dia tidak ingat dosa yang pernah dilakukannya dimasa lalu?Serena keluar dari mob
Alunan musik sangat gemulai selaras dengan gerakan dari para penari dansa yang memenuhi lantai dansa. Mereka tamu undangan, rekan relasi juga karyawan perusahaan. Semua bahagia menikmati pesta megah yang dihelat oleh Wijaya group, anniversary office.Steven menjamu rekannya gelas demi gelas champagne. Ia seorang yang kuat menenggak minuman beralkohol itu hingga kesadarannya masih ada, walau rekannya sudah pada mabuk semua. Steven muda begitu bersinar sampai semua wanita yang melihat tidak berkedip. Mereka seketika bisa melupakan pasangan yang dimiliki, pengaruh dari pesona Steven yang tiada tara.Tangan lentik memakai kuku merah muda, senada dengan gaun malam yang panjangnya tidak lebih dari selutut. Tubuh sintal menggoda terpampang nyata menggiurkan selera kaum adam. Punggungnya mulus juga bersih bersinar bagai sundulan hipnotis, penghilang akal sehat. Ia begi
Mobil Aluna memasuki area parkiran Vittorio kiddy school. Setelah memposisikan benda beroda empat itu benar, ia keluar dengan menggamit handbag juga sebuah map berkas mengajar. Ia begitu cantik mengenakan setelan blazer rok berwarna violet pastel. Penuh percaya diri melangkah terus hingga melewati beberapa wali murid yang sedang bergosip. Sayup—sayup, Aluna mendengar apa yang dibicarakan oleh mereka.“Kamu kenapa ngomong gitu ke pak Steven pas kemarin sih Gwen?” tanya mama Russel.“Hanya ingin tau kebenarannya saja. Gak ada maksud lainnya kok!” jawab mama Malvin acuh.“What?”“Itu sensitif apalagi buat seorang pria. Nih ya, kalau dia perempuan sekalipun pasti akan merasa risih kamu tanya begitu!” sahut mama Russel seb
Suasana dingin terasa mencekam ke tulang. Steven menghembuskan nafasnya kasar sebelum mendorong pintu itu. Ia juga harap—harap cemas. Nyalinya begitu besar berhadapan dengan dua orang dokter sekaligus. Salah satunya ialah dokter yang dipercaya menangani penyakit Matilda. Edwin Rusyadi, dokter bedah khusus penyakit dalam. Ia putra kebanggaan dari petinggi rumah sakit Keluarga yang juga salah satu anggota dari tim dokter di keluarga Wijaya. “Lama tak jumpa Steven,” sapa dokter Lukman. Dokter yang dulu pernah menolong Steven saat bergumul dengan depresi kehilangan Maria. “Dokter Lukman?” sahut Steven tak percaya. “Ya benar, saya Lukman Rusyadi. Ternyata anda masih ingat dengan saya rupanya?!” gurau Lukman senang. Steven tersenyum malu, “Nggak mungkin saya melupakan anda
Aluna pergi membawa gelisah. Berkali—kali ia membalik tubuhnya ke belakang, memastikan Steven akan baik—baik saja. Kaki Aluna terus melangkah ke depan, tapi tidak dengan pikirannya. Hatinya ingin menemani Steven, sekedar melihatnya bisa berdiri tegap seperti biasa. Aluna sadar diri kalau Steven tak ingin ditemani olehnya. Tangan itu terus melambai menyuruh Aluna segera pergi.Ttok…Tttok….“Sepertinya itu Aluna pa, sebentar ya!” Edwin bangkit berdiri, melipir ke pintu ruang prakteknya yang baru saja dikunjungi oleh Steven.Edwin memandangi wajah lesu Aluna, reflek ia mengusap dahi sang adik.“Apaan sih bang?” Aluna menangkis tangan Edwin.