Suasana dingin terasa mencekam ke tulang. Steven menghembuskan nafasnya kasar sebelum mendorong pintu itu. Ia juga harap—harap cemas. Nyalinya begitu besar berhadapan dengan dua orang dokter sekaligus. Salah satunya ialah dokter yang dipercaya menangani penyakit Matilda. Edwin Rusyadi, dokter bedah khusus penyakit dalam. Ia putra kebanggaan dari petinggi rumah sakit Keluarga yang juga salah satu anggota dari tim dokter di keluarga Wijaya.
“Lama tak jumpa Steven,” sapa dokter Lukman. Dokter yang dulu pernah menolong Steven saat bergumul dengan depresi kehilangan Maria.
“Dokter Lukman?” sahut Steven tak percaya.
“Ya benar, saya Lukman Rusyadi. Ternyata anda masih ingat dengan saya rupanya?!” gurau Lukman senang.
Steven tersenyum malu, “Nggak mungkin saya melupakan anda
Aluna pergi membawa gelisah. Berkali—kali ia membalik tubuhnya ke belakang, memastikan Steven akan baik—baik saja. Kaki Aluna terus melangkah ke depan, tapi tidak dengan pikirannya. Hatinya ingin menemani Steven, sekedar melihatnya bisa berdiri tegap seperti biasa. Aluna sadar diri kalau Steven tak ingin ditemani olehnya. Tangan itu terus melambai menyuruh Aluna segera pergi.Ttok…Tttok….“Sepertinya itu Aluna pa, sebentar ya!” Edwin bangkit berdiri, melipir ke pintu ruang prakteknya yang baru saja dikunjungi oleh Steven.Edwin memandangi wajah lesu Aluna, reflek ia mengusap dahi sang adik.“Apaan sih bang?” Aluna menangkis tangan Edwin.
Seminggu sudah Serena bekerja di Wijaya group, tapi apa yang didapatkan? Bukannya leluasa menemui Steven tapi ini malah bersitatap terus menerus dengan Hunter. Ditambah semua karyawan pun enggan berteman dengannya, masalah apalagi kalau bukan tentang masa lalu gadis itu.“Ini filé yang anda minta,” Serena menyerahkan berkas berwarna kuning.Hunter menerima tanpa menyahut. Fokusnya tetap ke layar komputer yang menyala. Bibir Serena bergetar ingin mengguncang tubuh orang ini, ‘Kurang ajar! Gue manusia woi, kalau orang lagi ngomong liat kek. Emang lo pikir gue akan melting liat tatapan lo hah? Nehi yee!’“Apalagi?” Hunter memberikan sorot mata tajam.“Tidak!” Serena berbalik ingin kabur dari sana.
Serena mengunjungi sebuah taman dekat kantor. Ia melupakan makan siangnya lalu pergi mengendap—endap keluar gedung. Long coat cream dikenakan, tak lupa kacamata hitam. Serena menenteng handbag sambil menuruni anak tangga yang ada di teras lobby. Ia mengarah ke bagian selatan dengan berjalan kaki, karena lokasi taman berada disana sekitar dua ratus meter lagi. Boy menunggu di bangku taman mengenakan jaket parka warna hijau army, topi warna hitam juga kacamata hitam. Disampingnya ada ransel kokoh bersandar senada dengan topinya. Boy sibuk dengan ponsel hingga tak menyadari kehadiran Serena. Gadis ini menyodorkan segelas kopi yang dibeli sebelum kemari. “Hanya kopi?” geram Boy namun ia tetap meraihnya lalu menyeduh kopi bercita rasa caramel macchiato. Serena memicingkan mata lalu mengedikkan bahu acuh.
Kecanggungan belum selesai, Aluna kelimpungan sendiri hingga menggelitik senyum renyah di bibir Steven. Kenzie memutuskan untuk naik ke mobil Aluna. Ia memaksa ayahnya agar memberi izin bepergian bersama Aluna ke restoran favorit demi realisasi acara dadakan mereka.“Kita naik àmico aja ya nak??” bujuk Steven agar Kenzie merubah pikirannya.Kenzie menggeleng lugas. Ia menggeser tubuh hingga merapat dengan Aluna, “Mau sama miss Aluna dad!”Aluna pun kagok bersikap, “Kenzie, kita ketemu di restoran aja ya. Miss Aluna akan ngikutin mobil daddy—nya Kenzie dari belakang. Jadi Kenzie naik mobil sendiri ya, anak pintar?”Kenzie merungut, “Aku mau naik mobil miss Aluna. Kenapa gak boleh? Aku janji akan duduk diam,” buj
Serena meraih tas serta long coat black dari gantungan. Ia berlari mendekati elevator. Kakinya berdentum mengetuk-ngetuk lantai lift seraya membidik navigasi yang lamban bekerja.Tting.......Pintu terbuka, Serena keluar sambil mengenakan kacamata hitam. Kakinya mengarah ke pintu bagian parkiran. Kakinya terus melangkah sementara otaknya mengingat dimana ia memarkirkan mobil pagi ini. Ia seorang yang pelupa jika sedang terburu—buru, “Itu dia!” akhirnya kunci menemukan induknya sehingga pintu mobil bisa dibuka oleh gadis itu.Serena duduk dibalik kemudi, ia bersiap menginjak gas dan melepaskan rem supaya bisa keluar dari ruang temaram tersebut. Ia meninggalkan gedung Wijaya group, memanfaatkan jam istirahatnya. Mobilnya membelok ke sebuah restoran cepat saji. Ia mengambil antrian di bagian delivery,
“Menurut saya, acaranya lebih baik kita bikin sederhana saja Luna. Nanti kita bisa menampilkan paduan suara yang kemarin tampil di mother's’ day event, setelah itu kita bisa juga nampilin bakat beberapa anak supaya kreatifitas anak—anak bermunculan. Bagaimana kalau besok kita adakan seleksi umum saat jam terakhir pelajaran?” tanya Jeffry pada Aluna.Mereka sedang meeting empat mata di ruang guru, yang lain sudah pada pulang tinggal mereka dengan pegawai tata usaha juga petugas kebersihan. Aluna memang meminta Jeffry untuk meeting, membahas penutupan akhir tahun menjelang libur natal tahun ini. Denasari sudah mendesak Aluna agar segera merealisasikan acara tersebut, apalagi Aluna sudah ditunjuk sebagai penanggung jawab acara pada rapat sekolah dalam bahasan silabus ajaran baru.“Aluna?” Jeffry menepuk pelan punggung tangan per
Aluna ingin membelokan mobilnya ke parkiran basement apartemen, matanya membulat sempurna tatkala melihat Steven sedang berdiri dibawah payung dekat mobilnya sendiri. Mereka saling bersitatap di teras lobby apartemen yang lengang, hanya ada guyuran hujan yang lebat. Tak lama ponsel Aluna berdering, tercantum nama Steven disana. ‘Pak Steven Kenzie’ Aluna jadi berpikir, “Kenapa ini?” lantas ia pun menjadi kalut. “Halo pak Steven,” Aluna menjawab panggilan Steven gugup. “Miss Aluna, bisa saya minta waktu anda sebentar? Ada yang ingin saya bahas dengan anda!” ungkap Steven tenang. “Bisa pak, kalau begitu saya parkir dulu. Kita bertemu di coffee shop saja,” tawar Aluna. Steven me
Kasmaran!Bagai candu dalam memulai suatu hubungan. Steven sepakat dengan Aluna, mereka akan menjalin hubungan yang lebih dekat lagi bukan hanya sekedar guru dengan wali murid. Ya walau masih canggung satu sama lain, tapi kebahagiaan yang ada di hati mereka sangat terpancar dari rona wajah masing—masing.Steven begitu menjaga Aluna yang masih harus beristirahat di klinik sampai cairan infusnya habis. Hampir dua jam mereka disana, begitu selesai Steven mengurus keperluan Aluna termasuk membayar biaya perawatan wanita tersebut. Aluna sempat menolak namun Steven mulai menunjukkan sedikit jati dirinya yang keras kepala juga tidak suka adanya penolakan.Steven mengantarkan Aluna hingga ke depan pintu apartemen, “Tidur, jangan begadang. Besok saya jemput sekalian nganter Kenzie ke sekolah. Kita sarapan bareng,
Sebelum waktu subuh menyapa, Edwin sudah rapi mengenakan kemeja lengan panjang, celana bahan, juga menggamit blazer beige di lengan. Ia menjinjing tas kerjanya yang berwarna coklat. Oxford shoes yang dikenakan senada dengan warna tas. Menuruni anak tangga rumah berbelok ke ruang makan. Sesibuk apapun pekerjaan, Edwin tidak pernah melewatkan waktu makan. Petunia meneliti menu sarapan yang akan dilahap tuan muda Rusyadi itu.“Morning Petunia,” sapa Edwin layaknya anak ke ibu.“Good morning tuan Edwin, silahkan sarapan dulu,” Petunia menunjuk ke hidangan waffle saus blueberry juga secangkir kopi hitam.“Thank you Petunia,” Edwin menyeruput kopi panas itu santai, “Kabar Aluna bagaimana Petunia, masih suka menangis?” ujarnya seraya memotong waffle.Petunia berdiri di samping kanan Edwin, “Masih tuan. Nona Aluna menutup diri, hanya di kamar saja.”“Selera makannya bagaimana?” tanya Edwin datar.“Susah tuan, kalau tidak dipaksa nona tidak mau makan. Paling banyak cuma tiga kali suapan, saya
Satu jam Steven duduk termenung, menanti namanya yang dipanggil. Ia lesu. Wajahnya di lekuk, bahkan ia tak memperdulikan pandangan pasien lain. Penyesalan yang sudah tidak ada artinya lagi. Steven hanya bisa pasrah, kejadian ini belum masuk logikanya, tapi semua yang telah terjadi. Fakta adalah kenyataan yang tidak bisa ia rubah lagi.‘Aku harus apa-in Serena? Demi Tuhan, cinta ini hanya untuk Aluna. Bagaimana kalau Serena berbadan dua karenanya? Argh…’Kepala Steven semakin sakit. Ulah ia menerka—nerka kemungkinan terburuk yang akan menimpa hidupnya. Hatinya sudah terisi sosok Aluna, tidak ada tempat lain lagi, kecuali itu mama Matilda juga putra semata wayang Kenzie.‘Aku nggak sanggup menceritakan kejadian ini pada Aluna. Tentu ia akan menangis bersedih, bahkan menampar pipi ini den
Steven semakin tersiksa, nyeri di tangan kanan terasa kian hebat. Sakit sekali. Kidal—nya beraksi, melalui telepon intercom memanggil supir pribadi. Ia tak menunggu lama, tepat di deringan nada pertama terdengar sahutan di seberang.“Halo tuan,” ujar seorang pria bernada sopan dibalik sambungan.“Jemput saya ke ruangan sekarang, cepat Anto!” tutup Steven.Anto, si supir pribadi termenung. Ia bertanya—tanya, selama mengabdi belum pernah sekali pun naik ke ruangan sang majikan guna menjemputnya. Dan kali ini?Steven terkenal jadi seorang yang mandiri, tegas dan dingin. Kemarahannya akan lama susut, bahkan ribuan cara pun dilakukan belum tentu akan membantu. Steven tipikal seorang pendendam.“Ah,… sudahlah, lebih baik segera naik. Jangan sampai tuan marah juga ke saya!” Anto mengetahui retaknya hubungan kerja antara Steven dengan Hunter juga Nathan. Kini ia pun menjadi kaki tangan mereka diam—diam, tanpa diketahui si bos besar.Anto naik elevator eksekutif, ruang kedap signal titanium it
Steven kelimpungan dalam ruangan. Ia heran pada Aluna, kekasihnya itu kenapa tidak bisa di telpon. Nomornya dialihkan ke pesan suara. Ia tak bisa mendengar lagi pesan manis yang sempat direkam Aluna kemarin. Ribuan tanya tersisipkan, “Apa terjadi sesuatu dengan Aluna? Angkat dong sayang, ku mohon Aluna,…”Beban pikirannya kian bertambah, kemanakah Steven harus mencari Aluna?Pada siapa pula ia harus bertanya?“Sekolah ‘kan masih libur, gak mungkin ada orang disana. Pasti cuma ada pegawai tata usaha disana, Aluna ‘kan tenaga pengajar, mustahil ia kesana!” Steven menjambak rambutnya marah.Sebuah memori tersampir dalam ingatan Steven.“Ya,.. Hunter, jawabannya. Benar sekali!”Steven memanggil sang asisten melalui panggilan intercom, “Ke ruangan saya sekarang!” kemudian nada kereta api yang terdengar.Hunter melerai gagang intercom, lalu memandangnya penuh tanya, ‘Ada apa lagi ya?’ telepon sudah diletakkan pada tempatnya. Ia melangkah lebar hendak menemui sang atasan.Pintu ruangan priba
Amićo terparkir di halaman mansion. Steven keluar tanpa menutup pintu mobil, bahkan deru mesin mobil masih terdengar. Ia meninggalkan jagoan jalannya hidup—hidup. Steven menaiki anak tangga teras kemudian masuk ke dalam mansion. Ia mematung mendapati dua sosok yang masih ia kecam, kini sedang berdiri di depannya.“Ngapain kalian di rumah saya pagi—pagi?” sembur Steven masam.Mereka menunduk. Nathan berdehem, “Mohon beri kami maaf tuan. Tadi Kenzie mencari anda, bodyguard memberitahu kalau anda sedang keluar. Tadi Hunter yang mengantar Kenzie ke tempat kursus renang, dia sempat bertanya tentang anda.”“Lantas,.. kau beri jawaban apa pada putraku?” sahut Steven belum ingin senyum.“Saya hanya bilang kalau tuan sudah pergi ke kantor, ada rapat pagi ini dengan investor dari luar. Kenzie gak bertanya lagi, ia sudah paham dengan jam kerja anda yang sibuk.” Nathan memang ahli membuat alibi.“Kerja bagus,” sahut Steven lunak. Ia dirundung rasa bersalah pada Kenzie, tak seharusnya ia meninggal
Steven menggaruk jemarinya yang terasa gatal. Matanya masih terpejam. Tak lama ia menggeliat sedikit, melonggarkan otot—ototnya yang sedikit kram. Bughh,…‘Kenzie?’Pikirnya ada putranya sedang berbaring disebelah. Tanpa ragu, Steven merangkul hingga mendekap erat. Bahkan Steven membubuhkan kecupan di pucuk kepala.‘Hemm? Ini bukan wangi shampoo Kenzie!’Steven ingin tahu, siapakah gerangan yang mengisi sisi sebelah ranjangnya kini?Perlahan ia membuka matanya, sedikit ia paksa. Steven terperanjat, kasur yang ia huni berombak. Tubuh Steven bergetar karena mendapati ada seorang wanita tengah memunggungi dirinya. Nafasnya tersengal—sengal, matanya belum menyusut. Sungguh ia terkejut. Ia menyibak selimut yang menyelimuti mereka, kembali ia membelalak. Tak satupun helai kain menutupi tubuhnya. Keadaan sama juga pada wanita yang belum ia ketahui siapa namanya.‘Tapi king ku keset, nggak ada tanda—tanda habis main. Siapa nih perempuan?’Steven menelan saliva yang membumbung di tenggorokan.
Edwin terperangah sampai dirinya terhempas duduk di atas sofa. Sungguh ia terkejut mendengar pengakuan Aluna, ‘Kekasih?’ satu kata ini tertempel kuat dalam pikirannya. “Jadi putri papa ini menjalin hubungan asmara dengan anak dari pasien yang ada di rumah sakit kita?” sahut Lukman tak percaya. “Kami belum lama jadiannya pa. Aku minta maaf ya pa,” ungkap Aluna jujur. Kini, ia merasa sangat bersalah. “Kamu tahu status kekasihmu itu?” cicit Edwin menatap tajam. Aluna mengangguk, “Tentu saja abang. Putranya ‘kan aku yang ngajar di Vittorio. Aku juga wali kelasnya, semua data mereka aku yang pegang. Mustahil sekali aku gak tahu soal itu abang. I’m really sorry,..” “Kamu tahu soal ibu kandung murid mu itu?” cecar Edwin. “Setahuku, mommy 'nya Kenzie itu, istri Steven sudah tidak ada. Kenzie bilang kalau mommy 'nya sudah tenang di surga Bapa. Aku gak ngerebut suami orang pa, please abang ngertiin dong… aku juga gak minta sama Tuhan untuk rasa ini. Ngalir gitu aja,” jelas Aluna ke mereka.
Edwin mendapat laporan dari security rumah, jika ada paket untuk Aluna yang dikirim ke mansion. Mereka sengaja memberitahu padanya sebagai penanggung jawab seisi rumah. Lukman Rusyadi menunjuk Edwin untuk memikul tanggung jawab sebagai kepala keluarga Rusyadi. Lukman akui, dirinya semakin sepuh. Bulat tekadnya mendelegasikan satu tanggungan dirinya pada putra sulung satu—satunya.“Siapa pengirimnya?” selidik Edwin khas suara baritone.“Tidak ada namanya tuan. Paket dihantar oleh driver ojek online, waktu saya introgasi ia pun tidak tahu. Paket ini dia ambil dari seseorang bernama Poni.”“Taro paket itu di ruang kerja saya. Siapa yang tau soal paket itu?” sahut Edwin.“Baru tuan, saya tidak bisa menghubungi nona Aluna. Apa perlu saya—”“Tidak perlu. Kerjakan yang tadi saya suruh!” tandas Edwin.***Malam itu Edwin pergi ke ruang kerjanya. Selesai makan malam berdua Lukman, ia pamit duluan. Alasannya ada laporan mingguan yang belum selesai direvisi. Sesampainya di dekat meja kerja, mata
Vin valley residence, lokasi penginapan mewah yang dihuni Aluna. Strategis, dekat dengan tempat ia bekerja, Vittorio kiddy school. Hunter memberhentikan mobil yang dikemudikan, segera Nathan menghamburkan diri langsung keluar tanpa alih—alih permisi. Hunter cuma menatap punggung itu merasa kasihan, ‘Beruntung sekali anda tuan Steven Wijaya!’ tak lama ia pun menyusul langkah kaki yang masih menjejak.Mereka sudah tahu lokasi unit milik Aluna. Kini mereka telah berdiri tepat di depan pintu, dengan keberanian penuh Hunter menekan bel yang menempel di dinding. Sekali, belum juga keluar. Tatapan mata Nathan menyuruhnya mengulangi lagi. Hunter menggeleng, “Sepertinya tidak ada orang didalam tuan.”Nathan menghembuskan nafasnya, tapi sesak belum juga berkurang, “Kemana mereka?” monolog-nya bertanya.Hunter melirik, “Belum pasti mereka sedang bersama tuan,” sahutnya yakin.Bidikan mata Nathan tak setuju, “Seyakin itu kau, Nathan?”“Nada pesan yang disematkan miss Aluna terdengar padat, ia sep