Bab 69Uhukk! Uhuk! Aku terbatuk-batuk mendengar ibu tersebut bicara. Mengapa sampai berpikir demikian padahal sama sekali aku tak memiliki hubungan apapun dengan anaknya. Apa yang sudah Rangga ceritakan pada beliau? "Bu," Aku memulai pembicaraan setidaknya aku harus menjelaskan pada beliau tentang kebenarannya.Tok tok tok!"Assalamualaikum!"Baru saja Aku ingin memulai tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu diiringi dengan salam, pertanda seseorang datang."Waalaikumsalam dengan sigap Ibu tersebut berjalan menuju ke pintu.Seseorang masuk dengan senyum mengembang, di sampingnya terlihat Clara yang sedari tadi ku khawatirkan keberadaannya."Maa!" Anak lucu ini menghambur ke pelukanku.Rupanya tadi Rangga benar-benar menjemput putriku. Dan itu ia lakukan tanpa seizin ku terlebih dahulu? Seandainya saja tidak ada ibu ini pasti sudah kutanyakan mengapa Ia melakukan semua ini?"Bapak menjemput Clara?" Aku menatap Rangga.Rangga kembali tersenyum dan menganggukkan kepala."Kalau begitu
"Ih denger-denger si Pak Rangga atasan baru kita kayaknya lagi ngincar si Rika. Maklum kayaknya si janda kembang sukses menarik perhatian." Tanpa sengaja aku mendengar celotehan seseorang di kantin."Iya sih kayaknya Pak Rangga emang tertarik sama Rika.""Eh nggak ada salahnya juga sih kalau saling mencintai Ya kenapa nggak," ujar Rafli yang juga menimbuhi percakapan tersebut."Iya iya emang nggak apa-apa Tapi sikonnya kan Rika itu baru aja cerai dari suaminya. Kamu tahu nggak kenapa alasannya cerai? Aku tuh ya kemarin dengar-dengar rumornya tuh si Rika punya masalah sama keluarga mantan suaminya," ucap Melia yang sedari tadi bercerita. "Kebetulan gang rumahku nggak terlalu jauh dari gangnya rumah Rika dulu sama suaminya. Jadi gang rumahnya tuh udah rame banget gosip-gosip tentang Rika," Melia melanjutkan ceritanya."Salah kamu sih percaya sama gosip. Zaman sekarang tuh nggak usah percaya sama omongan tetangga lihat aja realnya gimana. Aku lihat selama ini Rika bukan orang macam-maca
Bab 71Pagi ini aku bersiap-siap lebih cepat. Di kantor sengaja aku lewatkan ruangan yang biasanya merupakan ruangan kantorku. Tujuanku adalah sebuah ruang yang khusus untuk ditempati oleh orang penting di perusahaan ini.Aku meminta izin kepada penjaga yang tengah bertugas.Seseorang kelihatan begitu serius menatap layar komputer di hadapannya. "Permisi! Boleh aku masuk?"Melihat kedatanganku, laki-laki itu mendadak menghentikan kinerjanya."Rika!" ucapnya spontan."Boleh aku masuk?" Ku ulangi perkataanku sekali lagi."Oke, baik, silakan masuk!"Aku melangkah masuk dengan sebuah map di tanganku."Silakan duduk!" ujarnya."Terimakasih!" ucapku."Ada apa, Rika? Apa kamu punya kendala dalam bekerja? Kau bisa meminta bantuanku.""Bukan, Pak! Masalahnya bukan itu.""Lalu?" Rangga mengernyitkan dahi."Aku ingin menyerahkan ini?" Aku meletakkan map yang kubawa ke atas meja tepat di hadapan Rangga."Apa ini?" Sembari berkata demikian ia membuka map tersebut.Aku diam saja. Biarkan dia mel
Bab 72Aku pusing dengan kemauan Rangga yang seperti setengah memaksa. Untuk apa dia mengajakku ke rumah orang tuaku? Pagi ini aku tak terlalu berselera untuk memasak atau melakukan apapun. Hanya kusempatkan diri untuk membuat bekal sekolah untuk Clara. Kebetulan hari ini Clara banyak jadwal les, kuserahkan semuanya pada Bik Inah, seorang pengasuh yang kupercaya untuk mengurus Clara. Seorang single parent yang terbiasa bekerja sepertiku, tentu sangat memerlukan bantuan seseorang cekatan seperti Bu Inah.Tiba-tiba terdengar klakson di depan rumah. Aku melongokkan kepala. Sebuah mobil yang tak asing berhenti tepat di depan rumahku."Rangga? Dia benar-benar datang? Darimana dia tahu aku tinggal di sini?"Tuuut ... Tuuut!Ponselku berdering.Nama Rangga terpampang di sana. Dia menelpon."Hallo!""Ya,""Aku sudah di depan rumahmu! Keluarlah!"Dengan muka kusut dan penampilan yang masih tak kalah kusut aku keluar. Buar saja aku menampakkan penampilan acak-acakan begini. Siapa tahu debgan b
Bab 73Ketika perjalanan menasuki area pegunungan. Aku mulai merasa menggigil kedinginan. Kurapatkan tubuhku dengan jaket.Tiba-tiba saja mesin mobil mati. Berulang kali Rangga mencoba untuk menghidupkan kembali namun hasilnya tetap saja nihil. Aku mulai was-was. Sementara hujan mulai turun. Apalagi karena terjebak macet, membuat perjalanan ini terasa lebih lama."Bagaimana kalau kita berhenti saja di sini sebentar, Rika!""Lebih baik kita menelpon seseorang siapa tahu ada yang bisa bantuin kita di sini. Ini hari udah mulai siang banget. Atau kalau nggak biarkan aku kembali pulang aja.""Tidak bisa begitu, Rika! Baiklah ayo kita berteduh dulu!"Rangga menunjuk ke sebuah cafe. Entah kesal ataupun apa aku tidak banyak berbicara. Sial saja hari ini harus bepergian dengan pria menyebalkan ini. Kuturuti langkah kaki pria itu. Hatiku mulai was-was, aku menutup diri Kenapa tadi harus menyetujui usulnya. Ya Tuhan alangkah bodohnya aku ini!Tanpa diberi komando aku memutuskan untuk duduk."K
Bab 74"Rika, apa kamu takut denganku?" Rangga sedikit mendekatkan dirinya padaku.Aku menghalangi nafas panjang. Apa aku benar-benar kelihatan takut di hadapan dia?"Aku mau balik lagi aja. Aku nggak bisa ninggalin Clara lama-lama,l. Sedangkan kita di sini nggak bisa kemana-mana, mobil mogok entah sampai kapan," ujatku bersungut-sungut."Hari masih hujan sekarang dan di sini sepertinya sepi taksi yang lewat. Bagaimana kita bisa pukang,""Aku bisa pesan grab untuk ngejemput!" pukasku."Rik, sebelumnya aku minta maaf udah mengajak kamu ke sini. Aku tahu kamu khawatir dengan Clara. Tapi yakinlah nanti kita akan pulang ke rumah pada waktu yang tepat,"Beberapa saat aku diam. hatiku khawatir terhadap putri satu-satunya.Aku melirik ke jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kiriku. Hari mulai beranjak malam. Sial! Ini semua gara-gara perkara mogoknya mobil yang membuat begitu banyak waktu yang terbuang sia-sia. "Maaf sekali Pak Rangga kayaknya aku memang benar-benar harus pulang
Bab 75Pertunangan itu terjadi begitu mendadak. Aku bahkan belum bisa sadar sepenuhnya. Bagaimana bisa Rangga mengatur lamaran di depan orangtuaku? Aku menjadi sangat malu ketika melangkahkan kaki menuju kantor. Aku tak bisa membayangkan orang-orang di kantor akan meledekku. Ya ampun Rangga, kau membuat masalahku semakin besar saja."Hallo, Nyonya Rangga!" Nia mengolokku."Ah, nggak usah ngomong gitu, Ni!" potongku."Emang kenapa? Kan kenyataannya Pak Rangga beneran udah ngelamar kamu kan?"Aku tak bisa berkata-kata lagi. Yang dia ucapkan memang benar.Beberapa pasang mata menatap ke arahku. "Ciyee, yang sebentar lagi nikahan. Selamat ya, Rik. Semoga lancar sampe akad!"Sama seperti Nia, beberapa di antara mereka mengajakku bercanda, sekaligus mengucapkan selamat. "Huuuh, kalian kok seru banget gini sih. Biasa aja kali!" tiba-tiba sebuah suara menyela.Spontan aku menoleh. Terlihatlah Dira berdiri dengan tatapan mata tak suka. Wanita ini tampak masih menyimpan kebencian terhadapku
Disini, aku dan Rangga duduk menghadap sebuah meja kecil bundar. Hatiku tak bisa dikatakan bahagia atau berduka. Hatiku tengah berada di tengah ambang. "Rika!" Rangga menegurku."Ya.""Kamu seperti masih belum bisa percaya padaku," ucapnya lirih."Entahlah," aku menghela nafas."Aku bersungguh-sungguh, Rika. Aku akan bersungguh-sungguh untuk berusaha tak menyakitimu. Sebenarnya sejak awal aku sudah berusaha untuk menunda lamaran itu. Tapi... Tapi aku tak bisa," sampai disaba pria itu menghentikan bicara. Agak lama."Kau terlalu cepat melamarku di waktu yang sangat mendadak, Pak Rangga! Aku seperti gak ada lagi waktu untuk berpikir dan mengambil keputusan yang tepat. Semua serba tiba-tiba," ucapku. Hatiku sungguh gamang. Tidak mungkin juga aku menolak lamaran itu di hadapan orang banyak seperti kemarin. Disamping itu aku juga binging bagaimana bisa aku menikah lagi di usia perceraianku dan Valdi yang masih relatif singkat ini."Kau tahu apa alasan kenapa semua ini kulakukan diwaktu