“Rin, hari ini jam satu siang datanglah ke kafe Zenith. Ayah sudah mengatur kencan untukmu.”
“Aku tidak mau. Ayah tahu sendiri, aku sedang tidak ingin menjalin hubungan dengan siapa pun saat ini.”
Gadis itu mengaduk sup jamurnya tanpa minat, bukan karena rasanya tidak enak, sup jamur buatan ibunya adalah yang terbaik yang pernah ia santap. Namun, pembicaraan mengenai perjodohan inilah yang membuat nafsu makannya hilang seketika.
“Pria ini bukan orang sembarangan, Rin. Dia tampan, kaya, dan masih muda, kau pasti akan menyukainya.”
“Ayah ...,” rengek Rinjani dengan tatapan memohon.
Dua minggu terakhir, orang tuanya gencar sekali membicarakan soal jodoh dan pernikahan, lalu hari ini, ayahnya tiba-tiba saja memintanya berkencan dengan seseorang yang namanya saja dia tidak tahu. Padahal, sebelum ini semua baik-baik saja, mereka bahkan tidak masalah ketika Rinjani memutuskan menjadi seorang penulis, alih-alih menggunakan gelar sarjana ekonominya untuk mencari pekerjaan lain yang memiliki penghasilan pasti. Mereka juga tidak pernah melayangkan protes karena anaknya lebih sering menghabiskan waktu di kamar, dibandingkan mencari pengalaman di luar rumah.
“Ayah sudah muak melihatku di rumah ini, ya? Atau, ayah mulai mengangapku aku sebagai beban keluarga?”
“Kita sama-sama tahu bukan itu alasannya, Rin,” sahut ayahnya singkat.
“Tapi–”
“Rinjani ... sekali ini saja turuti keinginan kami, ya? Usiamu hampir seperempat abad, Sayang. Kau bahkan tidak pernah dekat dengan siapa pun karena lingkup pergaulanmu yang sempit, kami hanya khawatir soal masa depanmu.” Kali ini sang ibu angkat bicara.
“Ah, ibu sama saja dengan ayah. Apa salahnya, sih, single di usia dua puluh lima tahun? Maksudku, aku wanita normal. Aku hanya belum menemukan seseorang yang cocok. Itu saja.”
“Bagaimana kau bisa menemukan yang klop, jika kau tidak pernah mencarinya, Rin?”
Oke. Ibunya mengatakan kebenaran yang hakiki. Rinjani memang tidak pernah benar-benar mencari seseorang itu, karena dirinya masih ingin menikmati kesendirian. Karirnya sebagai penulis bahkan baru seumur jagung, dan Rinjani pikir menjalin hubungan dengan seseorang hanya akan menganggu waktu produktifnya.
Namun, kalau sudah begini akan semakin sulit untuk menolak permintaan mereka. Rinjani menghela nalas panjang. “Oke. Ini pertama dan terakhir kalinya aku mengabulkan permintaan kalian soal kencan. Aku tidak akan melakukannnya lagi lain kali.”
Camelia dan Adam tersenyum, lalu Camelia mengelus dan mencium rambut ikal putrinya penuh sayang. “Terima kasih, Sayang. Ayah akan memberikan nomor telepon Ben padamu.”
Rinjani mengernyit. “Ben?” tanyanya.
“Kau bisa memanggilnya Ben, Sayang. Kau bisa bertanya nama lengkap dan perkerjaannya saat kalian bertemu besok.”
“Baiklah, terserah kalian saja. Aku sudah selesai makan. Ayah, jangan lupa mengirim kontaknya padaku.”
“Iya, nanti akan ayah kirim sebelum berangkat ke kantor.”
“Aku akan kembali ke kamar. Terima masih atas makanannya, Bu.”
“Hm. Ingat, habis makan jangan langsung rebahan.”
Rinjani mengangguk singkat. Hampir setiap hari ibunya mengatakan hal yang sama, bagaimana mungkin ia bisa lupa?
Sambil bersiul Rinjani melangkah ringan menuju kamarnya di lantai dua, bahkan saat Kevin yang sedang mengerjakan tugas kuliah di ruang keluarga meliriknya dengan pandangan aneh, Rinjani hanya mengerling genit dan memberi adiknya itu ciuman jarak jauh, membuat ia bergidik ngeri.
Bertemu orang asing termasuk dalam hal sulit bagi seorang introvert seperti Rinjani, tapi, akan lebih sulit menolak permintaan kedua orang tuanya terus menerus. Jadi, Rinjani berencana meminta pria yang akan dikenalkan ayahnya itu untuk membantunya membatalkan perjodohan ini. Belum tentu juga si pria tertarik padanya, kan? Kini, semua tampak lebih mudah di mata Rinjani.
Sementara itu, di ruang makan, Camelia dan Adam saling berpandangan. Ada cemas yang telihat jelas di mata keduanya, seolah senyum yang tadi mereka tampilkan di depan Rinjani hanyalah sebuah topeng belaka. Adam merangkum jemari sang istri dalam genggamannya.
“Kau yakin?” tanya Camelia lirih.
“Aku tidak tega mengatakan yang sebenarnya Sayang. Biarkan Ben saja yang memberitahu semuanya.”
“Aku berharap Rinjani cukup kuat untuk menerima kebenarannya.”
Adam mengaminkan dalam hati perkataan istrinya. Matanya menerawang jauh pada peristiwa beberapa bulan lalu, saat sebuah keputusan besar terpaksa di ambilnya. Sebuah usaha untuk menyelamatkan anaknya, melupakan fakta jika keputusan itu menyakiti anaknya yang lain. Adam memejamkan matanya sejenak. Ia hanya kehilangan akal sepersekian menit, tapi, penyesalan mungkin akan menghantuinya seumur hidup.
*****
Rinjani berusaha menenangkan debar jantungnya sebelum mendorong pintu itu, pintu kaca dengan gantungan lonceng yang menimbulkan bunyi ketika dibuka. Sambil matanya menyisir isi kafe, Rinjani membuka ponsel untuk menelpon seseorang yang akan ia temui. Dan, ketika mata keduanya berada dalam satu garis lurus, Rinjani tersenyum kecut, bantu aku ya Tuhan, ringisnya dalam hati.
Pria bermata cokelat itu duduk di ujung kafe yang tidak terlalu ramai, menatapnya tanpa ekspresi, dan terlihat sangat angkuh. Atmosfer di dalam kafe berkonsep vintage yang biasanya menyenangkan itu tiba-tiba saja berubah menegangkan. Rinjani bisa merasakan suhu tubuhnya menurun, seolah darahnya menyusut hingga ke ujung kaki.
Rinjani meremas ujung blusnya untuk mengurangi gugup, lalu segera mendudukan dirinya di kursi kosong di seberang pria itu. Ia menunggu untuk disapa, tapi, pria itu masih saja menatapnya dalam keterdiaman. Rinjani berdecak, sebal juga rasanya ditatap lama-lama dengan cara seperti itu.
“Hai, saya Rinjani. Anda ... Ben?” ucapnya membuka pembicaraan.
Pria itu hanya mengangguk singkat, matanya masih lekat menatap Rinjani, seolah gadis itu akan menghilang jika ia mengerjap sekali saja.
Rinjani berdeham untuk menyamarkan rasa tidak nyamannya. Ayahnya benar, pria itu memiliki kharisma yang bisa membuat anak gadis manapun terpikat padanya hanya dalam sekali pandangan. Matanya tajam dengan alis proposional, rahangnya yang kokoh, juga bibir sensualnya yang terlihat kissable.
Tidak, tidak. Aku sudah melihat yang seperti ini sebelumnya. Victor, Joshua, Darren, mereka bahkan jauh lebih sempurna dari pria itu, batin Rinjani sambil menyebutkan beberapa tokoh dalam novel-novelnya.
Pria itu mengerutkan dahinya melihat gadis di depannya menggeleng kuat-kuat dengan mata terpejam. “Kau baik-baik saja?” tanyanya.
Rinjani menegakkan kepalanya, balik menatap Ben dengan pandangan yang sulit diartikan.
“Baiklah, Ben. Aku yakin kau mengerti maksud kita dipertemukan di sini. Jujur saja, aku sedang tidak tertarik menjalin hubungan apapun dengan siapa pun untuk saat ini. Jadi, bisakah kau membantuku?”
“Bantuan jenis apa?”
“Kau hanya perlu mengatakan pada orang tuamu kalau kau tidak tertarik padaku. Lagi pula, kau pasti juga terpaksa 'kan mengikuti kencan buta ini?”
Pria bermata coklat menaikan satu alisnya, “Apa ayahmu belum memberitahu tentang ini? Aku sudah tidak punya orang tua.”
Damn! Rinjani memejamkan matanya mendengar kalimat yang keluar dari mulut pria itu. Merutuk dalam hati kenapa orang tuanya tidak memberitahu informasi sepenting ini. “Maaf, aku tidak tahu. Tapi, bukankah itu mempermudah segalanya? Maksudku, kau hanya perlu menolak perjodohan ini di depan ayahku. Ayah yang mendesakmu untuk menikahiku 'kan?”
“Sepertinya kau memang tidak tahu apapun. Dengar, tidak ada satu orang pun yang berani mendesakku, termasuk ayahmu.” Pria itu tersenyum sumir. “Pernikahan itu mutlak keinginanku sendiri,” lanjutnya.
“Keinginanmu sendiri kau bilang?! Kau mau menikahi seseorang yang bahkan belum pernah kau temui sebelumnya?!” Rinjani tampak murka mendengar ucapan ringan pria itu.
“Ayahmu memiliki banyak utang padaku, dan satu-satunya jalan untuk melunasinya adalah dirimu. Ya, kau dan pernikahan.” jawab pria itu tenang.
“Utang? Yang benar saja! Tolong jangan katakan hal-hal konyol di sini. Meskipun hanya seorang pegawai sipil, ayahku tidak akan berutang pada siapa pun. Aku sangat memahami gaya hidup orang tuaku. Lagi pula untuk apa ....”
Tunggu sebentar!
Rinjani merasa kepalanya tiba-tiba pening. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Ia mengamati pria di hadapannya, mencari sedikit saja celah kebohongan. Namun, yang ditemukannya adalah tatapan sedingin es yang sulit ditebak.
Suasana menjadi menjadi begitu sunyi, entah karena pengunjung kafe yang telah banyak berkurang, atau karena aura dingin yang dipancarkan pria itu. Rinjani menarik napas dalam-dalam. “Berapa?” tanyanya.
“Dua ratus empat puluh juta.” Mata Rinjani melotot mendengarnya.
“Aku tidak butuh pengembalian berupa materi kalau kau bersikeras ingin membayarnya.” Pria itu mencondongkan badannya ke depan. “Ayahmu sendiri yang menyetujui perjanjian itu, Nona,” bisiknya puas.
“Aku ... aku akan tetap membayarnya. Beri aku waktu, aku pasti bisa melunasi semua utang ayahku.”
Pria itu menyeringai mendengar kalimat impulsif yang di lontarkan Rinjani. Hanya sebentar, karena kemudian mimik wajahnya kembali tanpa ekspresi.
“Utang ayahmu sudah jatuh tempo sejak satu minggu lalu, dalam perjanjian, itu artinya aku berhak menolak pembayaran dalam bentuk apapun, dan berhak memintamu sebagai gantinya.”
Rinjani mendadak kelu. Separuh akal sehatnya menolak untuk percaya, tapi, apa yang ditampilkan mata cokelat itu memperjelas segalanya. Pria itu mungkin tidak berbohong. Tanpa sadar Rinjani mengernyit, menahan kekecewaan yang begitu besar pada orang tuanya.
“Baguslah, sepertinya kau percaya padaku. Memang seperti itu yang terjadi.”
“Apa kau tahu untuk apa ayahku meminjam uang itu?” Rinjani tetap bertanya meskipun sedikit-sedikit ia sudah tahu jawabannya.
“Bukan porsiku untuk menjawab pertanyaan semacam itu, Rinjani. Karena pada dasarnya aku tidak peduli untuk apa uang itu digunakan. Jadi, bagaimana? Kapan kau siap untuk aku nikahi?”
“A–aku perlu waktu untuk berpikir. Kau tahu ini sangat mengejutkanku. Aku juga harus memastikan jika semua perkataanmu bukanlah bualan semata.”
Pria itu menatap tidak suka. “Aku ingin mendengar jawabanmu dua hari dari sekarang. Jika tidak, kau akan tahu akibatnya.”
Rinjani berbalik menatapnya nyalang. “Aku tidak tahu kenapa kau ingin menikahi wanita yang bahkan tidak mengenalmu dengan baik ini. Tapi, kau harus ingat, kalaupun kau berhasil menikahiku, aku tidak akan pernah jatuh hati kepadamu. Tidak akan pernah. Selamanya aku menganggapmu sebagai orang asing yang memaksa masuk dalam hidupku. Tolong, camkan itu baik-baik. Aku permisi.”
Ben memperhatikan sosok Rinjani yang menghilang setelah menaiki taksi, gadis itu bahkan tidak mau repot-repot menanyakan apapun tentang dirinya. Dia mendesah sambil melonggarkan dasinya yang terasa mencekik. Kenyataan jika Rinjani sama sekali tidak mengenalinya membuat Ben frustrasi.
“Rinjani Assa Kalina,“ desisnya penuh penekanan. Jemarinya terkepal erat di atas meja.
Sudah lebih dari delapan tahun Ben menunggu momen ini, saat di mana ia bisa berhadapan lagi dengan gadis itu. Ia melawan ketakutannya sendiri untuk bisa bertemu dengan Rinjani, dan dia tidak bisa mundur lagi. Dia harus mendapatkan Rinjani bagaimanapun caranya.
Ben mengingat bagaimana dulu ia sangat memuja Rinjani, murid kelas sepuluh yang lebih menyukai berdialog dengan sepi, dibanding berinteraksi dengan teman-temannya. Ben tidak mengerti mengapa anak dengan ekonomi menengah ke bawah seperti Rinjani bisa masuk ke SMA Swasta Chouyi yang merupakan sekolah standar internasional. Beberapa bulan kemudian Ben baru memahami bahwa kapasitas otak memang tidak memandang tingkat ekonomi seseorang. Rinjani memenangkan olimpiade matematika internasional tingkat SMA, bayangkan saja, saat itu Rinjani masih berstatus murid baru, tapi, pihak sekolah mempercayainya untuk mengikuti olimpiade. Hal itu membuat Rinjani mendapat beasiswa penuh hingga lulus.
Tepat dua tahun lalu Ben melihat Rinjani lagi setelah sekian lama berkubang dalam pilu kehilangan. Gadis itu tampak dewasa dalam balutan gaun A-line di acara peluncuran buku terbarunya, dengan senyum lebar ia memberikan sedikit sambutan dan menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan penggemarnya dengan begitu lugas. Saat itu, Ben jatuh cinta untuk kedua kalinya.
Bersambung.
“Kenapa ayah tidak mengatakannya dari awal?” Rinjani baru saja menginjakan kakinya di ruang tamu ketika ia menemukan ayahnya dengan tatapan penuh permohonan maaf. Kekecewaannya menguap di udara, seolah bersatu dengan debu dan hilang diterbangkan angin. Ibu yang baru datang dari dapur dengan secangkir teh di tangannya juga sama. Menatapnya penuh penyesalan. “Ayah membutuhkannya untuk biaya transplantasi lever Kevin. Ayah benar-benar minta maaf, Sayang. Kami sudah sangat putus asa saat itu.” Dia sudah menduga ini sebelumnya, namun entah mengapa hati kecilnya tetap tidak bisa menerima alasan apapun. Kenyataan jika ayahnya dan ibunya tega menggadaikannya sebagai jaminan kepada orang asing, benar-benar membuat hati Rinjani terluka. “Bukankah ayah bilang biaya operasi Kevin sepenuhnya ditanggung oleh asuransi?” Masih hangat dalam ingatannya ketika beberapa tahun lalu dokter memberitahu sebuah kabar buruk tentang kesehatan Kevin, adikn
Rinjani tidak tahu kenapa ayahnya selalu melakukan sesuatu tanpa memikirkan risikonya lebih dulu. Ia bisa mengerti jika alasan ayahnya nekat seperti itu adalah demi kebaikan dirinya, tapi, kebaikan macam apa yang justru semakin menambah masalah? Rinjani bahkan sudah memberi tahu bahwa ia akan mengambil tanggung jawab tentang utang itu. Jadi, dia sangat berharap agar orang tuanya berhenti mencemaskannya dan berhenti membuat kekacauan.Berbekal kartu nama yang diberikan Ben, Rinjani berhasil meyakinkan security jika ia memang memiliki janji dengan atasan mereka tersebut. Salah satu security melakukan panggilan intercom untuk menghubungi seseorang, lalu ia memberikan Rinjani kartu untuk mengakses lift khusus staf menuju lantai sembilan, lantai khusus Direktur Utama dan jajaran Direksi. Rinjani hanya tinggal membaca petunjuk arah dan langsung mengerti ke mana harus melangkah.Seorang pria muda dengan setelan formal berwarna abu-abu menyambut
Ben menghabiskan seloki wiski kelimanya dalam sekali tenggak. Di sebuah bar eksklusif bernuansa kemewahan yang kental, pria itu menghabiskan Kamis malamnya ditemani Shannon, sahabatnya, dan juga Panji. Mereka bertiga duduk di bar counter, tapi, hanya Ben dan Shannon yang minum, sedangkan Panji merasa cukup hanya dengan segelas Cola. Berbeda dari bos-nya yang kuat minum hingga berseloki-seloki wiski tanpa mabuk, kadar toleransinya terhadap alkohol memang payah.“Kau serius akan menikahi gadis itu? Maksudku, kau sudah benar-benar siap dengan risikonya?” Shannon bertanya.“Haruskah ku tegaskan sekali lagi? Aku tidak pernah main-main dengan pernikahan, Sha.”“Tapi dua minggu lagi? Bukankah itu terlalu cepat? Tante Margareth juga belum tentu setuju dengan rencanamu.”“Semakin cepat semakin baik. Aku tidak ingin Rinjani berubah pikiran karena kuberi kelonggaran waktu.”“Kau gila
Pernikahan Ben dan Rinjani berjalan lancar. Setelah mengikat janji di hadapan Tuhan, mereka hanya mengadakan resepsi sederhana, sesuai permintaan mempelai wanita. Ya, sederhana versi konglomerat tentu saja masih tergolong mewah bagi Rinjani dan keluarganya. Beruntung, Ben menggunakan jasa WO kenamaan yang memang berkompeten di bidangnya. Kebanyakan tamu yang datang adalah keluarga dekat mereka, serta kolega dan relasi bisnis Ben, karena, sedari awal Rinjani sudah mengatakan tidak punya banyak teman untuk diundang selain teman-teman terdekatnya saat kuliah dan juga beberapa kenalannya di GreenStory Publishing. Tante Margareth juga banyak membantu Rinjani. Wanita akhir lima puluhan itu menerimanya dengan tangan terbuka, tanpa memandang status sosial. Ia mengenalkan pada Rinjani beberapa peraturan dasar dalam keluarga kecil mereka. Mungkin karena tidak memiliki anak kandung, Tante Margareth sudah menganggap Ben seperti putranya sendiri. Ah, su
“Hai, Ben. Hai, Rinjani. Maaf, ya, aku pasti mengganggu kalian,” ujar Shannon sungkan. Tante Margareth tiba-tiba saja muncul dari arah dapur sambil membawa Piring berisi croissant hangat yang harumnya benar-benar menggoda. “Saat aku akan pergi joging, aku melihat mobilnya terparkir di luar. Ternyata anak itu tertidur di dalam mobil, jadi, aku membangunkan dan memintanya untuk masuk. Oh, hey~ kalian bangun agak siang, ya?” tanyanya menggoda. Ben mengabaikan tantenya. Ia masih menatap Shannon penuh tanya. Dari matanya yang sedikit sembap, Ben paham mengapa wanita itu berada di depan rumahnya semalaman. Hanya saja ia tidak menyangka wanita itu akan benar-benar nekat. Ia berganti melirik Rinjani. Benak istrinya pasti sudah dipenuhi pemikiran yang tidak-tidak sekarang.Tentu saja. Hari ini hari pertama setelah pernikahan dan sahabat suaminya ada di ruang makan yang seharusnya menjadi ruang privasi keluarga. Di mana etikanya?
Rinjani setengah berlari menaiki anak tangga luar yang langsung menuju ke lantai dua yang Ben sebut sebagai ruang pribadinya. Ruangan itu mirip seperti apartemen yang memiliki beberapa ruangan, termasuk kamar tidur dan ruang kerja pribadi suaminya. Ruangan itu juga memiliki dua akses keluar-masuk, yaitu melalui lift dalam yang langsung terhubung dengan ruang keluarga di lantai satu, dan yang kedua melalui anak tangga outdoor yang terletak di sebelah selatan bangunan rumah mewah ini. “Kau kelihatan senang sekali,” celetuk Ben yang sedang duduk di kursi pijat sambil menutup majalah bisnis yang sudah selesai ia baca. Rinjani baru pulang dari kantor GreenStory setelah mengikuti briefing untuk acara jumpa penggemar sekaligus peluncuran perdana novelnya yang kedelapan. Bukan itu saja, manajernya juga memberi tahu jika pra-pemesanan novelnya kali ini menembus angka 2000 eksemplar. Jumlah yang fantastis mengingat Rinjani tidak
Rinjani setengah berlari menaiki anak tangga luar yang langsung menuju ke lantai dua yang Ben sebut sebagai ruang pribadinya. Ruangan itu mirip seperti apartemen yang memiliki beberapa ruangan, termasuk kamar tidur dan ruang kerja pribadi suaminya. Ruangan itu juga memiliki dua akses keluar-masuk, yaitu melalui lift dalam yang langsung terhubung dengan ruang keluarga di lantai satu, dan yang kedua melalui anak tangga outdoor yang terletak di sebelah selatan bangunan rumah mewah ini. “Kau kelihatan senang sekali,” celetuk Ben yang sedang duduk di kursi pijat sambil menutup majalah bisnis yang sudah selesai ia baca. Rinjani baru pulang dari kantor GreenStory setelah mengikuti briefing untuk acara jumpa penggemar sekaligus peluncuran perdana novelnya yang kedelapan. Bukan itu saja, manajernya juga memberi tahu jika pra-pemesanan novelnya kali ini menembus angka 2000 eksemplar. Jumlah yang fantastis mengingat Rinjani tidak
“Hai, Ben. Hai, Rinjani. Maaf, ya, aku pasti mengganggu kalian,” ujar Shannon sungkan. Tante Margareth tiba-tiba saja muncul dari arah dapur sambil membawa Piring berisi croissant hangat yang harumnya benar-benar menggoda. “Saat aku akan pergi joging, aku melihat mobilnya terparkir di luar. Ternyata anak itu tertidur di dalam mobil, jadi, aku membangunkan dan memintanya untuk masuk. Oh, hey~ kalian bangun agak siang, ya?” tanyanya menggoda. Ben mengabaikan tantenya. Ia masih menatap Shannon penuh tanya. Dari matanya yang sedikit sembap, Ben paham mengapa wanita itu berada di depan rumahnya semalaman. Hanya saja ia tidak menyangka wanita itu akan benar-benar nekat. Ia berganti melirik Rinjani. Benak istrinya pasti sudah dipenuhi pemikiran yang tidak-tidak sekarang.Tentu saja. Hari ini hari pertama setelah pernikahan dan sahabat suaminya ada di ruang makan yang seharusnya menjadi ruang privasi keluarga. Di mana etikanya?
Pernikahan Ben dan Rinjani berjalan lancar. Setelah mengikat janji di hadapan Tuhan, mereka hanya mengadakan resepsi sederhana, sesuai permintaan mempelai wanita. Ya, sederhana versi konglomerat tentu saja masih tergolong mewah bagi Rinjani dan keluarganya. Beruntung, Ben menggunakan jasa WO kenamaan yang memang berkompeten di bidangnya. Kebanyakan tamu yang datang adalah keluarga dekat mereka, serta kolega dan relasi bisnis Ben, karena, sedari awal Rinjani sudah mengatakan tidak punya banyak teman untuk diundang selain teman-teman terdekatnya saat kuliah dan juga beberapa kenalannya di GreenStory Publishing. Tante Margareth juga banyak membantu Rinjani. Wanita akhir lima puluhan itu menerimanya dengan tangan terbuka, tanpa memandang status sosial. Ia mengenalkan pada Rinjani beberapa peraturan dasar dalam keluarga kecil mereka. Mungkin karena tidak memiliki anak kandung, Tante Margareth sudah menganggap Ben seperti putranya sendiri. Ah, su
Ben menghabiskan seloki wiski kelimanya dalam sekali tenggak. Di sebuah bar eksklusif bernuansa kemewahan yang kental, pria itu menghabiskan Kamis malamnya ditemani Shannon, sahabatnya, dan juga Panji. Mereka bertiga duduk di bar counter, tapi, hanya Ben dan Shannon yang minum, sedangkan Panji merasa cukup hanya dengan segelas Cola. Berbeda dari bos-nya yang kuat minum hingga berseloki-seloki wiski tanpa mabuk, kadar toleransinya terhadap alkohol memang payah.“Kau serius akan menikahi gadis itu? Maksudku, kau sudah benar-benar siap dengan risikonya?” Shannon bertanya.“Haruskah ku tegaskan sekali lagi? Aku tidak pernah main-main dengan pernikahan, Sha.”“Tapi dua minggu lagi? Bukankah itu terlalu cepat? Tante Margareth juga belum tentu setuju dengan rencanamu.”“Semakin cepat semakin baik. Aku tidak ingin Rinjani berubah pikiran karena kuberi kelonggaran waktu.”“Kau gila
Rinjani tidak tahu kenapa ayahnya selalu melakukan sesuatu tanpa memikirkan risikonya lebih dulu. Ia bisa mengerti jika alasan ayahnya nekat seperti itu adalah demi kebaikan dirinya, tapi, kebaikan macam apa yang justru semakin menambah masalah? Rinjani bahkan sudah memberi tahu bahwa ia akan mengambil tanggung jawab tentang utang itu. Jadi, dia sangat berharap agar orang tuanya berhenti mencemaskannya dan berhenti membuat kekacauan.Berbekal kartu nama yang diberikan Ben, Rinjani berhasil meyakinkan security jika ia memang memiliki janji dengan atasan mereka tersebut. Salah satu security melakukan panggilan intercom untuk menghubungi seseorang, lalu ia memberikan Rinjani kartu untuk mengakses lift khusus staf menuju lantai sembilan, lantai khusus Direktur Utama dan jajaran Direksi. Rinjani hanya tinggal membaca petunjuk arah dan langsung mengerti ke mana harus melangkah.Seorang pria muda dengan setelan formal berwarna abu-abu menyambut
“Kenapa ayah tidak mengatakannya dari awal?” Rinjani baru saja menginjakan kakinya di ruang tamu ketika ia menemukan ayahnya dengan tatapan penuh permohonan maaf. Kekecewaannya menguap di udara, seolah bersatu dengan debu dan hilang diterbangkan angin. Ibu yang baru datang dari dapur dengan secangkir teh di tangannya juga sama. Menatapnya penuh penyesalan. “Ayah membutuhkannya untuk biaya transplantasi lever Kevin. Ayah benar-benar minta maaf, Sayang. Kami sudah sangat putus asa saat itu.” Dia sudah menduga ini sebelumnya, namun entah mengapa hati kecilnya tetap tidak bisa menerima alasan apapun. Kenyataan jika ayahnya dan ibunya tega menggadaikannya sebagai jaminan kepada orang asing, benar-benar membuat hati Rinjani terluka. “Bukankah ayah bilang biaya operasi Kevin sepenuhnya ditanggung oleh asuransi?” Masih hangat dalam ingatannya ketika beberapa tahun lalu dokter memberitahu sebuah kabar buruk tentang kesehatan Kevin, adikn
“Rin, hari ini jam satu siang datanglah ke kafe Zenith. Ayah sudah mengatur kencan untukmu.”“Aku tidak mau. Ayah tahu sendiri, aku sedang tidak ingin menjalin hubungan dengan siapa pun saat ini.”Gadis itu mengaduk sup jamurnya tanpa minat, bukan karena rasanya tidak enak, sup jamur buatan ibunya adalah yang terbaik yang pernah ia santap. Namun, pembicaraan mengenai perjodohan inilah yang membuat nafsu makannya hilang seketika.“Pria ini bukan orang sembarangan, Rin. Dia tampan, kaya, dan masih muda, kau pasti akan menyukainya.”“Ayah ...,” rengek Rinjani dengan tatapan memohon.Dua minggu terakhir, orang tuanya gencar sekali membicarakan soal jodoh dan pernikahan, lalu hari ini, ayahnya tiba-tiba saja memintanya berkencan dengan seseorang yang namanya saja dia tidak tahu. Padahal, sebelum ini semua baik-baik saja, mereka bahkan tidak masalah ketika Rinjani memutuskan menjadi seorang pe