Bab 74"Rika, apa kamu takut denganku?" Rangga sedikit mendekatkan dirinya padaku.Aku menghalangi nafas panjang. Apa aku benar-benar kelihatan takut di hadapan dia?"Aku mau balik lagi aja. Aku nggak bisa ninggalin Clara lama-lama,l. Sedangkan kita di sini nggak bisa kemana-mana, mobil mogok entah sampai kapan," ujatku bersungut-sungut."Hari masih hujan sekarang dan di sini sepertinya sepi taksi yang lewat. Bagaimana kita bisa pukang,""Aku bisa pesan grab untuk ngejemput!" pukasku."Rik, sebelumnya aku minta maaf udah mengajak kamu ke sini. Aku tahu kamu khawatir dengan Clara. Tapi yakinlah nanti kita akan pulang ke rumah pada waktu yang tepat,"Beberapa saat aku diam. hatiku khawatir terhadap putri satu-satunya.Aku melirik ke jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kiriku. Hari mulai beranjak malam. Sial! Ini semua gara-gara perkara mogoknya mobil yang membuat begitu banyak waktu yang terbuang sia-sia. "Maaf sekali Pak Rangga kayaknya aku memang benar-benar harus pulang
Bab 75Pertunangan itu terjadi begitu mendadak. Aku bahkan belum bisa sadar sepenuhnya. Bagaimana bisa Rangga mengatur lamaran di depan orangtuaku? Aku menjadi sangat malu ketika melangkahkan kaki menuju kantor. Aku tak bisa membayangkan orang-orang di kantor akan meledekku. Ya ampun Rangga, kau membuat masalahku semakin besar saja."Hallo, Nyonya Rangga!" Nia mengolokku."Ah, nggak usah ngomong gitu, Ni!" potongku."Emang kenapa? Kan kenyataannya Pak Rangga beneran udah ngelamar kamu kan?"Aku tak bisa berkata-kata lagi. Yang dia ucapkan memang benar.Beberapa pasang mata menatap ke arahku. "Ciyee, yang sebentar lagi nikahan. Selamat ya, Rik. Semoga lancar sampe akad!"Sama seperti Nia, beberapa di antara mereka mengajakku bercanda, sekaligus mengucapkan selamat. "Huuuh, kalian kok seru banget gini sih. Biasa aja kali!" tiba-tiba sebuah suara menyela.Spontan aku menoleh. Terlihatlah Dira berdiri dengan tatapan mata tak suka. Wanita ini tampak masih menyimpan kebencian terhadapku
Disini, aku dan Rangga duduk menghadap sebuah meja kecil bundar. Hatiku tak bisa dikatakan bahagia atau berduka. Hatiku tengah berada di tengah ambang. "Rika!" Rangga menegurku."Ya.""Kamu seperti masih belum bisa percaya padaku," ucapnya lirih."Entahlah," aku menghela nafas."Aku bersungguh-sungguh, Rika. Aku akan bersungguh-sungguh untuk berusaha tak menyakitimu. Sebenarnya sejak awal aku sudah berusaha untuk menunda lamaran itu. Tapi... Tapi aku tak bisa," sampai disaba pria itu menghentikan bicara. Agak lama."Kau terlalu cepat melamarku di waktu yang sangat mendadak, Pak Rangga! Aku seperti gak ada lagi waktu untuk berpikir dan mengambil keputusan yang tepat. Semua serba tiba-tiba," ucapku. Hatiku sungguh gamang. Tidak mungkin juga aku menolak lamaran itu di hadapan orang banyak seperti kemarin. Disamping itu aku juga binging bagaimana bisa aku menikah lagi di usia perceraianku dan Valdi yang masih relatif singkat ini."Kau tahu apa alasan kenapa semua ini kulakukan diwaktu
Aku memandang wajah putriku yang masih tidur dengan pulas. Wajah mungil itu terlihat demikian polos. Anak itu tidak mengetahui dan memang belum saatnya tahu apa yang terjadi dengan orang tuanya. Valdi yang gak pernah ke rumah juga bukanlah hal aneh baginya. Sebab dari dulu juga Ia sudah terbiasa dengan jarangnya Valdi berada di rumah.Aku berpikir keras mengenai anak ini. Apa harus aku menikah pada Rangga dan memberikan sosok ayah baru pada Clara dalam waktu sesingkat ini? Bagaimana kalau Rangga ternyata tak bisa menjadi sosok ayah yang baik buat dia? Jika nanti hal itu terjadi maka haruskah aku bercerai kembali dari rangga?Aku berpikir panjang. Pernikahan bukanlah hal yang main-main. Apalagi aku yang sudah merasakan satu kali pernikahan tang gagal, tentu aku tak ingin gagal pada pernikahan berikutnya. Dari pernikahan pertama aku sudah memetik banyak pelajaran. Itu semua kujadikan tolak ukur sebelum melanjutkan ke pernikahan kedua. Akh, pernikahan kedua? Belum tentu itu terjadi.
Aku tersentak ketika Clara menunjuk ke salah seorang di ujung sana."Maa, itu papa mah!" Clara berseru histeris. Anak itu berlari menuju ke arah ayahnya. Sebelumnya aku berusaha untuk menghentikan langkah clara tapi anak itu bergerak jauh lebih cepat dariku. Disamping Valdi, kulihat Vina tengah berdiri dengan tatapan sinis ke arah clara. Sedangkan Valdi sibuk dengan claudia dalam gendongan nya. Andai saja hatiku menggerutu, pastilah aku kesal dengan sikap pria itu. Bayangkan saja, anak orang dipeluk peluk dan disayang-sayang, sedangkan anak sendiri dibiarkan seperti tak kenal saja. Benar-benar begitu ya sikap sebagian besar laki-laki. Ah rasanya memang semua laki-laki seperti itu. Pemikiran seperti ini membuatku merasa malas untuk kembali mengulang bahtera rumah tangga."Eh, Clara! Ngapain pakai acara lari-lari kayak gini, kelimbas mobil baru tau rasa!" Valdi mengumpat. Hatiku berdesir sakit mendengar kata-katanya tersebut.Dengan tergesa-gesa aku mengejar clara."Lihat pakaian kamu
Dengan segala rencanaku aku pindah ke sebuah kota yang menurutku lebih tenang. Semua kulakukan sendiri mulai dari mengurus kepindahan kependudukan hingga mencari tempat tinggal baru.Di sini aku mencari pekerjaan baru. Aku benar-benar memulai semuanya dari nol.Semua ini aku lakukan untuk menghindari orang-orang yang berpotensi bisa menyakiti hatiku dan juga putriku. Aku juga ingin menjauhi Rangga yang bisa saja menjadi Malapetaka baru. Jujur saja aku tak ingin jika orang-orang melanjutkan gosip tentang diriku dan Rangga. Kemarin belum juga menikah orang-orang sudah membicarakan diriku dan tentu saja memojokkan aku. Padahal sebenarnya aku tak membutuhkan orang-orang seperti Rangga. Daripada berdampak buruk lebih baik kuhindari saja semuanya. Mencari dunia baru itu lebih baik.Di sini aku menata hidup kembali.Dengan persiapan yang matang Di sini aku menemukan sebuah pekerjaan dengan gaji yang belum terlalu besar, tapi insya allah masih bisa mencukupi kebutuhan ku dan clara. Kehidupa
"Nak Vina masih punya uang nggak? Boleh Ibu pinjam barang sebentar?" Bu Ratih menghampiri Vina dengan raut muka pucat. Sepertinya kesehatan wanita paruh baya itu sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja.Vina mengerlingkan mata merasa tak senang dengan pertanyaan itu."Ibu mau apa sih tanya-tanya uang aku?" respon Vina seperti menyepelekan."Maksud ibu kalau kamu masih punya uang, ibu mau pakai sedikit aja buat suruh Dira beli sesuatu yang bisa kita makan. Di kulkas persediaan lalu kita udah nggak ada lagi.""Lo, Ibu kok mintanya sama aku? Kenapa nggak minta sama anak Ibu aja?""Valdi lagi nggak ada duit, Nak," bu Ratih menjawab lirih."Aduh tuh anak ibu emang kagak becus cari nafkah! Masak ngehidupin istri satu aja ngos-ngosan! Nggak nyangka aku bakalan jadi kayak gini!" Vina menggerutu."Eh, Bu, atau gini aja, ntar aku minta uangnya sama Mas Valdi, nah udahnya ntar baru Ibu ajak tuh Dira buat beli apa aja kek buat makan. Tapi ingat beli mentah aja, biar ntar ibu yang masak di rumah
Bab 81"Hai mbak Vina, Mbak Vina itu nyadar diri ya, belagak banget ngusir ngusir kami dari sini! Masih untung kakak aku mau nikahin janda kayak kamu!" Dira mengomel."Aku ini lagi hamil anak kakak kamu, Dira! Jadi jangan macam-macam.""Aku nggak peduli kamu hamil atau apa, yang jelas sejak Kakak aku nikahin kamu kakak aku nggak pernah lagi rutin kasih uang sama kami, sama ibu juga nggak pernah! Nggak kayak dulu! Kamu emang biangnya, Mbak Vina!" Dira sama sekali tidak mau kalah."Capek-capek Ibu aku ngurusin Mas Valdi dari kecil, tapi udah besar kayak gini malah diperbudak sama kamu buat cari uang buat menuhin kebutuhan kamu juga. Nggak tahu diri! Padahal seharusnya kami yang lebih berhak," Dira terus saja bicara tanpa menelan ludah.Vina mendengarnya merasa panas hati. Tidak mau dan tidak terima di kata-kata demikian."Jadi mau kalian Valdi nggak usah kasih uang sama aku kasih sama kalian aja semuanya gitu?" Tatapan mata Vina melirik ke arah bu Ratih dan Dira secara bergantian."Jel