Aku terus mondar-mandir di depan lemari. Mata sesekali melirik manja ke gagang pintu tempat pakaian itu. Dilema antara ingin dan rasa takut.
Mengambil uang milik suami tanpa seizin darinya bukan perbuatan yang baik. Namun, mengingat uang itu sengaja disembunyikan dariku, mungkin tidak berdosa bila selembar atau dua lembar kupindahkan dalam dompet ini. Apalagi aku begitu butuh.
"Ampuni aku ya Allah, ini terpaksa," gumamku gemetar.
Pintu lemari kubuka lebar. Pelipis mulai basah oleh keringat. Rasa takut yang teramat membuat jantung berdegup. Ini pertama kali aku melakukannya.
Setelah mencari sekian detik, bahkan hitungan menit, aku tak juga mendapatkan benda itu. Celana suamiku hilang entah di mana. Aku mulai panik. Ke mana agaknya celana itu pergi? Mungkinkah Abang Mail menyembunyikannya di tempat lain?
Tidak. Aku harus menemukan uang itu. Di manapun Abang sembunyikan, aku tetap harus mendapatkannya. Ada banyak barang yang kubutuh. Tentu memerlukan uang untuk segera memiliki barang itu. Terutama keperluan dapur, garam dan beras tinggal sedikit. Paling tidak sampai dua hari saja, sudah pasti akan habis.
Pencarian akhirnya kuakhiri ketika mendengar suara siulan Bang Mail. Aku tidak tahu kenapa priaku itu tiba-tiba pulang. Padahal tadi sudah berangkat kerja.
Pintu lemari kututup rapat, lalu aku gegas ke depan cermin. Pura-pura memperbaiki make-up, sesekali melirik pintu kamar yang mulai terbuka luas.
"Adek mau ke mana cantik benar?" Bang Mail berdiri di belakang. Menatap wajahku dari pantulan cermin.
"Rumah Jihan," jawabku. "Abang kenapa pulang? Enggak kerja?" tanyaku balik.
"Ada yang abang lupa." Bang Mail duduk di tepi ranjang, ia tampak gelisah.
Ekspresinya itu menimbulkan rasa curiga. Jika ada sesuatu yang dilupa, lantas kenapa tidak segera mengambilnya kemudian pergi?
"Katanya ada yang dilupa, kok diam aja di situ? Enggak lama jam delapan, loh Bang. Enggak takut lambat?" ujarku.
Aku ingin Bang Mail segera pergi biar leluasa diri mencari keberadaan celananya. Jika terus berada di kamar, bagaimana bisa aku menemukan benda yang isinya sangat kubutuhkan itu?
"Hmm ...." Bang Mail terlihat seperti tak tahu harus berbuat apa. Ia berdiri ketika menyadari aku menatapnya tiada henti.
Selang beberapa saat, Bang Mail berjalan ke lemari. Tangannya mulai bergerak untuk membuka pintu. Akan tetapi, sebuah panggilan telepon berhasil menggagalkan. Ia merogoh saku celana untuk mengambil HP. Setelah itu menyambut baik sang penelepon.
"Baik, aku segera datang."
Hanya kalimat itu yang diucap sebelum akhirnya pamit pergi. Mungkin bosnya yang menelepon. Aku lega, akhirnya bisa kembali melanjutkan pencarian harta karung.
Tadi Bang Mail ke dekat lemari. Aku yakin dia ingin mengambil uang yang sudah disembunyikan. Ini tidak boleh dibiarkan. Bang Mail tidak boleh mengambil semua uang itu. Aku harus mendapatkannya beberapa lembar. Bukankah uang miliknya ada hak aku juga?
Selama satu bulan ini Bang Mail tidak memberiku uang dengan alasan temannya sudah pinjam. Nyatanya uang itu disembunyikan di dalam gulungan CD. Pintar sekali suamiku.
Setelah melakukan pencarian hampir satu jam, akhirnya gulungan CD berisi uang itu kutemukan di saku jaket yang tergantung. Pantas saja tidak bisa kutemukan, ternyata benar Abang Mail memindahkan ke tempat lain.
Baiklah Abang Sayang, mari kita bermain sebentar. Maafkan kelancangan istrimu ini. Salah sendiri kenapa menyembunyikan uang dari istri yang selama ini percaya, sayang dan cinta mati padamu.
Kuambil lima lembar uang merah, memindahkannya ke dompet. Setelah itu sisanya aku simpan kembali. Gulungan CD aku pindahkan lagi ke tempat lain biar Bang Mail tidak menemukannya. Biarkan dia mencari sampai mengungkap alasan mengapa dia melakukan hal itu.
Aku gegas pergi usai menyimpan gulungan CD dalam kasur yang sengaja kurobek, lalu menjahitnya kembali. Dengan begitu, aku yakin benda itu aman di tempat semedinya.
****
"Marina, aku minta maaf uangnya belum ada. Semalam anakku demam, terpaksa deh uang yang ingin aku berikan ke kamu aku pakai lagi beli obat. Maaf banget, yah." Jihan tampak merasa bersalah. Ia berkali-kali meminta maaf.
Jino anaknya yang masih berumur empat tahun duduk dipangkuan Jihan. Anak itu benar-benar pucat, tapi sudah tak demam lagi. Alhamdulillah.
Aku sebagai teman sangat memahami. Uang itu akhirnya kuikhlaskan, toh sudah punya uang dari dalam gulungan CD. Uang itu akan kupakai belanja di pasar.
"Enggak apa-apa, pakai aja. Nanti enggak usah dibayar, kasih Jino aja untuk jajan. Lekas sembuh yah, Jino. Tante pulang dulu." Aku pamit.
"Marina, beneran kamu kasih?" Mata Jihan mengembun.
"Iya, aku ikhlas," balasku tersenyum.
"Semoga Tuhan memberkati. Terima kasih, Mar," kata Marina sambil mengusap air mata yang tiba-tiba jatuh. Aku mendekapnya sebelum benar-benar pergi.
Meski beda agama, kami tetap menjalin hubungan persahabatan yang sangat baik. Aku mengerti dia, dia juga mengerti aku. Kami sudah lama kenal dan saling bertukar cerita. Jihan adalah korban KDRT. Sudah berkali-kali minta cerai tapi suaminya enggan. Sekarang mereka masih hidup dalam satu atap. Suaminya jarang pulang. Dengar dari cerita Jihan, suaminya juga selingkuh.
Aku pamit. Saat ini tujuanku adalah ke pasar untuk membeli keperluan dapur. Dalam perjalanan, teringat beberapa minggu yang lalu.
Andai aku tidak terlambat datang ke tempat kerja hari itu, mungkin sampai kini masih bekerja. Aku dipecat hanya gara-gara lambat satu kali. Bosnya terkesan sombong dan peduli amat kondisi orang.
Entah ke mana lagi aku mencari pekerjaan supaya bisa mendapatkan uang. Mengharap gaji suami tampaknya tidak mungkin lagi. Sekarang dia sudah tidak seperti dulu. Gajinya disembunyikan. Aku tidak dapat apa-apa.
Tiba di pasar, aku langsung ke toko kosmetik di seberang jalan. Kubeli semua make-up yang kuperlukan. Pokoknya aku harus puas berbelanja. Setelah itu barulah masuk pasar. Menembus keramaian menuju penjual ayam.
"Bang, ini harganya berapa?" tunjukku pada seekor ayam yang dibersihkan, tinggal dipotong-potong saja.
"Satu ekor empat puluh ribu Mbak," jawabnya.
"Aku ambil dua, yah."
Bapak tua itu memasukkan ayam dua ekor dalam plastik, lalu memberikannya padaku usai menyerahkan uang pas sebagai bukti pembayaran.
Setelah itu, aku membeli sayuran kemudian langsung naik ojek pulang ke rumah. Tepat jam sebelas lewat, aku akhirnya tiba.
"Ini uangnya Pak. Terima kasih, yah."
"Sama-sama." Tukang ojek melaju meninggalkan depan rumah.
Sebelum masuk, aku melirik ke arah rumah dua tingkat milik Puspa. Di sana ada seorang ibu tengah berdiri di teras sambil memandang kemari. Mungkin dia ibu dari wanita menyebalkan itu.
Aku gegas masuk sambil membawa barang belanjaan. Tidak sabar rasanya menunggu kepulangan Bang Mail. Dia pasti kaget melihat semua ini. Ayam akan aku masak rica-rica kesukaannya. Pokoknya malam ini adalah malam yang akan membuatnya menyimpan sejuta tanya.
"Kapok kamu Bang. Mulai sekarang aku enggak akan tinggal diam."
Bersambung
Tepat jam enam, aku mulai berkutat dengan peralatan dapur. Memotong ayam menjadi beberapa bagian dan membersihkan sayur untuk kujadikan jamuan makan malam nanti.Sambil mengerjakan tugas, seketika teringat dengan uang milik suami yang sudah aku belanja. Jujur, aku tidak enak hati, merasa bersalah. Akan tetapi, rasa itu berusaha kulawan sekuat hati.Uang itu ada hak aku di dalamnya, tidak salah mengambil separuh. Aku yakin tidak akan dosa seorang istri mengambil uang suaminya yang bisa dikategorikan sebagai suami pelit.Iya, pelit. Aku baru sadar, selama satu bulan ini Bang Mail berbohong. Setiap aku minta uang selalu mendapat jawaban 'tidak ada' sudah dipinjam orang."Astaghfirullah, ya Allah." Rasanya batinku tertekan.Untuk mengisi paru-paru yang kembali terasa sesak, aku menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya lagi. Selanjutnya berusaha fokus pada pekerjaan yang kulakukan.Selesai membersihkan potongan-potongan ayam, bumbu y
"Kemana, tuh orang?" Mata mengarah ke pintu kamar yang jaraknya dekat dengan dapur. Lama aku menunggu teriakan dari Bang Mail, tapi tidak sedikitpun ia bersuara. Jangankan suara, orangnya saja sama sekali tidak muncul. Mungkin Abang belum sadar yang kupakai belanja adalah uang miliknya. Padahal aku tidak sabar ingin melihat bagaimana reaksinya. Tidak sabar ingin tahu untuk apa uang itu dan apa alasannya menyembunyikannya dariku. Akh, gagal. Bang Mail beneran tidak muncul. Kuangkat piring bekas tempat makan kami ke wastafel. Mencuci semuanya, lalu mengemas sisa-sisa makanan lainnya untuk kemudian kututup kembali menggunakan tudung saji. Setelah kerjaan beres aku menuju kamar. Pintu kubuka secara perlahan. Tampak Bang Mail sedang duduk melamun di tepi ranjang. Wajahnya terlihat sangat sedih. Aku tidak tahu masalah apa yang sedang dihadapi hingga ia tampak sesedih itu. Tadinya kupikir sudah tidur, ternyata tidak. "Ekhem.
Kutatap wajah Bang Mail penuh selidik. Dia yang tengah kebingungan hanya bisa mengalihkan pandangan seolah-olah takut menatapku.Aku memicingkan mata, menatapnya lekat tanpa bersuara. Tak sabar rasanya ingin mendengar alasan yang akan dikatakannya. Sedetik kemudian, kudekatkan diri padanya, mendongak tak henti menatap."Uang?" tanyaku memastikan. Tetap setia pada kepura-puraan. "Abang punya uang?"Dapat kulihat bagaimana ekspresi Bang Mail ketika kutanya soal uang yang dimaksud. Sepintas ia melihatku, lalu kembali berpaling. Emosi mulai terlukis di wajah tampan itu. Yang demikian membuat hati ini senang."Abang punya uang?" Sekali lagi aku bertanya. "Uang dari mana, Bang? Bukannya Abang bilang enggak punya uang? Dipinjam teman."Aku sengaja mengingatkan semua yang pernah terucap dari mulutnya. Bang Mail harus sadar, harus malu jika yang dilakukan itu tidak baik. Membohongi istri, menyembunyikan uang dari istri itu sangat keterlaluan menurutku. 
Kuikuti Bang Mail. Di lorong dekat penyerahan obat-obatan, nyaris saja aku ketahuan. Untung segera menyadarinya dan langsung ikut mendorong brankar pasien yang tengah didorong oleh suster. Juga ada beberapa orang yang ikut serta sambil menangis memegang tangan pasien yang tak sadarkan diri."Mbak siapa?" Seseorang bertanya. Mungkin keluarga pasien. Kulepas tangan dari brankar itu."Ak–aku, aku salah orang. Maaf," jawabku setelah yakin Bang Mail sudah tak lagi memerhatikan.Aku gegas pergi. Melajukan langkah mencari sosok suami yang belakangan ini menyakiti hati. Hampir setiap ruangan kuperiksa dengan teliti, tapi tidak membuahkan hasil. Tepat di depan ruangan ICU, aku mengintip melalui pintu kaca yang transparan."Kamu berbohong Bang. Yang bersama Abang di rumah sakit ternyata bukan bos Abang," gumamku.Kucoba mengondisikan detak jantung yang kian melaju. Tidakl
Kupersilahkan masuk ke rumah. Tidak baik seorang tamu dibiarkan berdiri di luar. Apalagi sudah mulai malam dan angin pun bertiup kencang hingga dinginnya berasa menembus ke kulit terdalam."Tidak perlu," tolaknya datar. "Sadarkan suamimu."Kalimat terakhir membuatku mengingat beberapa hari yang lalu seorang ibu berkerudung datang mengatakan kalimat yang sama. Jangan-jangan ibu berkerudung itu adalah dia? Dia ibunya Puspa yang pernah menatapku diam-diam di teras rumahnya.Aku tak tahu sedang memikirkan apa di saat netranya mengarah padaku. Dan aku juga tak tahu mengapa ia memintaku menyadarkan Bang Mail."Maksud ibu apa, yah?" tanyaku. Rasa ingin tahu ini begitu besar."Puspa, anakku mencintai suamimu dan suamimu membalasnya. Suruh pria laknat itu bercermin. Dia siapa dan berasal dari keluarga bagaimana? Sadar diri. Anakku tidak sepadan dengannya," jelasnya panjang leb
Aku sangat-sangat terkejut. Terlebih lagi kini aku menginjakkan kaki di halaman rumahnya. Rumah yang tidak lain milik Puspa ini membuat hati terasa nyut-nyut ngeri. Berasa kalah dari seorang pelakor.Aku lambat menyadari semuanya. Jika seandainya dari dulu menyelidiki hubungan antara keduanya, mungkin saat itu juga aku berhemat demi membeli rumah baru yang akan kutinggali seorang diri. Mau bagaimana? Allah belum mempercayaiku untuk memiliki seorang anak."Kamu kenapa, kenal pemilik rumah ini?" tanya Pak Ray.Tidak ada jawaban dari mulut seorang Marina Anggira. Kulajukan langkah keluar dari pekarangan rumah pelakor itu. Meski sejuta tanya bersarang di kepala, aku tetap tinggalkan depan rumahnya.'Pak Ray dan mereka ada hubungan apa yah?' batinku terus bertanya-tanya.Aku ke rumah dengan langkah cepat. Ternyata Bang Mail sedari tadi memerhatikan. Sejak kapan dia pulang?
"Lepas aku bilang!" pintaku, meronta.Sekuat tenaga melawan dan mencoba mencari tahu pemilik tangan kekar itu, tapi semuanya gelap. Aku tidak bisa melihat secara jelas siapa agaknya yang begitu cepat mencekal pergelangan tanganku di tengah gelapnya malam?Aku hanya menduga mungkinkah tangan milik Bang Mail? Dari bau parfum sepertinya dirinya. Akan tetapi, itu belum pasti karena parfum yang digunakan Pak Ray saja mirip dengan yang digunakan suamiku."Lepas!" Tak henti-hentinya melawan hingga rasanya tenaga sedikit terkuras. Aku mulai lelah hingga terpaksa menggigit tangannya."Marina, kumohon jangan pergi. Abang sangat mencintai kamu."Suara itu? Ternyata dia Bang Mail. Berarti dia terbangun tak lama setelah aku pergi.Meski sudah aku gigit, Bang Mail tetap enggan melepas tangan ini. Ia terus memegangnya erat lalu berjalan meraih koper dan HP yang tergeletak di pinggir jalan.Kulihat layar HP retak. Ini semua
Aku membalas senyuman wanita itu. Ia menghampiri Pak Ray, meraih tangannya lalu ia cium dengan takzim."Tumben Mas lambat pulang?" tanyanya, masih dengan senyuman yang menghias wajahnya."Mas liatin Puspa dulu." Pak Ray menjawab. "Oh, iya ... Sayang, kenalkan ini Marina mantan pegawai mas yang akan kembali bekerja."Aku hanya tersenyum ketika istri Pak Ray menatapku. Selang beberapa saat, ia mengulurkan tangan. "Nessa.""Marina." Aku pun menyambutnya."Yuk, masuk!" ajaknya kemudian."Marina ayo." Pak Ray juga mengajak."Ayo masuk Tante," sahut Aura.Aku mengangguk sembari tersenyum lagi dan lagi. Kuikuti langkah mereka sambil menarik koper hingga tiba di ruang tamu dan dipersilakan duduk layaknya tamu terhormat.Dari segi perbuatan, sepertinya Nessa orangnya baik. Apakah saat mengantar Bang Mail menemui Puspa di rumah sakit dia tidak tahu kalau yang diantar sudah beristri? Atau pura-
Marina tak enak hati ketika tahu ternyata Anton benar-benar membelikan tiket untuknya. Ia menatap Anton yang hanya fokus bicara sama Ray.'Aku tahu niatmu bagus Mas, tapi kok aku enggak enak begini? Aku tahu di balik hadiah tiket ini, Mas ingin berusaha membuang perasaan mas padaku sekaligus membayar janji mas tempo hari. Itu bagus untuk kami semua, tapi jujur aku enggak enak banget,' batin Marina."Hadiahnya tiket?" Ray mengeluarkan dua tiket pesawat.Sebenarnya Ray juga tahu Anton berusaha membuang perasaannya terhadap Marina. Akan tetapi, Ray berpura-pura tidak tahu. Ia tidak ingin membalas soal itu. Suatu saat Anton pasti akan menemukan wanita yang jauh lebih baik. Ray yakin."Ya, tiket pesawat ke Dubai untuk kalian. Aku rasa kamu sudah sembuh. Kalian enggak mau berbulan madu? Aku juga sudah pesan hotel untuk kalian, loh di sana," kata Anton, terlihat senang. Meski hatinya ada sedikit kesedihan y
"Jika jalan satu-satunya adalah operasi, tolong disegerakan Dok. Lakukan yang terbaik untuk adikku."Pada akhirnya Anton meminta dokter, Ray dioperasi saja. Ia yakin adiknya pasti akan selamat. Keputusan itu tentu saja sudah disetujui semua keluarga."Baiklah, tapi pihak rumah sakit tidak bisa menjamin keselamatan saudara Bapak. Kepalanya terbentur keras dan banyak kehilangan darah. Sudah pasti kepalanya mengalami luka yang sangat parah," jelas dokter."Aku percaya kuasa Allah," balas Anton, yakin Ray tetap akan selamat. Akhirnya dokter pun gegas menyiapkan peralatan yang akan dipakainya untuk operasi."Ya Allah, selamatkan suamiku, selamatkan suamiku," gumam Marina.Beberapa jam telah berlalu, mereka menunggu hasil. Marina mondar-mandir di depan ruang operasi dengan perasaan takut. Bagaimana jika nanti suaminya tidak selamat? Pikirnya.
Sambil tetap mendekatkan HP di telinga, Anton kembali membatin, 'Selamat menempuh hidup baru. Semoga bahagia dunia dan akhirat. Doakan semoga aku bisa move on dari rasa ini. Aku tersiksa melihatmu bersamanya.'Tidak bisa dipungkiri, meski sudah berusaha menerima kenyataan bahwa dirinya bukanlah jodoh Marina, tetapi tetap saja Anton sangat sedih melihat adiknya bersanding dengan wanita idamannya.Terkadang bisikan setan menghasutnya untuk membawa kabur Marina dari pelaminan. Akan tetapi, Anton mampu melawan.'Dia bukan jodohku. Aku percaya, jika jodoh takkan kemana.'"Hai, sama siapa? Tante Soraya dan Bapak mana? Mereka berjanji akan datang, loh."Anton kaget, bahunya ditepuk seseorang yang tidak lain adalah Ray. Saat ini Ray sudah memaafkan Pak Adnan. Anton juga sama.Dua hari yang lalu, Pak Adnan berlutut minta maaf pada Soraya. Minta balik
Sambil tetap mendekatkan HP di telinga, Anton kembali membatin, 'Selamat menempuh hidup baru. Semoga bahagia dunia dan akhirat. Doakan semoga aku bisa move on dari rasa ini. Aku tersiksa melihatmu bersamanya.'Tidak bisa dipungkiri, meski sudah berusaha menerima kenyataan bahwa dirinya bukanlah jodoh Marina, tetapi tetap saja Anton sangat sedih melihat adiknya bersanding dengan wanita idamannya.Terkadang bisikan setan menghasutnya untuk membawa kabur Marina dari pelaminan. Akan tetapi, Anton mampu melawan.'Dia bukan jodohku. Aku percaya, jika jodoh takkan kemana.'"Hai, sama siapa? Tante Soraya dan Bapak mana? Mereka berjanji akan datang, loh."Anton kaget, bahunya ditepuk seseorang yang tidak lain adalah Ray. Saat ini Ray sudah memaafkan Pak Adnan. Anton juga sama.Dua hari yang lalu, Pak Adnan berlutut minta maaf pada Soraya. Minta balik
Tanpa dipersilahkan, pemberi salam langsung masuk. Berjalan pelan ke arah Wiranti, Ray dan Aura."Aku sudah lama mencari keberadaanmu Wiranti. Ternyata kamu di sini. Ray anakmu yang berarti juga anakku. Anak kita," ucapnya sumringah. Akhirnya bisa menemukan anak kedua dari hasil pernikahan kedua.Karena Anton menolak harta warisan darinya. Pak Adnan akan mengalihkan semuanya pada Ray. Ia sangat berharap anaknya itu bisa menerima. Sebab, merasa diri tak lama lagi akan kembali menghadap Tuhan. Pak Adnan tidak mau menyisakan harta untuk istrinya yang saat ini, yaitu Dena. Karena selepas ini pun wanita itu akan diceraikannya. Dena sudah berselingkuh dengan pria lain. Tidak ada kata maaf.Pak Adnan sadar itu salahnya, karena kerap main tangan disebabkan emosi yang tidak terkendali dan semua itu juga karena seringnya Dena menghambur-hamburkan uang. Pak Adnan merasa Dena hanya mencintai hartanya saja.
Meski Anton sedih karena sebentar lagi wanita yang dicintainya akan menikah, tapi ia berusaha merelakan. Sebab cinta itu memang lebih kepada merelakan, bukan melepaskan ataupun mengumpul keberanian untuk merebut.Keduanya melempar senyum, lalu Anton membalikkan badan berjalan ke sofa. Sedangkan Marina ke dapur untuk minum. Kerongkongannya seketika berasa kering, ia harus minum untuk melegakan tenggorokan.Klakson mobil membuat Marina bergegas keluar, melewati Anton yang kini berdiri di ambang pintu utama."Aku lambat enggak?" tanya Ray, baru saja turun dari mobilnya."Enggak, kok Mas," jawab Marina sambil tersenyum.'Tentang foto tadi, aku kasih tahu mereka enggak, yah?' batin Marina."Ton, kami pulang, yah," pamit Ray."Tunggu, Mas. Ada yang ingin aku katakan pada Mas dan Pak Anton. Mungkin sebaiknya jan
"Bagaimana mungkin?" gumam Marina tak percaya.Foto terus dipandanginya tanpa mengetahui keberadaan Anton tepat di belakang. Foto yang katanya istri kedua Pak Adnan itu ia elus."Kok bisa?" gumamnya lagi."Ekhem."Marina menoleh. "Pak Anton?""Yes, i'm. Itu foto kenapa dilihat-lihat terus? Ntar juga ketemu di hari pernikahan kalian," ujar Anton, membuat Marina mengerjit keheranan. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu."Maksudnya?" Marina memberi pertanyaan."Ini foto ibunya Ray bukan? Tante Wiranti," jawab Anton.'Ya Allah, jadi foto orangtua yang kulihat di kamar Aura itu adalah foto ibunya Mas Ray? Itu artinya Mas Ray dan Pak Anton ...?' Marina menatap Anton tanpa berkedip.'Itu artinya Pak Anton ini kakaknya Mas Ray,' lanjutnya membatin."Yang kamu lihat aku sep
Mereka berpencar. Satu ke jendela dapur, satu ke pintu utama dan dua tepat di bawah jendela ruang tamu.Mereka mulai beraksi. Dengan peralatan yang sudah disediakan, keempat pria berwajah mirip-mirip preman itu mulai mengerjakan tugas masing-masing.Mengeluarkan obeng, lalu mencoba mencungkil jendela. Mereka melakukannya penuh kehati-hatian. Namun, pria yang berada di dapur dikejutkan seekor tikus yang lewat hingga ia mengeluarkan suara teriakan."Siapa di sana?" Suara Ray terdengar dari dalam.Pria yang masih kaget gara-gara tikus langsung berlari sebelum ketahuan pemilik rumah. Ia ke depan pintu utama. Benda tajam dan obengnya ditinggal di depan pintu dapur."Goblok!" marah pria yang berusaha membuka pintu utama sambil menjitak keras kepala temannya. Ia meminta kembali mengambil peralatan mereka."Tapi, tapi bagaimana
"Innalilahi wa'innailaihirraji'un," gumam Ray, kemudian dengan sigap ia menangkap tubuh Marina yang tiba-tiba tubuhnya terlihat lemas dan mau jatuh.Sekujur tubuh Marina lemah tak berdaya. Nyaris jatuh pingsan andai tidak ada Ray menangkap tubuhnya."Marina, sadar ayo duduk." Ray membawa Marina bersandar di dinding. Orang-orang melihatnya heran. Mungkin pada bertanya siapa mereka ini hingga sebegitu sedihnya melihat keadaan Puspa dan Ibu Rosma.Suara tangisan terdengar memilukan. Ray menoleh, ternyata Puspa sudah sadar dari pingsannya. Sedangkan saat ini Marina berusaha tetap sadar walau rasanya ingin pingsan dikarenakan mengingat surat Puspa yang memintanya merawat Ibu Rosma. Akan tetapi, nyatanya sudah terlambat."Mas, tolong tenangkan hati Puspa. Kasihan," lirih Marina.Ray tidak bicara sepatah kata pun, ia masih mengingat ketika pembantunya men