Bab 67Mata pak Rangga menatapku tajam. Ya Rabb, habislah aku dimarah oleh laki-laki seram ini."Pekerjaan kemarin sudah selesai?" tanyanya.Aku langsung bisa bernafas lega, setidaknya ia tidak bertanya soal guyonanku dan Nia barusan. Secepatnya aku mengambil semua lembaran yang selesai aku kerjakan. Kemudian bergegas mengirim file-fileku padanya.Lelaki itu hanya diam.Sedangkan kepalaku masih terasa pusing. Ditambah sekarang perutku terasa melilit. Pandangan mataku juga rasanya semakin kabur.Atau jangan-jangan ucapannya tadi ada benarnya. Aku harus sarapan lebih banyak supaya tenaga juga tersuplai cukup.Aku berusaha bangkit dari tempat dudukku. Agak sempoyongan memang."Rika kenapa kamu kelihatan lemah sekali? apa kamu sakit?" Tiba-tiba saja laki-laki sialan di depanku ini bertanya. Ingin sekali rasanya aku menjawab Aku begini karena terlalu banyak mengerjakan pekerjaan yang kamu beri.Tapi mengingat apa jabatannya di kantor saat ini aku jadi mengurungkan untuk bertanya terlalu a
Bab 68Samar-samar mataku terbuka. Tidak terlalu jelas namun aku bisa menangkap jika aku berada di sebuah ruangan putih dan bersih. Pandangan mataku menangkap sesosok bayang-bayang seorang perempuan berhijab yang tengah berada di dekatku. Kukedip-kedipkan mata untuk memperjelas Siapa yang kulihat.Ternyata dia adalah seorang wanita paruh baya berkerudung tengah tersenyum ke arahku. Parasnya cantik, meski ada beberapa kerutan di wajahnya wanita ini masih tetap kelihatan awet muda. Aku bingung Siapa perempuan ini? Mengapa tiba-tiba ada di dekatku? "Sudah siuman, Nak?" Tegurnya dengan suara lembut sekali."Dimana ini? Dan ibu siapa?" Tanyaku masih di ambang kesadaran."Kita sedang di klinik, Nak. Barusan Nak Rika pingsan." Ibu tersebut menjelaskan padaku.Aku coba untuk mengingat-ingat. Oh iya aku hampir lupa jika tadi Aku tinggal di kantor dengan keadaan tubuh yang kurang fit. Lambat laun ingatanku pulih kembali.Astaga ternyata aku pingsan. Lalu siapakah yang membawaku kemari? Nia,
Bab 69Uhukk! Uhuk! Aku terbatuk-batuk mendengar ibu tersebut bicara. Mengapa sampai berpikir demikian padahal sama sekali aku tak memiliki hubungan apapun dengan anaknya. Apa yang sudah Rangga ceritakan pada beliau? "Bu," Aku memulai pembicaraan setidaknya aku harus menjelaskan pada beliau tentang kebenarannya.Tok tok tok!"Assalamualaikum!"Baru saja Aku ingin memulai tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu diiringi dengan salam, pertanda seseorang datang."Waalaikumsalam dengan sigap Ibu tersebut berjalan menuju ke pintu.Seseorang masuk dengan senyum mengembang, di sampingnya terlihat Clara yang sedari tadi ku khawatirkan keberadaannya."Maa!" Anak lucu ini menghambur ke pelukanku.Rupanya tadi Rangga benar-benar menjemput putriku. Dan itu ia lakukan tanpa seizin ku terlebih dahulu? Seandainya saja tidak ada ibu ini pasti sudah kutanyakan mengapa Ia melakukan semua ini?"Bapak menjemput Clara?" Aku menatap Rangga.Rangga kembali tersenyum dan menganggukkan kepala."Kalau begitu
"Ih denger-denger si Pak Rangga atasan baru kita kayaknya lagi ngincar si Rika. Maklum kayaknya si janda kembang sukses menarik perhatian." Tanpa sengaja aku mendengar celotehan seseorang di kantin."Iya sih kayaknya Pak Rangga emang tertarik sama Rika.""Eh nggak ada salahnya juga sih kalau saling mencintai Ya kenapa nggak," ujar Rafli yang juga menimbuhi percakapan tersebut."Iya iya emang nggak apa-apa Tapi sikonnya kan Rika itu baru aja cerai dari suaminya. Kamu tahu nggak kenapa alasannya cerai? Aku tuh ya kemarin dengar-dengar rumornya tuh si Rika punya masalah sama keluarga mantan suaminya," ucap Melia yang sedari tadi bercerita. "Kebetulan gang rumahku nggak terlalu jauh dari gangnya rumah Rika dulu sama suaminya. Jadi gang rumahnya tuh udah rame banget gosip-gosip tentang Rika," Melia melanjutkan ceritanya."Salah kamu sih percaya sama gosip. Zaman sekarang tuh nggak usah percaya sama omongan tetangga lihat aja realnya gimana. Aku lihat selama ini Rika bukan orang macam-maca
Bab 71Pagi ini aku bersiap-siap lebih cepat. Di kantor sengaja aku lewatkan ruangan yang biasanya merupakan ruangan kantorku. Tujuanku adalah sebuah ruang yang khusus untuk ditempati oleh orang penting di perusahaan ini.Aku meminta izin kepada penjaga yang tengah bertugas.Seseorang kelihatan begitu serius menatap layar komputer di hadapannya. "Permisi! Boleh aku masuk?"Melihat kedatanganku, laki-laki itu mendadak menghentikan kinerjanya."Rika!" ucapnya spontan."Boleh aku masuk?" Ku ulangi perkataanku sekali lagi."Oke, baik, silakan masuk!"Aku melangkah masuk dengan sebuah map di tanganku."Silakan duduk!" ujarnya."Terimakasih!" ucapku."Ada apa, Rika? Apa kamu punya kendala dalam bekerja? Kau bisa meminta bantuanku.""Bukan, Pak! Masalahnya bukan itu.""Lalu?" Rangga mengernyitkan dahi."Aku ingin menyerahkan ini?" Aku meletakkan map yang kubawa ke atas meja tepat di hadapan Rangga."Apa ini?" Sembari berkata demikian ia membuka map tersebut.Aku diam saja. Biarkan dia mel
Bab 72Aku pusing dengan kemauan Rangga yang seperti setengah memaksa. Untuk apa dia mengajakku ke rumah orang tuaku? Pagi ini aku tak terlalu berselera untuk memasak atau melakukan apapun. Hanya kusempatkan diri untuk membuat bekal sekolah untuk Clara. Kebetulan hari ini Clara banyak jadwal les, kuserahkan semuanya pada Bik Inah, seorang pengasuh yang kupercaya untuk mengurus Clara. Seorang single parent yang terbiasa bekerja sepertiku, tentu sangat memerlukan bantuan seseorang cekatan seperti Bu Inah.Tiba-tiba terdengar klakson di depan rumah. Aku melongokkan kepala. Sebuah mobil yang tak asing berhenti tepat di depan rumahku."Rangga? Dia benar-benar datang? Darimana dia tahu aku tinggal di sini?"Tuuut ... Tuuut!Ponselku berdering.Nama Rangga terpampang di sana. Dia menelpon."Hallo!""Ya,""Aku sudah di depan rumahmu! Keluarlah!"Dengan muka kusut dan penampilan yang masih tak kalah kusut aku keluar. Buar saja aku menampakkan penampilan acak-acakan begini. Siapa tahu debgan b
Bab 73Ketika perjalanan menasuki area pegunungan. Aku mulai merasa menggigil kedinginan. Kurapatkan tubuhku dengan jaket.Tiba-tiba saja mesin mobil mati. Berulang kali Rangga mencoba untuk menghidupkan kembali namun hasilnya tetap saja nihil. Aku mulai was-was. Sementara hujan mulai turun. Apalagi karena terjebak macet, membuat perjalanan ini terasa lebih lama."Bagaimana kalau kita berhenti saja di sini sebentar, Rika!""Lebih baik kita menelpon seseorang siapa tahu ada yang bisa bantuin kita di sini. Ini hari udah mulai siang banget. Atau kalau nggak biarkan aku kembali pulang aja.""Tidak bisa begitu, Rika! Baiklah ayo kita berteduh dulu!"Rangga menunjuk ke sebuah cafe. Entah kesal ataupun apa aku tidak banyak berbicara. Sial saja hari ini harus bepergian dengan pria menyebalkan ini. Kuturuti langkah kaki pria itu. Hatiku mulai was-was, aku menutup diri Kenapa tadi harus menyetujui usulnya. Ya Tuhan alangkah bodohnya aku ini!Tanpa diberi komando aku memutuskan untuk duduk."K
Bab 74"Rika, apa kamu takut denganku?" Rangga sedikit mendekatkan dirinya padaku.Aku menghalangi nafas panjang. Apa aku benar-benar kelihatan takut di hadapan dia?"Aku mau balik lagi aja. Aku nggak bisa ninggalin Clara lama-lama,l. Sedangkan kita di sini nggak bisa kemana-mana, mobil mogok entah sampai kapan," ujatku bersungut-sungut."Hari masih hujan sekarang dan di sini sepertinya sepi taksi yang lewat. Bagaimana kita bisa pukang,""Aku bisa pesan grab untuk ngejemput!" pukasku."Rik, sebelumnya aku minta maaf udah mengajak kamu ke sini. Aku tahu kamu khawatir dengan Clara. Tapi yakinlah nanti kita akan pulang ke rumah pada waktu yang tepat,"Beberapa saat aku diam. hatiku khawatir terhadap putri satu-satunya.Aku melirik ke jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kiriku. Hari mulai beranjak malam. Sial! Ini semua gara-gara perkara mogoknya mobil yang membuat begitu banyak waktu yang terbuang sia-sia. "Maaf sekali Pak Rangga kayaknya aku memang benar-benar harus pulang
Bab 147Beberapa tahun kemudian...Aku dan Rangga baru saja keluar dari sebuah area sekolah berbasis internasional terkemuka di pusat ibukota. Iya Clara anakku sekarang sedang menempuh pendidikan di sekolah tersebut. Di sekolah berbasis internasional itu Clara telah mengukir berbagai prestasi. Hingga membuatnya mendapat beasiswa. Bahkan prestasi yang telah dia dapatkan membuatnya bisa mendapatkan beasiswa hingga ke fakultas kedokteran nanti. Itu adalah salah satu kebahagiaan terbesar yang pernah aku miliki. "Sedangkan disampingku, seorang pria tampan nan gagah tengah mendorong stroller dengan seorang bayi lucu yang tengah berada di dalamnya. Sesekali terdengar gelak tawa lucu menggemaskan yang berasal dari sang baby. Pria tampan yang sedang mendorong stroller itu adalah Rangga. Ya, kalian tidak sedang salah baca, pria itu adalah Rangga.Iya orang-orang mengatakan jika sekarang aku dan Rangga adalah sepasang suami istri. Akan sulit untuk dipercaya mengingat dulu kami hanyalah rekan bi
Bab 146Apapun yang terjadi, aku tak akan pernah mengabulkan permintaan keluarga mereka untuk mencabut laporan itu. Apapun alasannya! Hingga keputusanku membuat mereka kelihatan seperti enggan untuk menghampiriku lagi. Tapi tidak mengapa aku justru bersyukur dengan sikap mereka demikian. Menurutku akan jauh lebih baik dihindari oleh orang-orang seperti mereka, lebih baik dianggap jahat daripada dianggap baik tapi selalu dimanfaatkan. Mungkin saja mereka berpikir jika aku bisa kembali bersikap seperti dulu. Tapi itu tidak akan pernah terjadi lagi. Sikap Valdi terhadap putriku telah menghancurkan semuanya. Laki-laki itu tidak pernah bisa menjadi Ayah maupun suami yang baik. Lebih baik Aku mengucapkan selamat tinggal kepada pria model begitu.***Beberapa waktu telah berlalu semua vonis yang ditujukan kepada Valdli resmi diputuskan oleh hakim. Karena kesalahan yang telah Dia berbuat maka dia harus menuai hukuman sesuai dengan hukum yang berlaku tanpa ada keringanan dari pihak manapun.
Bab 145"Eh, Pa. Papa ngapain kesini? Udah Papa pulang duluan sana. Aku masih mau nemuin temen aku." Ucap Mel dengan terburu-buru."Dek, kok kamu ngomong kayak gini? Panggilan tiba-tiba berubah. Biasa panggil "Mas", kok sekarang bisa panggil"Papa"?" Suaminya nampak heran. Namun Mel dengan cepat cepat memberi isyarat pada suaminya untuk diam segera."Heyy... Aku bilang kamu pulang dulu, banyak bicara banget, pulang dulu ganti baju sana. Kok kucel banget!" Mel mengomel. Meski omelan itu tidak terlalu keras namun kami masih bisa mendengar dengan baik.Sebenarnya aku mau tertawa mendengarnya, selama yang aku tahu, Mel memanggil suaminya bukanlah dengan panggilan Papa melainkan Mas. Aneh saja mendengar panggilannya berubah tiba-tiba begini."Dek, Mas cuma mau ambil kunci kontrakan," Ucap suaminya."Ooh, kunci kontrakan kita, bentar," Mel merogoh tas."Nih! Cepat pergi sono!" Usir Mel setelah menyodorkan kunci.Mungkin melihat raut muka Mel yang sangat berubah naik pitam, suami Mel langsu
Bab 144"Lho Mel, limit tarik tunai via atm kan cuma bisa sebatas sepuluh juta? Kok kamu bisa narik lima puluh juta sekaligus sih?"Ha... ha... aku ikut terkekeh mendengarnya. Pertanyaan Dini memang menyerang mental."Nggak, nggak, maksudku bukan gitu, Ah udahlah lupakan kata-kata aku yang tadi," ujar Mel."Maaf banget ya, Din. Aku tadi cuma pengen pinjem uang gitu sama kamu, soalnya kan nggak lama. Sampai sore besok aku kembaliin," ujar Mel kembali."Mana ada aku uang segitu Mel, gaji aku juga cuma UMR. Lagian juga penghasilan kamu dan suami kamu kan udah puluhan juta. Masa iya kamu nggak malu bilang mau pinjam sama karyawan yang gaji UMR kayak aku. Kalau kamu sama suami kamu emang punya gaji gede, Nggak mungkin lah mau pinjam sama aku. Aneh," ujar Dini."Eh kamu nggak usah ngomong kayak gitu Din. Aku bilang pengen pinjam sama kamu tuh karena uang aku barusan aja dipinjam sama orang." "Loh kamu udah tahu kalau kamu sedang butuh uang kenapa malah minjemin orang?" sambar Dini."Idih k
Bab 143"Mel, kamu dimana sih sekarang? Udah lama banget nggak ngeliat kamu? Aku liat kontrakan yang lama udah kosong tuh," salah seorang perempuan muda berkata pada Mel."Aku enang udah lama pindah, Say. Kamu aja yang ketinggalan informasi. Aku udah pindah ke rumah baru aku," ucap Mel."Rumah baru? Kamu udah punya rumah sendiri, Mel?" Teman wanitanya kembali bertanya."Ya iya, dong. Aku udah bosen hidup di kontrakan mulu. Jadi Alhamdulillah Tuhan kasih rezeki lebih, jadi aku bisa membangun rumah tiga lantai, Say. Alhamdulillah banget aku bisa bikin rumah mewah ala-ala klasik gitu lho, yang ada pilar-pilarnya," Mel bercerita bangga.Mungkin saja Mel tidak menyadari jika aku ada di dekat mereka. Aku memang duduk di kursi agak pojokan, sendirian saja. Sedangkan dia ada di sebelah kanan, jarak satu meja denganku. Aku pura-pura tidak melihatnya. Lagipula apa yang dia katakan juga tidak ada urusannya denganku."Rumah tiga lantai? Waw, kamu keren banget, Mel. Di mana itu rumah kamu? Boleh d
Bab 142Setelah aku mendengar rentetan cerita yang diceritakan secara detail oleh Rangga, tentang bagaimana kronologi aku mendapatkan informasi penting itu dari Melia, barulah aku bisa percaya. "Nah sekarang kamu tentu sudah tahu apa yang akan kita lakukan setelahnya, kan? Tapi tenang saja kamu tidak perlu membuang-buang banyak waktu untuk mengurus semua masalah ini. Kamu hanya butuh istirahat sekarang, untuk masa penyelesaian masalah tersebut biar kami yang melakukannya." ujar Rangga.***Aku baru saja keluar dari ruang sidang. Lihat beberapa wajah yang mungkin saja kecewa dengan apa yang terjadi dengan sidang siang ini. Beberapa diantara mereka memang menelan karena kejahatan mereka benar-benar terkuak dan mereka akan sulit sekali untuk mengelak. Rangga memang bisa mengumpulkan informasi sedetail mungkin. Apa yang telah dipersiapkan olehnya memang berdampak positif pada jalannya sidang. Mereka dibuat kalah telak dengan bukti-bukti yang ada di pihak kami. Sebentar kemudian samar-sa
Bab 141"Tentu saja. Ketika seseorang sedang membutuhkan pertolongan, sedangkan aku bisa untuk mengulurkan bantuan tersebut, maka tidak mungkin aku mengabaikannya. Demikian juga hal-nya denganmu," ucapku berusaha untuk menarik kepercayaannya."Sebenarnya...," Melia tidak melanjutkan kata-katanya, seperti ada keraguan pada wajahnya.Namun aku tetap sabar menunggunya untuk mengumpulkan keberanian terlebih dahulu."Pak, apakah anda benar-benar akan menolongku?" "Ya, bukankah tadi kamu bilang kalau kamu mencintaiku, jadi apa salahnya aku seseorang yang di mana aku ada di hatinya,"Melia tersenyum."Pak, Rangga. Karena tadi tadi anda juga bilang sudah membenci Rika, jadi kurasa aku harus jujur sama anda sekarang. Jujur saja sebenarnya perempuan itu terlalu berbahaya untuk didekati. Dia tak pantas untuk dijadikan teman apa lagi partner hidup. Karena bu Ratih sudah menceritakan semua rahasianya. Sebenarnya sebelumnya aku marah pada bu Ratih karena menceritakan aib Rika sama aku, tapi belaka
Bab 140Aku tidak habis pikir dengan wanita ini, mengapa harus berkata seperti itu sedangkan dia sendiri masih mempunyai seorang kekasih."Oke, oke, terima kasih. Aku senang dengan kejujuranmu. Tapi sepertinya, kamu lebih baik berkata seperti itu sama Roy saja." Ucapku kemudian."Aku dan Roy akan segera putus. Aku tidak mencintainya sana sekali. Aku hanya mencintai anda Pak Rangga," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.Sebenarnya aku sama sekali tidak bersimpati dengan kata-kata yang dia ucapkan. Aku tidak bisa tertarik pada seseorang yang suka menghianati sebuah hubungan. Aku menganggapnya menghianati karena dia berkata seperti itu di tengah-tengah hubungannya dan Roy yang masih belum berakhir. Tapi untuk sementara biar ku hal yang lebih penting, jika kira-kira pembahasan ini bisa membuatku banyak mendapatkan informasi, maka aku akan melanjutkan. Ide segera muncul di otakku."Melia, kemarin aku melihat kamu bertemu dengan Bu Ratih dan Mel, ibu dan saudari Valdi. Kalau boleh tahu, apa k
Bab 139Tengah berbicara, dering telepon Melia mengganggu obrolan. Cepat-cepat Melia melirik ke arah ponsel."Bu Ratih?" Kulihat matanya sedikit terperanjat.Dia menyebut nama Bu Ratih? Itu kan nama ibunya Valdi. Apa ada Bu Ratih yang lain. Sedangkan raut mukanya terlihat cemas dan sesekali ia menatapku.Aku pikir ada yang mengganggunya dari orang yang sedang menghubunginya tersebut."Sebentar, ya. Aku mau ngomong sama temenku. sebentar aja, kok," ucapnya sembari melangkah cepat menuju ke luar kafe. Aneh bin ajaib, cara berjalannya yang tadi agak terseok-seok, kini terlihat malah lancar sekali langkahnya. Tidak ada tanda-tanda menahan sakit sana sekali. Aku mulai curiga dengan wanita ini. Tapi untuk sementara aku menyembunyikan rasa ganjil yang mulai muncul.Melihat raut mukanya yang seperti panik tadi, aku tersentil untuk menelisik apa yang akan dia bicarakan pada seseorang yang tadi dia panggil Bu Ratih.Maafkan aku, kali ini aku terpaksa mencuri obrolan mereka. Kalau saja tadi aku