Pagi masih belum menampakkan sinarnya. Namun, tampak seorang pria sedang duduk diatas kursi roda menghadap kearah jendela. Nico menghembuskan nafas frustasi, kepalanya mendadak pening semenjak menerima pesan dari Amanda.
“Jon!” panggil Nico dari dalam pada Jon—asisten pribadinya.
“Ya, Tuan?” jawab Jon. Ia dengan cepat menghampiri tuannya.
“Cari tahu keberadaan Amanda saat ini dan cari tahu semua tentang Amanda. Aku ingin buat perhitungan dengannya.” Ucapnya dengan kesal, “berikan infonya sebelum aku keluar dari rumah sakit sialan ini!”
“Baik, Tuan,” jawab Jon patuh. Ia pun segera keluar dari kamar tuannya dan memerintahkan anak buahnya sesuai yang diperintahkan tuannya.
Ia masih menatap keluar jendela, tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya terlihat memutih. Ia hanya tidak menyangka jika wanita yang dicintainya pergi meninggalkannya karena dia lumpuh sedangkan hari pernikahan hanya tinggal menghitung hari.
“Argh…brengsek!” ucapnya dengan menghancurkan semua barang-barang yang ada pada ruangan tersebut hingga ia terjatuh dari kursi roda.
Almira yang baru saja datang untuk menggantikan temannya yang jaga malam, langsung lari menuju kamar Nico begitu mendengar teriakannya.
“Pak, Anda tidak apa-apa?” tanyanya dengan mendekati Nico untuk membantunya kembali duduk dikursi roda.
Nico menatap Almira, kilatan amarah terpancar dari matanya. “Pergi, aku tidak butuh bantuanmu!” teriaknya.
“Tapi, Pak...,”
Nico mendorong tubuh Almira hingga terjatuh. “Semua wanita sama saja. Yang mereka pikirkan hanya harta!”
Almira berdiri dan bergegas menghubungi Dokter Nando untuk segera kemari. Dokter Nando sampai kekamar Nico.
“Nico, apa yang kamu lakukan. Jangan bersikap bodoh!” bentak Dokter Nando pada adiknya.
“Suster, tolong bantu saya memindahkan pasien ke tempat tidurnya.”
Almira menganggukan kepala dan bergegas membantu Dokter Nando untuk memindahkan pasien ke tempat tidur.
“Apa kamu sudah gila, hah! Kemana pikiranmu, Nico.” Bentaknya dengan mencengkram rahang adiknya dengan kencang.
Nico menepis tangan yang mencengkramnya. “Kau tidak tahu bagaimana rasanya diposisiku. Aku lumpuh dan sekarang dia meninggalkanku disaat hari pernikahan kami hanya tinggal menghitung hari!” ucapnya tak kalah keras.
“Masih banyak cara untuk menyelesaikan ini. Kau seorang CEO yang disegani, semua lawan-lawanmu takluk padamu saat berhadapan dengan mu, tapi lihatlah sekarang, ck..ck…kau tidak halnya seperti pecundang.” Ucap Dokter Nando
Nico terdiam mendengar ucapan kakaknya.
“Kau tenanglah. Aku sudah mengurusnya, tidak ada yang boleh meremehkan keluarga Brahmantyo, tidak juga Amanda.” Ucap Dokter Nando
Tanpa mereka sadari Suster Almira masih berdiri disana mendengarkan percakapan mereka. Almira terkejut karena ternyata Dokter Nando adalah kakak dari pasien yang selama ini membuatnya kesal, selain itu mereka menyebutkan nama Amanda.
“Maaf, saya menyela pembicaraan kalian. Tapi apakah Dokter Nando tadi menyebut nama 'Amanda'?” Ucap Almira hingga mereka memandang kearahnya.
“Kalau boleh saya tahu, apakah Amanda yang dokter maksud adalah Amanda Lucero?” tanyaku penasaran dan berharap semoga bukan Amanda saudara tirinya.
“Apa kau mengenalnya, suster?”
“Ah, ti…tidak. Tentu saja saya tidak mengenalnya, mana mungkin seorang suster seperti saya mengenal seorang model terkenal, he..he..he,” ucapku dengan tersenyum yang dipaksakan.
“Betul, memang dia Amanda yang kami maksud. Dia calon istrinya Nico.” Balas Dokter Nando
Seketika itu juga ekspresi wajah Almira berubah menjadi kaku namun cepat-cepat ia merubah ekspresi wajahnya agar tidak diketahui oleh mereka.
‘Ya Tuhan, apa yang telah dilakukan Amanda. Firasatku tidak enak, semoga apa yang aku fikirkan tidak berdampak padaku. Tolong aku Tuhan’ batin Almira.
“Ehm, kalau begitu saya permisi dulu, dok.” Pamitnya
“Suster tunggu.” Panggil Dokter Nando, “tolong panggilkan OB untuk membersihkan kamar ini.” Ucapnya dan dijawab anggukan oleh Almira.
Saat Almira akan keluar dari kamar, tiba-tiba pintu terbuka. Menampakkan asisten Nico datang dengan membawa beberapa berkas yang akan diberikan pada Nico.
Almira keluar namun tidak menutup pintu seluruhnya. ia ingin mendengarkan apa yang sedang mereka bicarakan, namun suara dering ponselnya membuat ia urung untuk mendengarkan pembicaraan mereka.
“Hai, Ben. Bagaimana kabarmu?” tanyaku dari seberang telpon.
“Hai, aku baik. Maaf aku baru sempat menghubungi, kau tidak marahkan?”
“Tidak. Bagaimana kegiatanmu disana? Apakah menyenangkan?”
“Syukurlah disini menyenangkan, banyak dokter-dokter muda yang menerima beasiswa sama dengan ku disini.”
“Ben…,” ucapan Almira terputus karena sekali lagi ia mendengar teriakan dari kamar Nico. “Ben, aku tutup dulu telponya karena pasienmu yang menyebalkan sedang berteriak marah, da, sampai jumpa.” Almira menutup ponselnya sepihak.
***
“Mbak Almira, Anda dipanggil Dokter Yacob diminta untuk segera keruangannya, sekarang.” Ucap seorang security“Ada apa ya, Pak?” tanyanya penasaran.
“Waduh, maaf mbak, saya kurang tahu. Mending mbak Almira cepetan kesana.”
“Terima kasih ya, Pak.”
Almira mendatangi ruangan Dokter Yacob.
Tok…
Tok…
“Masuk.” Jawab seseorang yang berada dalam ruangan itu.
Almira masuk kedalam ruangan tersebut. Disana sudah ada Dokter Nando, Nico dan orang tuanya. “Permisi, dok. Dokter memanggil saya?” tanyanya.
“Duduklah, Al.” jawab Dokter Yacob. Almira sedikit heran, tidak biasanya Dokter Yacob memanggil dengan hanya menyebutkan namanya saja.
“Langsung saja pada intinya, dok.” Ucap Nico sarkas padaku
“Apa kau yang membantu Amanda untuk meninggalkan Jakarta?” tanya Dokter Yacob.
Almira begitu terkejut atas tuduhan yang dilontarkan padanya. “Apa maksud, Anda. Untuk apa saya membantu Amanda meninggalkan Jakarta.”
“Hanya kamu satu-satunya orang yang menemui Amanda.”
Almira berdiri dari duduknya. “Tapi itu atas permintaan Anda, dokter. Jangan salahkan saya atas kepergian Amanda, saya bahkan tidak tahu kemana Amanda pergi. Yang saya tahu Amanda pergi bersama seseorang bernama Kevin.” Ucap Almira kesal.
“Jangan libat saya dengan permasalahan kalian. Saya disini hanya ingin bekerja dan meminta hak saya pada Anda, Dokter Yacob.”
Ekspresi wajah Dokter Yacob seketika berubah tegang. “Jangan bawa-bawa masalah pribadimu Suster Almira! Dan jaga bicara mu.” Ucapnya dengan sengit
“Sebenarnya maksud Anda memanggil saya kemari bukan hanya ingin menanyakan keberadaan Amanda kan, dokter?”
“Betul, suster. Maaf kami jika melibatkanmu dalam masalah ini.” Sela Ratna—ibu Nico
“Tapi, kenapa harus saya, Nyonya?”
“Karena kau adalah adik dari Amanda.” Ucap Nico dengan ketus. “Jadi kau harus bertanggung jawab menggantikan Amanda untuk menikah dengan ku.”
Almira mundur selangkah karena terkejut. Ia sudah menduga, jika kepergian Amanda akan membawa masalah untuk hidupnya…lagi.
“Anda salah Tuan Nico yang terhormat. Dokter Yacob memang ayah saya, dan Amanda memang saudara saya, tapi mereka bukan keluarga saya. Dan saya menolak. Permisi.” Ucap Amanda kesal dan seketika meninggalkan mereka.
Namun, saat Almira akan membuka pintu sebuah suara menghentikannya. “Bagaimana kalau aku memberikan tawaran untukmu?” sela Dokter Yacob.
“Aku akan memindahkan dan memberikan fasilitas perawatan terbaik untuk nenekmu diluar negeri hingga ia sembuh.” Ucapnya, “tapi sebagai gantinya kamu harus mau menikah dengan Nico, Bagaimana?”
Bersambung
Satu jam yang lalu…“Apa yang akan kau lakukan pada mereka sekarang, Nic?” tanya Dokter Nando.“Aku? Aku tidak akan melakukan apa-apa, Nan. Aku hanya akan jadi penonton drama dalam keluarga Lucero!” Ucap Nico dengan seringai licik disudut bibirnya.“Aku berharap kamu tidak melibatkan Suster Almira dalam rencana mu. Dia tidak ada hubungannya dengan masalah ini.”“Kenapa? Kenapa kau begitu peduli dengannya, Nan?” Nico mengerutkan keningnya menatap kakaknya heran. “Apa kau tertarik padanya?”“Auw…,” spontan Dokter Nando memukul kepala Nico. “Jaga bicaramu. Dia gadis yang baik dan berbeda, lagipula dia sudah punya kekasih, jadi mana mungkin aku tertarik padanya.”Tiba-tiba pintu kamar terbuka, tampak ibunya yang datang dengan wajah cemberut, membuat mereka memalingkan pandangannya pada sosok yang mereka sayangi.“Kenapa kau meminta mama datang kemari, Nico? Ada apa?,” ujarnya. “Mama jadi harus menitipkan Hanif pada pengasuhnya, kau tahu sendiri
Almira menghembuskan nafas kecewa begitu keluar dari ruangan ayah tirinya. Ia melangkahkan kakinya sambil melamun menjauh dari ruangan Dokter Yacob dan berjalan menuju lift. Dalam lamunannya ia berfikir, mengapa ayah tirinya tega melimpahkan kesalahan yang dilakukan Amanda dengan menyetujui perjanjian gila yang diberikan Nico padanya. Menikah dengan orang yang tidak dikenal dan tidak ia cintai bukanlah daftar dari rencana masa depan Almira, apalagi dengan seorang CEO yang temperamental dan arogan. Tujuannya kembali ke Jakarta bukan sekedar bekerja tapi demi meminta kembali rumah panti peninggalan ibunya, tapi kenyataan yang terjadi saat ini justru diluar bayangannya. Dan sialnya, Almira tidak bisa menolak pernikahan ini karena nenek dan rumah panti yang masih ada dalam genggaman ayah tirinya. Ia hanya bisa berharap setelah menjalani pernikahan ini, kaki Nico dapat segera sembuh dan bisa berjalan kembali seperti semula. Semakin cepat kesembuhan kaki Nico
Hari ini Almira terpaksa harus meminta ijin untuk tidak masuk, karena Nico mengajaknya ke butik langganan keluarga Brahmantyo untuk mencari gaun pengantin.Sepanjang perjalanan menuju butik, Almira lebih banyak melamun, sedangkan Nico sibuk dengan laptop yang berada dipangkuannya. Ia harus menyelesaikan pekerjaannya yang menumpuk akibat kecelakaan yang dialaminya.Meski Nico merupakan pria yang temperamen dan arogan tapi ia tetap memperlakukan Almira dengan baik, mungkin tidak semanis pasangan yang akan menikah pada umumnya. Tapi bersikap tidak temperamen dan arogan serta menahan emosi untuk sementara waktu sudah merupakan sebuah kemajuan untuk seorang Nicolas.“Apa yang sedang kau pikirkan?”Almira sedikit terkejut saat Nico membuyarkan lamunannya—tiba-tiba pria itu sudah menutup laptopnya. Almira berpikir sejak kapan pria itu menyelesaikan pekerjaannya?Almira heran dengan dirinya sendiri, ia menjadi sering malamunkan hal-hal ya
Mereka tiba di sebuah restauran mewah di Jakarta, pelayan wanita mendatangi mereka. Nico memesan makanan begitu juga Almira, meskipun ia tidak tahu jenis makanan seperti apa yang ia pesan.“Apa kau yakin tidak ingin merubah konsep pernikahan yang kau inginkan, Al?” tanya Nico memecahkan keheningan.“Tidak,” jawab Almira singkat.“Kenapa? Setiap wanita yang akan menikah pasti menginginkan pesta yang mewah dan meriah. Lagipula aku tidak keberatan jika harus mengeluarkan ratusan juta.”Almira tercengang—ratusan juta katanya? Pria ini memang benar-benar sudah gila.“Saya bukan gadis yang tidak tahu malu, Pak? Dengan mengadakan pesta meriah dan sebesar itu yang disaksikan semua orang, lalu berita perceraian muncul dua atau satu tahun kemudian?!” ucap Almira kesal.“Baiklah. Terserah padamu. Mungkin aku bisa melakukannya saat menikah dengan wanita lain nanti.” Nico menyesap minuman
Sejenak Nico terdiam dalam tenang—belum merespon ucapan yang di katakan Almira.“Ditolak. Aku tidak bisa menyetujui yang aku sendiri tidak bisa melakukannya.” Nico memutar kursi rodanya—menuju pintu keluar kamar Almira.“Tidurlah, Almira. Sudah larut, besok pagi kau masih harus membeli keperluan untuk pernikahan bersama Mama.”***Almira sudah bersiap sejak pagi, ia hanya tidur empat jam sejak obrolan dengan Nico berakhir. Mulai hari ini dan seterusnya ia tidak perlu kembali ke rumah sakit untuk bekerja karena semalam Nico sudah memberi tahunya bahwa ia sudah tidak lagi bekerja di sana.‘Jika aku tidak lagi bekerja di sana lalu bagaimana aku bisa mengawasi kesehatan nenek di sana’ batin Almira.Tok…Tok…Almira terhenyak dari lamunannya saat mendengar pintu kamarnya diketuk.“Maaf, Non. Non Almira di tunggu Nyonya besar di bawah untuk sarapan be
Nico merebahkan diri di atas ranjang dalam kamar hotel, sejenak ia memejamkan mata melepas penat dalam pikirannya. Meski saat ini kakinya belum bisa bergerak namun ia sudah membiasakan diri untuk mengerjakan segalanya sendiri dengan bantuan kursi roda.Ia harap menjadikan Almira untuk menggantikan Amanda adalah suatu keputusan yang benar untuk membalas Amanda dan keluarganya. Tok…Tok…“Tuan,” panggil Joni dari luar pintu.“Masuk.”“Maaf Tuan, Ibu Anda menghubungi saya, beliau tanya mengapa ponsel Anda tidak bisa dihubungi?”Nico merubah posisinya, ia duduk di pinggiran ranjang dan mengambil ponselnya yang berada di atas nakas. “Ah…pantas saja. Ponsel ku mati, aku belum sempat mengisi baterainya,” ucap Nico—memberikan ponselnya pada Joni untuk di charge.“Hubungkan aku dengan ibu ku, Jon!” PerintahnyaTidak perlu menunggu lama u
Nico masih setia di dalam ruang kerjanya setelah bertemu dengan dokter Yacob. Dari jendela ruang kerjanya ia menatap satu persatu kerabatnya pergi, serta dokter Yacob.Selama wanita itu masih menjadi istrinya, maka Almira berada dalam territorial perlindungan Nico. Jadi, saat ini ia hanya perlu mengikuti permainan yang diberikan dokter Yacob dan jika saatnya tiba maka BOOM, habislah keluarga Lucero.“Hai…” sapa dokter Nando—membuka pintu ruang kerja Nico.“Bisakah kau mengetuk pintu sebelum masuk?” ucapnya“Maaf…aku melihat dokter Yacob keluar dari sini. Apa yang sedang kalian bicarakan? Hingga membuatnya pergi tanpa berpamitan pada keluarga kita dan Almira!” tanya dokter Nando, penasaran.Nico memutarkan kursi rodanya menghadap dokter Nando. “Tidak ada…,” jawabnya singkat. “Mungkin ia sedang PMS.” Sambungnya santai dengan mengarahkan kursi rodanya ke ar
Rumah Sakit Karya Bakti“Dari hasil pemerikasaan yang telah di lakukan, dapat saya simpulkan Anda mengalami Paraplegia Spastik yang diakibatkan karena trauma kecelakaan yang Anda alami,” jelas Dokter Felicia—Dokter fisioterapi yang menanggani Nicolas.Paraplegia Spastik merupakan hilangnya kemampuan fungsi motorik bagian bawah tubuh, di mana otot-otot tubuh pada bagian yang mengalami kelumpuhan dalam kondisi kaku dan tegang.Hal tersebut disebabkan oleh kerusakan dari otak atau sumsum tulang belakang yang tidak dapat mengirimkan sinyal ke tubuh bagian bawah, akibat adanya suatu penyakit atau cedera.“Itu berarti kaki tuan Nico masih bisa sembuh, kan? Lalu berapa lama waktu yang dibutuhkan untuknya bisa berjalan kembali, Dok?” tanya Almira.“Untuk waktu penyembuhannya tidak bisa di pastikan. Asal tuan Nico rutin mengikuti jadwal terapi dan meminum obatnya secara teratur, saya rasa penyembuhannya akan lebi
Tok!Tok!Tok!“Almira, Sayang?” panggil Ratna. Ia mengetuk pintu kamar menantunya karena merasa khawatir dengan keadaan Almira yang mengurung diri dalam kamar setelah pertengkaran dengan putranya.Tanpa sengaja Ratna mendengar pertengkaran mereka saat ia kembali dari berbelanja bersama koleganya. Ia pun sempat berpapasan dengan putranya yang saat itu sedang terlihat sedang marah.“Sayang, ini mama. Boleh mama masuk, Nak?” rayunya.Almira beranjak dari tempat tidurnya, berjalan ke arah pintu sambil menghapus sisa air matanya sebelum membuka kunci kamarnya.Ia tersenyum dan mempersilahkan Ratna masuk. Mereka duduk di sofa ruang tamu dalam kamar milik Almira.Ratna yang duduk di samping kanan Almira membelai lembut rambut menantunya dengan menatap wajah yang terlihat sembab bekas menangis, “kau kenapa, Sayang?” tanya Ratna.“Aku baik-baik saja, Ma.”“Tadi … mama tid
“Katakan apa yang kau inginkan?” tanyanya saat ia melihat ada keraguan dalam raut wajah Almira. “Aku ingin … mengakhiri pernikahan ini!” jawab Almira. Raut wajah Nico seketika menjadi datar. Rahangnya mengeras. ‘Jadi ini yang kau inginkan! Jangan bermimpi sampai kapanpun aku tidak akan melepaskanmu. Kau adalah milikku dan akan selamanya menjadi milikku!’ batin Nico. “Ditolak!” jawab Nico dingin dan datar. Kini Nico kembali pada sifatnya yang arogan, dingin dan egois seperti dulu. “Kenapa?” balasnya—datar. Nico tidak menjawab pertanyaan Almira dan berlalu pergi meninggalkannya. Ia sudah jatuh cinta teramat dalam pada wanita yang sekarang menjadi istrinya. Bagi Nico melepaskan Almira sama juga dengan membunuh separuh dirinya. Almira bergegas bangkit dari duduknya dan berlari mencekal tangan Nico. “Nico, tunggu!” panggilnya. Langkah Nico terhenti dan menatap dingin Almira. Ia tidak menyangka perjanjian pranikah yang ia buat sebelu
Bali- 01:30PM Almira menghela nafas, lalu memijit pangkal hidungnya karena merasa binggung dengan sikap Nico. Ia menolak permintaan dokter Nando untuk ikut bersamanya ke Bali. Namun, siapa yang mengira jika saat ini ia sendiri yang mengajaknya untuk menyusul kakak dan keponakannya. Benar-benar tipe manusia yang nomaden, batin Almira. “Nico,” panggil Almira. “Hem …,” jawabnya singkat tanpa mengalihkan padangannya dari ponsel. “Mengapa kau mengajakku kemari?” tanyanya. “Mengapa kau tiba-tiba berubah pikiran? Bukankah kau bilang tidak ingin pergi?” sambungnya. “Karena mama memintaku untuk mengajakmu ke Bali,” jawabnya. “Jadi karena mama yang memintamu untuk mengajakku, kau tidak bisa menolak seperti yang kau lakukan pada dokter Nando, begitu?!” ucap Almira. “Tapi untuk apa mama memintamu mengajakku ke sini?” tanyanya penasaran. “Aku tidak tahu! Kau bisa tanyakan sendiri pada mama nanti!” jawabnya.
Nando dan Hanif pergi meninggalkan Almira untuk masuk ke dalam pesawat. Ia melangkahkan kakinya untuk kembali ke parkiran mobil karena Johni telah menunggunya. Namun, saat akan kembali tiba-tiba sesuatu mengejutkan Almira. Brugh!! “Auw…,” ucapnya kesakitan. Seolah-olah ia sudah menabrak dinding yang sangat keras. “Apa Anda tidak punya mata?” ucap Almira kesal dengan mengusap-usap dahinya tanpa melihat siapa yang telah ia tabrak. “Tidak bisakah kau berjalan dengan benar?” balas Nico yang berdiri dihadapan Almira menggunakan tongkat penyangga. Almira yang hafal dengan suara Nico, buru-buru menengadah menatap Nico. “Kau …!” “Makanya kalau jalan itu lihat ke depan jangan lihat ke bawah! Untung aku yang kau tabrak, bagaimana jika orang lain!?” ucapnya ketus. “Maaf,” balas Almira. Tiba-tiba Almira menatap Nico penasaran, “Sedang apa kau di sini? Aa … jangan-jangan kau sudah berada di sini dan memperhatikan kami sedari tadi?”
Dering alarm ponsel Almira berbunyi, menunjukkan hari sudah pagi. Cepat-cepat Almira meraih ponselnya di atas nakas dan mematikkannya. Almira duduk sejenak untuk mengumpulkan kembali nyawanya, ia melihat ke samping tempat tidur yang masih rapi. Sekilas Almira teringat jika semalam ketika ia akan menghampiri Nico di ruang kerjanya, nampak keadaanya sangat kacau hingga ia membatalkan niatnya untuk menghampiri Nico. “Sepertinya semalam ia tidak tidur di sini. Apa ia ketiduran di ruang kerjanya?” batin Almira. Ia pun bergegas bangun dan membersihkan diri di kamar mandi. Selang beberapa menit menyelesaikan mandinya, Almira dikejutkan dengan Nico yang sudah duduk di tepi tempat tidur dengan memegang sebuah kotak miliknya. “Ish … kamu ngagetin aja! Sejak kapan kamu duduk di sana?” tanya Almira yang masih menggunakan handuk melilit di tubuhnya. Nico menatap Almira tanpa berkedip melihat wanita yang baru saja keluar dari kamar dengan menggunak
Almira duduk di kursi balkon teras kamarnya, ia menyadarkan tubuhnya pada sandaran kursi dengan memegang sebuah kotak yang terbuat dari kayu jati. Ia membuka kotak itu dan mengambil sebuah kotak kecil berisi sebuah cincin pemberian Benny, tunangannya. Sudah beberapa bulan ini ia tidak mendapatkan kabar dari Benny, tidak ada pesan, tidak ada email atau surat sekalipun. Tanpa sepengetahuan Almira semua pesan yang dikirimkan Benny padanya selama ini telah di sabotase oleh Nico, hingga komunikasi antara Benny dan Almira terputus dan hubungan keduanya berakhir. “Huft … Begitu sibuknya kah? Sampai kamu tidak bisa menghubungiku meski hanya sebentar atau mungkin sudah ada seseorang yang menggantikan ku di sana?” pikir Almira. “Jika aku tidak bisa menghubungimu lalu bagaimana aku bisa mengatakan yang sebenarnya padamu,” gerutunya. “Siapa yang sedang ingin kau hubungi? Dan apa yang sedang kamu pegang? Kotak apa itu?” tanya Nico tiba-tiba
“Kita sudah sampai. Masuklah dulu, aku masih harus mengurus sesuatu,” ucap Nando.Almira menganggukan kepalanya dan turun dari mobil. Baru beberapa langkah, gadis itu menghentikan langkahnya—berbalik menatap Nando dan menghampirinya. “Apa kau akan kembali kemari?” tanyanya.“Tentu. Aku tidak akan lama, tunggulah. Aku akan segera kembali,” ucapnya dengan tersenyum.“Baiklah.”Almira kembali melangkahkan kakinya masuk ke rumah perawatan itu, ia sudah tidak sabar ingin segera menemui neneknya.Gadis itu membuka pintu kamar neneknya, “Kesya ….” Ucap Almira“Hai … kau sudah sampai rupanya. Senang rasanya bisa bertemu dengan mu lagi setelah beberapa bulan kamu menghilang. Bagaimana kabarmu, Al?” tanya Kesya—menghampiri Almira dan memeluknya.“Aku baik. Maaf, aku sudah membuatmu khawatir dan merepotkanmu untuk menjaga Nenekku,&rdq
Beberapa bulan kemudian … “Kesembuhan kaki Anda mengalami kemajuan yang sangat baik, Tuan. Dan Anda akan dapat berjalan kembali namun untuk sementara waktu harus menggunakan tongkat hingga kaki Anda benar-benar bisa berjalan seperti semula,” ucap dokter. “Apakah Tuan Nico masih harus menjalani terapi, Dok?” tanya Almira. “Tentu saja. Tuan Nico tetap harus menjalani terapi hanya saja jadwal terapi yang seminggu dua kali bisa dijadwalkan menjadi seminggu sekali dan sering latihan dirumah, selain itu tetap harus mengkonsumsi obat dan vitamin yang sudah saya berikan,” jelas dokter. ‘Terima kasih, Tuhan. Semoga Nico bisa segera bisa berjalan kembali,’ batin Almira. “Terima kasih, Dok. Kalau begitu kami permisi,” ucap Almira—berpamitan. Almira membantu Nico mendorong kursi rodanya keluar dari ruangan terapi dan menuju ke lobi rumah sakit. Sepanjang perjalanan menuju lobi, Almira dan Nico sama-sama terdiam. Semenjak p
“Hey …,” sapa Almira pada Hanif saat memasuki kamarnya. “Aunty, Al?” jawab Hanif denga tersenyum. “Apa aunty menganggumu, Sayang?” Hanif menggelengkan kepala. “Aku senang aunty kemari. Aku tidak bisa tidur, bisakah aunty menceritakan sebuah dongeng untukku?” Almira menghampiri Hanif—ke tempat tidurnya. “Kemarilah,” ucap Almira. Hanif sedikit mengeser badannya dan menyandarkan kepalanya pada lengan Almira sebagai bantal. “Berdoalah dulu sebelum aunty membacakan dongeng untukmu,” kata Almira yang dijawab anggukkan oleh Hanif. Almira membacakan dongeng Pinokio pada Hanif. Belum habis dongeng yang dibacakan, Hanif sudah tertidur pulas di atas lengannya. Ia lalu meletakkan kepala Hanif di atas batal agar lebih nyaman dan membetulkan posisi selimut agar Hanif lebih merasa hangat. Dari balik pintu, Nando menatap interaksi antara Almira dan putra semata wayangnya. Ada sebuah rasa bahagia yan