"Dua juta?!"
Aku dikejutkan sebuah penemuan uang yang menurutku sangat banyak. Bagaimana bisa seorang suami melakukan ini pada istrinya? Menyembunyikan uang dalam gulungan celana dalam. Sungguh, menyakitkan lebih dari diselingkuhi.
Allah.
Aku lemas. Hati berselimutkan kecewa berat, rasa curiga pun meracuni pikiran. Adakah penjelasan yang mampu membuat hati ini menjadi tenang?
Kemarin-kemarin banyak acara nikahan. Dua di antaranya terpaksa tidak kuhadiri karena kehabisan uang. Minta sama suami tapi katanya juga mengalami hal yang sama, tidak punya uang. Lantas, uang di gulungan celananya itu milik siapa? Tidak kusangka setega itu dia padaku.
Kusimpan kembali lembaran merah itu pada tempatnya. Pakaian suami yang tengah kurapikan terpaksa aku akhiri dengan segera. Selanjutnya ke dapur menyiapkan makan malam.
Tetes demi tetes air mata jatuh membasahi kedua pipi ini. Entah mengapa aku merasa ada sesuatu yang terjadi tapi tidak kuketahui.
Sembari menumis daun kangkung, aku selalu membayangkan yang bukan-bukan. Jangan-jangan suamiku menyembunyikan uang itu untuk suatu hal. Berjudi, main perempuan atau jangan-jangan tabungan untuk dipakai menikah?
Teringat beberapa bulan lalu suamiku kepergok lirik-lirikan sama tetangga baru. Mungkinkah dugaanku benar, mereka ada sesuatu?
"Ya Allah," keluhku bersama jantung berdegup. "Janganlah Engkau membiarkan hal ini terjadi. Hanya dia yang aku punya."
"Assalamualaikum. Dek, ini abang."
Suara Abang Mail dari luar. Cepat kumatikan api, kebetulan sayur sudah pun matang. Aku berlari kecil membuka pintu usai menyeka air mata.
Tampaklah suami yang selalu kupuja, kusayang dan kupercaya berdiri sambil tersenyum manis seperti sebelumnya saat melihatku.
Aku tak membalas senyuman itu, rasa kecewa dan sakit hati masih bersemi di lubuk hati. Teringat uang yang sengaja ia sembunyikan. Betapa tidak berartinya aku hingga tak diberitahu soal uang sebanyak itu. Padahal ada banyak keperluan yang harus aku beli.
"Waalaikumussalam," gumamku sebelum akhirnya memilih masuk.
"Dek, ada apa?" tanyanya, menyusul. "Dek, kamu kenapa? Marah sama abang?"
Mungkin Abang Mail menyadari perubahan sikapku padanya. Ia mengejar sambil terus melempari beberapa pertanyaan.
Aku tidak menggubris, sengaja pura-pura tuli. Namun, Abang Mail tidak menyerah, ia terus bertanya. Bahkan sedikit memaksa sehingga aku membuka suara.
"Aku butuh uang Bang, bedak habis," kataku, berbohong.
Tatapanku padanya tak pernah menyiratkan adanya kesenangan. Melihat suami bagai melihat seorang pencuri, marah sudah pasti. Tetapi sebisa mungkin aku menahannya.
"Uang? 'Kan kemarin abang udah bilang enggak punya uang. Ini tinggal uang bensin aja, Dek." Abang Mail memperlihatkan isi dompet. Isinya hanya selembar uang biru.
Ingin rasanya aku menanyakan soal uang yang berada di gulungan celananya. Akan tetapi aku takut bukannya bisa mengobati rasa penasaranku, malah nanti masalah semakin rumit. Bisa jadi Abang Mail akan berbohong, bisa jadi dia mencari alasan tertentu.
So, biarlah aku mencari tahu tentangnya secara pelan-pelan. Bangkai bila disembunyikan pada akhirnya tercium juga dengan sendirinya. Aku yakin akan terungkap kebenaran di suatu saat.
****
"Assalamualaikum."
Seseorang memberi salam. Entah siapa dan ada apa mendatangi rumah orang sepagi ini. Jangankan buat sarapan, bangun saja belum. Aku masih terbaring di samping suami yang kini tidak lagi kucinta sedalam lautan. Rasaku padanya perlahan menipis gara-gara mendapat lebaran merah yang disembunyikan.
"Assalamualaikum." Kembali suara itu terdengar bersama ketukan pintu berulang-ulang. Sungguh sangat mengganggu.
"Dek, jam berapa, sih? Ganggu aja, tuh orang." Bang Mail tersadar dari alam mimpinya, tapi masih enggan membuka mata.
"Enggak tahu. Aku cek dulu," balasku, beranjak dari tempat tidur.
Aku berjalan membuka pintu. "Waalaikumussalam."
Seorang wanita berambut panjang berdiri membelakangi pintu. Dari postur tubuh, sepertinya aku tahu siapa wanita itu.
"Siapa, yah?" tanyaku pura-pura tidak kenal.
Dia memutar badan, menghadap diriku sambil berkata, "Masa enggak kenal? Aku ini, loh tetangga barumu, Puspa."
Wanita yang memang bernama Puspa itu tersenyum. Di tangannya terdapat sebuah gelas kosong. Entah mau dibuat apa gelas itu. Tidak mungkin untuk diberikan padaku.
"Oh, Puspa? Ayo, masuk Mbak," ajakku.
Tidak baik membiarkan tamu berdiri di luar. Sebagai tetangga yang baik, aku mencoba memperkenalkan diri dengan cara berbuat kebaikan padanya. Kuulas senyum semanis mungkin biar urung niat jika ingin merebut suamiku.
"Di sini aja, Mar. Begini, gulaku habis. Bisa pinjam satu gelas?"
Aku terperangah mendengar kalimat yang keluar dari mulutnya. Ini beneran mau pinjam gula? Bukankah dia berasal dari keluarga yang mampu? Cincin, gelang dan kalung semua dimiliki. Jangankan benda sekecil itu, yang besar saja punya. Dia punya mobil mewah. Rumahnya mewah, berdiri kokoh tepat di depan rumah kami. Hanya jalanan sebagai pembatas.
"Marina, boleh enggak? Satu gelas aja, kok."
"Eh, iya ... sini gelasnya."
Puspa menyerahkan gelas kosongnya padaku. Aku pun ke dapur untuk mengambilkan gula. Setelah itu, aku keluar. Akan tetapi sebelum sampai di teras, kudengar suara milik seorang pria berbicara dengan Puspa. Namun, tak seberapa jelas sebab ia berbisik.
"Aku kangen."
"Jangan gila kamu! Sana pulang."
Aku semakin mendekat dengan perlahan dan suara itu semakin jelas terdengar. Kuelus dada yang mulai sesak. Oh, apakah gula hanya sebuah alasan kedatangannya kemari?
Hatiku panas, jiwa bergejolak. Balok, mana balok? Ingin rasanya kuhadiahkan balok di tengkuknya.
Bersambung
Bagai petir menyambar di tengah teriknya sinar matahari. Jantung berasa hendak lompat dari tempatnya. Aku sakit, hati ini terlalu rapuh mendengar suara lembut Abang Mail pada wanita lain. Bagaimana bisa dia secepat itu ke teras? Bukankah tadi masih terbaring di kamar?'Ya Allah, kuatkan aku.'Kuseka air mata yang tiba-tiba jatuh. Aku menuju teras bersama amarah yang sudah berada di ubun-ubun. Janjiku pada diri sendiri, mereka akan kuberikan hadiah berupa pukulan dahsyat menggunakan sapu yang berada di belakang pintu.Namun, apa yang kulihat nyatanya tidak seperti yang kudengar. Aku bingung, berdiri tegak seperti orang linglung. Sapu yang tadinya ingin kuambil akhirnya tidak jadi.Puspa berdiri seorang diri di teras. Ia memainkan sebuah benda pipih canggih yang disebut HP. Jika Puspa sendirian, lantas suara siapa yang begitu mirip dengan suara suamiku? Dan pergi ke mana pemilik suara itu? Rasanya tidak mungkin aku berhalusinasi.Tidak mu
Aku terus mondar-mandir di depan lemari. Mata sesekali melirik manja ke gagang pintu tempat pakaian itu. Dilema antara ingin dan rasa takut.Mengambil uang milik suami tanpa seizin darinya bukan perbuatan yang baik. Namun, mengingat uang itu sengaja disembunyikan dariku, mungkin tidak berdosa bila selembar atau dua lembar kupindahkan dalam dompet ini. Apalagi aku begitu butuh."Ampuni aku ya Allah, ini terpaksa," gumamku gemetar.Pintu lemari kubuka lebar. Pelipis mulai basah oleh keringat. Rasa takut yang teramat membuat jantung berdegup. Ini pertama kali aku melakukannya.Setelah mencari sekian detik, bahkan hitungan menit, aku tak juga mendapatkan benda itu. Celana suamiku hilang entah di mana. Aku mulai panik. Ke mana agaknya celana itu pergi? Mungkinkah Abang Mail menyembunyikannya di tempat lain?Tidak. Aku harus menemukan uang itu. Di manapun Abang sembunyikan, aku tetap harus mendapatkannya. Ada banyak barang yang kubutuh.
Tepat jam enam, aku mulai berkutat dengan peralatan dapur. Memotong ayam menjadi beberapa bagian dan membersihkan sayur untuk kujadikan jamuan makan malam nanti.Sambil mengerjakan tugas, seketika teringat dengan uang milik suami yang sudah aku belanja. Jujur, aku tidak enak hati, merasa bersalah. Akan tetapi, rasa itu berusaha kulawan sekuat hati.Uang itu ada hak aku di dalamnya, tidak salah mengambil separuh. Aku yakin tidak akan dosa seorang istri mengambil uang suaminya yang bisa dikategorikan sebagai suami pelit.Iya, pelit. Aku baru sadar, selama satu bulan ini Bang Mail berbohong. Setiap aku minta uang selalu mendapat jawaban 'tidak ada' sudah dipinjam orang."Astaghfirullah, ya Allah." Rasanya batinku tertekan.Untuk mengisi paru-paru yang kembali terasa sesak, aku menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya lagi. Selanjutnya berusaha fokus pada pekerjaan yang kulakukan.Selesai membersihkan potongan-potongan ayam, bumbu y
"Kemana, tuh orang?" Mata mengarah ke pintu kamar yang jaraknya dekat dengan dapur. Lama aku menunggu teriakan dari Bang Mail, tapi tidak sedikitpun ia bersuara. Jangankan suara, orangnya saja sama sekali tidak muncul. Mungkin Abang belum sadar yang kupakai belanja adalah uang miliknya. Padahal aku tidak sabar ingin melihat bagaimana reaksinya. Tidak sabar ingin tahu untuk apa uang itu dan apa alasannya menyembunyikannya dariku. Akh, gagal. Bang Mail beneran tidak muncul. Kuangkat piring bekas tempat makan kami ke wastafel. Mencuci semuanya, lalu mengemas sisa-sisa makanan lainnya untuk kemudian kututup kembali menggunakan tudung saji. Setelah kerjaan beres aku menuju kamar. Pintu kubuka secara perlahan. Tampak Bang Mail sedang duduk melamun di tepi ranjang. Wajahnya terlihat sangat sedih. Aku tidak tahu masalah apa yang sedang dihadapi hingga ia tampak sesedih itu. Tadinya kupikir sudah tidur, ternyata tidak. "Ekhem.
Kutatap wajah Bang Mail penuh selidik. Dia yang tengah kebingungan hanya bisa mengalihkan pandangan seolah-olah takut menatapku.Aku memicingkan mata, menatapnya lekat tanpa bersuara. Tak sabar rasanya ingin mendengar alasan yang akan dikatakannya. Sedetik kemudian, kudekatkan diri padanya, mendongak tak henti menatap."Uang?" tanyaku memastikan. Tetap setia pada kepura-puraan. "Abang punya uang?"Dapat kulihat bagaimana ekspresi Bang Mail ketika kutanya soal uang yang dimaksud. Sepintas ia melihatku, lalu kembali berpaling. Emosi mulai terlukis di wajah tampan itu. Yang demikian membuat hati ini senang."Abang punya uang?" Sekali lagi aku bertanya. "Uang dari mana, Bang? Bukannya Abang bilang enggak punya uang? Dipinjam teman."Aku sengaja mengingatkan semua yang pernah terucap dari mulutnya. Bang Mail harus sadar, harus malu jika yang dilakukan itu tidak baik. Membohongi istri, menyembunyikan uang dari istri itu sangat keterlaluan menurutku. 
Kuikuti Bang Mail. Di lorong dekat penyerahan obat-obatan, nyaris saja aku ketahuan. Untung segera menyadarinya dan langsung ikut mendorong brankar pasien yang tengah didorong oleh suster. Juga ada beberapa orang yang ikut serta sambil menangis memegang tangan pasien yang tak sadarkan diri."Mbak siapa?" Seseorang bertanya. Mungkin keluarga pasien. Kulepas tangan dari brankar itu."Ak–aku, aku salah orang. Maaf," jawabku setelah yakin Bang Mail sudah tak lagi memerhatikan.Aku gegas pergi. Melajukan langkah mencari sosok suami yang belakangan ini menyakiti hati. Hampir setiap ruangan kuperiksa dengan teliti, tapi tidak membuahkan hasil. Tepat di depan ruangan ICU, aku mengintip melalui pintu kaca yang transparan."Kamu berbohong Bang. Yang bersama Abang di rumah sakit ternyata bukan bos Abang," gumamku.Kucoba mengondisikan detak jantung yang kian melaju. Tidakl
Kupersilahkan masuk ke rumah. Tidak baik seorang tamu dibiarkan berdiri di luar. Apalagi sudah mulai malam dan angin pun bertiup kencang hingga dinginnya berasa menembus ke kulit terdalam."Tidak perlu," tolaknya datar. "Sadarkan suamimu."Kalimat terakhir membuatku mengingat beberapa hari yang lalu seorang ibu berkerudung datang mengatakan kalimat yang sama. Jangan-jangan ibu berkerudung itu adalah dia? Dia ibunya Puspa yang pernah menatapku diam-diam di teras rumahnya.Aku tak tahu sedang memikirkan apa di saat netranya mengarah padaku. Dan aku juga tak tahu mengapa ia memintaku menyadarkan Bang Mail."Maksud ibu apa, yah?" tanyaku. Rasa ingin tahu ini begitu besar."Puspa, anakku mencintai suamimu dan suamimu membalasnya. Suruh pria laknat itu bercermin. Dia siapa dan berasal dari keluarga bagaimana? Sadar diri. Anakku tidak sepadan dengannya," jelasnya panjang leb
Aku sangat-sangat terkejut. Terlebih lagi kini aku menginjakkan kaki di halaman rumahnya. Rumah yang tidak lain milik Puspa ini membuat hati terasa nyut-nyut ngeri. Berasa kalah dari seorang pelakor.Aku lambat menyadari semuanya. Jika seandainya dari dulu menyelidiki hubungan antara keduanya, mungkin saat itu juga aku berhemat demi membeli rumah baru yang akan kutinggali seorang diri. Mau bagaimana? Allah belum mempercayaiku untuk memiliki seorang anak."Kamu kenapa, kenal pemilik rumah ini?" tanya Pak Ray.Tidak ada jawaban dari mulut seorang Marina Anggira. Kulajukan langkah keluar dari pekarangan rumah pelakor itu. Meski sejuta tanya bersarang di kepala, aku tetap tinggalkan depan rumahnya.'Pak Ray dan mereka ada hubungan apa yah?' batinku terus bertanya-tanya.Aku ke rumah dengan langkah cepat. Ternyata Bang Mail sedari tadi memerhatikan. Sejak kapan dia pulang?
Marina tak enak hati ketika tahu ternyata Anton benar-benar membelikan tiket untuknya. Ia menatap Anton yang hanya fokus bicara sama Ray.'Aku tahu niatmu bagus Mas, tapi kok aku enggak enak begini? Aku tahu di balik hadiah tiket ini, Mas ingin berusaha membuang perasaan mas padaku sekaligus membayar janji mas tempo hari. Itu bagus untuk kami semua, tapi jujur aku enggak enak banget,' batin Marina."Hadiahnya tiket?" Ray mengeluarkan dua tiket pesawat.Sebenarnya Ray juga tahu Anton berusaha membuang perasaannya terhadap Marina. Akan tetapi, Ray berpura-pura tidak tahu. Ia tidak ingin membalas soal itu. Suatu saat Anton pasti akan menemukan wanita yang jauh lebih baik. Ray yakin."Ya, tiket pesawat ke Dubai untuk kalian. Aku rasa kamu sudah sembuh. Kalian enggak mau berbulan madu? Aku juga sudah pesan hotel untuk kalian, loh di sana," kata Anton, terlihat senang. Meski hatinya ada sedikit kesedihan y
"Jika jalan satu-satunya adalah operasi, tolong disegerakan Dok. Lakukan yang terbaik untuk adikku."Pada akhirnya Anton meminta dokter, Ray dioperasi saja. Ia yakin adiknya pasti akan selamat. Keputusan itu tentu saja sudah disetujui semua keluarga."Baiklah, tapi pihak rumah sakit tidak bisa menjamin keselamatan saudara Bapak. Kepalanya terbentur keras dan banyak kehilangan darah. Sudah pasti kepalanya mengalami luka yang sangat parah," jelas dokter."Aku percaya kuasa Allah," balas Anton, yakin Ray tetap akan selamat. Akhirnya dokter pun gegas menyiapkan peralatan yang akan dipakainya untuk operasi."Ya Allah, selamatkan suamiku, selamatkan suamiku," gumam Marina.Beberapa jam telah berlalu, mereka menunggu hasil. Marina mondar-mandir di depan ruang operasi dengan perasaan takut. Bagaimana jika nanti suaminya tidak selamat? Pikirnya.
Sambil tetap mendekatkan HP di telinga, Anton kembali membatin, 'Selamat menempuh hidup baru. Semoga bahagia dunia dan akhirat. Doakan semoga aku bisa move on dari rasa ini. Aku tersiksa melihatmu bersamanya.'Tidak bisa dipungkiri, meski sudah berusaha menerima kenyataan bahwa dirinya bukanlah jodoh Marina, tetapi tetap saja Anton sangat sedih melihat adiknya bersanding dengan wanita idamannya.Terkadang bisikan setan menghasutnya untuk membawa kabur Marina dari pelaminan. Akan tetapi, Anton mampu melawan.'Dia bukan jodohku. Aku percaya, jika jodoh takkan kemana.'"Hai, sama siapa? Tante Soraya dan Bapak mana? Mereka berjanji akan datang, loh."Anton kaget, bahunya ditepuk seseorang yang tidak lain adalah Ray. Saat ini Ray sudah memaafkan Pak Adnan. Anton juga sama.Dua hari yang lalu, Pak Adnan berlutut minta maaf pada Soraya. Minta balik
Sambil tetap mendekatkan HP di telinga, Anton kembali membatin, 'Selamat menempuh hidup baru. Semoga bahagia dunia dan akhirat. Doakan semoga aku bisa move on dari rasa ini. Aku tersiksa melihatmu bersamanya.'Tidak bisa dipungkiri, meski sudah berusaha menerima kenyataan bahwa dirinya bukanlah jodoh Marina, tetapi tetap saja Anton sangat sedih melihat adiknya bersanding dengan wanita idamannya.Terkadang bisikan setan menghasutnya untuk membawa kabur Marina dari pelaminan. Akan tetapi, Anton mampu melawan.'Dia bukan jodohku. Aku percaya, jika jodoh takkan kemana.'"Hai, sama siapa? Tante Soraya dan Bapak mana? Mereka berjanji akan datang, loh."Anton kaget, bahunya ditepuk seseorang yang tidak lain adalah Ray. Saat ini Ray sudah memaafkan Pak Adnan. Anton juga sama.Dua hari yang lalu, Pak Adnan berlutut minta maaf pada Soraya. Minta balik
Tanpa dipersilahkan, pemberi salam langsung masuk. Berjalan pelan ke arah Wiranti, Ray dan Aura."Aku sudah lama mencari keberadaanmu Wiranti. Ternyata kamu di sini. Ray anakmu yang berarti juga anakku. Anak kita," ucapnya sumringah. Akhirnya bisa menemukan anak kedua dari hasil pernikahan kedua.Karena Anton menolak harta warisan darinya. Pak Adnan akan mengalihkan semuanya pada Ray. Ia sangat berharap anaknya itu bisa menerima. Sebab, merasa diri tak lama lagi akan kembali menghadap Tuhan. Pak Adnan tidak mau menyisakan harta untuk istrinya yang saat ini, yaitu Dena. Karena selepas ini pun wanita itu akan diceraikannya. Dena sudah berselingkuh dengan pria lain. Tidak ada kata maaf.Pak Adnan sadar itu salahnya, karena kerap main tangan disebabkan emosi yang tidak terkendali dan semua itu juga karena seringnya Dena menghambur-hamburkan uang. Pak Adnan merasa Dena hanya mencintai hartanya saja.
Meski Anton sedih karena sebentar lagi wanita yang dicintainya akan menikah, tapi ia berusaha merelakan. Sebab cinta itu memang lebih kepada merelakan, bukan melepaskan ataupun mengumpul keberanian untuk merebut.Keduanya melempar senyum, lalu Anton membalikkan badan berjalan ke sofa. Sedangkan Marina ke dapur untuk minum. Kerongkongannya seketika berasa kering, ia harus minum untuk melegakan tenggorokan.Klakson mobil membuat Marina bergegas keluar, melewati Anton yang kini berdiri di ambang pintu utama."Aku lambat enggak?" tanya Ray, baru saja turun dari mobilnya."Enggak, kok Mas," jawab Marina sambil tersenyum.'Tentang foto tadi, aku kasih tahu mereka enggak, yah?' batin Marina."Ton, kami pulang, yah," pamit Ray."Tunggu, Mas. Ada yang ingin aku katakan pada Mas dan Pak Anton. Mungkin sebaiknya jan
"Bagaimana mungkin?" gumam Marina tak percaya.Foto terus dipandanginya tanpa mengetahui keberadaan Anton tepat di belakang. Foto yang katanya istri kedua Pak Adnan itu ia elus."Kok bisa?" gumamnya lagi."Ekhem."Marina menoleh. "Pak Anton?""Yes, i'm. Itu foto kenapa dilihat-lihat terus? Ntar juga ketemu di hari pernikahan kalian," ujar Anton, membuat Marina mengerjit keheranan. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu."Maksudnya?" Marina memberi pertanyaan."Ini foto ibunya Ray bukan? Tante Wiranti," jawab Anton.'Ya Allah, jadi foto orangtua yang kulihat di kamar Aura itu adalah foto ibunya Mas Ray? Itu artinya Mas Ray dan Pak Anton ...?' Marina menatap Anton tanpa berkedip.'Itu artinya Pak Anton ini kakaknya Mas Ray,' lanjutnya membatin."Yang kamu lihat aku sep
Mereka berpencar. Satu ke jendela dapur, satu ke pintu utama dan dua tepat di bawah jendela ruang tamu.Mereka mulai beraksi. Dengan peralatan yang sudah disediakan, keempat pria berwajah mirip-mirip preman itu mulai mengerjakan tugas masing-masing.Mengeluarkan obeng, lalu mencoba mencungkil jendela. Mereka melakukannya penuh kehati-hatian. Namun, pria yang berada di dapur dikejutkan seekor tikus yang lewat hingga ia mengeluarkan suara teriakan."Siapa di sana?" Suara Ray terdengar dari dalam.Pria yang masih kaget gara-gara tikus langsung berlari sebelum ketahuan pemilik rumah. Ia ke depan pintu utama. Benda tajam dan obengnya ditinggal di depan pintu dapur."Goblok!" marah pria yang berusaha membuka pintu utama sambil menjitak keras kepala temannya. Ia meminta kembali mengambil peralatan mereka."Tapi, tapi bagaimana
"Innalilahi wa'innailaihirraji'un," gumam Ray, kemudian dengan sigap ia menangkap tubuh Marina yang tiba-tiba tubuhnya terlihat lemas dan mau jatuh.Sekujur tubuh Marina lemah tak berdaya. Nyaris jatuh pingsan andai tidak ada Ray menangkap tubuhnya."Marina, sadar ayo duduk." Ray membawa Marina bersandar di dinding. Orang-orang melihatnya heran. Mungkin pada bertanya siapa mereka ini hingga sebegitu sedihnya melihat keadaan Puspa dan Ibu Rosma.Suara tangisan terdengar memilukan. Ray menoleh, ternyata Puspa sudah sadar dari pingsannya. Sedangkan saat ini Marina berusaha tetap sadar walau rasanya ingin pingsan dikarenakan mengingat surat Puspa yang memintanya merawat Ibu Rosma. Akan tetapi, nyatanya sudah terlambat."Mas, tolong tenangkan hati Puspa. Kasihan," lirih Marina.Ray tidak bicara sepatah kata pun, ia masih mengingat ketika pembantunya men