Satu jam yang lalu…
“Apa yang akan kau lakukan pada mereka sekarang, Nic?” tanya Dokter Nando.
“Aku? Aku tidak akan melakukan apa-apa, Nan. Aku hanya akan jadi penonton drama dalam keluarga Lucero!” Ucap Nico dengan seringai licik disudut bibirnya.
“Aku berharap kamu tidak melibatkan Suster Almira dalam rencana mu. Dia tidak ada hubungannya dengan masalah ini.”
“Kenapa? Kenapa kau begitu peduli dengannya, Nan?” Nico mengerutkan keningnya menatap kakaknya heran. “Apa kau tertarik padanya?”
“Auw…,” spontan Dokter Nando memukul kepala Nico. “Jaga bicaramu. Dia gadis yang baik dan berbeda, lagipula dia sudah punya kekasih, jadi mana mungkin aku tertarik padanya.”
Tiba-tiba pintu kamar terbuka, tampak ibunya yang datang dengan wajah cemberut, membuat mereka memalingkan pandangannya pada sosok yang mereka sayangi.
“Kenapa kau meminta mama datang kemari, Nico? Ada apa?,” ujarnya. “Mama jadi harus menitipkan Hanif pada pengasuhnya, kau tahu sendiri kan keponakan mu itu tidak mau dengan siapa-siapa.”
“Sudah, Ma. Mama jangan marah dulu dengarkan penjelasan Nico. Lagipula Hanif sudah besar, biarkan dia bersama pengasuhnya sebentar.” Ujar Dokter Nando
“Ish, kau ini. Dia itu anak mu, peka lah sedikit dengannya. Awas saja jika ini tidak penting.”
Nico menjelaskan semua pada ibunya. Mereka menyimak dan mendengarkan rencana yang akan dilakukan pada keluarga Lucero. “Baiklah. Kali ini mama mendukungmu, kita lihat reaksi apa yang akan dilakukan Dokter Yacob ketika berita ini muncul!” ucapnya.
“Tidak ada yang boleh mempermainkan keluarga Brahmantyo seperti ini, tidak juga Dokter Yacob.” Ucapnya kesal
Nico meminta anak buahnya untuk menyebarkan berita pengelapan dana yang dilakukan Dokter Yacob dari donator untuk diberikan pada Yayasan panti dalam naungan Brahma Group termasuk Yayasan panti milik ibu Almira.
Seperti dugaannya, berita begitu cepat menyebar hingga ketelinga para donator dan pemegang saham rumah sakit Karya Bakti.
“Apa kau yakin ini akan berhasil membuat Dokter Yacob meminta Amanda untuk kembali?” tanya ibunya.
“Aku yakin, Ma. Karena wanita seperti Amanda tidak akan pernah bisa hidup tanpa uang. Jadi jika ia mendengar ayahnya sedang dalam masalah, ia pasti akan kembali.” Ucapnya
Kring… kring…
Ponsel Nico berbunyi, ia menatap layar ponselnya. “Lihat,” ia menunjukkan nama si pemanggil pada Dokter Nando dan ibunya. “Sudah ku duga. Dia pasti akan menghubungiku.” Ucapnya
“Ya?” jawabku
“….”
“Tidak. Kami yang akan datang ke ruangan dokter!” serunya dengan sedikit menyeringai.
“…”
“Ini saat yang ku tunggu. Aku sudah tidak sabar melihat wajah ketakutannya!” ucapnya dengan sinis. “Jon…,” panggilnya.“Iya, Tuan.”
“Bawa aku ke ruangan calon ayah mertua ku!” perintahnya dengan penekanan diakhir kalimat.
Dokter Nando dan ibunya saling memandang melihat Nico yang sudah terselimuti amarah dan sakit hati. Mereka jadi teringat 10 tahun yang lalu saat Nico masih duduk dibangku kuliah, dia hampir membuat dirinya menjadi seorang pembunuh hanya karena dikhianati seorang gadis.
Mereka berjalan menuju ruangan Dokter Yacob. Tampak diraut wajah ibunya sedikit gelisah, Dokter Nando yang mengetahui ibunya sedang gelisah, berusaha menenangkan ibunya. “Mama tenang saja. Aku yakin, Nico tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Kita harus percaya padanya.” Ucapnya
Mereka sampai di depan ruangan Dokter Yacob. Tanpa permisi, Joni membukakan pintu ruangan itu untuk tuannya. Dokter Yacob tampak terkejut dengan kehadiran Nico dan keluarganya yang datang begitu cepat tidak seperti dugaannya.
“Masuklah. Silahkan duduk.” Ucapnya dengan basa-basi.
“Kita tidak perlu berbasa-basi lagi, Tuan Lucero,” ucap Nico. “Tentu Anda tahu tujuan kami kemari kan?” ucap Nico dengan memberi tatapan tajam pada Dokter Yacob yang berjalan mendekatinya.
Nicholas Brahmantyo, putra kedua dari keluarga Brahmantyo yang memiliki paras rupawan namun penuh misteri. Seorang pimpinan dari Brahma Group yang tak pernah dapat disentuh oleh apa dan siapapun kini harus menghadapi seseorang yang telah membangkitkan sisi kejamnya.
“Mmm…Begini…mmm,” jawab Dokter Yacob dengan gugup. “Apakah tidak ada jalan lain nak Nico?”
Nico mengerutkan keningnya. “Jalan lain…hmm,” nampak Nico berpikir sejenak.
“Aku akan memberikan Anda pilihan, membawa Amanda kembali untuk melanjutkan pernikahan, atau saya akan membuat hidup Anda dan putri Anda semakin jatuh lebih dari ini jika putri Anda tidak kembali. Bagaimana?”
Dahi Dokter Yacob mulai berkeringat karena semakin terdesak dengan pilihan yang diberikan Nico padanya. Ia tidak mungkin membawa Amanda kembali, itu sama saja memasukkan putrinya kedalam kandang singa, selain itu ia juga tidak tahu dimana keberadaan putrinya saat ini.
Sedangkan jika ia tidak bisa membawa putrinya kembali, usaha yang telah dibangunnya akan hancur tak tersisa karena kekuasaan keluarga Brahmantyo. ‘Dasar anak tidak tahu diri. Bikin susah orang tua saja’ batin Dokter Yacob.
“Mmm…Begini, bagaimana jika calon pengantin wanitanya digantikan oleh gadis lain?” ucap Dokter Yacob, berharap Nico dan keluarganya menyetujui ide liciknya.
“Apa maksud Anda?” tanya Ratna.
Dokter Yacob menceritakan kronologi kepergian Amanda dan memberikan alasan-alasan yang memberatkan Almira. “Dengan begitu yang seharusnya bertanggungjawab atas kepergian Amanda adalah Suster Almira.”
“Kenapa Anda bisa meminta Suster Almira untuk mendatangi Amanda ke rumah Anda?” tanya Dokter Nando.
‘Dasar pria licik. Dia mengorbankan orang lain demi menyelamatkan dirinya sendiri dan putri brengseknya’ batin Nico dengan tersenyum miring mendengar perkataan Dokter Yacob.
“Karena Almira adalah anak tirinya saya. Saya percaya padanya. Jika saya tahu kepergian Amanda disebabkan karena Almira, saya tidak akan mungkin memintanya.” Ucapnya dengan nada pura-pura kecewa
“Jangan melimpahkan kesalahan pada orang lain, dokter!” seru Nico.
“Jika kalian tidak percaya dengan apa yang saya katakan, kalian boleh bertanya pada Almira,” sahutnya dengan gugup. “Saya sudah meminta Suster Almira kemari.”
Flash back off
***Dalam diam Almira memikirkan tawaran ayah tirinya. Ia tidak bisa egois dengan mengabaikan neneknya yang sedang sakit dan harus mendapatkan perawatan yang biayanya tidak sedikit, selain itu Almira masih ingin menuntut haknya sebagai ahli waris pemilik rumah panti yang didirikan oleh ibunya. Tapi disisi lain jika ia menerima tawaran dari ayahnya, itu berarti ia mengkhianati Benny—kekasihnya.Dengan berat hati Almira menerima tawaran dari ayahnya. “Saya bersedia menikah dengan Tuan Nico dengan syarat Anda harus mengembalikan kepemilikan panti pada saya dan memberikan pengobatan yang terbaik untuk nenek saya hingga sembuh!” ucapnya.
“Baik, tidak masalah. Aku akan melakukan yang kau minta sehari setelah pernikahan mu.” jawab Dokter Yacob.
Nico memandang Almira dengan sinis dan tajam, seakan ia ingin mencincang habis Almira.
“Jangan senang dulu Dokter Yacob,” ucap Nico. “Saya punya persyaratan untuk Anda, dokter!”
“Persyaratan? Kamu masih memberikan syarat padaku…lagi?” sahutnya.
“Saya akan menikah dengan syarat, jika dalam waktu dua tahun ia bisa membuat saya berjalan kembali maka saya akan memberikan seluruh saham saya pada Anda dan membuat kasus korupsi Anda ditutup selamanya, tapi sebaliknya jika ia tidak bisa membuat saya berjalan kembali maka bersiaplah untuk kehilangan yang anda miliki dan saya akan menjadikan putri tiri Anda sebagai pembantu tanpa digaji. Bagaimana, Anda setuju?” ucapnya.
“Baiklah saya setuju” jawab Dokter Yacob tanpa berfikir. Ia mempertaruhkan hidup Almira bagai dimeja judi.
Almira menggelangkan kepala tak percaya melihat ayah tirinya menyetujui persyaratan tanpa mempertimbangkan dirinya. ‘Ini benar-benar gila. Hanya Tuhan yang bisa menolong aku’ batin Almira.
Bersambung…
Almira menghembuskan nafas kecewa begitu keluar dari ruangan ayah tirinya. Ia melangkahkan kakinya sambil melamun menjauh dari ruangan Dokter Yacob dan berjalan menuju lift. Dalam lamunannya ia berfikir, mengapa ayah tirinya tega melimpahkan kesalahan yang dilakukan Amanda dengan menyetujui perjanjian gila yang diberikan Nico padanya. Menikah dengan orang yang tidak dikenal dan tidak ia cintai bukanlah daftar dari rencana masa depan Almira, apalagi dengan seorang CEO yang temperamental dan arogan. Tujuannya kembali ke Jakarta bukan sekedar bekerja tapi demi meminta kembali rumah panti peninggalan ibunya, tapi kenyataan yang terjadi saat ini justru diluar bayangannya. Dan sialnya, Almira tidak bisa menolak pernikahan ini karena nenek dan rumah panti yang masih ada dalam genggaman ayah tirinya. Ia hanya bisa berharap setelah menjalani pernikahan ini, kaki Nico dapat segera sembuh dan bisa berjalan kembali seperti semula. Semakin cepat kesembuhan kaki Nico
Hari ini Almira terpaksa harus meminta ijin untuk tidak masuk, karena Nico mengajaknya ke butik langganan keluarga Brahmantyo untuk mencari gaun pengantin.Sepanjang perjalanan menuju butik, Almira lebih banyak melamun, sedangkan Nico sibuk dengan laptop yang berada dipangkuannya. Ia harus menyelesaikan pekerjaannya yang menumpuk akibat kecelakaan yang dialaminya.Meski Nico merupakan pria yang temperamen dan arogan tapi ia tetap memperlakukan Almira dengan baik, mungkin tidak semanis pasangan yang akan menikah pada umumnya. Tapi bersikap tidak temperamen dan arogan serta menahan emosi untuk sementara waktu sudah merupakan sebuah kemajuan untuk seorang Nicolas.“Apa yang sedang kau pikirkan?”Almira sedikit terkejut saat Nico membuyarkan lamunannya—tiba-tiba pria itu sudah menutup laptopnya. Almira berpikir sejak kapan pria itu menyelesaikan pekerjaannya?Almira heran dengan dirinya sendiri, ia menjadi sering malamunkan hal-hal ya
Mereka tiba di sebuah restauran mewah di Jakarta, pelayan wanita mendatangi mereka. Nico memesan makanan begitu juga Almira, meskipun ia tidak tahu jenis makanan seperti apa yang ia pesan.“Apa kau yakin tidak ingin merubah konsep pernikahan yang kau inginkan, Al?” tanya Nico memecahkan keheningan.“Tidak,” jawab Almira singkat.“Kenapa? Setiap wanita yang akan menikah pasti menginginkan pesta yang mewah dan meriah. Lagipula aku tidak keberatan jika harus mengeluarkan ratusan juta.”Almira tercengang—ratusan juta katanya? Pria ini memang benar-benar sudah gila.“Saya bukan gadis yang tidak tahu malu, Pak? Dengan mengadakan pesta meriah dan sebesar itu yang disaksikan semua orang, lalu berita perceraian muncul dua atau satu tahun kemudian?!” ucap Almira kesal.“Baiklah. Terserah padamu. Mungkin aku bisa melakukannya saat menikah dengan wanita lain nanti.” Nico menyesap minuman
Sejenak Nico terdiam dalam tenang—belum merespon ucapan yang di katakan Almira.“Ditolak. Aku tidak bisa menyetujui yang aku sendiri tidak bisa melakukannya.” Nico memutar kursi rodanya—menuju pintu keluar kamar Almira.“Tidurlah, Almira. Sudah larut, besok pagi kau masih harus membeli keperluan untuk pernikahan bersama Mama.”***Almira sudah bersiap sejak pagi, ia hanya tidur empat jam sejak obrolan dengan Nico berakhir. Mulai hari ini dan seterusnya ia tidak perlu kembali ke rumah sakit untuk bekerja karena semalam Nico sudah memberi tahunya bahwa ia sudah tidak lagi bekerja di sana.‘Jika aku tidak lagi bekerja di sana lalu bagaimana aku bisa mengawasi kesehatan nenek di sana’ batin Almira.Tok…Tok…Almira terhenyak dari lamunannya saat mendengar pintu kamarnya diketuk.“Maaf, Non. Non Almira di tunggu Nyonya besar di bawah untuk sarapan be
Nico merebahkan diri di atas ranjang dalam kamar hotel, sejenak ia memejamkan mata melepas penat dalam pikirannya. Meski saat ini kakinya belum bisa bergerak namun ia sudah membiasakan diri untuk mengerjakan segalanya sendiri dengan bantuan kursi roda.Ia harap menjadikan Almira untuk menggantikan Amanda adalah suatu keputusan yang benar untuk membalas Amanda dan keluarganya. Tok…Tok…“Tuan,” panggil Joni dari luar pintu.“Masuk.”“Maaf Tuan, Ibu Anda menghubungi saya, beliau tanya mengapa ponsel Anda tidak bisa dihubungi?”Nico merubah posisinya, ia duduk di pinggiran ranjang dan mengambil ponselnya yang berada di atas nakas. “Ah…pantas saja. Ponsel ku mati, aku belum sempat mengisi baterainya,” ucap Nico—memberikan ponselnya pada Joni untuk di charge.“Hubungkan aku dengan ibu ku, Jon!” PerintahnyaTidak perlu menunggu lama u
Nico masih setia di dalam ruang kerjanya setelah bertemu dengan dokter Yacob. Dari jendela ruang kerjanya ia menatap satu persatu kerabatnya pergi, serta dokter Yacob.Selama wanita itu masih menjadi istrinya, maka Almira berada dalam territorial perlindungan Nico. Jadi, saat ini ia hanya perlu mengikuti permainan yang diberikan dokter Yacob dan jika saatnya tiba maka BOOM, habislah keluarga Lucero.“Hai…” sapa dokter Nando—membuka pintu ruang kerja Nico.“Bisakah kau mengetuk pintu sebelum masuk?” ucapnya“Maaf…aku melihat dokter Yacob keluar dari sini. Apa yang sedang kalian bicarakan? Hingga membuatnya pergi tanpa berpamitan pada keluarga kita dan Almira!” tanya dokter Nando, penasaran.Nico memutarkan kursi rodanya menghadap dokter Nando. “Tidak ada…,” jawabnya singkat. “Mungkin ia sedang PMS.” Sambungnya santai dengan mengarahkan kursi rodanya ke ar
Rumah Sakit Karya Bakti“Dari hasil pemerikasaan yang telah di lakukan, dapat saya simpulkan Anda mengalami Paraplegia Spastik yang diakibatkan karena trauma kecelakaan yang Anda alami,” jelas Dokter Felicia—Dokter fisioterapi yang menanggani Nicolas.Paraplegia Spastik merupakan hilangnya kemampuan fungsi motorik bagian bawah tubuh, di mana otot-otot tubuh pada bagian yang mengalami kelumpuhan dalam kondisi kaku dan tegang.Hal tersebut disebabkan oleh kerusakan dari otak atau sumsum tulang belakang yang tidak dapat mengirimkan sinyal ke tubuh bagian bawah, akibat adanya suatu penyakit atau cedera.“Itu berarti kaki tuan Nico masih bisa sembuh, kan? Lalu berapa lama waktu yang dibutuhkan untuknya bisa berjalan kembali, Dok?” tanya Almira.“Untuk waktu penyembuhannya tidak bisa di pastikan. Asal tuan Nico rutin mengikuti jadwal terapi dan meminum obatnya secara teratur, saya rasa penyembuhannya akan lebi
Dua jam kemudian mobil itu berhenti di sebuah rumah tua yang masih tampak sangat kokoh dan asri. Almira yang tampak kebingungan bertanya-tanya untuk apa Nico membawanya kemari. “Ini rumah siapa?” tanya Almira penasaran. “Turunlah,” ucap Nico. “Mau apa kita di sini?” “Masuklah, nanti kamu akan tahu sendiri,” jawab Nico. “Aku masih ada urusan jadi masuklah sendiri ke dalam.” Tanpa bertanya dan membantah, Almira turun dari mobil. Nico meninggalkannya setelah Almira masuk ke dalam rumah tua itu. Almira masih penasaran rumah siapa itu? Dan kenapa Nico memintanya masuk, sebenarnya apa tujuan Nico melakukan ini. Gadis itu masuk dan hal pertama yang ia lihat adalah beberapa orang yang berpakaian perawat sedang membantu orang-orang tua yang biasa disebut lansia, ada yang sedang menyuapi wanita tua yang sedang duduk di atas kursi rodanya, ada juga yang sedang mengawasi para orang-orang yang telah lanjut usia. Di dalam ruangan ter
Tok!Tok!Tok!“Almira, Sayang?” panggil Ratna. Ia mengetuk pintu kamar menantunya karena merasa khawatir dengan keadaan Almira yang mengurung diri dalam kamar setelah pertengkaran dengan putranya.Tanpa sengaja Ratna mendengar pertengkaran mereka saat ia kembali dari berbelanja bersama koleganya. Ia pun sempat berpapasan dengan putranya yang saat itu sedang terlihat sedang marah.“Sayang, ini mama. Boleh mama masuk, Nak?” rayunya.Almira beranjak dari tempat tidurnya, berjalan ke arah pintu sambil menghapus sisa air matanya sebelum membuka kunci kamarnya.Ia tersenyum dan mempersilahkan Ratna masuk. Mereka duduk di sofa ruang tamu dalam kamar milik Almira.Ratna yang duduk di samping kanan Almira membelai lembut rambut menantunya dengan menatap wajah yang terlihat sembab bekas menangis, “kau kenapa, Sayang?” tanya Ratna.“Aku baik-baik saja, Ma.”“Tadi … mama tid
“Katakan apa yang kau inginkan?” tanyanya saat ia melihat ada keraguan dalam raut wajah Almira. “Aku ingin … mengakhiri pernikahan ini!” jawab Almira. Raut wajah Nico seketika menjadi datar. Rahangnya mengeras. ‘Jadi ini yang kau inginkan! Jangan bermimpi sampai kapanpun aku tidak akan melepaskanmu. Kau adalah milikku dan akan selamanya menjadi milikku!’ batin Nico. “Ditolak!” jawab Nico dingin dan datar. Kini Nico kembali pada sifatnya yang arogan, dingin dan egois seperti dulu. “Kenapa?” balasnya—datar. Nico tidak menjawab pertanyaan Almira dan berlalu pergi meninggalkannya. Ia sudah jatuh cinta teramat dalam pada wanita yang sekarang menjadi istrinya. Bagi Nico melepaskan Almira sama juga dengan membunuh separuh dirinya. Almira bergegas bangkit dari duduknya dan berlari mencekal tangan Nico. “Nico, tunggu!” panggilnya. Langkah Nico terhenti dan menatap dingin Almira. Ia tidak menyangka perjanjian pranikah yang ia buat sebelu
Bali- 01:30PM Almira menghela nafas, lalu memijit pangkal hidungnya karena merasa binggung dengan sikap Nico. Ia menolak permintaan dokter Nando untuk ikut bersamanya ke Bali. Namun, siapa yang mengira jika saat ini ia sendiri yang mengajaknya untuk menyusul kakak dan keponakannya. Benar-benar tipe manusia yang nomaden, batin Almira. “Nico,” panggil Almira. “Hem …,” jawabnya singkat tanpa mengalihkan padangannya dari ponsel. “Mengapa kau mengajakku kemari?” tanyanya. “Mengapa kau tiba-tiba berubah pikiran? Bukankah kau bilang tidak ingin pergi?” sambungnya. “Karena mama memintaku untuk mengajakmu ke Bali,” jawabnya. “Jadi karena mama yang memintamu untuk mengajakku, kau tidak bisa menolak seperti yang kau lakukan pada dokter Nando, begitu?!” ucap Almira. “Tapi untuk apa mama memintamu mengajakku ke sini?” tanyanya penasaran. “Aku tidak tahu! Kau bisa tanyakan sendiri pada mama nanti!” jawabnya.
Nando dan Hanif pergi meninggalkan Almira untuk masuk ke dalam pesawat. Ia melangkahkan kakinya untuk kembali ke parkiran mobil karena Johni telah menunggunya. Namun, saat akan kembali tiba-tiba sesuatu mengejutkan Almira. Brugh!! “Auw…,” ucapnya kesakitan. Seolah-olah ia sudah menabrak dinding yang sangat keras. “Apa Anda tidak punya mata?” ucap Almira kesal dengan mengusap-usap dahinya tanpa melihat siapa yang telah ia tabrak. “Tidak bisakah kau berjalan dengan benar?” balas Nico yang berdiri dihadapan Almira menggunakan tongkat penyangga. Almira yang hafal dengan suara Nico, buru-buru menengadah menatap Nico. “Kau …!” “Makanya kalau jalan itu lihat ke depan jangan lihat ke bawah! Untung aku yang kau tabrak, bagaimana jika orang lain!?” ucapnya ketus. “Maaf,” balas Almira. Tiba-tiba Almira menatap Nico penasaran, “Sedang apa kau di sini? Aa … jangan-jangan kau sudah berada di sini dan memperhatikan kami sedari tadi?”
Dering alarm ponsel Almira berbunyi, menunjukkan hari sudah pagi. Cepat-cepat Almira meraih ponselnya di atas nakas dan mematikkannya. Almira duduk sejenak untuk mengumpulkan kembali nyawanya, ia melihat ke samping tempat tidur yang masih rapi. Sekilas Almira teringat jika semalam ketika ia akan menghampiri Nico di ruang kerjanya, nampak keadaanya sangat kacau hingga ia membatalkan niatnya untuk menghampiri Nico. “Sepertinya semalam ia tidak tidur di sini. Apa ia ketiduran di ruang kerjanya?” batin Almira. Ia pun bergegas bangun dan membersihkan diri di kamar mandi. Selang beberapa menit menyelesaikan mandinya, Almira dikejutkan dengan Nico yang sudah duduk di tepi tempat tidur dengan memegang sebuah kotak miliknya. “Ish … kamu ngagetin aja! Sejak kapan kamu duduk di sana?” tanya Almira yang masih menggunakan handuk melilit di tubuhnya. Nico menatap Almira tanpa berkedip melihat wanita yang baru saja keluar dari kamar dengan menggunak
Almira duduk di kursi balkon teras kamarnya, ia menyadarkan tubuhnya pada sandaran kursi dengan memegang sebuah kotak yang terbuat dari kayu jati. Ia membuka kotak itu dan mengambil sebuah kotak kecil berisi sebuah cincin pemberian Benny, tunangannya. Sudah beberapa bulan ini ia tidak mendapatkan kabar dari Benny, tidak ada pesan, tidak ada email atau surat sekalipun. Tanpa sepengetahuan Almira semua pesan yang dikirimkan Benny padanya selama ini telah di sabotase oleh Nico, hingga komunikasi antara Benny dan Almira terputus dan hubungan keduanya berakhir. “Huft … Begitu sibuknya kah? Sampai kamu tidak bisa menghubungiku meski hanya sebentar atau mungkin sudah ada seseorang yang menggantikan ku di sana?” pikir Almira. “Jika aku tidak bisa menghubungimu lalu bagaimana aku bisa mengatakan yang sebenarnya padamu,” gerutunya. “Siapa yang sedang ingin kau hubungi? Dan apa yang sedang kamu pegang? Kotak apa itu?” tanya Nico tiba-tiba
“Kita sudah sampai. Masuklah dulu, aku masih harus mengurus sesuatu,” ucap Nando.Almira menganggukan kepalanya dan turun dari mobil. Baru beberapa langkah, gadis itu menghentikan langkahnya—berbalik menatap Nando dan menghampirinya. “Apa kau akan kembali kemari?” tanyanya.“Tentu. Aku tidak akan lama, tunggulah. Aku akan segera kembali,” ucapnya dengan tersenyum.“Baiklah.”Almira kembali melangkahkan kakinya masuk ke rumah perawatan itu, ia sudah tidak sabar ingin segera menemui neneknya.Gadis itu membuka pintu kamar neneknya, “Kesya ….” Ucap Almira“Hai … kau sudah sampai rupanya. Senang rasanya bisa bertemu dengan mu lagi setelah beberapa bulan kamu menghilang. Bagaimana kabarmu, Al?” tanya Kesya—menghampiri Almira dan memeluknya.“Aku baik. Maaf, aku sudah membuatmu khawatir dan merepotkanmu untuk menjaga Nenekku,&rdq
Beberapa bulan kemudian … “Kesembuhan kaki Anda mengalami kemajuan yang sangat baik, Tuan. Dan Anda akan dapat berjalan kembali namun untuk sementara waktu harus menggunakan tongkat hingga kaki Anda benar-benar bisa berjalan seperti semula,” ucap dokter. “Apakah Tuan Nico masih harus menjalani terapi, Dok?” tanya Almira. “Tentu saja. Tuan Nico tetap harus menjalani terapi hanya saja jadwal terapi yang seminggu dua kali bisa dijadwalkan menjadi seminggu sekali dan sering latihan dirumah, selain itu tetap harus mengkonsumsi obat dan vitamin yang sudah saya berikan,” jelas dokter. ‘Terima kasih, Tuhan. Semoga Nico bisa segera bisa berjalan kembali,’ batin Almira. “Terima kasih, Dok. Kalau begitu kami permisi,” ucap Almira—berpamitan. Almira membantu Nico mendorong kursi rodanya keluar dari ruangan terapi dan menuju ke lobi rumah sakit. Sepanjang perjalanan menuju lobi, Almira dan Nico sama-sama terdiam. Semenjak p
“Hey …,” sapa Almira pada Hanif saat memasuki kamarnya. “Aunty, Al?” jawab Hanif denga tersenyum. “Apa aunty menganggumu, Sayang?” Hanif menggelengkan kepala. “Aku senang aunty kemari. Aku tidak bisa tidur, bisakah aunty menceritakan sebuah dongeng untukku?” Almira menghampiri Hanif—ke tempat tidurnya. “Kemarilah,” ucap Almira. Hanif sedikit mengeser badannya dan menyandarkan kepalanya pada lengan Almira sebagai bantal. “Berdoalah dulu sebelum aunty membacakan dongeng untukmu,” kata Almira yang dijawab anggukkan oleh Hanif. Almira membacakan dongeng Pinokio pada Hanif. Belum habis dongeng yang dibacakan, Hanif sudah tertidur pulas di atas lengannya. Ia lalu meletakkan kepala Hanif di atas batal agar lebih nyaman dan membetulkan posisi selimut agar Hanif lebih merasa hangat. Dari balik pintu, Nando menatap interaksi antara Almira dan putra semata wayangnya. Ada sebuah rasa bahagia yan