Almira menghembuskan nafas kecewa begitu keluar dari ruangan ayah tirinya. Ia melangkahkan kakinya sambil melamun menjauh dari ruangan Dokter Yacob dan berjalan menuju lift.
Dalam lamunannya ia berfikir, mengapa ayah tirinya tega melimpahkan kesalahan yang dilakukan Amanda dengan menyetujui perjanjian gila yang diberikan Nico padanya.
Menikah dengan orang yang tidak dikenal dan tidak ia cintai bukanlah daftar dari rencana masa depan Almira, apalagi dengan seorang CEO yang temperamental dan arogan. Tujuannya kembali ke Jakarta bukan sekedar bekerja tapi demi meminta kembali rumah panti peninggalan ibunya, tapi kenyataan yang terjadi saat ini justru diluar bayangannya.
Dan sialnya, Almira tidak bisa menolak pernikahan ini karena nenek dan rumah panti yang masih ada dalam genggaman ayah tirinya. Ia hanya bisa berharap setelah menjalani pernikahan ini, kaki Nico dapat segera sembuh dan bisa berjalan kembali seperti semula. Semakin cepat kesembuhan kaki Nico semakin cepat pula pernikahan itu akan berakhir dan Almira bisa segera mendapatkan rumah panti untuk merawat neneknya.
Ting…
Almira tersadar dari lamunannya ketika mendengar suara lift berhenti. Ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam lift dan menekan tombol menutup, saat pintu lift akan menutup tiba-tiba sebuah tangan menahan pintu, “tunggu, Nona.” Ucap Joni
Almira terdiam dan menatap datar wajah Nico dan keluarganya sejenak saat masuk ke dalam lift, lalu ia memalingkan wajahnya menatap pintu lift. Lift melaju dengan keheningan, membuat suasana di dalam lift menjadi dingin.
“Joni akan menjemputmu pukul tujuh. Ada beberapa hal yang harus kita bicarakan tentang pernikahan ini.” ucap Nico tiba-tiba memecahkan keheningan dalam lift.
“Terima kasih, Almira.” Sela Ratna tersenyum dengan mendekat dan memegang tangan Almira, “saya senang kamu bersedia menggantikan Amanda untuk menikah dengan Nico. Kamu wanita yang baik, Nak.”
“Tidak apa-apa, Nyonya.” Jawabku dengan tersenyum, “itu semua saya lakukan bukan untuk Amanda tapi untuk nenek dan rumah panti peninggalan ibu saya!”
Dokter Nando yang mendengar percakapan antara ibunya dan Almira hanya bisa memberikan senyuman, tapi tidak dengan Nico yang masih memasang wajah datarnya tanpa memperhatikan mereka.
Ting …
Pintu lift terbuka, tanpa kata-kata dengan cepat kursi roda yang dinaiki Nico keluar dan menuju mobil yang telah menunggunya.
“Kami menunggu kedatangan mu, Almira.” Ucap Ratna lalu mengikuti Nico keluar dan menuju mobil
“Suster Almira, tolong tahan liftnya sebentar.” Pinta Dokter Nando
“Ma, maaf aku tidak bisa mengantarmu sampai ke mobil? Aku harus segera kembali keruangan, banyak pasien yang telah menungguku.” Ucap Dokter Nando
“Tidak apa, sayang,” jawab Ratna dengan senyum. “Mama bisa sendiri, lanjutkan saja pekerjaan mu dan mama minta jagalah calon adik ipar mu.”
Dokter Nando mengarahkan pandangannya pada Almira, “Mama tenang saja. Lebih baik mama menenangkan pria manja itu,” ucapnya tersenyum dengan melirik kearah Nico. “Kabari aku jika mama sudah sampai dirumah,” sambungnya dengan mencium kedua pipi ibunya.
Sementara itu, Dokter Yacob masih terus berusaha mencari dan menghubungi putrinya, ia ingin tahu dimana keberadaan putrinya saat ini.
“Ergh…dasar anak tak tahu diuntung!” ucap Dokter Yacob kesal. “Kenapa kamu begitu bodoh, Amanda? Melepaskan tambang emas begitu saja…Argh!!”
“Bagaimanapun juga aku tidak mau kehilangan rumah sakit ini dan rumah panti itu. Apa apun akan aku lakukan meski harus mengorbankan anak kandungku sendiri!” gerutu Dokter Yacob.
“Jika aku bisa mengorbankan Almira demi ambisi ku, aku juga akan mengorbankan anak ku sendiri!!” seringai licik tampak diwajah Dokter Yacob.
***
“Apa anda sudah siap, Nona?” tanya Joni.
“Sudah, tapi...tunggu sebentar,” ucap Almira.
Almira masuk untuk mengambil tas. “Saya sudah siap.”
Joni membukakan pintu mobil bagian belakang untuk Almira. “silahkan, Nona,” Ucapnya.
Sepanjang perjalanan Almira hanya menatap kearah jalanan dari jendela kaca mobil yang ia tumpangi. Ia bergelut dengan lamunannya tentang pernikahan itu, hingga ia menyadari jika ia harus menutupi pernikahan ini dari Benny, kekasihnya.
“Apa Anda baik-baik saja, Nona?” tanya Joni tiba-tiba. “Maaf jika saya membuat Anda terkejut. Saya lihat dari tadi Anda melamun.”
“Hah..oh, saya baik-baik saja. Terima kasih,” balas Almira. “Apa kita masih jauh, Pak?” tanya Almira.
“15 menit lagi kita akan sampai, Nona.”
“Apa Anda sudah lama bekerja dengan keluarga Brahmantyo, Pak?”
“Sejak orang tua saya meninggal, 15 tahun yang lalu.”
“Oo..pasti Anda sudah sangat mengenal keluarga Brahmantyo. Menurut Anda apakah mereka orang yang baik?”
Joni tersenyum mendengar pertanyaan dari Almira. “Tentu saja, Nona. Mereka semua orang yang baik.”
“Apakah Anda juga mengenal Amanda, Pak?” tanya Almira dan dijawab dengan anggukan kepala oleh Joni.
Almira memalingkan wajahnya kembali menatap jalanan dan kembali bergelut dengan pikirannya sendiri.
Tak lama berselang mobil mewah yang ditumpangi Almira masuk ke sebuah rumah mewah yang memiliki halaman yang sangat luas.
“Kita sudah sampai, Nona,” Kata Joni. “Silahkan. Mereka sudah menunggu Anda.”
Almira turun dari mobil, pandangannya mengitari kagum rumah mewah yang ia lihat saat ini. ‘Hah, besar banget rumahnya. Ini rumah atau istana, besar baget!’ batin Almira.
“Mari, Nona.” Joni mempersilahkan Almira masuk dan ia mengikutinya.
“Selamat datang, sayang,” sambut Ratna dengan menghampiri Almira dan memeluknya. Almira yang canggung dengan perilaku Ratna spontan membalas pelukannya.
“Ayo masuk, kami sudah menunggumu,” ajak Ratna menggandeng tangan Almira menuju ruang makan, namun dihentikan oleh Joni.
“Maaf, Nyonya. Tuan Nico meminta saya untuk mengantarkan Nona Almira langsung keruang kerjanya.” Ucap Joni
“Emm…baiklah. Katakan pada Nico kami menunggunya untuk makan malam bersama.”
Joni menganggukan kepala dan berpamitan untuk mengantar Almira kepada tuannya yang sudah menunggu diruang kerja.
Tok…
Tok…
“Masuk.” Ucap seseorang dari dalam. Joni dan Almira masuk, “Permisi Tuan, Nona Almira sudah ada disini!” ucap Joni.
“Aku tahu! Tinggalkan kami.” Perintah Nico
“Baik, Tuan.” Jawab Joni, “Maaf, Tuan. Nyonya besar tadi pesan jika Tuan dan Nona Almira ditunggu untuk makan malam bersama.”
“Hem…!” jawab Nico dengan memberi tanda agar asistennya segera keluar.
“Duduk! Katakan padaku, apa yang kau inginkan dari selama pernikahan ini berlangsung?” mata biru Nico menatap tajam Almira.
“Tidak banyak. Saya hanya membutuhkan beberapa aturan yang ingin saya buat,” ucap Almira tegas. “Tidak boleh ada satupun yang Anda ingkari, Pak!”
Nico tersenyum. “Baik. Aku siap mendengarkan satu persatu aturan dari mu. Tapi aku akan menolak jika aku merasa tidak bisa menyangupinya.”
Almira menghela nafas. “Saya yakin, Anda mampu menepatinya Anda, Pak!”
“Aku juga punya aturan untuk mu, Almira. Selain perjanjian yang kau dengar tadi pagi.” Terdengar helaan nafas kecewa dari wanita yang berada didepannya saat ini.
“Kau harus mulai membiasakan berbicara non formal padaku, Almira. Aku tidak suka mendengar kata Saya, Anda dan Pak.” Nico mengingatkan.
Nico menjalankan kursi rodanya menuju pintu, sedangkan Almira masih bergelut dengan pikirannya. Memikirkan menikah dengan seorang CEO Nicolas Brahmantyo? Ya Tuhan, bermimpi saja Almira tidak pernah.
Dan dua hari lagi ia akan menikah dengannya. Ia berharap semoga ini hanya mimpi.
Bersambung…
Hari ini Almira terpaksa harus meminta ijin untuk tidak masuk, karena Nico mengajaknya ke butik langganan keluarga Brahmantyo untuk mencari gaun pengantin.Sepanjang perjalanan menuju butik, Almira lebih banyak melamun, sedangkan Nico sibuk dengan laptop yang berada dipangkuannya. Ia harus menyelesaikan pekerjaannya yang menumpuk akibat kecelakaan yang dialaminya.Meski Nico merupakan pria yang temperamen dan arogan tapi ia tetap memperlakukan Almira dengan baik, mungkin tidak semanis pasangan yang akan menikah pada umumnya. Tapi bersikap tidak temperamen dan arogan serta menahan emosi untuk sementara waktu sudah merupakan sebuah kemajuan untuk seorang Nicolas.“Apa yang sedang kau pikirkan?”Almira sedikit terkejut saat Nico membuyarkan lamunannya—tiba-tiba pria itu sudah menutup laptopnya. Almira berpikir sejak kapan pria itu menyelesaikan pekerjaannya?Almira heran dengan dirinya sendiri, ia menjadi sering malamunkan hal-hal ya
Mereka tiba di sebuah restauran mewah di Jakarta, pelayan wanita mendatangi mereka. Nico memesan makanan begitu juga Almira, meskipun ia tidak tahu jenis makanan seperti apa yang ia pesan.“Apa kau yakin tidak ingin merubah konsep pernikahan yang kau inginkan, Al?” tanya Nico memecahkan keheningan.“Tidak,” jawab Almira singkat.“Kenapa? Setiap wanita yang akan menikah pasti menginginkan pesta yang mewah dan meriah. Lagipula aku tidak keberatan jika harus mengeluarkan ratusan juta.”Almira tercengang—ratusan juta katanya? Pria ini memang benar-benar sudah gila.“Saya bukan gadis yang tidak tahu malu, Pak? Dengan mengadakan pesta meriah dan sebesar itu yang disaksikan semua orang, lalu berita perceraian muncul dua atau satu tahun kemudian?!” ucap Almira kesal.“Baiklah. Terserah padamu. Mungkin aku bisa melakukannya saat menikah dengan wanita lain nanti.” Nico menyesap minuman
Sejenak Nico terdiam dalam tenang—belum merespon ucapan yang di katakan Almira.“Ditolak. Aku tidak bisa menyetujui yang aku sendiri tidak bisa melakukannya.” Nico memutar kursi rodanya—menuju pintu keluar kamar Almira.“Tidurlah, Almira. Sudah larut, besok pagi kau masih harus membeli keperluan untuk pernikahan bersama Mama.”***Almira sudah bersiap sejak pagi, ia hanya tidur empat jam sejak obrolan dengan Nico berakhir. Mulai hari ini dan seterusnya ia tidak perlu kembali ke rumah sakit untuk bekerja karena semalam Nico sudah memberi tahunya bahwa ia sudah tidak lagi bekerja di sana.‘Jika aku tidak lagi bekerja di sana lalu bagaimana aku bisa mengawasi kesehatan nenek di sana’ batin Almira.Tok…Tok…Almira terhenyak dari lamunannya saat mendengar pintu kamarnya diketuk.“Maaf, Non. Non Almira di tunggu Nyonya besar di bawah untuk sarapan be
Nico merebahkan diri di atas ranjang dalam kamar hotel, sejenak ia memejamkan mata melepas penat dalam pikirannya. Meski saat ini kakinya belum bisa bergerak namun ia sudah membiasakan diri untuk mengerjakan segalanya sendiri dengan bantuan kursi roda.Ia harap menjadikan Almira untuk menggantikan Amanda adalah suatu keputusan yang benar untuk membalas Amanda dan keluarganya. Tok…Tok…“Tuan,” panggil Joni dari luar pintu.“Masuk.”“Maaf Tuan, Ibu Anda menghubungi saya, beliau tanya mengapa ponsel Anda tidak bisa dihubungi?”Nico merubah posisinya, ia duduk di pinggiran ranjang dan mengambil ponselnya yang berada di atas nakas. “Ah…pantas saja. Ponsel ku mati, aku belum sempat mengisi baterainya,” ucap Nico—memberikan ponselnya pada Joni untuk di charge.“Hubungkan aku dengan ibu ku, Jon!” PerintahnyaTidak perlu menunggu lama u
Nico masih setia di dalam ruang kerjanya setelah bertemu dengan dokter Yacob. Dari jendela ruang kerjanya ia menatap satu persatu kerabatnya pergi, serta dokter Yacob.Selama wanita itu masih menjadi istrinya, maka Almira berada dalam territorial perlindungan Nico. Jadi, saat ini ia hanya perlu mengikuti permainan yang diberikan dokter Yacob dan jika saatnya tiba maka BOOM, habislah keluarga Lucero.“Hai…” sapa dokter Nando—membuka pintu ruang kerja Nico.“Bisakah kau mengetuk pintu sebelum masuk?” ucapnya“Maaf…aku melihat dokter Yacob keluar dari sini. Apa yang sedang kalian bicarakan? Hingga membuatnya pergi tanpa berpamitan pada keluarga kita dan Almira!” tanya dokter Nando, penasaran.Nico memutarkan kursi rodanya menghadap dokter Nando. “Tidak ada…,” jawabnya singkat. “Mungkin ia sedang PMS.” Sambungnya santai dengan mengarahkan kursi rodanya ke ar
Rumah Sakit Karya Bakti“Dari hasil pemerikasaan yang telah di lakukan, dapat saya simpulkan Anda mengalami Paraplegia Spastik yang diakibatkan karena trauma kecelakaan yang Anda alami,” jelas Dokter Felicia—Dokter fisioterapi yang menanggani Nicolas.Paraplegia Spastik merupakan hilangnya kemampuan fungsi motorik bagian bawah tubuh, di mana otot-otot tubuh pada bagian yang mengalami kelumpuhan dalam kondisi kaku dan tegang.Hal tersebut disebabkan oleh kerusakan dari otak atau sumsum tulang belakang yang tidak dapat mengirimkan sinyal ke tubuh bagian bawah, akibat adanya suatu penyakit atau cedera.“Itu berarti kaki tuan Nico masih bisa sembuh, kan? Lalu berapa lama waktu yang dibutuhkan untuknya bisa berjalan kembali, Dok?” tanya Almira.“Untuk waktu penyembuhannya tidak bisa di pastikan. Asal tuan Nico rutin mengikuti jadwal terapi dan meminum obatnya secara teratur, saya rasa penyembuhannya akan lebi
Dua jam kemudian mobil itu berhenti di sebuah rumah tua yang masih tampak sangat kokoh dan asri. Almira yang tampak kebingungan bertanya-tanya untuk apa Nico membawanya kemari. “Ini rumah siapa?” tanya Almira penasaran. “Turunlah,” ucap Nico. “Mau apa kita di sini?” “Masuklah, nanti kamu akan tahu sendiri,” jawab Nico. “Aku masih ada urusan jadi masuklah sendiri ke dalam.” Tanpa bertanya dan membantah, Almira turun dari mobil. Nico meninggalkannya setelah Almira masuk ke dalam rumah tua itu. Almira masih penasaran rumah siapa itu? Dan kenapa Nico memintanya masuk, sebenarnya apa tujuan Nico melakukan ini. Gadis itu masuk dan hal pertama yang ia lihat adalah beberapa orang yang berpakaian perawat sedang membantu orang-orang tua yang biasa disebut lansia, ada yang sedang menyuapi wanita tua yang sedang duduk di atas kursi rodanya, ada juga yang sedang mengawasi para orang-orang yang telah lanjut usia. Di dalam ruangan ter
‘Hidupku menjadi semakin rumit ketika ibu memutuskan lebih memilih menikahi pria licik itu daripada mendengarkan permohonan putrinya sendiri,’ batin Almira. *** Almira menangis bermenit-menit lamanya hingga tanpa sadar ia mulai kehilangan kesadarannya dan akhirnya terlelap dengan posisi kedua tangan bertumpu lutut dan kepala yang tenggelam dalam lipatan kedua tangannya. Tok … Tok … Nico mengetuk pintu sekali dan tidak mendapati jawaban dari dalam. Ia mendorong gagang pintu, cahaya temaram dari lampu di atas nakas saat lampu lain sudah mati. “Almira…,” panggil Nico—heran dengan suasana kamar yang sunyi. Saat Nico masih memanggil-manggil nama Almira, Dokter Nando menghampiri Nico di dalam kamarnya. “Kenapa kau berteriak memanggil-manggil Almira? Apa ia tidak ada di kamar?” tanya Dokter Nando. “Entahlah … aku pikir ia sudah tidur tapi saat aku ingin membangunkannya ia tidak ada di sana! Tapi ponselnya ada
Tok!Tok!Tok!“Almira, Sayang?” panggil Ratna. Ia mengetuk pintu kamar menantunya karena merasa khawatir dengan keadaan Almira yang mengurung diri dalam kamar setelah pertengkaran dengan putranya.Tanpa sengaja Ratna mendengar pertengkaran mereka saat ia kembali dari berbelanja bersama koleganya. Ia pun sempat berpapasan dengan putranya yang saat itu sedang terlihat sedang marah.“Sayang, ini mama. Boleh mama masuk, Nak?” rayunya.Almira beranjak dari tempat tidurnya, berjalan ke arah pintu sambil menghapus sisa air matanya sebelum membuka kunci kamarnya.Ia tersenyum dan mempersilahkan Ratna masuk. Mereka duduk di sofa ruang tamu dalam kamar milik Almira.Ratna yang duduk di samping kanan Almira membelai lembut rambut menantunya dengan menatap wajah yang terlihat sembab bekas menangis, “kau kenapa, Sayang?” tanya Ratna.“Aku baik-baik saja, Ma.”“Tadi … mama tid
“Katakan apa yang kau inginkan?” tanyanya saat ia melihat ada keraguan dalam raut wajah Almira. “Aku ingin … mengakhiri pernikahan ini!” jawab Almira. Raut wajah Nico seketika menjadi datar. Rahangnya mengeras. ‘Jadi ini yang kau inginkan! Jangan bermimpi sampai kapanpun aku tidak akan melepaskanmu. Kau adalah milikku dan akan selamanya menjadi milikku!’ batin Nico. “Ditolak!” jawab Nico dingin dan datar. Kini Nico kembali pada sifatnya yang arogan, dingin dan egois seperti dulu. “Kenapa?” balasnya—datar. Nico tidak menjawab pertanyaan Almira dan berlalu pergi meninggalkannya. Ia sudah jatuh cinta teramat dalam pada wanita yang sekarang menjadi istrinya. Bagi Nico melepaskan Almira sama juga dengan membunuh separuh dirinya. Almira bergegas bangkit dari duduknya dan berlari mencekal tangan Nico. “Nico, tunggu!” panggilnya. Langkah Nico terhenti dan menatap dingin Almira. Ia tidak menyangka perjanjian pranikah yang ia buat sebelu
Bali- 01:30PM Almira menghela nafas, lalu memijit pangkal hidungnya karena merasa binggung dengan sikap Nico. Ia menolak permintaan dokter Nando untuk ikut bersamanya ke Bali. Namun, siapa yang mengira jika saat ini ia sendiri yang mengajaknya untuk menyusul kakak dan keponakannya. Benar-benar tipe manusia yang nomaden, batin Almira. “Nico,” panggil Almira. “Hem …,” jawabnya singkat tanpa mengalihkan padangannya dari ponsel. “Mengapa kau mengajakku kemari?” tanyanya. “Mengapa kau tiba-tiba berubah pikiran? Bukankah kau bilang tidak ingin pergi?” sambungnya. “Karena mama memintaku untuk mengajakmu ke Bali,” jawabnya. “Jadi karena mama yang memintamu untuk mengajakku, kau tidak bisa menolak seperti yang kau lakukan pada dokter Nando, begitu?!” ucap Almira. “Tapi untuk apa mama memintamu mengajakku ke sini?” tanyanya penasaran. “Aku tidak tahu! Kau bisa tanyakan sendiri pada mama nanti!” jawabnya.
Nando dan Hanif pergi meninggalkan Almira untuk masuk ke dalam pesawat. Ia melangkahkan kakinya untuk kembali ke parkiran mobil karena Johni telah menunggunya. Namun, saat akan kembali tiba-tiba sesuatu mengejutkan Almira. Brugh!! “Auw…,” ucapnya kesakitan. Seolah-olah ia sudah menabrak dinding yang sangat keras. “Apa Anda tidak punya mata?” ucap Almira kesal dengan mengusap-usap dahinya tanpa melihat siapa yang telah ia tabrak. “Tidak bisakah kau berjalan dengan benar?” balas Nico yang berdiri dihadapan Almira menggunakan tongkat penyangga. Almira yang hafal dengan suara Nico, buru-buru menengadah menatap Nico. “Kau …!” “Makanya kalau jalan itu lihat ke depan jangan lihat ke bawah! Untung aku yang kau tabrak, bagaimana jika orang lain!?” ucapnya ketus. “Maaf,” balas Almira. Tiba-tiba Almira menatap Nico penasaran, “Sedang apa kau di sini? Aa … jangan-jangan kau sudah berada di sini dan memperhatikan kami sedari tadi?”
Dering alarm ponsel Almira berbunyi, menunjukkan hari sudah pagi. Cepat-cepat Almira meraih ponselnya di atas nakas dan mematikkannya. Almira duduk sejenak untuk mengumpulkan kembali nyawanya, ia melihat ke samping tempat tidur yang masih rapi. Sekilas Almira teringat jika semalam ketika ia akan menghampiri Nico di ruang kerjanya, nampak keadaanya sangat kacau hingga ia membatalkan niatnya untuk menghampiri Nico. “Sepertinya semalam ia tidak tidur di sini. Apa ia ketiduran di ruang kerjanya?” batin Almira. Ia pun bergegas bangun dan membersihkan diri di kamar mandi. Selang beberapa menit menyelesaikan mandinya, Almira dikejutkan dengan Nico yang sudah duduk di tepi tempat tidur dengan memegang sebuah kotak miliknya. “Ish … kamu ngagetin aja! Sejak kapan kamu duduk di sana?” tanya Almira yang masih menggunakan handuk melilit di tubuhnya. Nico menatap Almira tanpa berkedip melihat wanita yang baru saja keluar dari kamar dengan menggunak
Almira duduk di kursi balkon teras kamarnya, ia menyadarkan tubuhnya pada sandaran kursi dengan memegang sebuah kotak yang terbuat dari kayu jati. Ia membuka kotak itu dan mengambil sebuah kotak kecil berisi sebuah cincin pemberian Benny, tunangannya. Sudah beberapa bulan ini ia tidak mendapatkan kabar dari Benny, tidak ada pesan, tidak ada email atau surat sekalipun. Tanpa sepengetahuan Almira semua pesan yang dikirimkan Benny padanya selama ini telah di sabotase oleh Nico, hingga komunikasi antara Benny dan Almira terputus dan hubungan keduanya berakhir. “Huft … Begitu sibuknya kah? Sampai kamu tidak bisa menghubungiku meski hanya sebentar atau mungkin sudah ada seseorang yang menggantikan ku di sana?” pikir Almira. “Jika aku tidak bisa menghubungimu lalu bagaimana aku bisa mengatakan yang sebenarnya padamu,” gerutunya. “Siapa yang sedang ingin kau hubungi? Dan apa yang sedang kamu pegang? Kotak apa itu?” tanya Nico tiba-tiba
“Kita sudah sampai. Masuklah dulu, aku masih harus mengurus sesuatu,” ucap Nando.Almira menganggukan kepalanya dan turun dari mobil. Baru beberapa langkah, gadis itu menghentikan langkahnya—berbalik menatap Nando dan menghampirinya. “Apa kau akan kembali kemari?” tanyanya.“Tentu. Aku tidak akan lama, tunggulah. Aku akan segera kembali,” ucapnya dengan tersenyum.“Baiklah.”Almira kembali melangkahkan kakinya masuk ke rumah perawatan itu, ia sudah tidak sabar ingin segera menemui neneknya.Gadis itu membuka pintu kamar neneknya, “Kesya ….” Ucap Almira“Hai … kau sudah sampai rupanya. Senang rasanya bisa bertemu dengan mu lagi setelah beberapa bulan kamu menghilang. Bagaimana kabarmu, Al?” tanya Kesya—menghampiri Almira dan memeluknya.“Aku baik. Maaf, aku sudah membuatmu khawatir dan merepotkanmu untuk menjaga Nenekku,&rdq
Beberapa bulan kemudian … “Kesembuhan kaki Anda mengalami kemajuan yang sangat baik, Tuan. Dan Anda akan dapat berjalan kembali namun untuk sementara waktu harus menggunakan tongkat hingga kaki Anda benar-benar bisa berjalan seperti semula,” ucap dokter. “Apakah Tuan Nico masih harus menjalani terapi, Dok?” tanya Almira. “Tentu saja. Tuan Nico tetap harus menjalani terapi hanya saja jadwal terapi yang seminggu dua kali bisa dijadwalkan menjadi seminggu sekali dan sering latihan dirumah, selain itu tetap harus mengkonsumsi obat dan vitamin yang sudah saya berikan,” jelas dokter. ‘Terima kasih, Tuhan. Semoga Nico bisa segera bisa berjalan kembali,’ batin Almira. “Terima kasih, Dok. Kalau begitu kami permisi,” ucap Almira—berpamitan. Almira membantu Nico mendorong kursi rodanya keluar dari ruangan terapi dan menuju ke lobi rumah sakit. Sepanjang perjalanan menuju lobi, Almira dan Nico sama-sama terdiam. Semenjak p
“Hey …,” sapa Almira pada Hanif saat memasuki kamarnya. “Aunty, Al?” jawab Hanif denga tersenyum. “Apa aunty menganggumu, Sayang?” Hanif menggelengkan kepala. “Aku senang aunty kemari. Aku tidak bisa tidur, bisakah aunty menceritakan sebuah dongeng untukku?” Almira menghampiri Hanif—ke tempat tidurnya. “Kemarilah,” ucap Almira. Hanif sedikit mengeser badannya dan menyandarkan kepalanya pada lengan Almira sebagai bantal. “Berdoalah dulu sebelum aunty membacakan dongeng untukmu,” kata Almira yang dijawab anggukkan oleh Hanif. Almira membacakan dongeng Pinokio pada Hanif. Belum habis dongeng yang dibacakan, Hanif sudah tertidur pulas di atas lengannya. Ia lalu meletakkan kepala Hanif di atas batal agar lebih nyaman dan membetulkan posisi selimut agar Hanif lebih merasa hangat. Dari balik pintu, Nando menatap interaksi antara Almira dan putra semata wayangnya. Ada sebuah rasa bahagia yan