Beranda / Romansa / Unbreakable Love / 6. Cemburu? Yang Benar Saja!

Share

6. Cemburu? Yang Benar Saja!

Penulis: Gwen Lestari
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Hai, Ben. Hai, Rinjani. Maaf, ya, aku pasti mengganggu kalian,” ujar Shannon sungkan.

Tante Margareth tiba-tiba saja muncul dari arah dapur sambil membawa Piring berisi croissant hangat yang harumnya benar-benar menggoda.

“Saat aku akan pergi joging, aku melihat mobilnya terparkir di luar. Ternyata anak itu tertidur di dalam mobil, jadi, aku membangunkan dan memintanya untuk masuk. Oh, hey~ kalian bangun agak siang, ya?” tanyanya menggoda.

Ben mengabaikan tantenya. Ia masih menatap Shannon penuh tanya. Dari matanya yang sedikit sembap, Ben paham mengapa wanita itu berada di depan rumahnya semalaman. Hanya saja ia tidak menyangka wanita itu akan benar-benar nekat.

Ia berganti melirik Rinjani. Benak istrinya pasti sudah dipenuhi pemikiran yang tidak-tidak sekarang.

Tentu saja. Hari ini hari pertama setelah pernikahan dan sahabat suaminya ada di ruang makan yang seharusnya menjadi ruang privasi keluarga. Di mana etikanya?

“Jangan seperti itu lagi, Shannon. Badanmu akan sakit jika tidur di dalam mobil.”

“Aku pikir semalam aku terlalu banyak minum. Dan tidak sadar berhenti di depan rumahmu. Sorry,”

Ben terlihat akan mendebat perkataan Shannon, sehingga Tante Margareth buru-buru menengahi keduanya. “Sudah, sudah. Ben, ajak istrimu sarapan, kami sengaja menunggu kalian turun.”

Ben menurut. Ia menarik kursi untuk Rinjani, membuat gadis itu terkesima selama beberapa detik. Apa suaminya memang selalu bersikap semanis itu?

Pelayan wanita yang sedari tadi berdiri menunduk di ujung ruangan bergerak menuang seduhan teh hijau di setiap cangkir nyonya dan tuannya. Lalu datang lagi seseorang yang lebih tua menata menu sarapan mereka di meja makan.

“Silakan, Tuan, Nyonya,” ujarnya sopan sebelum meninggalkan ruang makan.

Rinjani menatap dua potong sandwich dengan isian daging asap kesukaannya, Ia melirik mangkuk milik Ben, milik Tante Margareth, dan juga milik Shannon. Semuanya sama berisi oatmeal yogurt dengan aneka toping buah di atasnya. Rinjani memang tidak terbiasa makan makanan seperti itu. Ibunya selalu menghidangkan nasi goreng, sup, atau sandwich dengan isian daging untuk sarapan.

Namun, ini rumah keluarga Ben, bukan rumahnya sendiri, mereka tahu dari mana jika Rinjani sangat menyukai sandwich?

“Kau pendiam sekali, Rin.”

Tante Margaret membuka percakapan setelah mereka menyelesaikan makan pagi dalam keheningan.

“Tidak sependiam itu, Tante. Mungkin karena aku belum terbiasa saja. Oh, iya, di mana Om Albert?” Rinjani bertanya kembali. Mata berkeliling mencari keberadaan suami Tante Margareth.

“Dia sudah terbang ke Jerman subuh tadi. Ini adalah perjalanan bisnis terakhirnya sebagai delegasi dari Chouyi Group.”

“Om Albert akan pensiun?”

“Bukan hanya Albert, Cantik. Aku juga akan pensiun dini dari perusahaan. Suamimu belum memberitahu, ya? Kami akan pindah ke Australia segera setelah surat pensiun kami resmi dikeluarkan.”

“Om dan Tante akan menghabiskan masa tua mereka di sana, Sayang,” timpal Ben.

“Sungguh tidak sabar menunggu hari itu datang. Aku bahkan sudah mendesain sendiri interior rumahku.”

Rinjani tersenyum melihat mata berbinar Tante Margareth, seolah tinggal di Australia memang sudah menjadi impiannya sejak dulu.

“Pasti akan sangat menyenangkan menghabiskan hari-hari tua bersama suami tercinta.”

Shannon tiba-tiba menyela. “Jika Om Albert pensiun, lalu siapa yang akan menggantikannya sebagai Direktur SMA Chouyi?”

“Miss Erien sebagai manager personalia akan mengambil alih sementara posisi itu, sampai nanti rapat tahunan dewan direksi dilaksanakan.”

“Banyak yang mengincar posisi Om Albert di SMA Chouyi, apa lagi sejak sekolah itu mencetak lulusan terbaik se-Asia Tenggara lebih banyak tahun ini.”

Rinjani meneguk ludahnya sendiri, berpikir kalau saat ini mungkin dirinya terlihat sangat bodoh karena tidak tahu apapun soal Chouyi Group, padahal suaminya adalah CEO perusahaan tersebut. Jadi, selama pembahasan itu, Rinjani hanya menyimak dalam diam.

Dalam keterdiamannya, Rinjani memperhatikan Shannon. Dari caranya dalam mengimbangi obrolan seputar struktur kedudukan di Chouyi Group bersama Tante Margareth, Rinjani bisa menebak seperti apa kedekatan keluarga suaminya dengan wanita itu.

“Kalian lanjutkan mengobrol, aku dan Rinjani akan kembali ke atas.”

Rinjani mengangkat kepalanya hanya untuk mendapati Ben yang menatapnya lembut.

“Aku tahu kau tidak nyaman berada di sana,” ucap Ben tiba-tiba saat mereka sudah memasuki lift.

Rinjani tidak menjawab, hanya semakin mengeratkan genggamannya dalam jemari sang suami. 

*****

“Ben! Berhentilah menatapku seperti itu!” geram Rinjani.

Pasalnya, sedari tadi Ben duduk di sofa sambil terus menatapnya tanpa berkedip, membuat Rinjani yang sedang mengetik sesuatu di laptopnya lama-lama menjadi risih. Dia bahkan sampai memindahkan posisi sofa agar bisa melihat wajah Rinjani secara utuh dari samping.

Ben membiarkan Rinjani menguasai ruang kerjanya hari ini. Baginya sangat menyenangkan melihat gadis itu menekuri layar laptopnya dengan raut serius, kadang dia terlihat bingung, tapi sesaat kemudian kembali antusias memainkan jemarinya di atas papan tik.

“Aku takut kau hilang jika aku mengalihkan pandanganku sedetik saja.”

Mata Rinjani menyipit. “Sejak kapan kau pandai merayu?”

“Sejak menikah denganmu, mungkin?”

“Pembohong! Aku yakin Shannon dan teman wanitamu yang lain pasti pernah mendapat rayuanmu juga.”

Ben tertawa lepas. “Kau cemburu?” godanya.

“Cemburu? Yang benar saja!” ketus Rinjani.

Mereka memutuskan untuk tidak jadi pergi ke manapun hari itu. Ben membiarkan Rinjani menyelesaikan pekerjaannya, sementara dia sibuk memperhatikan Rinjani dari dekat.

Selama ini dia hanya bisa memperhatikan Rinjani dari jauh, tapi, sekarang Rinjani resmi menjadi istrinya. Seseorang yang akan dilihatnya ketika baru membuka mata, dan seseorang yang akan jumpainya menjelang tidur. Seseorang yang bisa dipandanginya setiap saat.

Menyadari hal tersebut Ben tersenyum lagi. Entahlah. Ia juga menjadi mudah sekali tersenyum beberapa hari terakhir.

“Ben,”

“Ya?”

“Aku–”

“Sebentar!” seru Ben memotong ucapan Rinjani.

Pria itu berjalan menuju sebuah lukisan yang menempel di dinding sebelah kanan, lalu ia entah apa yang tekan sehingga lukisan tersebut terangkat ke atas, dan apa yang ada didalamnya membuat Rinjani sangat terkejut.

Di balik lukisan itu ada sebuah lemari besi yang menyatu dengan dinding, melihat Ben yang mendekatkan wajahnya ke lemari besi tersebut, Rinjani yakin keamanannya pasti menggunakan sistem biometrik.

Ben menutup kembali akses brankasnya setelah mengambil beberapa kartu.

“Apa ini?” tanya Rinjani saat Ben mengulurkan kartu-kartu itu padanya.

“Yang hitam ini kartu kredit tidak terbatas, lalu yang ini adalah kartu debit yang akan diisi setiap bulan sebagai bentuk kewajibanku sebagai suami.”

Rinjani tahu jika kartu kredit berwarna hitam itu merupakan kartu kredit internasional, hanya orang tertentu yang bisa memilikinya. Dan, Ben salah satunya. Dia menggeleng lemah.

“Tidak, Ben. Ini berlebihan. Aku hanya akan mengambil kartu debitnya saja,” tolak Rinjani halus.

“Aku tahu penghasilanmu lebih dari cukup untuk membeli apa pun yang kau mau. Tapi, kau juga harus tahu bahwa aku tidak menerima penolakan.” Ben berkata penuh penekanan. Berusaha meyakinkan Rinjani jika ia tidak mau menuruti keinginannya, maka dirinya akan melakukan apa saja untuk membuatnya takluk.

Rinjani menatap tidak suka. Selain sombong, sikap egois dan suka memaksa suaminya adalah yang paling ia benci. Ia benci pada pria yang selalu mengintimidasi pasangannya.

“Aku mengambilnya hanya karena menghargaimu sebagai suamiku.”

Ben tersenyum penuh kemenangan. Ia melihat Rinjani menerima kartu-kartu itu dan memasukannya ke saku.

“Kau ingin mengatakan apa tadi?” Ben teringat jika Rinjani akan menyampaikan sesuatu sebelum ia menyela.

Rinjani terdiam sebentar. Tadinya dia ingin bertanya tentang sejauh mana Ben dan Shannon saling mengenal. Karena Rinjani yakin tidak ada persahabatan antara pria dan wanita yang tidak melibatkan perasaan.

Namun ia ragu. Pantaskah dia yang baru hadir dalam kehidupan Ben bertanya seperti itu? Bukankah nantinya Ben malah akan meledeknya habis-habisan karena menyangka Rinjani sedang cemburu?

“Bukan apa-apa,” jawab Rinjani pada akhirnya.

Bersambung ...

Bab terkait

  • Unbreakable Love   7. Happy With You!

    Rinjani setengah berlari menaiki anak tangga luar yang langsung menuju ke lantai dua yang Ben sebut sebagai ruang pribadinya. Ruangan itu mirip seperti apartemen yang memiliki beberapa ruangan, termasuk kamar tidur dan ruang kerja pribadi suaminya. Ruangan itu juga memiliki dua akses keluar-masuk, yaitu melalui lift dalam yang langsung terhubung dengan ruang keluarga di lantai satu, dan yang kedua melalui anak tangga outdoor yang terletak di sebelah selatan bangunan rumah mewah ini. “Kau kelihatan senang sekali,” celetuk Ben yang sedang duduk di kursi pijat sambil menutup majalah bisnis yang sudah selesai ia baca. Rinjani baru pulang dari kantor GreenStory setelah mengikuti briefing untuk acara jumpa penggemar sekaligus peluncuran perdana novelnya yang kedelapan. Bukan itu saja, manajernya juga memberi tahu jika pra-pemesanan novelnya kali ini menembus angka 2000 eksemplar. Jumlah yang fantastis mengingat Rinjani tidak

  • Unbreakable Love   1. Rinjani dan Takdirnya

    “Rin, hari ini jam satu siang datanglah ke kafe Zenith. Ayah sudah mengatur kencan untukmu.”“Aku tidak mau. Ayah tahu sendiri, aku sedang tidak ingin menjalin hubungan dengan siapa pun saat ini.”Gadis itu mengaduk sup jamurnya tanpa minat, bukan karena rasanya tidak enak, sup jamur buatan ibunya adalah yang terbaik yang pernah ia santap. Namun, pembicaraan mengenai perjodohan inilah yang membuat nafsu makannya hilang seketika.“Pria ini bukan orang sembarangan, Rin. Dia tampan, kaya, dan masih muda, kau pasti akan menyukainya.”“Ayah ...,” rengek Rinjani dengan tatapan memohon.Dua minggu terakhir, orang tuanya gencar sekali membicarakan soal jodoh dan pernikahan, lalu hari ini, ayahnya tiba-tiba saja memintanya berkencan dengan seseorang yang namanya saja dia tidak tahu. Padahal, sebelum ini semua baik-baik saja, mereka bahkan tidak masalah ketika Rinjani memutuskan menjadi seorang pe

  • Unbreakable Love   2. Di Bawah Pohon Tabebuya

    “Kenapa ayah tidak mengatakannya dari awal?” Rinjani baru saja menginjakan kakinya di ruang tamu ketika ia menemukan ayahnya dengan tatapan penuh permohonan maaf. Kekecewaannya menguap di udara, seolah bersatu dengan debu dan hilang diterbangkan angin. Ibu yang baru datang dari dapur dengan secangkir teh di tangannya juga sama. Menatapnya penuh penyesalan. “Ayah membutuhkannya untuk biaya transplantasi lever Kevin. Ayah benar-benar minta maaf, Sayang. Kami sudah sangat putus asa saat itu.” Dia sudah menduga ini sebelumnya, namun entah mengapa hati kecilnya tetap tidak bisa menerima alasan apapun. Kenyataan jika ayahnya dan ibunya tega menggadaikannya sebagai jaminan kepada orang asing, benar-benar membuat hati Rinjani terluka. “Bukankah ayah bilang biaya operasi Kevin sepenuhnya ditanggung oleh asuransi?” Masih hangat dalam ingatannya ketika beberapa tahun lalu dokter memberitahu sebuah kabar buruk tentang kesehatan Kevin, adikn

  • Unbreakable Love   3. Pria yang Tidak Bisa Ditebak

    Rinjani tidak tahu kenapa ayahnya selalu melakukan sesuatu tanpa memikirkan risikonya lebih dulu. Ia bisa mengerti jika alasan ayahnya nekat seperti itu adalah demi kebaikan dirinya, tapi, kebaikan macam apa yang justru semakin menambah masalah? Rinjani bahkan sudah memberi tahu bahwa ia akan mengambil tanggung jawab tentang utang itu. Jadi, dia sangat berharap agar orang tuanya berhenti mencemaskannya dan berhenti membuat kekacauan.Berbekal kartu nama yang diberikan Ben, Rinjani berhasil meyakinkan security jika ia memang memiliki janji dengan atasan mereka tersebut. Salah satu security melakukan panggilan intercom untuk menghubungi seseorang, lalu ia memberikan Rinjani kartu untuk mengakses lift khusus staf menuju lantai sembilan, lantai khusus Direktur Utama dan jajaran Direksi. Rinjani hanya tinggal membaca petunjuk arah dan langsung mengerti ke mana harus melangkah.Seorang pria muda dengan setelan formal berwarna abu-abu menyambut

  • Unbreakable Love   4. Shannon dan Patah Hatinya

    Ben menghabiskan seloki wiski kelimanya dalam sekali tenggak. Di sebuah bar eksklusif bernuansa kemewahan yang kental, pria itu menghabiskan Kamis malamnya ditemani Shannon, sahabatnya, dan juga Panji. Mereka bertiga duduk di bar counter, tapi, hanya Ben dan Shannon yang minum, sedangkan Panji merasa cukup hanya dengan segelas Cola. Berbeda dari bos-nya yang kuat minum hingga berseloki-seloki wiski tanpa mabuk, kadar toleransinya terhadap alkohol memang payah.“Kau serius akan menikahi gadis itu? Maksudku, kau sudah benar-benar siap dengan risikonya?” Shannon bertanya.“Haruskah ku tegaskan sekali lagi? Aku tidak pernah main-main dengan pernikahan, Sha.”“Tapi dua minggu lagi? Bukankah itu terlalu cepat? Tante Margareth juga belum tentu setuju dengan rencanamu.”“Semakin cepat semakin baik. Aku tidak ingin Rinjani berubah pikiran karena kuberi kelonggaran waktu.”“Kau gila

  • Unbreakable Love   5. Setelah Pernikahan

    Pernikahan Ben dan Rinjani berjalan lancar. Setelah mengikat janji di hadapan Tuhan, mereka hanya mengadakan resepsi sederhana, sesuai permintaan mempelai wanita. Ya, sederhana versi konglomerat tentu saja masih tergolong mewah bagi Rinjani dan keluarganya. Beruntung, Ben menggunakan jasa WO kenamaan yang memang berkompeten di bidangnya. Kebanyakan tamu yang datang adalah keluarga dekat mereka, serta kolega dan relasi bisnis Ben, karena, sedari awal Rinjani sudah mengatakan tidak punya banyak teman untuk diundang selain teman-teman terdekatnya saat kuliah dan juga beberapa kenalannya di GreenStory Publishing. Tante Margareth juga banyak membantu Rinjani. Wanita akhir lima puluhan itu menerimanya dengan tangan terbuka, tanpa memandang status sosial. Ia mengenalkan pada Rinjani beberapa peraturan dasar dalam keluarga kecil mereka. Mungkin karena tidak memiliki anak kandung, Tante Margareth sudah menganggap Ben seperti putranya sendiri. Ah, su

Bab terbaru

  • Unbreakable Love   7. Happy With You!

    Rinjani setengah berlari menaiki anak tangga luar yang langsung menuju ke lantai dua yang Ben sebut sebagai ruang pribadinya. Ruangan itu mirip seperti apartemen yang memiliki beberapa ruangan, termasuk kamar tidur dan ruang kerja pribadi suaminya. Ruangan itu juga memiliki dua akses keluar-masuk, yaitu melalui lift dalam yang langsung terhubung dengan ruang keluarga di lantai satu, dan yang kedua melalui anak tangga outdoor yang terletak di sebelah selatan bangunan rumah mewah ini. “Kau kelihatan senang sekali,” celetuk Ben yang sedang duduk di kursi pijat sambil menutup majalah bisnis yang sudah selesai ia baca. Rinjani baru pulang dari kantor GreenStory setelah mengikuti briefing untuk acara jumpa penggemar sekaligus peluncuran perdana novelnya yang kedelapan. Bukan itu saja, manajernya juga memberi tahu jika pra-pemesanan novelnya kali ini menembus angka 2000 eksemplar. Jumlah yang fantastis mengingat Rinjani tidak

  • Unbreakable Love   6. Cemburu? Yang Benar Saja!

    “Hai, Ben. Hai, Rinjani. Maaf, ya, aku pasti mengganggu kalian,” ujar Shannon sungkan. Tante Margareth tiba-tiba saja muncul dari arah dapur sambil membawa Piring berisi croissant hangat yang harumnya benar-benar menggoda. “Saat aku akan pergi joging, aku melihat mobilnya terparkir di luar. Ternyata anak itu tertidur di dalam mobil, jadi, aku membangunkan dan memintanya untuk masuk. Oh, hey~ kalian bangun agak siang, ya?” tanyanya menggoda. Ben mengabaikan tantenya. Ia masih menatap Shannon penuh tanya. Dari matanya yang sedikit sembap, Ben paham mengapa wanita itu berada di depan rumahnya semalaman. Hanya saja ia tidak menyangka wanita itu akan benar-benar nekat. Ia berganti melirik Rinjani. Benak istrinya pasti sudah dipenuhi pemikiran yang tidak-tidak sekarang.Tentu saja. Hari ini hari pertama setelah pernikahan dan sahabat suaminya ada di ruang makan yang seharusnya menjadi ruang privasi keluarga. Di mana etikanya?

  • Unbreakable Love   5. Setelah Pernikahan

    Pernikahan Ben dan Rinjani berjalan lancar. Setelah mengikat janji di hadapan Tuhan, mereka hanya mengadakan resepsi sederhana, sesuai permintaan mempelai wanita. Ya, sederhana versi konglomerat tentu saja masih tergolong mewah bagi Rinjani dan keluarganya. Beruntung, Ben menggunakan jasa WO kenamaan yang memang berkompeten di bidangnya. Kebanyakan tamu yang datang adalah keluarga dekat mereka, serta kolega dan relasi bisnis Ben, karena, sedari awal Rinjani sudah mengatakan tidak punya banyak teman untuk diundang selain teman-teman terdekatnya saat kuliah dan juga beberapa kenalannya di GreenStory Publishing. Tante Margareth juga banyak membantu Rinjani. Wanita akhir lima puluhan itu menerimanya dengan tangan terbuka, tanpa memandang status sosial. Ia mengenalkan pada Rinjani beberapa peraturan dasar dalam keluarga kecil mereka. Mungkin karena tidak memiliki anak kandung, Tante Margareth sudah menganggap Ben seperti putranya sendiri. Ah, su

  • Unbreakable Love   4. Shannon dan Patah Hatinya

    Ben menghabiskan seloki wiski kelimanya dalam sekali tenggak. Di sebuah bar eksklusif bernuansa kemewahan yang kental, pria itu menghabiskan Kamis malamnya ditemani Shannon, sahabatnya, dan juga Panji. Mereka bertiga duduk di bar counter, tapi, hanya Ben dan Shannon yang minum, sedangkan Panji merasa cukup hanya dengan segelas Cola. Berbeda dari bos-nya yang kuat minum hingga berseloki-seloki wiski tanpa mabuk, kadar toleransinya terhadap alkohol memang payah.“Kau serius akan menikahi gadis itu? Maksudku, kau sudah benar-benar siap dengan risikonya?” Shannon bertanya.“Haruskah ku tegaskan sekali lagi? Aku tidak pernah main-main dengan pernikahan, Sha.”“Tapi dua minggu lagi? Bukankah itu terlalu cepat? Tante Margareth juga belum tentu setuju dengan rencanamu.”“Semakin cepat semakin baik. Aku tidak ingin Rinjani berubah pikiran karena kuberi kelonggaran waktu.”“Kau gila

  • Unbreakable Love   3. Pria yang Tidak Bisa Ditebak

    Rinjani tidak tahu kenapa ayahnya selalu melakukan sesuatu tanpa memikirkan risikonya lebih dulu. Ia bisa mengerti jika alasan ayahnya nekat seperti itu adalah demi kebaikan dirinya, tapi, kebaikan macam apa yang justru semakin menambah masalah? Rinjani bahkan sudah memberi tahu bahwa ia akan mengambil tanggung jawab tentang utang itu. Jadi, dia sangat berharap agar orang tuanya berhenti mencemaskannya dan berhenti membuat kekacauan.Berbekal kartu nama yang diberikan Ben, Rinjani berhasil meyakinkan security jika ia memang memiliki janji dengan atasan mereka tersebut. Salah satu security melakukan panggilan intercom untuk menghubungi seseorang, lalu ia memberikan Rinjani kartu untuk mengakses lift khusus staf menuju lantai sembilan, lantai khusus Direktur Utama dan jajaran Direksi. Rinjani hanya tinggal membaca petunjuk arah dan langsung mengerti ke mana harus melangkah.Seorang pria muda dengan setelan formal berwarna abu-abu menyambut

  • Unbreakable Love   2. Di Bawah Pohon Tabebuya

    “Kenapa ayah tidak mengatakannya dari awal?” Rinjani baru saja menginjakan kakinya di ruang tamu ketika ia menemukan ayahnya dengan tatapan penuh permohonan maaf. Kekecewaannya menguap di udara, seolah bersatu dengan debu dan hilang diterbangkan angin. Ibu yang baru datang dari dapur dengan secangkir teh di tangannya juga sama. Menatapnya penuh penyesalan. “Ayah membutuhkannya untuk biaya transplantasi lever Kevin. Ayah benar-benar minta maaf, Sayang. Kami sudah sangat putus asa saat itu.” Dia sudah menduga ini sebelumnya, namun entah mengapa hati kecilnya tetap tidak bisa menerima alasan apapun. Kenyataan jika ayahnya dan ibunya tega menggadaikannya sebagai jaminan kepada orang asing, benar-benar membuat hati Rinjani terluka. “Bukankah ayah bilang biaya operasi Kevin sepenuhnya ditanggung oleh asuransi?” Masih hangat dalam ingatannya ketika beberapa tahun lalu dokter memberitahu sebuah kabar buruk tentang kesehatan Kevin, adikn

  • Unbreakable Love   1. Rinjani dan Takdirnya

    “Rin, hari ini jam satu siang datanglah ke kafe Zenith. Ayah sudah mengatur kencan untukmu.”“Aku tidak mau. Ayah tahu sendiri, aku sedang tidak ingin menjalin hubungan dengan siapa pun saat ini.”Gadis itu mengaduk sup jamurnya tanpa minat, bukan karena rasanya tidak enak, sup jamur buatan ibunya adalah yang terbaik yang pernah ia santap. Namun, pembicaraan mengenai perjodohan inilah yang membuat nafsu makannya hilang seketika.“Pria ini bukan orang sembarangan, Rin. Dia tampan, kaya, dan masih muda, kau pasti akan menyukainya.”“Ayah ...,” rengek Rinjani dengan tatapan memohon.Dua minggu terakhir, orang tuanya gencar sekali membicarakan soal jodoh dan pernikahan, lalu hari ini, ayahnya tiba-tiba saja memintanya berkencan dengan seseorang yang namanya saja dia tidak tahu. Padahal, sebelum ini semua baik-baik saja, mereka bahkan tidak masalah ketika Rinjani memutuskan menjadi seorang pe

DMCA.com Protection Status