Beranda / Romansa / Unbreakable Love / 5. Setelah Pernikahan

Share

5. Setelah Pernikahan

Penulis: Gwen Lestari
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Pernikahan Ben dan Rinjani berjalan lancar. Setelah mengikat janji di hadapan Tuhan, mereka hanya mengadakan resepsi sederhana, sesuai permintaan mempelai wanita. Ya, sederhana versi konglomerat tentu saja masih tergolong mewah bagi Rinjani dan keluarganya. Beruntung, Ben menggunakan jasa WO kenamaan yang memang berkompeten di bidangnya.

Kebanyakan tamu yang datang adalah keluarga dekat mereka, serta kolega dan relasi bisnis Ben, karena, sedari awal Rinjani sudah mengatakan tidak punya banyak teman untuk diundang selain teman-teman terdekatnya saat kuliah dan juga beberapa kenalannya di GreenStory Publishing.

Tante Margareth juga banyak membantu Rinjani. Wanita akhir lima puluhan itu menerimanya dengan tangan terbuka, tanpa memandang status sosial. Ia mengenalkan pada Rinjani beberapa peraturan dasar dalam keluarga kecil mereka.

Mungkin karena tidak memiliki anak kandung, Tante Margareth sudah menganggap Ben seperti putranya sendiri.

Ah, sungguh, Rinjani tidak pernah menyangka hari ini datang juga. Hari di mana dia menjadi istri seseorang. Rasanya dulu menikah adalah suatu ketidakmungkinan, karena dirinya begitu sulit bersosialisasi dan berinteraksi dengan orang baru.

Seperti yang pernah Rinjani katakan, menjalin hubungan serius dengan seseorang tidak pernah mudah, dan mungkin juga bisa menghambat karir menulisnya.

“Kau tidak keberatan tidur seranjang denganku 'kan?”

Rinjani menoleh saat suara berat itu menyapa pendengarannya. Ben dengan piyama sutra yang sewarna dengan yang dipakainya duduk di tepi ranjang.

Gadis itu bingung harus menjawab apa. Kalimat sang ibu beberapa hari lalu tiba-tiba saja terlintas dalam benaknya.

'Rin, meskipun pernikahanmu bukan karena cinta, tapi, ibu yakin Ben bisa menjadi suami yang baik untukmu. Ibu bisa melihat dari matanya yang tulus. Ibu mohon, jangan mengecewakannya, ya?' 

Belum lagi dengan permintaan Ben tempo hari yang diucapkannya dengan sungguh-sungguh. Jadi, Rinjani segera menghapus kebimbangannya.

“A-aku tidak keberatan.” Rinjani menelan ludahnya gugup. “Bahkan, kalau kau ingin lebih dari sekadar tidur, aku juga tidak keberatan. Kau suamiku, kau berhak atas diriku.”

Ben bergeming. Matanya lekat menatap Rinjani tanpa suara, mencari jejak keterpaksaan yang mungkin disembunyikan gadis itu. Namun yang temukannya adalah keteduhan dibalik wajah malu-malu Rinjani. Ia menyunggingkan senyum misterius.“

Lebih dari tidur? Kau tidak sedang berusaha menggodaku 'kan?” tanyanya menggoda.

Rinjani menggeleng cepat. “Aku hanya mencoba berkompromi dengan keadaan. Bukankah kau sendiri yang mengatakan hal itu?”

“Gadis pintar,” pujinya sambil menuntun Rinjani untuk duduk di pangkuannya. Rinjani menurut. Ia merangkulkan tangannya di leher Ben, sementara kakinya melingkari pinggang pria itu. 

Rinjani mengernyit merasakan sensasi aneh yang ikut mengalir dalam darahnya. Debar jantungnya mulai tak beraturan, sebab, saat ini di perutnya seperti ada belasan kupu-kupu beterbangan.

“Kau terlihat tidak yakin.”

“A-aku gugup, Ben. Ini pertama kalinya untukku.”

“Aku akan melakukannya dengan lembut, Sayang.” Ben berkata dengan suaranya yang serak menahan hasrat yang mulai menguasai dirinya.

“Aku akan bertanya sekali lagi. Kau sungguh sudah siap?”

Tanpa ragu Rinjani mengangguk. “Aku memercayaimu, Ben,” sahutnya yakin.

Ketika Rinjani menatapnya dengan cara yang membuat hasratnya meninggi, Ben tidak punya pilihan selain menuruti egonya.

Dikecupnya bibir Rinjani, sekali, dua kali, lalu saat istrinya tidak menunjukan penolakan, Ben menciumnya lagi. Kali ini lebih dalam, lebih bergairah, dan sarat akan cinta, ia mengekplorasi dan mencecap setiap jengkal mulut Rinjani. Seperti dugaannya semula, gadis itu sama sekali tidak memiliki teknik untuk membalas ciumannya.

Ben sengaja tidak mengajari Rinjani bagaimana agar mereka bisa saling memuaskan, membiarkan gadis itu terbiasa dengan gairahnya, karena malam ini, Ben ingin mengambil alih permainan mereka. Pria itu ingin melihat Rinjani tunduk dalam gelombang kenikmatan yang akan ia berikan.

Menjelang dini hari, keduanya melenguh bersamaan saat sesuatu mengisi dinding rahim Rinjani dengan hangat dan penuh. Tubuh polos Rinjani meringkuk dalam dekapan suaminya. Tangan Ben terulur menyibak anak-anak rambut yang menutupi wajah Rinjani, lalu diusapnya peluh di dahi gadis itu.

“Kau cantik,” ujarnya dengan suara parau.

Rinjani menatap Ben. Sisa nyeri yang berpusat di kewanitaannya tidak ada apa-apanya dibanding dengan kenikmatan yang ia dapatkan dari cumbuan Ben yang luar biasa ahli. Walaupun badannya jadi merasa lelah sekali, karena Ben seakan tidak merasa cukup hanya dengan satu sesi percintaan.

“Kau juga tampan,” sahutnya.

“Nikmat?”

Pipi Rinjani bersemu, ia mengangguk samar sambil menenggelamkan wajahnya di dada bidang Ben. Membuat pria itu terkekeh.

Ben tidak bercanda soal 'pernikahan normal', karena malam ini, mereka benar-benar melakukan malam pertama tanpa ada pihak yang merasa terpaksa.

Menyadari jika napas Rinjani yang sudah teratur, Ben mencium keningnya dan mempererat pelukan mereka. Sebelum pada akhirnya ikut menyusul istrinya ke alam mimpi.

*****

Ben dan Rinjani tidak akan pernah tahu bahwa di malam itu, Shannon berada di luar rumah mereka, duduk di dalam mobilnya untuk waktu yang cukup lama, sambil menatap satu kamar di lantai dua yang lampunya masih menyala.

Ia sangat paham apa yang sedang pemilik rumah dan istrinya lakukan di sana. Gadis itu terisak. Ia tidak pernah merasa sekalah ini sebelumnya. Tidak pernah pula merasakan sakit hati sehebat ini.

Seandainya dulu ia menerima lamaran Ben tanpa mengindahkan bahwa ada nama wanita lain di hati pria itu, apakah saat ini dia yang akan berada di sana bersama Ben?

Shannon tertawa sumbang. Menyadari kebodohannya dan juga hidupnya yang tidak beruntung.

“Kau tidak akan pernah tahu, Ben. Rasanya memiliki segalanya tapi hatimu tetap merasa kosong.”

*****

“Kau kenapa, Sayang?” tanya Ben begitu ke luar dari kamar mandi dan melihat Rinjani sedang memandangi ranjang mereka yang masih berantakan hasil pertempuran mereka semalam.

“Ben,” panggil gadis itu lirih.

"Ya? Kau kenapa? Kau sakit?” Pria itu melangkah mendekati istrinya dengan raut Khawatir.

“Ben, aku tidak berdarah,” Rinjani mengangkat kepala untuk melihat reaksi suaminya.

“Darah?” Ben mengalihkan pandangannya ke ranjang. “Oh~ Aku mengerti.”

Rinjani baru menyadarinya tadi saat akan mengganti seprai, ia tidak menemukan bercak darah seperti seharusnya seorang perawan yang baru pertama kali melakukan hubungan badan.

Dia tidak meragukan keperawanannya sendiri, karena semalam Ben bahkan sedikit kesulitan melakukan penetrasi. Rinjani hanya sangsi pada reaksi suaminya setelah tahu hal ini.

Pria itu tersenyum menenangkan. “Rin, kau harus tahu kalau tidak semua perawan mengeluarkan darah saat pertama kali melakukannya. Itu hal yang wajar. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Sayang,” ucapnya lembut.

Gadis itu masih terlihat cemas. Takut kalau Ben diam-diam memiliki prasangka buruk padanya.

“Tapi, Ben–”

“Aku percaya padamu seperti kau percaya padaku, Rin. Jangan dipikirkan lagi. Biarkan asisten rumah tangga yang membereskan ini semua. Kau bersiaplah, karena setelah sarapan, kita akan pergi ke suatu tempat.”

Rinjani mengerutkan dahi. “Ke mana?”

“Ibu bilang kau sangat ingin berlibur ke Finlandia.”

“Ibu? Sejak kapan kau dekat dengan ibuku?" tanyanya heran.

Ben tersenyum, tangannya terulur mengacak pucuk kepala Rinjani.

Membuat gadis itu mencebik kesal karena rambutnya baru saja dikeringkan. Namun, sedetik kemudian dia malah tersipu karena Ben memberinya kecupan selamat pagi.

“Aku bertanya padanya kira-kira negara mana yang paling ingin kau kunjungi, karena aku akan membawamu ke sana untuk bulan madu. Dan, dia menjawab finlandia,” terang Ben.

“Ya, dia benar, Ben. Aku memang sangat ingin pergi ke Finlandia, tapi, bukan hanya untuk liburan.”

“Lalu?”

“Lupakan saja. Aku tidak mau kau repot-repot menghabiskan uang untuk menuruti keinginanku yang tidak masuk akal.”

“Katakanlah. Kau tahu uang tidak pernah jadi masalah dalam hidupku,” ucap Ben.

Pria itu beranjak menuju walk in closetnya yang luas dan berisi barang-barang bermerek. Ben berpikir jika ia harus mengatur ulang ruangan tersebut, sebab sebentar lagi, ruangan yang dibatasi kaca tebal itu juga akan dipenuhi oleh baju, sepatu, dan aksesoris milik Rinjani.

“Dasar sombong!” Rinjani memaki lirih. “Tapi, aku rasa aku tidak bisa bepergian jauh dalam bulan ini,” ujar Rinjani dengan suara agak keras. Ia berjalan menghampiri Ben, dan duduk di sofa yang membelakangi pria itu.

Ben menatapnya penuh tanya. “Kenapa?”

“Novelku tertunda karena aku belum menuntaskan revisi. Aku harus segera menyelesaikan secepat mungkin, karena peluncurannya akan dilakukan bersama acara jumpa penggemar bulan depan. It's okay, Ben?”

“Tentu saja tidak apa-apa, Sayang. Kita bisa menjadwalkan ulang semuanya,”

Ben dan Rinjani kemudian turun ke lantai satu menggunakan lift untuk sarapan bersama. Sebenarnya, ini sudah terlambat untuk disebut sarapan, karena waktu telah menunjukan pukul sembilan. Rinjani menyalahkan Ben yang terus bergelung memeluknya hingga mereka bangun kesiangan.

“Shannon?”

Rinjani tercengang ketika melihat seorang wanita cantik sedang duduk anggun di ruang makan keluarga Ben. Wanita yang suaminya kenalkan sebagai sahabat di hari pernikahan mereka kemarin. Rinjani melirik ekspresi suaminya. Dia juga terlihat sedikit terkejut atas kehadiran wanita itu di sana.

Bersambung

Bab terkait

  • Unbreakable Love   6. Cemburu? Yang Benar Saja!

    “Hai, Ben. Hai, Rinjani. Maaf, ya, aku pasti mengganggu kalian,” ujar Shannon sungkan. Tante Margareth tiba-tiba saja muncul dari arah dapur sambil membawa Piring berisi croissant hangat yang harumnya benar-benar menggoda. “Saat aku akan pergi joging, aku melihat mobilnya terparkir di luar. Ternyata anak itu tertidur di dalam mobil, jadi, aku membangunkan dan memintanya untuk masuk. Oh, hey~ kalian bangun agak siang, ya?” tanyanya menggoda. Ben mengabaikan tantenya. Ia masih menatap Shannon penuh tanya. Dari matanya yang sedikit sembap, Ben paham mengapa wanita itu berada di depan rumahnya semalaman. Hanya saja ia tidak menyangka wanita itu akan benar-benar nekat. Ia berganti melirik Rinjani. Benak istrinya pasti sudah dipenuhi pemikiran yang tidak-tidak sekarang.Tentu saja. Hari ini hari pertama setelah pernikahan dan sahabat suaminya ada di ruang makan yang seharusnya menjadi ruang privasi keluarga. Di mana etikanya?

  • Unbreakable Love   7. Happy With You!

    Rinjani setengah berlari menaiki anak tangga luar yang langsung menuju ke lantai dua yang Ben sebut sebagai ruang pribadinya. Ruangan itu mirip seperti apartemen yang memiliki beberapa ruangan, termasuk kamar tidur dan ruang kerja pribadi suaminya. Ruangan itu juga memiliki dua akses keluar-masuk, yaitu melalui lift dalam yang langsung terhubung dengan ruang keluarga di lantai satu, dan yang kedua melalui anak tangga outdoor yang terletak di sebelah selatan bangunan rumah mewah ini. “Kau kelihatan senang sekali,” celetuk Ben yang sedang duduk di kursi pijat sambil menutup majalah bisnis yang sudah selesai ia baca. Rinjani baru pulang dari kantor GreenStory setelah mengikuti briefing untuk acara jumpa penggemar sekaligus peluncuran perdana novelnya yang kedelapan. Bukan itu saja, manajernya juga memberi tahu jika pra-pemesanan novelnya kali ini menembus angka 2000 eksemplar. Jumlah yang fantastis mengingat Rinjani tidak

  • Unbreakable Love   1. Rinjani dan Takdirnya

    “Rin, hari ini jam satu siang datanglah ke kafe Zenith. Ayah sudah mengatur kencan untukmu.”“Aku tidak mau. Ayah tahu sendiri, aku sedang tidak ingin menjalin hubungan dengan siapa pun saat ini.”Gadis itu mengaduk sup jamurnya tanpa minat, bukan karena rasanya tidak enak, sup jamur buatan ibunya adalah yang terbaik yang pernah ia santap. Namun, pembicaraan mengenai perjodohan inilah yang membuat nafsu makannya hilang seketika.“Pria ini bukan orang sembarangan, Rin. Dia tampan, kaya, dan masih muda, kau pasti akan menyukainya.”“Ayah ...,” rengek Rinjani dengan tatapan memohon.Dua minggu terakhir, orang tuanya gencar sekali membicarakan soal jodoh dan pernikahan, lalu hari ini, ayahnya tiba-tiba saja memintanya berkencan dengan seseorang yang namanya saja dia tidak tahu. Padahal, sebelum ini semua baik-baik saja, mereka bahkan tidak masalah ketika Rinjani memutuskan menjadi seorang pe

  • Unbreakable Love   2. Di Bawah Pohon Tabebuya

    “Kenapa ayah tidak mengatakannya dari awal?” Rinjani baru saja menginjakan kakinya di ruang tamu ketika ia menemukan ayahnya dengan tatapan penuh permohonan maaf. Kekecewaannya menguap di udara, seolah bersatu dengan debu dan hilang diterbangkan angin. Ibu yang baru datang dari dapur dengan secangkir teh di tangannya juga sama. Menatapnya penuh penyesalan. “Ayah membutuhkannya untuk biaya transplantasi lever Kevin. Ayah benar-benar minta maaf, Sayang. Kami sudah sangat putus asa saat itu.” Dia sudah menduga ini sebelumnya, namun entah mengapa hati kecilnya tetap tidak bisa menerima alasan apapun. Kenyataan jika ayahnya dan ibunya tega menggadaikannya sebagai jaminan kepada orang asing, benar-benar membuat hati Rinjani terluka. “Bukankah ayah bilang biaya operasi Kevin sepenuhnya ditanggung oleh asuransi?” Masih hangat dalam ingatannya ketika beberapa tahun lalu dokter memberitahu sebuah kabar buruk tentang kesehatan Kevin, adikn

  • Unbreakable Love   3. Pria yang Tidak Bisa Ditebak

    Rinjani tidak tahu kenapa ayahnya selalu melakukan sesuatu tanpa memikirkan risikonya lebih dulu. Ia bisa mengerti jika alasan ayahnya nekat seperti itu adalah demi kebaikan dirinya, tapi, kebaikan macam apa yang justru semakin menambah masalah? Rinjani bahkan sudah memberi tahu bahwa ia akan mengambil tanggung jawab tentang utang itu. Jadi, dia sangat berharap agar orang tuanya berhenti mencemaskannya dan berhenti membuat kekacauan.Berbekal kartu nama yang diberikan Ben, Rinjani berhasil meyakinkan security jika ia memang memiliki janji dengan atasan mereka tersebut. Salah satu security melakukan panggilan intercom untuk menghubungi seseorang, lalu ia memberikan Rinjani kartu untuk mengakses lift khusus staf menuju lantai sembilan, lantai khusus Direktur Utama dan jajaran Direksi. Rinjani hanya tinggal membaca petunjuk arah dan langsung mengerti ke mana harus melangkah.Seorang pria muda dengan setelan formal berwarna abu-abu menyambut

  • Unbreakable Love   4. Shannon dan Patah Hatinya

    Ben menghabiskan seloki wiski kelimanya dalam sekali tenggak. Di sebuah bar eksklusif bernuansa kemewahan yang kental, pria itu menghabiskan Kamis malamnya ditemani Shannon, sahabatnya, dan juga Panji. Mereka bertiga duduk di bar counter, tapi, hanya Ben dan Shannon yang minum, sedangkan Panji merasa cukup hanya dengan segelas Cola. Berbeda dari bos-nya yang kuat minum hingga berseloki-seloki wiski tanpa mabuk, kadar toleransinya terhadap alkohol memang payah.“Kau serius akan menikahi gadis itu? Maksudku, kau sudah benar-benar siap dengan risikonya?” Shannon bertanya.“Haruskah ku tegaskan sekali lagi? Aku tidak pernah main-main dengan pernikahan, Sha.”“Tapi dua minggu lagi? Bukankah itu terlalu cepat? Tante Margareth juga belum tentu setuju dengan rencanamu.”“Semakin cepat semakin baik. Aku tidak ingin Rinjani berubah pikiran karena kuberi kelonggaran waktu.”“Kau gila

Bab terbaru

  • Unbreakable Love   7. Happy With You!

    Rinjani setengah berlari menaiki anak tangga luar yang langsung menuju ke lantai dua yang Ben sebut sebagai ruang pribadinya. Ruangan itu mirip seperti apartemen yang memiliki beberapa ruangan, termasuk kamar tidur dan ruang kerja pribadi suaminya. Ruangan itu juga memiliki dua akses keluar-masuk, yaitu melalui lift dalam yang langsung terhubung dengan ruang keluarga di lantai satu, dan yang kedua melalui anak tangga outdoor yang terletak di sebelah selatan bangunan rumah mewah ini. “Kau kelihatan senang sekali,” celetuk Ben yang sedang duduk di kursi pijat sambil menutup majalah bisnis yang sudah selesai ia baca. Rinjani baru pulang dari kantor GreenStory setelah mengikuti briefing untuk acara jumpa penggemar sekaligus peluncuran perdana novelnya yang kedelapan. Bukan itu saja, manajernya juga memberi tahu jika pra-pemesanan novelnya kali ini menembus angka 2000 eksemplar. Jumlah yang fantastis mengingat Rinjani tidak

  • Unbreakable Love   6. Cemburu? Yang Benar Saja!

    “Hai, Ben. Hai, Rinjani. Maaf, ya, aku pasti mengganggu kalian,” ujar Shannon sungkan. Tante Margareth tiba-tiba saja muncul dari arah dapur sambil membawa Piring berisi croissant hangat yang harumnya benar-benar menggoda. “Saat aku akan pergi joging, aku melihat mobilnya terparkir di luar. Ternyata anak itu tertidur di dalam mobil, jadi, aku membangunkan dan memintanya untuk masuk. Oh, hey~ kalian bangun agak siang, ya?” tanyanya menggoda. Ben mengabaikan tantenya. Ia masih menatap Shannon penuh tanya. Dari matanya yang sedikit sembap, Ben paham mengapa wanita itu berada di depan rumahnya semalaman. Hanya saja ia tidak menyangka wanita itu akan benar-benar nekat. Ia berganti melirik Rinjani. Benak istrinya pasti sudah dipenuhi pemikiran yang tidak-tidak sekarang.Tentu saja. Hari ini hari pertama setelah pernikahan dan sahabat suaminya ada di ruang makan yang seharusnya menjadi ruang privasi keluarga. Di mana etikanya?

  • Unbreakable Love   5. Setelah Pernikahan

    Pernikahan Ben dan Rinjani berjalan lancar. Setelah mengikat janji di hadapan Tuhan, mereka hanya mengadakan resepsi sederhana, sesuai permintaan mempelai wanita. Ya, sederhana versi konglomerat tentu saja masih tergolong mewah bagi Rinjani dan keluarganya. Beruntung, Ben menggunakan jasa WO kenamaan yang memang berkompeten di bidangnya. Kebanyakan tamu yang datang adalah keluarga dekat mereka, serta kolega dan relasi bisnis Ben, karena, sedari awal Rinjani sudah mengatakan tidak punya banyak teman untuk diundang selain teman-teman terdekatnya saat kuliah dan juga beberapa kenalannya di GreenStory Publishing. Tante Margareth juga banyak membantu Rinjani. Wanita akhir lima puluhan itu menerimanya dengan tangan terbuka, tanpa memandang status sosial. Ia mengenalkan pada Rinjani beberapa peraturan dasar dalam keluarga kecil mereka. Mungkin karena tidak memiliki anak kandung, Tante Margareth sudah menganggap Ben seperti putranya sendiri. Ah, su

  • Unbreakable Love   4. Shannon dan Patah Hatinya

    Ben menghabiskan seloki wiski kelimanya dalam sekali tenggak. Di sebuah bar eksklusif bernuansa kemewahan yang kental, pria itu menghabiskan Kamis malamnya ditemani Shannon, sahabatnya, dan juga Panji. Mereka bertiga duduk di bar counter, tapi, hanya Ben dan Shannon yang minum, sedangkan Panji merasa cukup hanya dengan segelas Cola. Berbeda dari bos-nya yang kuat minum hingga berseloki-seloki wiski tanpa mabuk, kadar toleransinya terhadap alkohol memang payah.“Kau serius akan menikahi gadis itu? Maksudku, kau sudah benar-benar siap dengan risikonya?” Shannon bertanya.“Haruskah ku tegaskan sekali lagi? Aku tidak pernah main-main dengan pernikahan, Sha.”“Tapi dua minggu lagi? Bukankah itu terlalu cepat? Tante Margareth juga belum tentu setuju dengan rencanamu.”“Semakin cepat semakin baik. Aku tidak ingin Rinjani berubah pikiran karena kuberi kelonggaran waktu.”“Kau gila

  • Unbreakable Love   3. Pria yang Tidak Bisa Ditebak

    Rinjani tidak tahu kenapa ayahnya selalu melakukan sesuatu tanpa memikirkan risikonya lebih dulu. Ia bisa mengerti jika alasan ayahnya nekat seperti itu adalah demi kebaikan dirinya, tapi, kebaikan macam apa yang justru semakin menambah masalah? Rinjani bahkan sudah memberi tahu bahwa ia akan mengambil tanggung jawab tentang utang itu. Jadi, dia sangat berharap agar orang tuanya berhenti mencemaskannya dan berhenti membuat kekacauan.Berbekal kartu nama yang diberikan Ben, Rinjani berhasil meyakinkan security jika ia memang memiliki janji dengan atasan mereka tersebut. Salah satu security melakukan panggilan intercom untuk menghubungi seseorang, lalu ia memberikan Rinjani kartu untuk mengakses lift khusus staf menuju lantai sembilan, lantai khusus Direktur Utama dan jajaran Direksi. Rinjani hanya tinggal membaca petunjuk arah dan langsung mengerti ke mana harus melangkah.Seorang pria muda dengan setelan formal berwarna abu-abu menyambut

  • Unbreakable Love   2. Di Bawah Pohon Tabebuya

    “Kenapa ayah tidak mengatakannya dari awal?” Rinjani baru saja menginjakan kakinya di ruang tamu ketika ia menemukan ayahnya dengan tatapan penuh permohonan maaf. Kekecewaannya menguap di udara, seolah bersatu dengan debu dan hilang diterbangkan angin. Ibu yang baru datang dari dapur dengan secangkir teh di tangannya juga sama. Menatapnya penuh penyesalan. “Ayah membutuhkannya untuk biaya transplantasi lever Kevin. Ayah benar-benar minta maaf, Sayang. Kami sudah sangat putus asa saat itu.” Dia sudah menduga ini sebelumnya, namun entah mengapa hati kecilnya tetap tidak bisa menerima alasan apapun. Kenyataan jika ayahnya dan ibunya tega menggadaikannya sebagai jaminan kepada orang asing, benar-benar membuat hati Rinjani terluka. “Bukankah ayah bilang biaya operasi Kevin sepenuhnya ditanggung oleh asuransi?” Masih hangat dalam ingatannya ketika beberapa tahun lalu dokter memberitahu sebuah kabar buruk tentang kesehatan Kevin, adikn

  • Unbreakable Love   1. Rinjani dan Takdirnya

    “Rin, hari ini jam satu siang datanglah ke kafe Zenith. Ayah sudah mengatur kencan untukmu.”“Aku tidak mau. Ayah tahu sendiri, aku sedang tidak ingin menjalin hubungan dengan siapa pun saat ini.”Gadis itu mengaduk sup jamurnya tanpa minat, bukan karena rasanya tidak enak, sup jamur buatan ibunya adalah yang terbaik yang pernah ia santap. Namun, pembicaraan mengenai perjodohan inilah yang membuat nafsu makannya hilang seketika.“Pria ini bukan orang sembarangan, Rin. Dia tampan, kaya, dan masih muda, kau pasti akan menyukainya.”“Ayah ...,” rengek Rinjani dengan tatapan memohon.Dua minggu terakhir, orang tuanya gencar sekali membicarakan soal jodoh dan pernikahan, lalu hari ini, ayahnya tiba-tiba saja memintanya berkencan dengan seseorang yang namanya saja dia tidak tahu. Padahal, sebelum ini semua baik-baik saja, mereka bahkan tidak masalah ketika Rinjani memutuskan menjadi seorang pe

DMCA.com Protection Status