Rinjani tidak tahu kenapa ayahnya selalu melakukan sesuatu tanpa memikirkan risikonya lebih dulu. Ia bisa mengerti jika alasan ayahnya nekat seperti itu adalah demi kebaikan dirinya, tapi, kebaikan macam apa yang justru semakin menambah masalah? Rinjani bahkan sudah memberi tahu bahwa ia akan mengambil tanggung jawab tentang utang itu. Jadi, dia sangat berharap agar orang tuanya berhenti mencemaskannya dan berhenti membuat kekacauan.
Berbekal kartu nama yang diberikan Ben, Rinjani berhasil meyakinkan security jika ia memang memiliki janji dengan atasan mereka tersebut. Salah satu security melakukan panggilan intercom untuk menghubungi seseorang, lalu ia memberikan Rinjani kartu untuk mengakses lift khusus staf menuju lantai sembilan, lantai khusus Direktur Utama dan jajaran Direksi. Rinjani hanya tinggal membaca petunjuk arah dan langsung mengerti ke mana harus melangkah.
Seorang pria muda dengan setelan formal berwarna abu-abu menyambut Rinjani di depan ruangan Direktur utama, raut wajahnya terlihat tegang sekali. Ia lalu membukakan pintu besar itu dan menyilakan Rinjani untuk masuk.
Betapa hancur hati Rinjani melihat ayah yang sangat dicintainya sedang berlutut di tengah ruangan, tangannya terangkum terkepal di depan dada, seolah-olah sedang memohon agar keinginannya terkabul. Sementara Ben hanya duduk menatap datar Rinjani dari atas kursi kebesarannya. Rinjani marah bukan main, dengan cepat ia menghampiri ayahnya.
“Berdiri, Ayah!!! Ayah pikir apa yang sedang ayah lakukan, hah?!” ia menarik paksa lengan ayahnya, tapi, dalam sekali hentakan, tarikannya terlepas. Ayahnya menolak untuk menyerah.
“Putri saya tidak memiliki kesalahan apapun. Kalau ada yang harus dihukum itu saya, bukan Rinjani. Saya mohon lepaskan dia, Tuan.”
“Ayah!” teriaknya sekali lagi. Air matanya luruh bersamaan dengan kalimat-kalimat permohonan yang dilontarkan ayahnya. “Aku bilang aku akan menanggung semuanya, Ayah. Aku mohon jangan seperti ini.”
“Pulanglah, Pak. Putri anda sudah bersedia menikah dengan saya,” ujar Ben tenang. “Lagi pula, bukankah seharusnya anda senang? Calon menantu anda adalah seseorang yang hartanya tidak akan habis tujuh turunan. Putri anda akan diperlakukan seperti seorang ratu, dia akan mendapat penghormatan dari banyak orang. Dia, Rinjani, akan bahagia ketika menyadari berapa banyak yang bisa saya beri untuknya. Anda dan keluarga anda juga akan hidup tanpa kekurangan apapun.”
“Tapi putri saya tidak mencintai anda, Tuan.”
Wajah Ben menggelap hanya karena satu kalimat sederhana. Pria itu ternyata sudah bangkit dari kursinya, memutari meja dan berdiri di hadapan Rinjani.
“Persetan dengan cinta! Yang jelas anda telah menjual Rinjani kepada saya.” Ben terlalu fokus pada arogansinya sampai tidak memperhatikan ekspresi terluka Rinjani. “Oh~ Satu lagi yang perlu anda ingat, Pak. Saya tidak menghukum siapa pun. Saya hanya mengambil apa yang seharusnya menjadi milik saya. Itu saja.”
Suara tamparan menggema di setiap sudut ruangan begitu Ben selesai dengan kalimatnya. Rinjani menggamparnya tanpa tedeng aling-aling. Ia mengusap rahangnya yang terasa panas, perih, tapi belum apa-apa jika dibandingkan dengan kilatan luka bercampur amarah yang ia tangkap dari mata gadis itu. Ben tersenyum miring. Ini kali kedua seorang gadis menamparnya dan ia hanya diam. Ironisnya, mereka adalah orang yang sama.
Rinjani menghapus kasar air mata di pipinya, lalu menatap kosong pada ayahnya yang masih dalam posisi memohon. “Bangun, Ayah. Aku akan menikah dengannya minggu depan. Utang kita sudah lunas. Ayo pulang, ibu sudah menunggu di rumah, ” ucapnya lembut.
Ayahnya tidak menolak lagi, Rinjani mengapit lengan ayahnya, dan menuntunnya berjalan keluar dari ruangan Ben tanpa sepatah katapun. Di luar, si pria sekretaris menatapnya iba. Rinjani menundukkan kepalanya sesaat sebagai tanda kesopanan. Lalu segera mempercepat langkahnya memasuki lift meninggalkan lantai sembilan.
Ben terdiam beberapa saat, lalu dengan letih dia bersandar di kursi sambil memejamkan mata. Ia hilang kontrol saat ayah Rinjani datang ke kantornya dan menyerahkan diri untuk dipenjara. Ben sangat kalut, khawatir jika rencananya untuk mendapatkan Rinjani gagal karena hal sepele.
Bukan salah gadis itu jika sekarang hatinya sesak bukan main. Menghadapi Rinjani memang tidak pernah mudah untuknya. Sekarang, ia merasa salah melangkah. Terlalu gegabah untuk sesuatu yang seharusnya diperjuangkan dengan hati-hati.
Dalam hidupnya belum pernah Ben menemui kesulitan yang berarti. Apa yang ia kehendaki selalu berhasil ia raih. Apalagi soal wanita. Ketampanannya sudah tersohor di kalangan para pebisnis dan petinggi negara. Tanyakan saja pada pamannya berapa banyak kolega yang ingin menjodohkan putri mereka dengan Richard Benedict disertai iming-iming kerja sama yang menggiurkan. Namun, Ben bukan jenis orang yang kehausan uang. Ia terbiasa membeli, bukan dibeli.
Percuma saja! hardiknya dalam hati.
Sejak dulu ketampanan dan kekayaannya tidak pernah bisa menyentuh Rinjani secara nyata. Ia seperti tak kasatmata bagi gadis itu. Ya, mendapatkan Rinjani adalah satu-satunya kesulitan dalam hidup Ben yang tidak pernah berhasil dilewatinya.
Ben menekan tombol intercom yang langsung terhubung dengan Panji, sekretaris sekaligus asisten pribadinya.
“Tolong agendakan pertemuan makan malam dengan Tante Margareth besok. Katakan padanya aku akan memperkenalkan calon istriku.”
“Baik, Pak. Ada lagi yang bisa saya bantu?”
“Tidak ada. Lain kali, selain gadis yang kau lihat tadi, jangan biarkan siapa pun masuk tanpa izin dariku.”
“Baik, Pak.”
Sambungan itu terputus. Ben tersenyum penuh arti. “Sebentar lagi, Rinjani. Sebentar lagi kau akan sepenuhnya menjadi milikku. Dan, ketika saat tiba, aku bersumpah tidak akan pernah melepaskanmu,” gumamnya penuh tekad.
*****
Suasana hati Rinjani benar-benar buruk hari ini. Rasanya seperti tidak punya gairah hidup sama sekali. Bahkan untuk mengerjakan revisian dari Evie saja dirasa sangat berat. Sepulangnya dari kantor Ben, yang ia lakukan hanya berguling-guling tidak jelas di atas ranjang sambil sesekali melamun. Entah sudah berapa kali pula dia melakukan meditasi yang berujung rebahan lagi. Dan sekarang, perutnya menjerit minta diisi padahal waktu sudah menunjukan pukul setengah dua belas malam. Rinjani melenguh panjang, kemudian dengan malas pergi ke dapur untuk mengambil camilan.
Saat kembali dari dapur, Rinjani baru menyadari adiknya masih berkutat dengan tugas kuliah di ruang keluarga. Kemarin, saat mendengar ayah berutang untuk membayar biaya operasinya, Kevin sempat murung dan menyalahkan dirinya sendiri, anak laki-laki yang hanya berjarak empat tahun darinya itu berkali-kali meminta maaf. Rinjani tersenyum sumir. Sungguh dia tidak pernah menyalahkan Kevin atas apa yang telah terjadi.
“Jangan begadang, Kev. Kesehatanmu jauh lebih penting daripada tugas itu,” ujarnya lembut sambil meletakan secangkir teh herbal dan macaron di atas meja, lalu duduk bersila di lantai.
“Sedikit lagi selesai, Kak.” Kevin menatap lekat wajah kakaknya yang masih sembap. Perasaan iba bercampur rasa bersalah menyusupi hatinya. Kevin memandangnya cukup lama hingga membuat Rinjani merasa jengah.
“Berhenti menatapku seperti itu, Kev. Kau membuatku merasa seperti orang paling malang di dunia.”
“Kak, aku–”
“Jangan minta maaf lagi! Aku bosan mendengarnya.” Rinjani memotong perkataan adiknya.
“Kakak benar-benar akan menikahinya? Maksudku, kita masih bisa menjual rumah ini untuk membayar Tuan Benedict.”
Mata Rinjani menerawang, andaikan semuanya semudah ucapan Kevin. “Sayangnya, perjanjian yang ayah tanda tangani menjelaskan bahwa jika utang tidak dibayar lunas saat jatuh tempo tiba, maka Tuan Richard Benedict yang terhormat itu hanya mau aku sebagai bayarannya.”
“Aku tidak mengerti mengapa ayah tidak menjual rumah ini sejak awal?”
Rinjani mengangkat bahu. “Aku juga tidak tahu,” sahutnya pelan.
Gadis itu memasukan satu macaron utuh ke dalam mulut, mengunyahnya perlahan, sambil matanya menatap layar tv yang mati dengan pandangan kosong. Semakin malam, pikirannya semakin ruwet. Bahkan rasa manis dari macaron yang biasanya mampu membangkitkan mood, mendadak kehilangan kemampuannya.
Dasar tidak berguna! umpat Rinjani dalam hati sambil menelan macaronnya susah payah.
Rinjani merasa hidupnya sangat rumit, lebih rumit dari kehidupan tokoh-tokoh fiksi yang pernah diciptakannya. Tapi, apa yang membuatnya rumit? Ia hanya tinggal menikahi Ben dan semua permasalahannya selesai. Bukankah soal cinta bisa dipikirkan nanti? Tapi, bagaimana jika ternyata Ben adalah seseorang yang memiliki kepribadian buruk? Oke, sifat arogannya memang buruk, maksud Rinjani, bagaimana jika Ben ternyata seorang psikopat yang suka main tangan? Perasaan ganjil tiba-tiba memenuhi hati Rinjani saat memikirkan alasan Ben begitu ingin menikahinya.
Kevin mengibaskan tangannya di depan wajah Rinjani, tapi, kakaknya tetap bergeming. “Kak! Kak Rinjani!” panggilnya dengan suara agak keras, membuat Rinjani sedikit terlonjak.
“Ada apa?” tanya Rinjani.
“Ponselmu,” Kevin menunjuk menggunakan dagunya.
Rinjani menatap ponselnya yang bergetar dengan alis menyatu, bertanya dalam hati untuk apa pria itu meneleponnya tengah malam seperti ini. Ia membiarkan ponselnya terus bergetar hingga benda itu berhenti dengan sendirinya. Beberapa saat kemudian ponselnya kembali bergetar. Rinjani menghembuskan napas kasar sebelum pada akhirnya mengangkat panggilan itu.
“Ada apa?” tanyanya tanpa berbasa-basi.
“Aku ... ingin minta maaf.” Suara berat itu menyapa pendengaran Rinjani, membuatnya mengernyit. Sejak kapan suara Ben jadi seseksi ini?
“Untuk?”
“Seharusnya aku bisa menahan diri tadi.”
“Tidak apa-apa. Aku jadi mengerti kalau posisiku di matamu tidak lebih dari sebuah barang yang sudah kau beli,” sahut Rinjani sarkastis.
“Jangan begitu. Aku sungguh tidak bermaksud menyinggungmu.”
“Lupakan saja. Kau meneleponku tengah malam hanya untuk ini?”
Pria di seberang sana terdiam sebentar, lalu terdengar desah napas gelisah. “Besok malam aku akan mengenalkanmu pada Om dan Tanteku. Tapi, sebelum itu, aku ingin bicara denganmu secara pribadi.”
“Atur saja sesukamu. Itu saja? Aku akan menutup teleponnya.”
“Rinjani.”
“Apalagi?”
“Have a nice dream,” ucap Ben kaku.
Bersambung ...Ben menghabiskan seloki wiski kelimanya dalam sekali tenggak. Di sebuah bar eksklusif bernuansa kemewahan yang kental, pria itu menghabiskan Kamis malamnya ditemani Shannon, sahabatnya, dan juga Panji. Mereka bertiga duduk di bar counter, tapi, hanya Ben dan Shannon yang minum, sedangkan Panji merasa cukup hanya dengan segelas Cola. Berbeda dari bos-nya yang kuat minum hingga berseloki-seloki wiski tanpa mabuk, kadar toleransinya terhadap alkohol memang payah.“Kau serius akan menikahi gadis itu? Maksudku, kau sudah benar-benar siap dengan risikonya?” Shannon bertanya.“Haruskah ku tegaskan sekali lagi? Aku tidak pernah main-main dengan pernikahan, Sha.”“Tapi dua minggu lagi? Bukankah itu terlalu cepat? Tante Margareth juga belum tentu setuju dengan rencanamu.”“Semakin cepat semakin baik. Aku tidak ingin Rinjani berubah pikiran karena kuberi kelonggaran waktu.”“Kau gila
Pernikahan Ben dan Rinjani berjalan lancar. Setelah mengikat janji di hadapan Tuhan, mereka hanya mengadakan resepsi sederhana, sesuai permintaan mempelai wanita. Ya, sederhana versi konglomerat tentu saja masih tergolong mewah bagi Rinjani dan keluarganya. Beruntung, Ben menggunakan jasa WO kenamaan yang memang berkompeten di bidangnya. Kebanyakan tamu yang datang adalah keluarga dekat mereka, serta kolega dan relasi bisnis Ben, karena, sedari awal Rinjani sudah mengatakan tidak punya banyak teman untuk diundang selain teman-teman terdekatnya saat kuliah dan juga beberapa kenalannya di GreenStory Publishing. Tante Margareth juga banyak membantu Rinjani. Wanita akhir lima puluhan itu menerimanya dengan tangan terbuka, tanpa memandang status sosial. Ia mengenalkan pada Rinjani beberapa peraturan dasar dalam keluarga kecil mereka. Mungkin karena tidak memiliki anak kandung, Tante Margareth sudah menganggap Ben seperti putranya sendiri. Ah, su
“Hai, Ben. Hai, Rinjani. Maaf, ya, aku pasti mengganggu kalian,” ujar Shannon sungkan. Tante Margareth tiba-tiba saja muncul dari arah dapur sambil membawa Piring berisi croissant hangat yang harumnya benar-benar menggoda. “Saat aku akan pergi joging, aku melihat mobilnya terparkir di luar. Ternyata anak itu tertidur di dalam mobil, jadi, aku membangunkan dan memintanya untuk masuk. Oh, hey~ kalian bangun agak siang, ya?” tanyanya menggoda. Ben mengabaikan tantenya. Ia masih menatap Shannon penuh tanya. Dari matanya yang sedikit sembap, Ben paham mengapa wanita itu berada di depan rumahnya semalaman. Hanya saja ia tidak menyangka wanita itu akan benar-benar nekat. Ia berganti melirik Rinjani. Benak istrinya pasti sudah dipenuhi pemikiran yang tidak-tidak sekarang.Tentu saja. Hari ini hari pertama setelah pernikahan dan sahabat suaminya ada di ruang makan yang seharusnya menjadi ruang privasi keluarga. Di mana etikanya?
Rinjani setengah berlari menaiki anak tangga luar yang langsung menuju ke lantai dua yang Ben sebut sebagai ruang pribadinya. Ruangan itu mirip seperti apartemen yang memiliki beberapa ruangan, termasuk kamar tidur dan ruang kerja pribadi suaminya. Ruangan itu juga memiliki dua akses keluar-masuk, yaitu melalui lift dalam yang langsung terhubung dengan ruang keluarga di lantai satu, dan yang kedua melalui anak tangga outdoor yang terletak di sebelah selatan bangunan rumah mewah ini. “Kau kelihatan senang sekali,” celetuk Ben yang sedang duduk di kursi pijat sambil menutup majalah bisnis yang sudah selesai ia baca. Rinjani baru pulang dari kantor GreenStory setelah mengikuti briefing untuk acara jumpa penggemar sekaligus peluncuran perdana novelnya yang kedelapan. Bukan itu saja, manajernya juga memberi tahu jika pra-pemesanan novelnya kali ini menembus angka 2000 eksemplar. Jumlah yang fantastis mengingat Rinjani tidak
“Rin, hari ini jam satu siang datanglah ke kafe Zenith. Ayah sudah mengatur kencan untukmu.”“Aku tidak mau. Ayah tahu sendiri, aku sedang tidak ingin menjalin hubungan dengan siapa pun saat ini.”Gadis itu mengaduk sup jamurnya tanpa minat, bukan karena rasanya tidak enak, sup jamur buatan ibunya adalah yang terbaik yang pernah ia santap. Namun, pembicaraan mengenai perjodohan inilah yang membuat nafsu makannya hilang seketika.“Pria ini bukan orang sembarangan, Rin. Dia tampan, kaya, dan masih muda, kau pasti akan menyukainya.”“Ayah ...,” rengek Rinjani dengan tatapan memohon.Dua minggu terakhir, orang tuanya gencar sekali membicarakan soal jodoh dan pernikahan, lalu hari ini, ayahnya tiba-tiba saja memintanya berkencan dengan seseorang yang namanya saja dia tidak tahu. Padahal, sebelum ini semua baik-baik saja, mereka bahkan tidak masalah ketika Rinjani memutuskan menjadi seorang pe
“Kenapa ayah tidak mengatakannya dari awal?” Rinjani baru saja menginjakan kakinya di ruang tamu ketika ia menemukan ayahnya dengan tatapan penuh permohonan maaf. Kekecewaannya menguap di udara, seolah bersatu dengan debu dan hilang diterbangkan angin. Ibu yang baru datang dari dapur dengan secangkir teh di tangannya juga sama. Menatapnya penuh penyesalan. “Ayah membutuhkannya untuk biaya transplantasi lever Kevin. Ayah benar-benar minta maaf, Sayang. Kami sudah sangat putus asa saat itu.” Dia sudah menduga ini sebelumnya, namun entah mengapa hati kecilnya tetap tidak bisa menerima alasan apapun. Kenyataan jika ayahnya dan ibunya tega menggadaikannya sebagai jaminan kepada orang asing, benar-benar membuat hati Rinjani terluka. “Bukankah ayah bilang biaya operasi Kevin sepenuhnya ditanggung oleh asuransi?” Masih hangat dalam ingatannya ketika beberapa tahun lalu dokter memberitahu sebuah kabar buruk tentang kesehatan Kevin, adikn
Rinjani setengah berlari menaiki anak tangga luar yang langsung menuju ke lantai dua yang Ben sebut sebagai ruang pribadinya. Ruangan itu mirip seperti apartemen yang memiliki beberapa ruangan, termasuk kamar tidur dan ruang kerja pribadi suaminya. Ruangan itu juga memiliki dua akses keluar-masuk, yaitu melalui lift dalam yang langsung terhubung dengan ruang keluarga di lantai satu, dan yang kedua melalui anak tangga outdoor yang terletak di sebelah selatan bangunan rumah mewah ini. “Kau kelihatan senang sekali,” celetuk Ben yang sedang duduk di kursi pijat sambil menutup majalah bisnis yang sudah selesai ia baca. Rinjani baru pulang dari kantor GreenStory setelah mengikuti briefing untuk acara jumpa penggemar sekaligus peluncuran perdana novelnya yang kedelapan. Bukan itu saja, manajernya juga memberi tahu jika pra-pemesanan novelnya kali ini menembus angka 2000 eksemplar. Jumlah yang fantastis mengingat Rinjani tidak
“Hai, Ben. Hai, Rinjani. Maaf, ya, aku pasti mengganggu kalian,” ujar Shannon sungkan. Tante Margareth tiba-tiba saja muncul dari arah dapur sambil membawa Piring berisi croissant hangat yang harumnya benar-benar menggoda. “Saat aku akan pergi joging, aku melihat mobilnya terparkir di luar. Ternyata anak itu tertidur di dalam mobil, jadi, aku membangunkan dan memintanya untuk masuk. Oh, hey~ kalian bangun agak siang, ya?” tanyanya menggoda. Ben mengabaikan tantenya. Ia masih menatap Shannon penuh tanya. Dari matanya yang sedikit sembap, Ben paham mengapa wanita itu berada di depan rumahnya semalaman. Hanya saja ia tidak menyangka wanita itu akan benar-benar nekat. Ia berganti melirik Rinjani. Benak istrinya pasti sudah dipenuhi pemikiran yang tidak-tidak sekarang.Tentu saja. Hari ini hari pertama setelah pernikahan dan sahabat suaminya ada di ruang makan yang seharusnya menjadi ruang privasi keluarga. Di mana etikanya?
Pernikahan Ben dan Rinjani berjalan lancar. Setelah mengikat janji di hadapan Tuhan, mereka hanya mengadakan resepsi sederhana, sesuai permintaan mempelai wanita. Ya, sederhana versi konglomerat tentu saja masih tergolong mewah bagi Rinjani dan keluarganya. Beruntung, Ben menggunakan jasa WO kenamaan yang memang berkompeten di bidangnya. Kebanyakan tamu yang datang adalah keluarga dekat mereka, serta kolega dan relasi bisnis Ben, karena, sedari awal Rinjani sudah mengatakan tidak punya banyak teman untuk diundang selain teman-teman terdekatnya saat kuliah dan juga beberapa kenalannya di GreenStory Publishing. Tante Margareth juga banyak membantu Rinjani. Wanita akhir lima puluhan itu menerimanya dengan tangan terbuka, tanpa memandang status sosial. Ia mengenalkan pada Rinjani beberapa peraturan dasar dalam keluarga kecil mereka. Mungkin karena tidak memiliki anak kandung, Tante Margareth sudah menganggap Ben seperti putranya sendiri. Ah, su
Ben menghabiskan seloki wiski kelimanya dalam sekali tenggak. Di sebuah bar eksklusif bernuansa kemewahan yang kental, pria itu menghabiskan Kamis malamnya ditemani Shannon, sahabatnya, dan juga Panji. Mereka bertiga duduk di bar counter, tapi, hanya Ben dan Shannon yang minum, sedangkan Panji merasa cukup hanya dengan segelas Cola. Berbeda dari bos-nya yang kuat minum hingga berseloki-seloki wiski tanpa mabuk, kadar toleransinya terhadap alkohol memang payah.“Kau serius akan menikahi gadis itu? Maksudku, kau sudah benar-benar siap dengan risikonya?” Shannon bertanya.“Haruskah ku tegaskan sekali lagi? Aku tidak pernah main-main dengan pernikahan, Sha.”“Tapi dua minggu lagi? Bukankah itu terlalu cepat? Tante Margareth juga belum tentu setuju dengan rencanamu.”“Semakin cepat semakin baik. Aku tidak ingin Rinjani berubah pikiran karena kuberi kelonggaran waktu.”“Kau gila
Rinjani tidak tahu kenapa ayahnya selalu melakukan sesuatu tanpa memikirkan risikonya lebih dulu. Ia bisa mengerti jika alasan ayahnya nekat seperti itu adalah demi kebaikan dirinya, tapi, kebaikan macam apa yang justru semakin menambah masalah? Rinjani bahkan sudah memberi tahu bahwa ia akan mengambil tanggung jawab tentang utang itu. Jadi, dia sangat berharap agar orang tuanya berhenti mencemaskannya dan berhenti membuat kekacauan.Berbekal kartu nama yang diberikan Ben, Rinjani berhasil meyakinkan security jika ia memang memiliki janji dengan atasan mereka tersebut. Salah satu security melakukan panggilan intercom untuk menghubungi seseorang, lalu ia memberikan Rinjani kartu untuk mengakses lift khusus staf menuju lantai sembilan, lantai khusus Direktur Utama dan jajaran Direksi. Rinjani hanya tinggal membaca petunjuk arah dan langsung mengerti ke mana harus melangkah.Seorang pria muda dengan setelan formal berwarna abu-abu menyambut
“Kenapa ayah tidak mengatakannya dari awal?” Rinjani baru saja menginjakan kakinya di ruang tamu ketika ia menemukan ayahnya dengan tatapan penuh permohonan maaf. Kekecewaannya menguap di udara, seolah bersatu dengan debu dan hilang diterbangkan angin. Ibu yang baru datang dari dapur dengan secangkir teh di tangannya juga sama. Menatapnya penuh penyesalan. “Ayah membutuhkannya untuk biaya transplantasi lever Kevin. Ayah benar-benar minta maaf, Sayang. Kami sudah sangat putus asa saat itu.” Dia sudah menduga ini sebelumnya, namun entah mengapa hati kecilnya tetap tidak bisa menerima alasan apapun. Kenyataan jika ayahnya dan ibunya tega menggadaikannya sebagai jaminan kepada orang asing, benar-benar membuat hati Rinjani terluka. “Bukankah ayah bilang biaya operasi Kevin sepenuhnya ditanggung oleh asuransi?” Masih hangat dalam ingatannya ketika beberapa tahun lalu dokter memberitahu sebuah kabar buruk tentang kesehatan Kevin, adikn
“Rin, hari ini jam satu siang datanglah ke kafe Zenith. Ayah sudah mengatur kencan untukmu.”“Aku tidak mau. Ayah tahu sendiri, aku sedang tidak ingin menjalin hubungan dengan siapa pun saat ini.”Gadis itu mengaduk sup jamurnya tanpa minat, bukan karena rasanya tidak enak, sup jamur buatan ibunya adalah yang terbaik yang pernah ia santap. Namun, pembicaraan mengenai perjodohan inilah yang membuat nafsu makannya hilang seketika.“Pria ini bukan orang sembarangan, Rin. Dia tampan, kaya, dan masih muda, kau pasti akan menyukainya.”“Ayah ...,” rengek Rinjani dengan tatapan memohon.Dua minggu terakhir, orang tuanya gencar sekali membicarakan soal jodoh dan pernikahan, lalu hari ini, ayahnya tiba-tiba saja memintanya berkencan dengan seseorang yang namanya saja dia tidak tahu. Padahal, sebelum ini semua baik-baik saja, mereka bahkan tidak masalah ketika Rinjani memutuskan menjadi seorang pe