Disini, aku dan Rangga duduk menghadap sebuah meja kecil bundar. Hatiku tak bisa dikatakan bahagia atau berduka. Hatiku tengah berada di tengah ambang. "Rika!" Rangga menegurku."Ya.""Kamu seperti masih belum bisa percaya padaku," ucapnya lirih."Entahlah," aku menghela nafas."Aku bersungguh-sungguh, Rika. Aku akan bersungguh-sungguh untuk berusaha tak menyakitimu. Sebenarnya sejak awal aku sudah berusaha untuk menunda lamaran itu. Tapi... Tapi aku tak bisa," sampai disaba pria itu menghentikan bicara. Agak lama."Kau terlalu cepat melamarku di waktu yang sangat mendadak, Pak Rangga! Aku seperti gak ada lagi waktu untuk berpikir dan mengambil keputusan yang tepat. Semua serba tiba-tiba," ucapku. Hatiku sungguh gamang. Tidak mungkin juga aku menolak lamaran itu di hadapan orang banyak seperti kemarin. Disamping itu aku juga binging bagaimana bisa aku menikah lagi di usia perceraianku dan Valdi yang masih relatif singkat ini."Kau tahu apa alasan kenapa semua ini kulakukan diwaktu
Aku memandang wajah putriku yang masih tidur dengan pulas. Wajah mungil itu terlihat demikian polos. Anak itu tidak mengetahui dan memang belum saatnya tahu apa yang terjadi dengan orang tuanya. Valdi yang gak pernah ke rumah juga bukanlah hal aneh baginya. Sebab dari dulu juga Ia sudah terbiasa dengan jarangnya Valdi berada di rumah.Aku berpikir keras mengenai anak ini. Apa harus aku menikah pada Rangga dan memberikan sosok ayah baru pada Clara dalam waktu sesingkat ini? Bagaimana kalau Rangga ternyata tak bisa menjadi sosok ayah yang baik buat dia? Jika nanti hal itu terjadi maka haruskah aku bercerai kembali dari rangga?Aku berpikir panjang. Pernikahan bukanlah hal yang main-main. Apalagi aku yang sudah merasakan satu kali pernikahan tang gagal, tentu aku tak ingin gagal pada pernikahan berikutnya. Dari pernikahan pertama aku sudah memetik banyak pelajaran. Itu semua kujadikan tolak ukur sebelum melanjutkan ke pernikahan kedua. Akh, pernikahan kedua? Belum tentu itu terjadi.
Aku tersentak ketika Clara menunjuk ke salah seorang di ujung sana."Maa, itu papa mah!" Clara berseru histeris. Anak itu berlari menuju ke arah ayahnya. Sebelumnya aku berusaha untuk menghentikan langkah clara tapi anak itu bergerak jauh lebih cepat dariku. Disamping Valdi, kulihat Vina tengah berdiri dengan tatapan sinis ke arah clara. Sedangkan Valdi sibuk dengan claudia dalam gendongan nya. Andai saja hatiku menggerutu, pastilah aku kesal dengan sikap pria itu. Bayangkan saja, anak orang dipeluk peluk dan disayang-sayang, sedangkan anak sendiri dibiarkan seperti tak kenal saja. Benar-benar begitu ya sikap sebagian besar laki-laki. Ah rasanya memang semua laki-laki seperti itu. Pemikiran seperti ini membuatku merasa malas untuk kembali mengulang bahtera rumah tangga."Eh, Clara! Ngapain pakai acara lari-lari kayak gini, kelimbas mobil baru tau rasa!" Valdi mengumpat. Hatiku berdesir sakit mendengar kata-katanya tersebut.Dengan tergesa-gesa aku mengejar clara."Lihat pakaian kamu
Dengan segala rencanaku aku pindah ke sebuah kota yang menurutku lebih tenang. Semua kulakukan sendiri mulai dari mengurus kepindahan kependudukan hingga mencari tempat tinggal baru.Di sini aku mencari pekerjaan baru. Aku benar-benar memulai semuanya dari nol.Semua ini aku lakukan untuk menghindari orang-orang yang berpotensi bisa menyakiti hatiku dan juga putriku. Aku juga ingin menjauhi Rangga yang bisa saja menjadi Malapetaka baru. Jujur saja aku tak ingin jika orang-orang melanjutkan gosip tentang diriku dan Rangga. Kemarin belum juga menikah orang-orang sudah membicarakan diriku dan tentu saja memojokkan aku. Padahal sebenarnya aku tak membutuhkan orang-orang seperti Rangga. Daripada berdampak buruk lebih baik kuhindari saja semuanya. Mencari dunia baru itu lebih baik.Di sini aku menata hidup kembali.Dengan persiapan yang matang Di sini aku menemukan sebuah pekerjaan dengan gaji yang belum terlalu besar, tapi insya allah masih bisa mencukupi kebutuhan ku dan clara. Kehidupa
"Nak Vina masih punya uang nggak? Boleh Ibu pinjam barang sebentar?" Bu Ratih menghampiri Vina dengan raut muka pucat. Sepertinya kesehatan wanita paruh baya itu sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja.Vina mengerlingkan mata merasa tak senang dengan pertanyaan itu."Ibu mau apa sih tanya-tanya uang aku?" respon Vina seperti menyepelekan."Maksud ibu kalau kamu masih punya uang, ibu mau pakai sedikit aja buat suruh Dira beli sesuatu yang bisa kita makan. Di kulkas persediaan lalu kita udah nggak ada lagi.""Lo, Ibu kok mintanya sama aku? Kenapa nggak minta sama anak Ibu aja?""Valdi lagi nggak ada duit, Nak," bu Ratih menjawab lirih."Aduh tuh anak ibu emang kagak becus cari nafkah! Masak ngehidupin istri satu aja ngos-ngosan! Nggak nyangka aku bakalan jadi kayak gini!" Vina menggerutu."Eh, Bu, atau gini aja, ntar aku minta uangnya sama Mas Valdi, nah udahnya ntar baru Ibu ajak tuh Dira buat beli apa aja kek buat makan. Tapi ingat beli mentah aja, biar ntar ibu yang masak di rumah
Bab 81"Hai mbak Vina, Mbak Vina itu nyadar diri ya, belagak banget ngusir ngusir kami dari sini! Masih untung kakak aku mau nikahin janda kayak kamu!" Dira mengomel."Aku ini lagi hamil anak kakak kamu, Dira! Jadi jangan macam-macam.""Aku nggak peduli kamu hamil atau apa, yang jelas sejak Kakak aku nikahin kamu kakak aku nggak pernah lagi rutin kasih uang sama kami, sama ibu juga nggak pernah! Nggak kayak dulu! Kamu emang biangnya, Mbak Vina!" Dira sama sekali tidak mau kalah."Capek-capek Ibu aku ngurusin Mas Valdi dari kecil, tapi udah besar kayak gini malah diperbudak sama kamu buat cari uang buat menuhin kebutuhan kamu juga. Nggak tahu diri! Padahal seharusnya kami yang lebih berhak," Dira terus saja bicara tanpa menelan ludah.Vina mendengarnya merasa panas hati. Tidak mau dan tidak terima di kata-kata demikian."Jadi mau kalian Valdi nggak usah kasih uang sama aku kasih sama kalian aja semuanya gitu?" Tatapan mata Vina melirik ke arah bu Ratih dan Dira secara bergantian."Jel
Bab 82"Ya wajarlah kalau Valdi mengusir Vina! kenapa ya kita selalu aja dapat ipar-ipar yang kelakuannya buruk semua?" Salma dan Mel bercengkrama."Iya dih. Mentang-mentang dia cantik, adik kita dia bikin sesuka hati. Dia pikir kita rela apa adik laki-laki kita dibikin budak kayak gitu. Mungkin aja dia memang nganggap kalau Valdi itu tukang cari uang aja. Nggak mau menghormati suami, nggak mau menghormatin keluarga suami juga. Sama kita-kita juga nggak sopan. Iih, ntar lebih baik kita suruh Valdi buat buang aja wanita kayak dia ke tong sampah," Mel berbicara tidak kalah mencibir."Kalau menurut cerita Dira kayaknya Vina tuh sering bilang kalau dia bersikap seolah kayak enggak butuh Valdi aja. Sok banget gitu cara ngomongnya," ujar Salma."Ibu juga sering bilang Vina suka menyinggung soal masalah aku sama Fahri juga. Padahal aku sama Mas Fahri kan emang beda konteks. Emang Mas Fahri yang salah. Kalau masalah dia sama Valdi itu jelas-jelas Valdi nggak salah. Yang salah dia sendiri kok
Bab 83Salma benar-benar merasa kasihan terhadap dirinya sendiri. Ia meratapi nasibnya yang tidak bisa dibilang baik-baik saja.Ia tak henti bertanya-tanya mengapa dirinya selalu saja terlilit hutang. Ditambah lagi dengan sang suami yang bertingkah seolah sudah tak peduli lagi.Seketika wanita itu teringat pada sosok Rika, wanita yang ia benci. Entah kenapa bagi Salma rikalah yang menjadi dalang semua dari ketidakberuntungan hidupnya."Pokoknya aku nggak mau tahu aku perlu uang uang itu, Sal. Udah untung aku mau kasih toleransi 3 bulan belakangan. Masak kamu belum juga dapat uangnya? dan sekarang mau nggak lagi?" Bu Yuni berceloteh menjengkelkan Salma."Ya aku harus gimana lagi Bu, aku benar-benar gak punya uang sekarang?" Salomah tidak tahu kata-kata apa lagi yang bisa ia lontarkan untuk menjawab ocehan Bu Yuni."Kamu sih cuma bisa ngomong Rika aja. Ternyata kamu sendiri lebih parah," cibir Bu Yuni."Nggak usah banding-bandingin aku sama Rika dong Bu. Jelas aku sama dia beda. Dulu tu
Bab 147Beberapa tahun kemudian...Aku dan Rangga baru saja keluar dari sebuah area sekolah berbasis internasional terkemuka di pusat ibukota. Iya Clara anakku sekarang sedang menempuh pendidikan di sekolah tersebut. Di sekolah berbasis internasional itu Clara telah mengukir berbagai prestasi. Hingga membuatnya mendapat beasiswa. Bahkan prestasi yang telah dia dapatkan membuatnya bisa mendapatkan beasiswa hingga ke fakultas kedokteran nanti. Itu adalah salah satu kebahagiaan terbesar yang pernah aku miliki. "Sedangkan disampingku, seorang pria tampan nan gagah tengah mendorong stroller dengan seorang bayi lucu yang tengah berada di dalamnya. Sesekali terdengar gelak tawa lucu menggemaskan yang berasal dari sang baby. Pria tampan yang sedang mendorong stroller itu adalah Rangga. Ya, kalian tidak sedang salah baca, pria itu adalah Rangga.Iya orang-orang mengatakan jika sekarang aku dan Rangga adalah sepasang suami istri. Akan sulit untuk dipercaya mengingat dulu kami hanyalah rekan bi
Bab 146Apapun yang terjadi, aku tak akan pernah mengabulkan permintaan keluarga mereka untuk mencabut laporan itu. Apapun alasannya! Hingga keputusanku membuat mereka kelihatan seperti enggan untuk menghampiriku lagi. Tapi tidak mengapa aku justru bersyukur dengan sikap mereka demikian. Menurutku akan jauh lebih baik dihindari oleh orang-orang seperti mereka, lebih baik dianggap jahat daripada dianggap baik tapi selalu dimanfaatkan. Mungkin saja mereka berpikir jika aku bisa kembali bersikap seperti dulu. Tapi itu tidak akan pernah terjadi lagi. Sikap Valdi terhadap putriku telah menghancurkan semuanya. Laki-laki itu tidak pernah bisa menjadi Ayah maupun suami yang baik. Lebih baik Aku mengucapkan selamat tinggal kepada pria model begitu.***Beberapa waktu telah berlalu semua vonis yang ditujukan kepada Valdli resmi diputuskan oleh hakim. Karena kesalahan yang telah Dia berbuat maka dia harus menuai hukuman sesuai dengan hukum yang berlaku tanpa ada keringanan dari pihak manapun.
Bab 145"Eh, Pa. Papa ngapain kesini? Udah Papa pulang duluan sana. Aku masih mau nemuin temen aku." Ucap Mel dengan terburu-buru."Dek, kok kamu ngomong kayak gini? Panggilan tiba-tiba berubah. Biasa panggil "Mas", kok sekarang bisa panggil"Papa"?" Suaminya nampak heran. Namun Mel dengan cepat cepat memberi isyarat pada suaminya untuk diam segera."Heyy... Aku bilang kamu pulang dulu, banyak bicara banget, pulang dulu ganti baju sana. Kok kucel banget!" Mel mengomel. Meski omelan itu tidak terlalu keras namun kami masih bisa mendengar dengan baik.Sebenarnya aku mau tertawa mendengarnya, selama yang aku tahu, Mel memanggil suaminya bukanlah dengan panggilan Papa melainkan Mas. Aneh saja mendengar panggilannya berubah tiba-tiba begini."Dek, Mas cuma mau ambil kunci kontrakan," Ucap suaminya."Ooh, kunci kontrakan kita, bentar," Mel merogoh tas."Nih! Cepat pergi sono!" Usir Mel setelah menyodorkan kunci.Mungkin melihat raut muka Mel yang sangat berubah naik pitam, suami Mel langsu
Bab 144"Lho Mel, limit tarik tunai via atm kan cuma bisa sebatas sepuluh juta? Kok kamu bisa narik lima puluh juta sekaligus sih?"Ha... ha... aku ikut terkekeh mendengarnya. Pertanyaan Dini memang menyerang mental."Nggak, nggak, maksudku bukan gitu, Ah udahlah lupakan kata-kata aku yang tadi," ujar Mel."Maaf banget ya, Din. Aku tadi cuma pengen pinjem uang gitu sama kamu, soalnya kan nggak lama. Sampai sore besok aku kembaliin," ujar Mel kembali."Mana ada aku uang segitu Mel, gaji aku juga cuma UMR. Lagian juga penghasilan kamu dan suami kamu kan udah puluhan juta. Masa iya kamu nggak malu bilang mau pinjam sama karyawan yang gaji UMR kayak aku. Kalau kamu sama suami kamu emang punya gaji gede, Nggak mungkin lah mau pinjam sama aku. Aneh," ujar Dini."Eh kamu nggak usah ngomong kayak gitu Din. Aku bilang pengen pinjam sama kamu tuh karena uang aku barusan aja dipinjam sama orang." "Loh kamu udah tahu kalau kamu sedang butuh uang kenapa malah minjemin orang?" sambar Dini."Idih k
Bab 143"Mel, kamu dimana sih sekarang? Udah lama banget nggak ngeliat kamu? Aku liat kontrakan yang lama udah kosong tuh," salah seorang perempuan muda berkata pada Mel."Aku enang udah lama pindah, Say. Kamu aja yang ketinggalan informasi. Aku udah pindah ke rumah baru aku," ucap Mel."Rumah baru? Kamu udah punya rumah sendiri, Mel?" Teman wanitanya kembali bertanya."Ya iya, dong. Aku udah bosen hidup di kontrakan mulu. Jadi Alhamdulillah Tuhan kasih rezeki lebih, jadi aku bisa membangun rumah tiga lantai, Say. Alhamdulillah banget aku bisa bikin rumah mewah ala-ala klasik gitu lho, yang ada pilar-pilarnya," Mel bercerita bangga.Mungkin saja Mel tidak menyadari jika aku ada di dekat mereka. Aku memang duduk di kursi agak pojokan, sendirian saja. Sedangkan dia ada di sebelah kanan, jarak satu meja denganku. Aku pura-pura tidak melihatnya. Lagipula apa yang dia katakan juga tidak ada urusannya denganku."Rumah tiga lantai? Waw, kamu keren banget, Mel. Di mana itu rumah kamu? Boleh d
Bab 142Setelah aku mendengar rentetan cerita yang diceritakan secara detail oleh Rangga, tentang bagaimana kronologi aku mendapatkan informasi penting itu dari Melia, barulah aku bisa percaya. "Nah sekarang kamu tentu sudah tahu apa yang akan kita lakukan setelahnya, kan? Tapi tenang saja kamu tidak perlu membuang-buang banyak waktu untuk mengurus semua masalah ini. Kamu hanya butuh istirahat sekarang, untuk masa penyelesaian masalah tersebut biar kami yang melakukannya." ujar Rangga.***Aku baru saja keluar dari ruang sidang. Lihat beberapa wajah yang mungkin saja kecewa dengan apa yang terjadi dengan sidang siang ini. Beberapa diantara mereka memang menelan karena kejahatan mereka benar-benar terkuak dan mereka akan sulit sekali untuk mengelak. Rangga memang bisa mengumpulkan informasi sedetail mungkin. Apa yang telah dipersiapkan olehnya memang berdampak positif pada jalannya sidang. Mereka dibuat kalah telak dengan bukti-bukti yang ada di pihak kami. Sebentar kemudian samar-sa
Bab 141"Tentu saja. Ketika seseorang sedang membutuhkan pertolongan, sedangkan aku bisa untuk mengulurkan bantuan tersebut, maka tidak mungkin aku mengabaikannya. Demikian juga hal-nya denganmu," ucapku berusaha untuk menarik kepercayaannya."Sebenarnya...," Melia tidak melanjutkan kata-katanya, seperti ada keraguan pada wajahnya.Namun aku tetap sabar menunggunya untuk mengumpulkan keberanian terlebih dahulu."Pak, apakah anda benar-benar akan menolongku?" "Ya, bukankah tadi kamu bilang kalau kamu mencintaiku, jadi apa salahnya aku seseorang yang di mana aku ada di hatinya,"Melia tersenyum."Pak, Rangga. Karena tadi tadi anda juga bilang sudah membenci Rika, jadi kurasa aku harus jujur sama anda sekarang. Jujur saja sebenarnya perempuan itu terlalu berbahaya untuk didekati. Dia tak pantas untuk dijadikan teman apa lagi partner hidup. Karena bu Ratih sudah menceritakan semua rahasianya. Sebenarnya sebelumnya aku marah pada bu Ratih karena menceritakan aib Rika sama aku, tapi belaka
Bab 140Aku tidak habis pikir dengan wanita ini, mengapa harus berkata seperti itu sedangkan dia sendiri masih mempunyai seorang kekasih."Oke, oke, terima kasih. Aku senang dengan kejujuranmu. Tapi sepertinya, kamu lebih baik berkata seperti itu sama Roy saja." Ucapku kemudian."Aku dan Roy akan segera putus. Aku tidak mencintainya sana sekali. Aku hanya mencintai anda Pak Rangga," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.Sebenarnya aku sama sekali tidak bersimpati dengan kata-kata yang dia ucapkan. Aku tidak bisa tertarik pada seseorang yang suka menghianati sebuah hubungan. Aku menganggapnya menghianati karena dia berkata seperti itu di tengah-tengah hubungannya dan Roy yang masih belum berakhir. Tapi untuk sementara biar ku hal yang lebih penting, jika kira-kira pembahasan ini bisa membuatku banyak mendapatkan informasi, maka aku akan melanjutkan. Ide segera muncul di otakku."Melia, kemarin aku melihat kamu bertemu dengan Bu Ratih dan Mel, ibu dan saudari Valdi. Kalau boleh tahu, apa k
Bab 139Tengah berbicara, dering telepon Melia mengganggu obrolan. Cepat-cepat Melia melirik ke arah ponsel."Bu Ratih?" Kulihat matanya sedikit terperanjat.Dia menyebut nama Bu Ratih? Itu kan nama ibunya Valdi. Apa ada Bu Ratih yang lain. Sedangkan raut mukanya terlihat cemas dan sesekali ia menatapku.Aku pikir ada yang mengganggunya dari orang yang sedang menghubunginya tersebut."Sebentar, ya. Aku mau ngomong sama temenku. sebentar aja, kok," ucapnya sembari melangkah cepat menuju ke luar kafe. Aneh bin ajaib, cara berjalannya yang tadi agak terseok-seok, kini terlihat malah lancar sekali langkahnya. Tidak ada tanda-tanda menahan sakit sana sekali. Aku mulai curiga dengan wanita ini. Tapi untuk sementara aku menyembunyikan rasa ganjil yang mulai muncul.Melihat raut mukanya yang seperti panik tadi, aku tersentil untuk menelisik apa yang akan dia bicarakan pada seseorang yang tadi dia panggil Bu Ratih.Maafkan aku, kali ini aku terpaksa mencuri obrolan mereka. Kalau saja tadi aku