Hari ini Almira terpaksa harus meminta ijin untuk tidak masuk, karena Nico mengajaknya ke butik langganan keluarga Brahmantyo untuk mencari gaun pengantin.
Sepanjang perjalanan menuju butik, Almira lebih banyak melamun, sedangkan Nico sibuk dengan laptop yang berada dipangkuannya. Ia harus menyelesaikan pekerjaannya yang menumpuk akibat kecelakaan yang dialaminya.
Meski Nico merupakan pria yang temperamen dan arogan tapi ia tetap memperlakukan Almira dengan baik, mungkin tidak semanis pasangan yang akan menikah pada umumnya. Tapi bersikap tidak temperamen dan arogan serta menahan emosi untuk sementara waktu sudah merupakan sebuah kemajuan untuk seorang Nicolas.
“Apa yang sedang kau pikirkan?”
Almira sedikit terkejut saat Nico membuyarkan lamunannya—tiba-tiba pria itu sudah menutup laptopnya. Almira berpikir sejak kapan pria itu menyelesaikan pekerjaannya?
Almira heran dengan dirinya sendiri, ia menjadi sering malamunkan hal-hal yang tidak penting tentang pernikahan ini.
“Kamu jadi sering melamun sejak aku memintamu untuk menggantikan Amanda untuk menikah dengan ku!”
“Benarkah?” ucap Almira.
“Aku tidak suka melihatmu sering melamun.”
Almira menoleh kearah Nico yang masih menatapnya dengan intens. “Saya tidak melamun. Saya hanya sedang berpikir.”
“Mengapa pria kaya seperti Anda, memilih gadis biasa seperti saya yang hanya bekerja sebagai perawat di rumah sakit, hanya untuk sekedar menggantikan Amanda?!” ucap Almira. “Sedangkan Anda bisa mencari seorang gadis di luar sana yang sepadan untuk menggantikan Amanda, menikah dengan Anda?”
Nico mengalihkan pandangannya dan terdiam sejenak.
“Jangan terlalu banyak bertanya, Almira. Percaya saja padaku, semua akan berjalan sesuai rencanaku dan akan baik-baik saja untuk kita, terutama untuk mu!”
Sepenggal kalimat yang diucapkan Nico, entah kenapa membuat keyakinan Almira jika semua akan kembali pada tempatnya.
“Dan satu lagi, Almira. Sudah kukatakan padamu untuk membiasakan berbicara non formal padaku. Apakah sesusah itu untuk mu?”
“Maaf, saya sudah terbiasa.” Almira langsung meralat ucapannya. “Aku sudah terbiasa maksudnya…”
“Bagus. Kau terlihat seperti orang asing jika tetap berbicara seperti itu dihadapan keluarga dan seluruh kolega bisnisku,” ucap Nico.
Almira menyunggingkan senyum. “Bukankah memang kita orang asing yang awalnya tidak saling mengenal, Pak?”
“Nico, Almira…” Nico mengingatkan Almira untuk memanggil nama.
“Katakan padaku, konsep pernikahan seperti apa yang kau inginkan. Kita bisa merubah konsep pernikahan yang sudah ada dengan konsep pernikahan yang kau ing—”
Almira menatap Nico serius. “Aku punya syarat, Nico. Tidak peduli kau suka atau tidak dengan syarat yang ku berikan,” ucapnya.
“Katakan!,” perintahnya tanpa menoleh sedikitpun.
“Aku tidak ingin orang-orang mengetahui pernikahan ini, karena pernikahan ini palsu. Tidak perlu perayaan besar dan tidak perlu ada media yang meliput. Hanya diantara kita, jadi kau bisa mengganti konsep yang sudah ada menjadi lebih tertutup,” tegas Almira.
Nico menatap Almira beberapa saat. “Itu agak mengejutkan untukku, Almira. Aku pikir, kau akan mengganti konsep pernikahan yang lebih besar dan mewah dari konsep yang dibuat Amanda saat ini,” ucapnya. “Aku ingin semua mengenalmu dan media meliput pernikahan megah ini.”
Almira terhenyak beberapa saat mendengar ucap Nico, ia tidak menduga dibalik sikap yang Nico lakukan ternyata ia tidak merasa keberatan memperkenalkan Almira pada semua.
“Anda tidak perlu melakukan hal itu, Pak. Anda bisa melakukannya saat pernikahan yang sesungguhnya terjadi. Bukankah image Anda akan jauh lebih baik jika di kenal hanya dengan pernikahan yang cukup sekali, Pak?” ucap Almira.
Nico menampilkan senyum manisnya dan mengalihkan pandangannya dari Almira. “Kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi pada pernikahan ini kedepannya, Almira!”
Almira terdiam, maksud Nico…
“Mengapa?” tanya Almira.
“Karena takdir Tuhan dan masa depan tidak ada yang tahu. Seperti kondisiku saat ini!” ucap Nico dengan mengepalkan tangannya.
Apa yang Nico katakan di depan Almira terdengar memilukan, bukan karena Almira sudah memiliki rasa padanya. Melainkan semua yang dikatakan Nico memang benar adanya jika sudah berurusan dengan takdir Tuhan.
***
“Gaun ini sangat pas dan cocok pada tubuh mu,” Ucap pemilik butik pada Almira. “Ayo kita keluar. Pengantin pria harus melihat betapa cantiknya pengantin wanita saat ini menggunakan gaun yang sederhana namun terlihat glamor.”
Nico tersenyum puas ke arah desainer itu. “Pilihan yang bagus, Almira," ucap Nico. "Tunjukkan beberapa gaun untuknya, Mona” perintah Nico pada pemilik butik.
Nico memutar kursi rodanya. “Aku akan keluar sebentar, hubungi aku jika kalian sudah selesai.” Nico menggerakan kursi rodanya keluar dari butik menuju mobilnya yang terparkir didepan butik.
“Kalian memang pasangan yang sangat serasi.” Mona—pemilik butik itu tersenyum, bergerak menuju koleksi-koleksi gaunnya yang akan digunakan untuk peragaan busananya.
‘Serasi? Yang benar saja’ batin Almira. Mereka bagaikan air dan minyak yang tidak akan bisa menyatu. Nico yang temperamen dan arogan di pertemukan dengan Almira Larasati yang introvert.
Mona mendekati Almira. “Aku Monalisa Sutanto.” Wanita itu memperkenalkan dirinya pada Almira.
“Almira Larasati,” balas Almira.
Mona terdiam cukup lama, memastikan pendengarannya. Ia yakin jika undangan yang ia terima tertera nama ‘Amanda Lucero’ bukan ‘Almira Larasati’.
Pantas saja ia tidak melihat mereka seperti layaknya pasangan kekasih yang saling mencintai. Tampak dari wajah gadis cantik didepannya saat ini sangat memancarkan kebaikan.
“Jika boleh tahu, sudah berapa lama kalian berkenalan?”
“Seminggu,” ucap Almira singkat.
“Benarkah? Dimana?” Mona terkejut dengan jawaban Almira.
“Tentu," jawab Almira. "Kami bertemu di rumah sakit,” sambungnya. Ia tidak peduli jika Mona memiliki pikiran jelek tentangnya.
Paras cantik, tubuh jenjang dan ramping juga kulit kuning langsat layaknya orang Indonesia, membuat Almira merasa Mona jauh lebih baik daripada dirinya.
Kenapa Nico tidak memilih wanita sekelas Mona untuk menjadi pengganti Amanda?
***
Dua puluh menit kemudian, Nico datang dengan membawa segelas Capucinno di tangannya. “apa kalian sudah selesai memilih gaun pengantinnya?” tanya Nico.
“Hem…” jawab Almira. “Apa kamu keluar hanya untuk mencari minum?”
Nico Mengangguk. Tangan kanan pria itu memberikan minuman yang ia belikan untuk Almira. Nico tahu minuman yang ia bawakan adalah minuman kesukaan Almira karena sebelumnya ia sudah meminta Joni untuk menyelediki latar belakang Almira.
“Pak,” panggil Almira.
Nico menatapnya santai. “Apa?”
“Apakah Anda tidak ingin merubah keputusan Anda untuk menikah dengan saya. Masih ada waktu sehari untuk Anda berubah pikiran.” Ucap Almira
“Terima kasih Mona. Kirimkan gaunnya besok pagi karena pernikahannya akan dilaksanakan lusa, dan kau jangan lupa datang.” Ucap Nico tanpa memikirkan kata-kata Almira.
“Ayo. Aku lapar sedari pagi kita belum sarapan, dan kita belum membicarakan perjanjian yang kau inginkan.” Pria itu memutar kursi rodanya untuk menuju mobil.
“Huft…” Almira menghela napas.
Almira duduk dibangku penumpang bersama Nico, ia mengarahkan pandangan menatap jalanan Jakarta yang padat tanpa mempedulikan kemana Nico akan membawanya.
Seketika kepala Almira di penuhi oleh nama seseorang.
Benny.
Benny-nya yang saat ini sedang melanjutkan pendidikannya di luar negeri, entah bagaimana ekspresinya jika ia tahu bahwa Almira telah menikah dengan laki-laki lain.
Hidup Almira menjadi semakin rumit sejak Amanda menciptakan huru hara dengan meninggalkan calon suaminya.
Bersambung,
Mereka tiba di sebuah restauran mewah di Jakarta, pelayan wanita mendatangi mereka. Nico memesan makanan begitu juga Almira, meskipun ia tidak tahu jenis makanan seperti apa yang ia pesan.“Apa kau yakin tidak ingin merubah konsep pernikahan yang kau inginkan, Al?” tanya Nico memecahkan keheningan.“Tidak,” jawab Almira singkat.“Kenapa? Setiap wanita yang akan menikah pasti menginginkan pesta yang mewah dan meriah. Lagipula aku tidak keberatan jika harus mengeluarkan ratusan juta.”Almira tercengang—ratusan juta katanya? Pria ini memang benar-benar sudah gila.“Saya bukan gadis yang tidak tahu malu, Pak? Dengan mengadakan pesta meriah dan sebesar itu yang disaksikan semua orang, lalu berita perceraian muncul dua atau satu tahun kemudian?!” ucap Almira kesal.“Baiklah. Terserah padamu. Mungkin aku bisa melakukannya saat menikah dengan wanita lain nanti.” Nico menyesap minuman
Sejenak Nico terdiam dalam tenang—belum merespon ucapan yang di katakan Almira.“Ditolak. Aku tidak bisa menyetujui yang aku sendiri tidak bisa melakukannya.” Nico memutar kursi rodanya—menuju pintu keluar kamar Almira.“Tidurlah, Almira. Sudah larut, besok pagi kau masih harus membeli keperluan untuk pernikahan bersama Mama.”***Almira sudah bersiap sejak pagi, ia hanya tidur empat jam sejak obrolan dengan Nico berakhir. Mulai hari ini dan seterusnya ia tidak perlu kembali ke rumah sakit untuk bekerja karena semalam Nico sudah memberi tahunya bahwa ia sudah tidak lagi bekerja di sana.‘Jika aku tidak lagi bekerja di sana lalu bagaimana aku bisa mengawasi kesehatan nenek di sana’ batin Almira.Tok…Tok…Almira terhenyak dari lamunannya saat mendengar pintu kamarnya diketuk.“Maaf, Non. Non Almira di tunggu Nyonya besar di bawah untuk sarapan be
Nico merebahkan diri di atas ranjang dalam kamar hotel, sejenak ia memejamkan mata melepas penat dalam pikirannya. Meski saat ini kakinya belum bisa bergerak namun ia sudah membiasakan diri untuk mengerjakan segalanya sendiri dengan bantuan kursi roda.Ia harap menjadikan Almira untuk menggantikan Amanda adalah suatu keputusan yang benar untuk membalas Amanda dan keluarganya. Tok…Tok…“Tuan,” panggil Joni dari luar pintu.“Masuk.”“Maaf Tuan, Ibu Anda menghubungi saya, beliau tanya mengapa ponsel Anda tidak bisa dihubungi?”Nico merubah posisinya, ia duduk di pinggiran ranjang dan mengambil ponselnya yang berada di atas nakas. “Ah…pantas saja. Ponsel ku mati, aku belum sempat mengisi baterainya,” ucap Nico—memberikan ponselnya pada Joni untuk di charge.“Hubungkan aku dengan ibu ku, Jon!” PerintahnyaTidak perlu menunggu lama u
Nico masih setia di dalam ruang kerjanya setelah bertemu dengan dokter Yacob. Dari jendela ruang kerjanya ia menatap satu persatu kerabatnya pergi, serta dokter Yacob.Selama wanita itu masih menjadi istrinya, maka Almira berada dalam territorial perlindungan Nico. Jadi, saat ini ia hanya perlu mengikuti permainan yang diberikan dokter Yacob dan jika saatnya tiba maka BOOM, habislah keluarga Lucero.“Hai…” sapa dokter Nando—membuka pintu ruang kerja Nico.“Bisakah kau mengetuk pintu sebelum masuk?” ucapnya“Maaf…aku melihat dokter Yacob keluar dari sini. Apa yang sedang kalian bicarakan? Hingga membuatnya pergi tanpa berpamitan pada keluarga kita dan Almira!” tanya dokter Nando, penasaran.Nico memutarkan kursi rodanya menghadap dokter Nando. “Tidak ada…,” jawabnya singkat. “Mungkin ia sedang PMS.” Sambungnya santai dengan mengarahkan kursi rodanya ke ar
Rumah Sakit Karya Bakti“Dari hasil pemerikasaan yang telah di lakukan, dapat saya simpulkan Anda mengalami Paraplegia Spastik yang diakibatkan karena trauma kecelakaan yang Anda alami,” jelas Dokter Felicia—Dokter fisioterapi yang menanggani Nicolas.Paraplegia Spastik merupakan hilangnya kemampuan fungsi motorik bagian bawah tubuh, di mana otot-otot tubuh pada bagian yang mengalami kelumpuhan dalam kondisi kaku dan tegang.Hal tersebut disebabkan oleh kerusakan dari otak atau sumsum tulang belakang yang tidak dapat mengirimkan sinyal ke tubuh bagian bawah, akibat adanya suatu penyakit atau cedera.“Itu berarti kaki tuan Nico masih bisa sembuh, kan? Lalu berapa lama waktu yang dibutuhkan untuknya bisa berjalan kembali, Dok?” tanya Almira.“Untuk waktu penyembuhannya tidak bisa di pastikan. Asal tuan Nico rutin mengikuti jadwal terapi dan meminum obatnya secara teratur, saya rasa penyembuhannya akan lebi
Dua jam kemudian mobil itu berhenti di sebuah rumah tua yang masih tampak sangat kokoh dan asri. Almira yang tampak kebingungan bertanya-tanya untuk apa Nico membawanya kemari. “Ini rumah siapa?” tanya Almira penasaran. “Turunlah,” ucap Nico. “Mau apa kita di sini?” “Masuklah, nanti kamu akan tahu sendiri,” jawab Nico. “Aku masih ada urusan jadi masuklah sendiri ke dalam.” Tanpa bertanya dan membantah, Almira turun dari mobil. Nico meninggalkannya setelah Almira masuk ke dalam rumah tua itu. Almira masih penasaran rumah siapa itu? Dan kenapa Nico memintanya masuk, sebenarnya apa tujuan Nico melakukan ini. Gadis itu masuk dan hal pertama yang ia lihat adalah beberapa orang yang berpakaian perawat sedang membantu orang-orang tua yang biasa disebut lansia, ada yang sedang menyuapi wanita tua yang sedang duduk di atas kursi rodanya, ada juga yang sedang mengawasi para orang-orang yang telah lanjut usia. Di dalam ruangan ter
‘Hidupku menjadi semakin rumit ketika ibu memutuskan lebih memilih menikahi pria licik itu daripada mendengarkan permohonan putrinya sendiri,’ batin Almira. *** Almira menangis bermenit-menit lamanya hingga tanpa sadar ia mulai kehilangan kesadarannya dan akhirnya terlelap dengan posisi kedua tangan bertumpu lutut dan kepala yang tenggelam dalam lipatan kedua tangannya. Tok … Tok … Nico mengetuk pintu sekali dan tidak mendapati jawaban dari dalam. Ia mendorong gagang pintu, cahaya temaram dari lampu di atas nakas saat lampu lain sudah mati. “Almira…,” panggil Nico—heran dengan suasana kamar yang sunyi. Saat Nico masih memanggil-manggil nama Almira, Dokter Nando menghampiri Nico di dalam kamarnya. “Kenapa kau berteriak memanggil-manggil Almira? Apa ia tidak ada di kamar?” tanya Dokter Nando. “Entahlah … aku pikir ia sudah tidur tapi saat aku ingin membangunkannya ia tidak ada di sana! Tapi ponselnya ada
Sesampainya di kantor Nico. Almira dapat merasakan ribuan pasang mata sedang menatapnya ke arahnya saat ini. Ada yang menatapnya dengan sinis dan tidak suka, ada juga yang menatapnya kagum. Tentu saja yang menatap dengan kagum adalah para pegawai yang dijuluki kaum adam. “Nico, apa kau yakin akan melakukan hal ini?” tanya Almira. Nico memberi kode pada Joni untuk menghentikan kursi rodanya, lalu menatap Almira dengan datar. “Emm … begini, maksudku, aku tidak mengerti apa yang harus aku lakukan nanti. Aku hanya berpengalaman untuk merawat pasien. Aku tidak bisa bekerja menjadi sekretarismu!” ucap Almira. Nico tidak menggubris ucapan Almira. Ia meninggalkan Almira masuk ke dalam lift. “Kau mau ikut bersamaku naik atau kau akan tetap di sini menungguku?” tanya Nico saat ia sudah masuk ke dalam lift pribadinya. Almira melangkahkan kakinya mengikuti Nico masuk ke dalam lift dengan cemberut. *** Joni mendorong kursi roda Nico menuju
Tok!Tok!Tok!“Almira, Sayang?” panggil Ratna. Ia mengetuk pintu kamar menantunya karena merasa khawatir dengan keadaan Almira yang mengurung diri dalam kamar setelah pertengkaran dengan putranya.Tanpa sengaja Ratna mendengar pertengkaran mereka saat ia kembali dari berbelanja bersama koleganya. Ia pun sempat berpapasan dengan putranya yang saat itu sedang terlihat sedang marah.“Sayang, ini mama. Boleh mama masuk, Nak?” rayunya.Almira beranjak dari tempat tidurnya, berjalan ke arah pintu sambil menghapus sisa air matanya sebelum membuka kunci kamarnya.Ia tersenyum dan mempersilahkan Ratna masuk. Mereka duduk di sofa ruang tamu dalam kamar milik Almira.Ratna yang duduk di samping kanan Almira membelai lembut rambut menantunya dengan menatap wajah yang terlihat sembab bekas menangis, “kau kenapa, Sayang?” tanya Ratna.“Aku baik-baik saja, Ma.”“Tadi … mama tid
“Katakan apa yang kau inginkan?” tanyanya saat ia melihat ada keraguan dalam raut wajah Almira. “Aku ingin … mengakhiri pernikahan ini!” jawab Almira. Raut wajah Nico seketika menjadi datar. Rahangnya mengeras. ‘Jadi ini yang kau inginkan! Jangan bermimpi sampai kapanpun aku tidak akan melepaskanmu. Kau adalah milikku dan akan selamanya menjadi milikku!’ batin Nico. “Ditolak!” jawab Nico dingin dan datar. Kini Nico kembali pada sifatnya yang arogan, dingin dan egois seperti dulu. “Kenapa?” balasnya—datar. Nico tidak menjawab pertanyaan Almira dan berlalu pergi meninggalkannya. Ia sudah jatuh cinta teramat dalam pada wanita yang sekarang menjadi istrinya. Bagi Nico melepaskan Almira sama juga dengan membunuh separuh dirinya. Almira bergegas bangkit dari duduknya dan berlari mencekal tangan Nico. “Nico, tunggu!” panggilnya. Langkah Nico terhenti dan menatap dingin Almira. Ia tidak menyangka perjanjian pranikah yang ia buat sebelu
Bali- 01:30PM Almira menghela nafas, lalu memijit pangkal hidungnya karena merasa binggung dengan sikap Nico. Ia menolak permintaan dokter Nando untuk ikut bersamanya ke Bali. Namun, siapa yang mengira jika saat ini ia sendiri yang mengajaknya untuk menyusul kakak dan keponakannya. Benar-benar tipe manusia yang nomaden, batin Almira. “Nico,” panggil Almira. “Hem …,” jawabnya singkat tanpa mengalihkan padangannya dari ponsel. “Mengapa kau mengajakku kemari?” tanyanya. “Mengapa kau tiba-tiba berubah pikiran? Bukankah kau bilang tidak ingin pergi?” sambungnya. “Karena mama memintaku untuk mengajakmu ke Bali,” jawabnya. “Jadi karena mama yang memintamu untuk mengajakku, kau tidak bisa menolak seperti yang kau lakukan pada dokter Nando, begitu?!” ucap Almira. “Tapi untuk apa mama memintamu mengajakku ke sini?” tanyanya penasaran. “Aku tidak tahu! Kau bisa tanyakan sendiri pada mama nanti!” jawabnya.
Nando dan Hanif pergi meninggalkan Almira untuk masuk ke dalam pesawat. Ia melangkahkan kakinya untuk kembali ke parkiran mobil karena Johni telah menunggunya. Namun, saat akan kembali tiba-tiba sesuatu mengejutkan Almira. Brugh!! “Auw…,” ucapnya kesakitan. Seolah-olah ia sudah menabrak dinding yang sangat keras. “Apa Anda tidak punya mata?” ucap Almira kesal dengan mengusap-usap dahinya tanpa melihat siapa yang telah ia tabrak. “Tidak bisakah kau berjalan dengan benar?” balas Nico yang berdiri dihadapan Almira menggunakan tongkat penyangga. Almira yang hafal dengan suara Nico, buru-buru menengadah menatap Nico. “Kau …!” “Makanya kalau jalan itu lihat ke depan jangan lihat ke bawah! Untung aku yang kau tabrak, bagaimana jika orang lain!?” ucapnya ketus. “Maaf,” balas Almira. Tiba-tiba Almira menatap Nico penasaran, “Sedang apa kau di sini? Aa … jangan-jangan kau sudah berada di sini dan memperhatikan kami sedari tadi?”
Dering alarm ponsel Almira berbunyi, menunjukkan hari sudah pagi. Cepat-cepat Almira meraih ponselnya di atas nakas dan mematikkannya. Almira duduk sejenak untuk mengumpulkan kembali nyawanya, ia melihat ke samping tempat tidur yang masih rapi. Sekilas Almira teringat jika semalam ketika ia akan menghampiri Nico di ruang kerjanya, nampak keadaanya sangat kacau hingga ia membatalkan niatnya untuk menghampiri Nico. “Sepertinya semalam ia tidak tidur di sini. Apa ia ketiduran di ruang kerjanya?” batin Almira. Ia pun bergegas bangun dan membersihkan diri di kamar mandi. Selang beberapa menit menyelesaikan mandinya, Almira dikejutkan dengan Nico yang sudah duduk di tepi tempat tidur dengan memegang sebuah kotak miliknya. “Ish … kamu ngagetin aja! Sejak kapan kamu duduk di sana?” tanya Almira yang masih menggunakan handuk melilit di tubuhnya. Nico menatap Almira tanpa berkedip melihat wanita yang baru saja keluar dari kamar dengan menggunak
Almira duduk di kursi balkon teras kamarnya, ia menyadarkan tubuhnya pada sandaran kursi dengan memegang sebuah kotak yang terbuat dari kayu jati. Ia membuka kotak itu dan mengambil sebuah kotak kecil berisi sebuah cincin pemberian Benny, tunangannya. Sudah beberapa bulan ini ia tidak mendapatkan kabar dari Benny, tidak ada pesan, tidak ada email atau surat sekalipun. Tanpa sepengetahuan Almira semua pesan yang dikirimkan Benny padanya selama ini telah di sabotase oleh Nico, hingga komunikasi antara Benny dan Almira terputus dan hubungan keduanya berakhir. “Huft … Begitu sibuknya kah? Sampai kamu tidak bisa menghubungiku meski hanya sebentar atau mungkin sudah ada seseorang yang menggantikan ku di sana?” pikir Almira. “Jika aku tidak bisa menghubungimu lalu bagaimana aku bisa mengatakan yang sebenarnya padamu,” gerutunya. “Siapa yang sedang ingin kau hubungi? Dan apa yang sedang kamu pegang? Kotak apa itu?” tanya Nico tiba-tiba
“Kita sudah sampai. Masuklah dulu, aku masih harus mengurus sesuatu,” ucap Nando.Almira menganggukan kepalanya dan turun dari mobil. Baru beberapa langkah, gadis itu menghentikan langkahnya—berbalik menatap Nando dan menghampirinya. “Apa kau akan kembali kemari?” tanyanya.“Tentu. Aku tidak akan lama, tunggulah. Aku akan segera kembali,” ucapnya dengan tersenyum.“Baiklah.”Almira kembali melangkahkan kakinya masuk ke rumah perawatan itu, ia sudah tidak sabar ingin segera menemui neneknya.Gadis itu membuka pintu kamar neneknya, “Kesya ….” Ucap Almira“Hai … kau sudah sampai rupanya. Senang rasanya bisa bertemu dengan mu lagi setelah beberapa bulan kamu menghilang. Bagaimana kabarmu, Al?” tanya Kesya—menghampiri Almira dan memeluknya.“Aku baik. Maaf, aku sudah membuatmu khawatir dan merepotkanmu untuk menjaga Nenekku,&rdq
Beberapa bulan kemudian … “Kesembuhan kaki Anda mengalami kemajuan yang sangat baik, Tuan. Dan Anda akan dapat berjalan kembali namun untuk sementara waktu harus menggunakan tongkat hingga kaki Anda benar-benar bisa berjalan seperti semula,” ucap dokter. “Apakah Tuan Nico masih harus menjalani terapi, Dok?” tanya Almira. “Tentu saja. Tuan Nico tetap harus menjalani terapi hanya saja jadwal terapi yang seminggu dua kali bisa dijadwalkan menjadi seminggu sekali dan sering latihan dirumah, selain itu tetap harus mengkonsumsi obat dan vitamin yang sudah saya berikan,” jelas dokter. ‘Terima kasih, Tuhan. Semoga Nico bisa segera bisa berjalan kembali,’ batin Almira. “Terima kasih, Dok. Kalau begitu kami permisi,” ucap Almira—berpamitan. Almira membantu Nico mendorong kursi rodanya keluar dari ruangan terapi dan menuju ke lobi rumah sakit. Sepanjang perjalanan menuju lobi, Almira dan Nico sama-sama terdiam. Semenjak p
“Hey …,” sapa Almira pada Hanif saat memasuki kamarnya. “Aunty, Al?” jawab Hanif denga tersenyum. “Apa aunty menganggumu, Sayang?” Hanif menggelengkan kepala. “Aku senang aunty kemari. Aku tidak bisa tidur, bisakah aunty menceritakan sebuah dongeng untukku?” Almira menghampiri Hanif—ke tempat tidurnya. “Kemarilah,” ucap Almira. Hanif sedikit mengeser badannya dan menyandarkan kepalanya pada lengan Almira sebagai bantal. “Berdoalah dulu sebelum aunty membacakan dongeng untukmu,” kata Almira yang dijawab anggukkan oleh Hanif. Almira membacakan dongeng Pinokio pada Hanif. Belum habis dongeng yang dibacakan, Hanif sudah tertidur pulas di atas lengannya. Ia lalu meletakkan kepala Hanif di atas batal agar lebih nyaman dan membetulkan posisi selimut agar Hanif lebih merasa hangat. Dari balik pintu, Nando menatap interaksi antara Almira dan putra semata wayangnya. Ada sebuah rasa bahagia yan