Mereka tiba di sebuah restauran mewah di Jakarta, pelayan wanita mendatangi mereka. Nico memesan makanan begitu juga Almira, meskipun ia tidak tahu jenis makanan seperti apa yang ia pesan.
“Apa kau yakin tidak ingin merubah konsep pernikahan yang kau inginkan, Al?” tanya Nico memecahkan keheningan.
“Tidak,” jawab Almira singkat.
“Kenapa? Setiap wanita yang akan menikah pasti menginginkan pesta yang mewah dan meriah. Lagipula aku tidak keberatan jika harus mengeluarkan ratusan juta.”
Almira tercengang—ratusan juta katanya? Pria ini memang benar-benar sudah gila.
“Saya bukan gadis yang tidak tahu malu, Pak? Dengan mengadakan pesta meriah dan sebesar itu yang disaksikan semua orang, lalu berita perceraian muncul dua atau satu tahun kemudian?!” ucap Almira kesal.
“Baiklah. Terserah padamu. Mungkin aku bisa melakukannya saat menikah dengan wanita lain nanti.” Nico menyesap minuman yang telah dipesannya tadi.
“Itu lebih baik. Apa Anda tidak ingin mencari keberadaan Amanda, Pak?” Almira memberanikan diri bertanya.
“Nope…!”
“Kenapa? Apakah Anda tidak ingin menjelaskan keadaan Anda padanya?”
“Untuk apa? Kenapa kau cerewet sekali, Almira” jawab Nico santai—padahal ia sudah tahu keberadaan Amanda.
Mereka berhenti bicara saat pelayan mengantarkan pesanan mereka.
“Terima kasih,” ucap Nico pada pelayan wanita itu yang membuat pelayan itu menjadi salah tingkah. Wanita manapun akan terpikat dengan senyuman dan wajah tampan Nico—Almira mengakui hal itu.
Mereka makan dengan tenang. Hingga bunyi ponsel Almira memecah ketenangan makan mereka. ‘Benny’ batinnya.
Almira membaca dan membalas pesan dari Benny tanpa memperhatikan manusia yang duduk di hadapannya.
Gadis itu berpikir bagaimana ia akan menjelaskan pada kekasihnya nanti jika ia sudah menikah dengan orang lain. Bayangan itu terus bergelayut di dalam pikiran Almira.
Ini mimpi buruk bagi Almira!
***
Mereka sampai di rumah keluarga Brahmantyo. Almira heran, harusnya ia pulang kerumahnya tapi mobil yang dikendarai oleh asisten Nico malah mengantarkannya ke rumah keluarga Brahmantyo.
“Pak..,” panggil Almira—saat pintu mobil dibuka oleh Joni.
Nico mengarahkan pandangannya. “Ada apa?” jawabnya.
“Ini sudah malam. Bukankah seharusnya Anda mengantarkan saya pulang tadi?”
Nico mengeser posisinya menaiki kursi rodanya. “Malam ini kau tidak perlu pulang, Almira!” ucapnya. “Karena mulai malam ini dan seterusnya kau akan tinggal disini.”
“Tapi, Pak..,”
“Tidak ada tapi. Ini sudah malam dan cukup untuk hari ini, aku lelah.” Ucapnya santai, lalu meminta Joni mengantarkannya masuk.
Almira buru-buru turun dari mobil dan mengikuti Nico dari belakang.
Suasana di rumah keluarga Brahmantyo begitu sepi mungkin ini sudah malam, pikir Almira. “Lalu aku akan tidur dimana, jika malam ini aku harus menginap disini?” tanya Almira.
“Aku sudah meminta kepala pelayan untuk menyiapkan kamar yang akan kau tempati,” Ucap Nico. “Kamar mu ada disebelah kamar ku.”
Nico pergi meninggalkan Almira dengan diantar Joni hingga kekamarnya, dan Almira masih mengikuti Nico dari belakang. Joni menghentikan kursi roda Nico tepat didepan pintu kamarnya dan Almira pun ikut menghentikan langkahnya.
“Apa kau akan terus berdiri dibelakang Joni, Almira?!” tanya Nico dengan tegas. “Masuklah, kamar mu ada di sebelah,” tunjuk Nico.
“Permisi,” pamit Almira.
Almira menutup pintu kamarnya, namun Nico masih setia berada didepan pintu kamarnya sebelum Joni membukakan pintu kamarnya. “Apa kau sudah melaksanakan yang ku minta, Jon?”
“Sudah, Tuan. Saya sudah melaksanakan sesuai perintah Tuan.” Ucapnya
“Baiklah kau boleh pergi.” Perintah Nico yang dibalas dengan anggukan oleh Joni.
Sementara itu, Almira yang kagum dengan seisi kamar yang ditempatinya berjalan menuju balkon kamarnya menatap indahnya cahaya lampu di malam hari dan sejuknya angin malam.
Angin malam yang berhembus kencang membuat rambut Almira sedikit menutupi wajahnya. Almira memang membutuhkan ruang untuk menenangkan pikiran, semenjak masalah yang di timbulkan Amanda, ia merasa bebannya semakin berat.
Tidak pernah terpikirkan oleh Almira jika ia harus menikah namun dengan menggunakan jangka waktu, karena menurut Almira suatu pernikahan itu sakral, yang hanya ingin ia lakukan sekali dalam seumur hidup, bukan dengan jangka waktu.
Almira mengecek ponselnya, tidak ada tanda pemberitahuan pesan masuk…lagi, dari Benny sejak makan malam tadi. Gadis itu beranjak dari tempatnya berdiri—masuk dalam kamar, namun ia sedikit terkejut melihat Nico sudah berada dalam kamarnya tanpa ia sadari.
“Apa yang sedang Anda lakukan disini, Pak?” tanya Almira.
“Aku ingin membicarakan perjanjian yang kau inginkan.”
“Tidak bisakah kita bicarakan besok pagi, Pak? Ini sudah larut malam!”
“Aku lupa mengatakan sesuatu padamu. Besok pagi-pagi sekali aku akan berangkat ke Singapura, aku akan pulang lusa saat pernikahan kita.”
“Jika besok Anda akan ke Singapura lalu untuk apa Anda meminta saya untuk menginap di sini sedangkan saya harus bekerja besok!” ucap Almira dengan tegas.
Nico tidak menatap matanya, namun sedikit menekan emosinya. “Jika kau tidak mau membicarakan perjanjian yang kau inginkan tidak apa-apa, aku tidak masalah. Aku akan memberikan perjanjian dari ku untuk kau tanda tangani.” Ucapnya dengan memutar kursi rodanya—menuju pintu untuk keluar.
“Baiklah. Mulai dari mana?”
“Terserah padamu.”
Almira terdiam sejenak. “Seperti yang saya katakan kemaren pada Anda, jika saya tidak ingin pernikahan ini diketahui oleh siapa pun dan saya juga tidak ingin pernikahan ini mengekang saya dalam pekerjaan dan kehidupan sosialisasi saya. Saya ak—”
“Aku tidak bisa mendengarmu jika kau masih menggunakan kata Saya dan Anda dalam percakapan kita. Dan berhenti memanggilku Pak, Almira,” kata Nico dengan menahan emosinya.
Almira berdehem untuk menetralkan suaranya karena ia belum terbiasa berbicara secara tidak formal, namun ia akan mencoba untuk membiasakannya.
“Pertama, tidak ada perayaan besar-besaran untuk pernikahan ini, cukup kita dan keluarga mu saja yang tahu.” Ucap Almira yang langsung disetujui Nico.
“Kedua, aku tidak ingin pernikahan ini mengekang ku. Aku ingin tetap mempunyai waktu untuk diri ku sendiri dan bertemu dengan teman-teman ku begitu juga dengan pekerjaan ku.” Almira memandang Nico—melihat respon Nico dari perjanjian yang ia berikan.
“Ditolak. Kau harus memberi tahu ku dengan siapa kau pergi dan jam malam tidak lebih dari jam 11 malam. Mulai besok kau tidak harus bekerja di rumah sakit karena aku sudah meminta Nando mengirimkan surat pengunduran diri mu” ucapnya santai tanpa menoleh kearah Almira.
“Tapi…,”
“Tidak ada bantahan. Lanjutkan, Almira.”
“Aku ingin kau tidak terlalu berharap dengan pernikahan ini. Seharusnya kau tahu pernikahan ini hanya sementara, jadi jangan berharap aku akan bersikap posesif padamu, khawatir dengan apa yang akan kau lakukan dan lain-lain.”
“Disetujui. Lagipula aku bukan pria yang manja, Almira.”
Almira menarik napas dalam. “Aku sangat berharap kau menyetujui perjanjian terakhir ku.”
“Apa?”
Almira terdiam beberapa menit.
Nico menatapnya, “Katakan, Almira!”
“…”
“Kalau yang kau maksud adalah materi. Aku pastikan kau akan mendapatkan segala yang kau butuhkan. Jikapun pernikahan ini berakhir aku akan tetap memberikan mu nafkah, ak—.”
“Perjanjian terakhir dari ku, aku tidak mau kau menyentuhkan, Nico. Selama perjanjian yang kau buat aku tidak ingin kau melakukan hal-hal yang berbau seksual apapun padaku.” Almira memotong ucapan Nico.
Sejenak Nico terdiam dalam tenang—belum merespon ucapan yang di katakan Almira.
Bersambung,
Sejenak Nico terdiam dalam tenang—belum merespon ucapan yang di katakan Almira.“Ditolak. Aku tidak bisa menyetujui yang aku sendiri tidak bisa melakukannya.” Nico memutar kursi rodanya—menuju pintu keluar kamar Almira.“Tidurlah, Almira. Sudah larut, besok pagi kau masih harus membeli keperluan untuk pernikahan bersama Mama.”***Almira sudah bersiap sejak pagi, ia hanya tidur empat jam sejak obrolan dengan Nico berakhir. Mulai hari ini dan seterusnya ia tidak perlu kembali ke rumah sakit untuk bekerja karena semalam Nico sudah memberi tahunya bahwa ia sudah tidak lagi bekerja di sana.‘Jika aku tidak lagi bekerja di sana lalu bagaimana aku bisa mengawasi kesehatan nenek di sana’ batin Almira.Tok…Tok…Almira terhenyak dari lamunannya saat mendengar pintu kamarnya diketuk.“Maaf, Non. Non Almira di tunggu Nyonya besar di bawah untuk sarapan be
Nico merebahkan diri di atas ranjang dalam kamar hotel, sejenak ia memejamkan mata melepas penat dalam pikirannya. Meski saat ini kakinya belum bisa bergerak namun ia sudah membiasakan diri untuk mengerjakan segalanya sendiri dengan bantuan kursi roda.Ia harap menjadikan Almira untuk menggantikan Amanda adalah suatu keputusan yang benar untuk membalas Amanda dan keluarganya. Tok…Tok…“Tuan,” panggil Joni dari luar pintu.“Masuk.”“Maaf Tuan, Ibu Anda menghubungi saya, beliau tanya mengapa ponsel Anda tidak bisa dihubungi?”Nico merubah posisinya, ia duduk di pinggiran ranjang dan mengambil ponselnya yang berada di atas nakas. “Ah…pantas saja. Ponsel ku mati, aku belum sempat mengisi baterainya,” ucap Nico—memberikan ponselnya pada Joni untuk di charge.“Hubungkan aku dengan ibu ku, Jon!” PerintahnyaTidak perlu menunggu lama u
Nico masih setia di dalam ruang kerjanya setelah bertemu dengan dokter Yacob. Dari jendela ruang kerjanya ia menatap satu persatu kerabatnya pergi, serta dokter Yacob.Selama wanita itu masih menjadi istrinya, maka Almira berada dalam territorial perlindungan Nico. Jadi, saat ini ia hanya perlu mengikuti permainan yang diberikan dokter Yacob dan jika saatnya tiba maka BOOM, habislah keluarga Lucero.“Hai…” sapa dokter Nando—membuka pintu ruang kerja Nico.“Bisakah kau mengetuk pintu sebelum masuk?” ucapnya“Maaf…aku melihat dokter Yacob keluar dari sini. Apa yang sedang kalian bicarakan? Hingga membuatnya pergi tanpa berpamitan pada keluarga kita dan Almira!” tanya dokter Nando, penasaran.Nico memutarkan kursi rodanya menghadap dokter Nando. “Tidak ada…,” jawabnya singkat. “Mungkin ia sedang PMS.” Sambungnya santai dengan mengarahkan kursi rodanya ke ar
Rumah Sakit Karya Bakti“Dari hasil pemerikasaan yang telah di lakukan, dapat saya simpulkan Anda mengalami Paraplegia Spastik yang diakibatkan karena trauma kecelakaan yang Anda alami,” jelas Dokter Felicia—Dokter fisioterapi yang menanggani Nicolas.Paraplegia Spastik merupakan hilangnya kemampuan fungsi motorik bagian bawah tubuh, di mana otot-otot tubuh pada bagian yang mengalami kelumpuhan dalam kondisi kaku dan tegang.Hal tersebut disebabkan oleh kerusakan dari otak atau sumsum tulang belakang yang tidak dapat mengirimkan sinyal ke tubuh bagian bawah, akibat adanya suatu penyakit atau cedera.“Itu berarti kaki tuan Nico masih bisa sembuh, kan? Lalu berapa lama waktu yang dibutuhkan untuknya bisa berjalan kembali, Dok?” tanya Almira.“Untuk waktu penyembuhannya tidak bisa di pastikan. Asal tuan Nico rutin mengikuti jadwal terapi dan meminum obatnya secara teratur, saya rasa penyembuhannya akan lebi
Dua jam kemudian mobil itu berhenti di sebuah rumah tua yang masih tampak sangat kokoh dan asri. Almira yang tampak kebingungan bertanya-tanya untuk apa Nico membawanya kemari. “Ini rumah siapa?” tanya Almira penasaran. “Turunlah,” ucap Nico. “Mau apa kita di sini?” “Masuklah, nanti kamu akan tahu sendiri,” jawab Nico. “Aku masih ada urusan jadi masuklah sendiri ke dalam.” Tanpa bertanya dan membantah, Almira turun dari mobil. Nico meninggalkannya setelah Almira masuk ke dalam rumah tua itu. Almira masih penasaran rumah siapa itu? Dan kenapa Nico memintanya masuk, sebenarnya apa tujuan Nico melakukan ini. Gadis itu masuk dan hal pertama yang ia lihat adalah beberapa orang yang berpakaian perawat sedang membantu orang-orang tua yang biasa disebut lansia, ada yang sedang menyuapi wanita tua yang sedang duduk di atas kursi rodanya, ada juga yang sedang mengawasi para orang-orang yang telah lanjut usia. Di dalam ruangan ter
‘Hidupku menjadi semakin rumit ketika ibu memutuskan lebih memilih menikahi pria licik itu daripada mendengarkan permohonan putrinya sendiri,’ batin Almira. *** Almira menangis bermenit-menit lamanya hingga tanpa sadar ia mulai kehilangan kesadarannya dan akhirnya terlelap dengan posisi kedua tangan bertumpu lutut dan kepala yang tenggelam dalam lipatan kedua tangannya. Tok … Tok … Nico mengetuk pintu sekali dan tidak mendapati jawaban dari dalam. Ia mendorong gagang pintu, cahaya temaram dari lampu di atas nakas saat lampu lain sudah mati. “Almira…,” panggil Nico—heran dengan suasana kamar yang sunyi. Saat Nico masih memanggil-manggil nama Almira, Dokter Nando menghampiri Nico di dalam kamarnya. “Kenapa kau berteriak memanggil-manggil Almira? Apa ia tidak ada di kamar?” tanya Dokter Nando. “Entahlah … aku pikir ia sudah tidur tapi saat aku ingin membangunkannya ia tidak ada di sana! Tapi ponselnya ada
Sesampainya di kantor Nico. Almira dapat merasakan ribuan pasang mata sedang menatapnya ke arahnya saat ini. Ada yang menatapnya dengan sinis dan tidak suka, ada juga yang menatapnya kagum. Tentu saja yang menatap dengan kagum adalah para pegawai yang dijuluki kaum adam. “Nico, apa kau yakin akan melakukan hal ini?” tanya Almira. Nico memberi kode pada Joni untuk menghentikan kursi rodanya, lalu menatap Almira dengan datar. “Emm … begini, maksudku, aku tidak mengerti apa yang harus aku lakukan nanti. Aku hanya berpengalaman untuk merawat pasien. Aku tidak bisa bekerja menjadi sekretarismu!” ucap Almira. Nico tidak menggubris ucapan Almira. Ia meninggalkan Almira masuk ke dalam lift. “Kau mau ikut bersamaku naik atau kau akan tetap di sini menungguku?” tanya Nico saat ia sudah masuk ke dalam lift pribadinya. Almira melangkahkan kakinya mengikuti Nico masuk ke dalam lift dengan cemberut. *** Joni mendorong kursi roda Nico menuju
“Hey …,” sapa Almira pada Hanif saat memasuki kamarnya. “Aunty, Al?” jawab Hanif denga tersenyum. “Apa aunty menganggumu, Sayang?” Hanif menggelengkan kepala. “Aku senang aunty kemari. Aku tidak bisa tidur, bisakah aunty menceritakan sebuah dongeng untukku?” Almira menghampiri Hanif—ke tempat tidurnya. “Kemarilah,” ucap Almira. Hanif sedikit mengeser badannya dan menyandarkan kepalanya pada lengan Almira sebagai bantal. “Berdoalah dulu sebelum aunty membacakan dongeng untukmu,” kata Almira yang dijawab anggukkan oleh Hanif. Almira membacakan dongeng Pinokio pada Hanif. Belum habis dongeng yang dibacakan, Hanif sudah tertidur pulas di atas lengannya. Ia lalu meletakkan kepala Hanif di atas batal agar lebih nyaman dan membetulkan posisi selimut agar Hanif lebih merasa hangat. Dari balik pintu, Nando menatap interaksi antara Almira dan putra semata wayangnya. Ada sebuah rasa bahagia yan
Tok!Tok!Tok!“Almira, Sayang?” panggil Ratna. Ia mengetuk pintu kamar menantunya karena merasa khawatir dengan keadaan Almira yang mengurung diri dalam kamar setelah pertengkaran dengan putranya.Tanpa sengaja Ratna mendengar pertengkaran mereka saat ia kembali dari berbelanja bersama koleganya. Ia pun sempat berpapasan dengan putranya yang saat itu sedang terlihat sedang marah.“Sayang, ini mama. Boleh mama masuk, Nak?” rayunya.Almira beranjak dari tempat tidurnya, berjalan ke arah pintu sambil menghapus sisa air matanya sebelum membuka kunci kamarnya.Ia tersenyum dan mempersilahkan Ratna masuk. Mereka duduk di sofa ruang tamu dalam kamar milik Almira.Ratna yang duduk di samping kanan Almira membelai lembut rambut menantunya dengan menatap wajah yang terlihat sembab bekas menangis, “kau kenapa, Sayang?” tanya Ratna.“Aku baik-baik saja, Ma.”“Tadi … mama tid
“Katakan apa yang kau inginkan?” tanyanya saat ia melihat ada keraguan dalam raut wajah Almira. “Aku ingin … mengakhiri pernikahan ini!” jawab Almira. Raut wajah Nico seketika menjadi datar. Rahangnya mengeras. ‘Jadi ini yang kau inginkan! Jangan bermimpi sampai kapanpun aku tidak akan melepaskanmu. Kau adalah milikku dan akan selamanya menjadi milikku!’ batin Nico. “Ditolak!” jawab Nico dingin dan datar. Kini Nico kembali pada sifatnya yang arogan, dingin dan egois seperti dulu. “Kenapa?” balasnya—datar. Nico tidak menjawab pertanyaan Almira dan berlalu pergi meninggalkannya. Ia sudah jatuh cinta teramat dalam pada wanita yang sekarang menjadi istrinya. Bagi Nico melepaskan Almira sama juga dengan membunuh separuh dirinya. Almira bergegas bangkit dari duduknya dan berlari mencekal tangan Nico. “Nico, tunggu!” panggilnya. Langkah Nico terhenti dan menatap dingin Almira. Ia tidak menyangka perjanjian pranikah yang ia buat sebelu
Bali- 01:30PM Almira menghela nafas, lalu memijit pangkal hidungnya karena merasa binggung dengan sikap Nico. Ia menolak permintaan dokter Nando untuk ikut bersamanya ke Bali. Namun, siapa yang mengira jika saat ini ia sendiri yang mengajaknya untuk menyusul kakak dan keponakannya. Benar-benar tipe manusia yang nomaden, batin Almira. “Nico,” panggil Almira. “Hem …,” jawabnya singkat tanpa mengalihkan padangannya dari ponsel. “Mengapa kau mengajakku kemari?” tanyanya. “Mengapa kau tiba-tiba berubah pikiran? Bukankah kau bilang tidak ingin pergi?” sambungnya. “Karena mama memintaku untuk mengajakmu ke Bali,” jawabnya. “Jadi karena mama yang memintamu untuk mengajakku, kau tidak bisa menolak seperti yang kau lakukan pada dokter Nando, begitu?!” ucap Almira. “Tapi untuk apa mama memintamu mengajakku ke sini?” tanyanya penasaran. “Aku tidak tahu! Kau bisa tanyakan sendiri pada mama nanti!” jawabnya.
Nando dan Hanif pergi meninggalkan Almira untuk masuk ke dalam pesawat. Ia melangkahkan kakinya untuk kembali ke parkiran mobil karena Johni telah menunggunya. Namun, saat akan kembali tiba-tiba sesuatu mengejutkan Almira. Brugh!! “Auw…,” ucapnya kesakitan. Seolah-olah ia sudah menabrak dinding yang sangat keras. “Apa Anda tidak punya mata?” ucap Almira kesal dengan mengusap-usap dahinya tanpa melihat siapa yang telah ia tabrak. “Tidak bisakah kau berjalan dengan benar?” balas Nico yang berdiri dihadapan Almira menggunakan tongkat penyangga. Almira yang hafal dengan suara Nico, buru-buru menengadah menatap Nico. “Kau …!” “Makanya kalau jalan itu lihat ke depan jangan lihat ke bawah! Untung aku yang kau tabrak, bagaimana jika orang lain!?” ucapnya ketus. “Maaf,” balas Almira. Tiba-tiba Almira menatap Nico penasaran, “Sedang apa kau di sini? Aa … jangan-jangan kau sudah berada di sini dan memperhatikan kami sedari tadi?”
Dering alarm ponsel Almira berbunyi, menunjukkan hari sudah pagi. Cepat-cepat Almira meraih ponselnya di atas nakas dan mematikkannya. Almira duduk sejenak untuk mengumpulkan kembali nyawanya, ia melihat ke samping tempat tidur yang masih rapi. Sekilas Almira teringat jika semalam ketika ia akan menghampiri Nico di ruang kerjanya, nampak keadaanya sangat kacau hingga ia membatalkan niatnya untuk menghampiri Nico. “Sepertinya semalam ia tidak tidur di sini. Apa ia ketiduran di ruang kerjanya?” batin Almira. Ia pun bergegas bangun dan membersihkan diri di kamar mandi. Selang beberapa menit menyelesaikan mandinya, Almira dikejutkan dengan Nico yang sudah duduk di tepi tempat tidur dengan memegang sebuah kotak miliknya. “Ish … kamu ngagetin aja! Sejak kapan kamu duduk di sana?” tanya Almira yang masih menggunakan handuk melilit di tubuhnya. Nico menatap Almira tanpa berkedip melihat wanita yang baru saja keluar dari kamar dengan menggunak
Almira duduk di kursi balkon teras kamarnya, ia menyadarkan tubuhnya pada sandaran kursi dengan memegang sebuah kotak yang terbuat dari kayu jati. Ia membuka kotak itu dan mengambil sebuah kotak kecil berisi sebuah cincin pemberian Benny, tunangannya. Sudah beberapa bulan ini ia tidak mendapatkan kabar dari Benny, tidak ada pesan, tidak ada email atau surat sekalipun. Tanpa sepengetahuan Almira semua pesan yang dikirimkan Benny padanya selama ini telah di sabotase oleh Nico, hingga komunikasi antara Benny dan Almira terputus dan hubungan keduanya berakhir. “Huft … Begitu sibuknya kah? Sampai kamu tidak bisa menghubungiku meski hanya sebentar atau mungkin sudah ada seseorang yang menggantikan ku di sana?” pikir Almira. “Jika aku tidak bisa menghubungimu lalu bagaimana aku bisa mengatakan yang sebenarnya padamu,” gerutunya. “Siapa yang sedang ingin kau hubungi? Dan apa yang sedang kamu pegang? Kotak apa itu?” tanya Nico tiba-tiba
“Kita sudah sampai. Masuklah dulu, aku masih harus mengurus sesuatu,” ucap Nando.Almira menganggukan kepalanya dan turun dari mobil. Baru beberapa langkah, gadis itu menghentikan langkahnya—berbalik menatap Nando dan menghampirinya. “Apa kau akan kembali kemari?” tanyanya.“Tentu. Aku tidak akan lama, tunggulah. Aku akan segera kembali,” ucapnya dengan tersenyum.“Baiklah.”Almira kembali melangkahkan kakinya masuk ke rumah perawatan itu, ia sudah tidak sabar ingin segera menemui neneknya.Gadis itu membuka pintu kamar neneknya, “Kesya ….” Ucap Almira“Hai … kau sudah sampai rupanya. Senang rasanya bisa bertemu dengan mu lagi setelah beberapa bulan kamu menghilang. Bagaimana kabarmu, Al?” tanya Kesya—menghampiri Almira dan memeluknya.“Aku baik. Maaf, aku sudah membuatmu khawatir dan merepotkanmu untuk menjaga Nenekku,&rdq
Beberapa bulan kemudian … “Kesembuhan kaki Anda mengalami kemajuan yang sangat baik, Tuan. Dan Anda akan dapat berjalan kembali namun untuk sementara waktu harus menggunakan tongkat hingga kaki Anda benar-benar bisa berjalan seperti semula,” ucap dokter. “Apakah Tuan Nico masih harus menjalani terapi, Dok?” tanya Almira. “Tentu saja. Tuan Nico tetap harus menjalani terapi hanya saja jadwal terapi yang seminggu dua kali bisa dijadwalkan menjadi seminggu sekali dan sering latihan dirumah, selain itu tetap harus mengkonsumsi obat dan vitamin yang sudah saya berikan,” jelas dokter. ‘Terima kasih, Tuhan. Semoga Nico bisa segera bisa berjalan kembali,’ batin Almira. “Terima kasih, Dok. Kalau begitu kami permisi,” ucap Almira—berpamitan. Almira membantu Nico mendorong kursi rodanya keluar dari ruangan terapi dan menuju ke lobi rumah sakit. Sepanjang perjalanan menuju lobi, Almira dan Nico sama-sama terdiam. Semenjak p
“Hey …,” sapa Almira pada Hanif saat memasuki kamarnya. “Aunty, Al?” jawab Hanif denga tersenyum. “Apa aunty menganggumu, Sayang?” Hanif menggelengkan kepala. “Aku senang aunty kemari. Aku tidak bisa tidur, bisakah aunty menceritakan sebuah dongeng untukku?” Almira menghampiri Hanif—ke tempat tidurnya. “Kemarilah,” ucap Almira. Hanif sedikit mengeser badannya dan menyandarkan kepalanya pada lengan Almira sebagai bantal. “Berdoalah dulu sebelum aunty membacakan dongeng untukmu,” kata Almira yang dijawab anggukkan oleh Hanif. Almira membacakan dongeng Pinokio pada Hanif. Belum habis dongeng yang dibacakan, Hanif sudah tertidur pulas di atas lengannya. Ia lalu meletakkan kepala Hanif di atas batal agar lebih nyaman dan membetulkan posisi selimut agar Hanif lebih merasa hangat. Dari balik pintu, Nando menatap interaksi antara Almira dan putra semata wayangnya. Ada sebuah rasa bahagia yan