"Kemana, tuh orang?" Mata mengarah ke pintu kamar yang jaraknya dekat dengan dapur.
Lama aku menunggu teriakan dari Bang Mail, tapi tidak sedikitpun ia bersuara. Jangankan suara, orangnya saja sama sekali tidak muncul. Mungkin Abang belum sadar yang kupakai belanja adalah uang miliknya.
Padahal aku tidak sabar ingin melihat bagaimana reaksinya. Tidak sabar ingin tahu untuk apa uang itu dan apa alasannya menyembunyikannya dariku.
Akh, gagal. Bang Mail beneran tidak muncul.
Kuangkat piring bekas tempat makan kami ke wastafel. Mencuci semuanya, lalu mengemas sisa-sisa makanan lainnya untuk kemudian kututup kembali menggunakan tudung saji. Setelah kerjaan beres aku menuju kamar.
Pintu kubuka secara perlahan. Tampak Bang Mail sedang duduk melamun di tepi ranjang. Wajahnya terlihat sangat sedih. Aku tidak tahu masalah apa yang sedang dihadapi hingga ia tampak sesedih itu. Tadinya kupikir sudah tidur, ternyata tidak.
"Ekhem." Aku sengaja berdehem. Bang Mail pun terkesiap.
"Marina?" kejutnya sambil memperbaiki posisi duduk. Ia menatapku lekat. "Marina, jalan-jalan yuk!"
Aku menoleh melihatnya.
Abang mengajak jalan, apa ini mimpi? Apakah aku masih ia tempatkan di hatinya atau ini hanyalah sebuah trik untuk membuatku tak menyimpan rasa curiga?
Bang Mail, sedang merencanakan apa dirimu? Tidakkah engkau tahu betapa sakitnya hati ini? Batinku berucap.
"Tumben Abang mengajak jalan?" selidikku, berusaha tenang walau hati resah.
"Salahkah seorang suami mengajak istrinya jalan?" Dia malah balik bertanya. Kedua tanganku ia raih, tapi gesit kutepis.
"Enggak salah, Bang. Aneh saja menurutku." Sebenarnya ingin kutanyakan semua perihal uang dan soal yang dikatakan Jihan barusan.
Benarkah Bang Mail ke rumah sakit bersama seorang wanita?
"Aneh bagaimana?" tanyanya. Dia memang pria yang suka banyak tanya.
Menyebalkan. Mungkin tak perlu lagi aku menunda waktu. Aku harus menanyakan semuanya. Jika tidak, masalah ini akan terus menghantui pikiranku, akan membuat hatiku tidak tenang.
"Abang tadi ke rumah sakit?" Aku bertanya.
Mata elang milik suami kutatap tanpa berkedip. Baru kali ini aku berani menatapnya lama. Itu karena hatiku sedang sedih dan sedikit emosi. Kebenaran ingin segera kuketahui biar ada solusi dari masalah yang aku hadapi.
Sedangkan Bang Mail sendiri tampak terkejut dengan pertanyaan yang kutujukan padanya. Ia tak tahu harus bicara apa. Mungkin sedang memikirkan bagaimana aku bisa tahu dirinya dari rumah sakit.
"Abang enggak perlu tahu siapa yang memberitahu. Ngapain ke rumah sakit?" Lagi-lagi aku bertanya hal yang sama.
"Bos abang minta ditemani ke rumah sakit," jawabnya lancar.
"Bos Abang wanita atau laki-laki?" selidikku, penuh curiga.
Jihan bilang Bang Mail bersama seorang wanita di rumah sakit sedangkan Bang Mail bilang yang bersamanya di rumah sakit itu adalah bosnya. Aku mau tahu seberapa jujur dia padaku. Jika dia jujur, pasti akan mengatakan wanita.
"Wanita. Kamu jangan banyak pikir. Bos abang sudah bersuami. Kebetulan suaminya ke luar kota jadi enggak ada yang temani. Jadilah abang yang diminta temani ke sana." Bang Mail menjelaskan tanpa aku minta. Syukurlah dia berkata jujur.
Kutarik selimut, menutup semua tubuh. Namun, Bang Mail menyingkap selimutku.
"Marina, ayolah ... kita enggak pernah jalan-jalan. Abang butuh refreshing, plis." Bang Mail merayu.
"Maaf, Bang. Aku mengantuk."
Tak lagi kuhiraukan dirinya. Aku menutup mata. Bukan tidur, bukan ... aku hanya tidak ingin bicara dengannya. Ada banyak hal yang aku pikirkan tentang suamiku itu. Bisa dikata saat ini pikiranku sedang mengembara.
Hingga pada akhirnya aku merasakan sebuah hembusan napas dari depan. Kuyakin suamiku berada dekat dengan wajah ini. Aroma tubuh dan napasnya sangat kukenal.
Beberapa saat kemudian, aroma itu menghilang dan detik berikutnya kudengar suara lemari terbuka.
'Jangan-jangan ....'
Kubuka mata secara pelan, ternyata dugaanku benar. Bang Mail sedang mengobrak-abrik lemari pakaian. Aku tahu dia pasti mencari CD yang ada uangnya.
Jadi tadi itu dia mengecek apakah aku sudah tidur atau belum. Kenapa baru sekarang dicek? Tadi saat aku masih di dapur kan bisa. Atau jangan-jangan dia baru mengingatnya?
Ingin aku tertawa lepas melihat wajah gelisah milik suami. Dia berkeringat padahal cuaca sangat dingin.
Bang Mail menoleh menatapku. Nyaris saja aku ketahuan pura-pura tidur. Untung cepat-cepat menutup rapat mata ini.
'Kapok kamu Bang. Makanya jadi suami jangan kebangetan!'
***
Aku bangun untuk salat subuh. Tidak akan semelongoh ini jika seandainya yang kulihat bukan pakaian terhambur. Oh, jadi semalam itu Bang Mail kembali bangun mencari uangnya. Tak menyerah juga dia.
Kutarik napas untuk mengurangi perasaan kesal. Pakaian sebanyak itu pasti aku lagi yang bereskan. Ya Allah ....
"Kenapa harus seperti ini Bang? Aku mencintai Abang, tapi begitu tega Abang musnahkan." Wajah suami aku tatap lekat. Tak terasa air mata kembali jatuh.
Aku berjanji ini adalah air mata terakhir yang jatuh untuknya. Selanjutnya akan kutemukan bahagia tiada batas.
Meninggalkan kamar dengan perasaan masih sangat sedih. Aku ke dapur memasak makanan untuk kami makan nanti.
Hanya membutuhkan waktu satu jam lebih, akhirnya makanan sudah siap untuk disantap. Aku berkali-kali melihat ke arah pintu kamar yang masih tertutup rapat. Tidak tahu mengapa Bang Mail belum juga keluar padahal ini sudah mendekati jam tujuh.
Bang Mail harus mandi sebelum ke tempat kerjanya. Harus berpakaian rapi dulu. Kalau belum bangun, nanti akan terlambat. Duh, nih orang kenapa, sih?
Rencananya ingin membangunkan, tapi tepat saat aku ingin membuka pintu ... Bang Mail sudah terlebih dulu membukanya.
Dia menatapku, wajahnya tampak penuh emosi. Aku tahu dia mencurigai istrinya ini. Biarkan saja, aku juga tahu dia tidak akan berani menanyakan keberadaan uang itu.
"Abang kenapa?" Mari berpura-pura tidak tahu-menahu tentang semua yang terjadi.
Bang Mail belum menjawab. Ia masih setia menatapku lekat. Aku bersedekap, menatapnya tak mau kalah.
"Itu pakaian di lemari kenapa bisa seperti itu Bang? Abang pikir aku enggak capek mengemas? Abang, tuh yah enggak pernah perhatian sedikit saja," omelku. Tentu juga pura-pura biar tidak ketahuan.
"Lihat CD abang warna cokelat? Abang simpan di saku jas." Bang Mail memasang wajah serius.
"Warna cokelat? Oh, aku ingat. Astagfirullah, udah kubuang Bang di tong sampah," kataku asal.
"Apa?! Adek tahu enggak, di dalamnya itu ada uangnya," ucapnya laju, lalu menutup mulut dengan kedua tangan.
Nah, keceplosan. Kena kamu Bang.
Bersambung
Kutatap wajah Bang Mail penuh selidik. Dia yang tengah kebingungan hanya bisa mengalihkan pandangan seolah-olah takut menatapku.Aku memicingkan mata, menatapnya lekat tanpa bersuara. Tak sabar rasanya ingin mendengar alasan yang akan dikatakannya. Sedetik kemudian, kudekatkan diri padanya, mendongak tak henti menatap."Uang?" tanyaku memastikan. Tetap setia pada kepura-puraan. "Abang punya uang?"Dapat kulihat bagaimana ekspresi Bang Mail ketika kutanya soal uang yang dimaksud. Sepintas ia melihatku, lalu kembali berpaling. Emosi mulai terlukis di wajah tampan itu. Yang demikian membuat hati ini senang."Abang punya uang?" Sekali lagi aku bertanya. "Uang dari mana, Bang? Bukannya Abang bilang enggak punya uang? Dipinjam teman."Aku sengaja mengingatkan semua yang pernah terucap dari mulutnya. Bang Mail harus sadar, harus malu jika yang dilakukan itu tidak baik. Membohongi istri, menyembunyikan uang dari istri itu sangat keterlaluan menurutku. 
Kuikuti Bang Mail. Di lorong dekat penyerahan obat-obatan, nyaris saja aku ketahuan. Untung segera menyadarinya dan langsung ikut mendorong brankar pasien yang tengah didorong oleh suster. Juga ada beberapa orang yang ikut serta sambil menangis memegang tangan pasien yang tak sadarkan diri."Mbak siapa?" Seseorang bertanya. Mungkin keluarga pasien. Kulepas tangan dari brankar itu."Ak–aku, aku salah orang. Maaf," jawabku setelah yakin Bang Mail sudah tak lagi memerhatikan.Aku gegas pergi. Melajukan langkah mencari sosok suami yang belakangan ini menyakiti hati. Hampir setiap ruangan kuperiksa dengan teliti, tapi tidak membuahkan hasil. Tepat di depan ruangan ICU, aku mengintip melalui pintu kaca yang transparan."Kamu berbohong Bang. Yang bersama Abang di rumah sakit ternyata bukan bos Abang," gumamku.Kucoba mengondisikan detak jantung yang kian melaju. Tidakl
Kupersilahkan masuk ke rumah. Tidak baik seorang tamu dibiarkan berdiri di luar. Apalagi sudah mulai malam dan angin pun bertiup kencang hingga dinginnya berasa menembus ke kulit terdalam."Tidak perlu," tolaknya datar. "Sadarkan suamimu."Kalimat terakhir membuatku mengingat beberapa hari yang lalu seorang ibu berkerudung datang mengatakan kalimat yang sama. Jangan-jangan ibu berkerudung itu adalah dia? Dia ibunya Puspa yang pernah menatapku diam-diam di teras rumahnya.Aku tak tahu sedang memikirkan apa di saat netranya mengarah padaku. Dan aku juga tak tahu mengapa ia memintaku menyadarkan Bang Mail."Maksud ibu apa, yah?" tanyaku. Rasa ingin tahu ini begitu besar."Puspa, anakku mencintai suamimu dan suamimu membalasnya. Suruh pria laknat itu bercermin. Dia siapa dan berasal dari keluarga bagaimana? Sadar diri. Anakku tidak sepadan dengannya," jelasnya panjang leb
Aku sangat-sangat terkejut. Terlebih lagi kini aku menginjakkan kaki di halaman rumahnya. Rumah yang tidak lain milik Puspa ini membuat hati terasa nyut-nyut ngeri. Berasa kalah dari seorang pelakor.Aku lambat menyadari semuanya. Jika seandainya dari dulu menyelidiki hubungan antara keduanya, mungkin saat itu juga aku berhemat demi membeli rumah baru yang akan kutinggali seorang diri. Mau bagaimana? Allah belum mempercayaiku untuk memiliki seorang anak."Kamu kenapa, kenal pemilik rumah ini?" tanya Pak Ray.Tidak ada jawaban dari mulut seorang Marina Anggira. Kulajukan langkah keluar dari pekarangan rumah pelakor itu. Meski sejuta tanya bersarang di kepala, aku tetap tinggalkan depan rumahnya.'Pak Ray dan mereka ada hubungan apa yah?' batinku terus bertanya-tanya.Aku ke rumah dengan langkah cepat. Ternyata Bang Mail sedari tadi memerhatikan. Sejak kapan dia pulang?
"Lepas aku bilang!" pintaku, meronta.Sekuat tenaga melawan dan mencoba mencari tahu pemilik tangan kekar itu, tapi semuanya gelap. Aku tidak bisa melihat secara jelas siapa agaknya yang begitu cepat mencekal pergelangan tanganku di tengah gelapnya malam?Aku hanya menduga mungkinkah tangan milik Bang Mail? Dari bau parfum sepertinya dirinya. Akan tetapi, itu belum pasti karena parfum yang digunakan Pak Ray saja mirip dengan yang digunakan suamiku."Lepas!" Tak henti-hentinya melawan hingga rasanya tenaga sedikit terkuras. Aku mulai lelah hingga terpaksa menggigit tangannya."Marina, kumohon jangan pergi. Abang sangat mencintai kamu."Suara itu? Ternyata dia Bang Mail. Berarti dia terbangun tak lama setelah aku pergi.Meski sudah aku gigit, Bang Mail tetap enggan melepas tangan ini. Ia terus memegangnya erat lalu berjalan meraih koper dan HP yang tergeletak di pinggir jalan.Kulihat layar HP retak. Ini semua
Aku membalas senyuman wanita itu. Ia menghampiri Pak Ray, meraih tangannya lalu ia cium dengan takzim."Tumben Mas lambat pulang?" tanyanya, masih dengan senyuman yang menghias wajahnya."Mas liatin Puspa dulu." Pak Ray menjawab. "Oh, iya ... Sayang, kenalkan ini Marina mantan pegawai mas yang akan kembali bekerja."Aku hanya tersenyum ketika istri Pak Ray menatapku. Selang beberapa saat, ia mengulurkan tangan. "Nessa.""Marina." Aku pun menyambutnya."Yuk, masuk!" ajaknya kemudian."Marina ayo." Pak Ray juga mengajak."Ayo masuk Tante," sahut Aura.Aku mengangguk sembari tersenyum lagi dan lagi. Kuikuti langkah mereka sambil menarik koper hingga tiba di ruang tamu dan dipersilakan duduk layaknya tamu terhormat.Dari segi perbuatan, sepertinya Nessa orangnya baik. Apakah saat mengantar Bang Mail menemui Puspa di rumah sakit dia tidak tahu kalau yang diantar sudah beristri? Atau pura-
POV MailSejak kepergian Marina dari rumah, makanku tak terurus, pikiran tak karuan dan tidur pun tak nyenyak. Bukan karena tidur tanpa kasur, tapi karena Marina istriku tak berada di sisi.Jujur, kepergiannya meninggalkan sejuta luka di hati ini. Aku benar-benar kehilangan Marinaku, sosok wanita berstatus istri yang selalu taat akan perintah Allah. Yang selalu menyediakan makanan untukku dan yang selalu ada setiap aku butuh.'Marina abang merindukanmu.'Kulipat dua selimut yang kupakai semalam dengan air mata melaju membasahi pipi. Aku kesepian tanpa Marina. Dia segala-galanya bagiku.Setelah rapi, selimut aku simpan di atas ranjang. Semalam aku tidur di lantai beralaskan selimut. Meski sudah pakai selimut tebal, tetap saja dinginnya malam menembus hingga ke tulang-tulang. Dingin sekali.Sebelum berangkat kerja, pagi-pagi sekali aku harus mengurus Puspa di rumahnya. Mulai dari minumnya hingga makannya. Kadang lelah dan ingin men
Aku sangat marah. Pria berpakaian jas hitam itu kembali kupukul bertubi-tubi usai berhasil melepas diri dari wanita yang memegangku. Rasanya ingin kubunuh saja pria itu. Beraninya merebut Marina. Aku tidak terima!"Bang sudah! Kamu apa-apaan, sih main pukul aja?!" Marina dan wanita yang bersamanya menarik tangan ini barulah aku berhenti memukul. Meski demikian, aku puas sudah membuat wajah pria brengsek itu lebam. Bahkan ujung bibirnya berdarah.Aku tersenyum kecut melihatnya tak berdaya. Berdiri pun sepertinya harus bekerja keras. Ia hanya menatapku tanpa bersuara. Sama sekali tidak marah apalagi melawan. Mungkin karena merasa bersalah.Kutatap Marina penuh emosi. "Jelaskan pada abang maksud dari semua ini?! Kita belum cerai Marina. Bagaimana mungkin semudah itu kamu menerima pria lain?! Jelaskan kenapa?!""Maksud Ab-""Anda siapa? Apa yang perlu dijelaskan?! Marina bekerja di sini dan pria yang kamu pukul itu pelangganku. Sekarang kamu pergi atau
Marina tak enak hati ketika tahu ternyata Anton benar-benar membelikan tiket untuknya. Ia menatap Anton yang hanya fokus bicara sama Ray.'Aku tahu niatmu bagus Mas, tapi kok aku enggak enak begini? Aku tahu di balik hadiah tiket ini, Mas ingin berusaha membuang perasaan mas padaku sekaligus membayar janji mas tempo hari. Itu bagus untuk kami semua, tapi jujur aku enggak enak banget,' batin Marina."Hadiahnya tiket?" Ray mengeluarkan dua tiket pesawat.Sebenarnya Ray juga tahu Anton berusaha membuang perasaannya terhadap Marina. Akan tetapi, Ray berpura-pura tidak tahu. Ia tidak ingin membalas soal itu. Suatu saat Anton pasti akan menemukan wanita yang jauh lebih baik. Ray yakin."Ya, tiket pesawat ke Dubai untuk kalian. Aku rasa kamu sudah sembuh. Kalian enggak mau berbulan madu? Aku juga sudah pesan hotel untuk kalian, loh di sana," kata Anton, terlihat senang. Meski hatinya ada sedikit kesedihan y
"Jika jalan satu-satunya adalah operasi, tolong disegerakan Dok. Lakukan yang terbaik untuk adikku."Pada akhirnya Anton meminta dokter, Ray dioperasi saja. Ia yakin adiknya pasti akan selamat. Keputusan itu tentu saja sudah disetujui semua keluarga."Baiklah, tapi pihak rumah sakit tidak bisa menjamin keselamatan saudara Bapak. Kepalanya terbentur keras dan banyak kehilangan darah. Sudah pasti kepalanya mengalami luka yang sangat parah," jelas dokter."Aku percaya kuasa Allah," balas Anton, yakin Ray tetap akan selamat. Akhirnya dokter pun gegas menyiapkan peralatan yang akan dipakainya untuk operasi."Ya Allah, selamatkan suamiku, selamatkan suamiku," gumam Marina.Beberapa jam telah berlalu, mereka menunggu hasil. Marina mondar-mandir di depan ruang operasi dengan perasaan takut. Bagaimana jika nanti suaminya tidak selamat? Pikirnya.
Sambil tetap mendekatkan HP di telinga, Anton kembali membatin, 'Selamat menempuh hidup baru. Semoga bahagia dunia dan akhirat. Doakan semoga aku bisa move on dari rasa ini. Aku tersiksa melihatmu bersamanya.'Tidak bisa dipungkiri, meski sudah berusaha menerima kenyataan bahwa dirinya bukanlah jodoh Marina, tetapi tetap saja Anton sangat sedih melihat adiknya bersanding dengan wanita idamannya.Terkadang bisikan setan menghasutnya untuk membawa kabur Marina dari pelaminan. Akan tetapi, Anton mampu melawan.'Dia bukan jodohku. Aku percaya, jika jodoh takkan kemana.'"Hai, sama siapa? Tante Soraya dan Bapak mana? Mereka berjanji akan datang, loh."Anton kaget, bahunya ditepuk seseorang yang tidak lain adalah Ray. Saat ini Ray sudah memaafkan Pak Adnan. Anton juga sama.Dua hari yang lalu, Pak Adnan berlutut minta maaf pada Soraya. Minta balik
Sambil tetap mendekatkan HP di telinga, Anton kembali membatin, 'Selamat menempuh hidup baru. Semoga bahagia dunia dan akhirat. Doakan semoga aku bisa move on dari rasa ini. Aku tersiksa melihatmu bersamanya.'Tidak bisa dipungkiri, meski sudah berusaha menerima kenyataan bahwa dirinya bukanlah jodoh Marina, tetapi tetap saja Anton sangat sedih melihat adiknya bersanding dengan wanita idamannya.Terkadang bisikan setan menghasutnya untuk membawa kabur Marina dari pelaminan. Akan tetapi, Anton mampu melawan.'Dia bukan jodohku. Aku percaya, jika jodoh takkan kemana.'"Hai, sama siapa? Tante Soraya dan Bapak mana? Mereka berjanji akan datang, loh."Anton kaget, bahunya ditepuk seseorang yang tidak lain adalah Ray. Saat ini Ray sudah memaafkan Pak Adnan. Anton juga sama.Dua hari yang lalu, Pak Adnan berlutut minta maaf pada Soraya. Minta balik
Tanpa dipersilahkan, pemberi salam langsung masuk. Berjalan pelan ke arah Wiranti, Ray dan Aura."Aku sudah lama mencari keberadaanmu Wiranti. Ternyata kamu di sini. Ray anakmu yang berarti juga anakku. Anak kita," ucapnya sumringah. Akhirnya bisa menemukan anak kedua dari hasil pernikahan kedua.Karena Anton menolak harta warisan darinya. Pak Adnan akan mengalihkan semuanya pada Ray. Ia sangat berharap anaknya itu bisa menerima. Sebab, merasa diri tak lama lagi akan kembali menghadap Tuhan. Pak Adnan tidak mau menyisakan harta untuk istrinya yang saat ini, yaitu Dena. Karena selepas ini pun wanita itu akan diceraikannya. Dena sudah berselingkuh dengan pria lain. Tidak ada kata maaf.Pak Adnan sadar itu salahnya, karena kerap main tangan disebabkan emosi yang tidak terkendali dan semua itu juga karena seringnya Dena menghambur-hamburkan uang. Pak Adnan merasa Dena hanya mencintai hartanya saja.
Meski Anton sedih karena sebentar lagi wanita yang dicintainya akan menikah, tapi ia berusaha merelakan. Sebab cinta itu memang lebih kepada merelakan, bukan melepaskan ataupun mengumpul keberanian untuk merebut.Keduanya melempar senyum, lalu Anton membalikkan badan berjalan ke sofa. Sedangkan Marina ke dapur untuk minum. Kerongkongannya seketika berasa kering, ia harus minum untuk melegakan tenggorokan.Klakson mobil membuat Marina bergegas keluar, melewati Anton yang kini berdiri di ambang pintu utama."Aku lambat enggak?" tanya Ray, baru saja turun dari mobilnya."Enggak, kok Mas," jawab Marina sambil tersenyum.'Tentang foto tadi, aku kasih tahu mereka enggak, yah?' batin Marina."Ton, kami pulang, yah," pamit Ray."Tunggu, Mas. Ada yang ingin aku katakan pada Mas dan Pak Anton. Mungkin sebaiknya jan
"Bagaimana mungkin?" gumam Marina tak percaya.Foto terus dipandanginya tanpa mengetahui keberadaan Anton tepat di belakang. Foto yang katanya istri kedua Pak Adnan itu ia elus."Kok bisa?" gumamnya lagi."Ekhem."Marina menoleh. "Pak Anton?""Yes, i'm. Itu foto kenapa dilihat-lihat terus? Ntar juga ketemu di hari pernikahan kalian," ujar Anton, membuat Marina mengerjit keheranan. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu."Maksudnya?" Marina memberi pertanyaan."Ini foto ibunya Ray bukan? Tante Wiranti," jawab Anton.'Ya Allah, jadi foto orangtua yang kulihat di kamar Aura itu adalah foto ibunya Mas Ray? Itu artinya Mas Ray dan Pak Anton ...?' Marina menatap Anton tanpa berkedip.'Itu artinya Pak Anton ini kakaknya Mas Ray,' lanjutnya membatin."Yang kamu lihat aku sep
Mereka berpencar. Satu ke jendela dapur, satu ke pintu utama dan dua tepat di bawah jendela ruang tamu.Mereka mulai beraksi. Dengan peralatan yang sudah disediakan, keempat pria berwajah mirip-mirip preman itu mulai mengerjakan tugas masing-masing.Mengeluarkan obeng, lalu mencoba mencungkil jendela. Mereka melakukannya penuh kehati-hatian. Namun, pria yang berada di dapur dikejutkan seekor tikus yang lewat hingga ia mengeluarkan suara teriakan."Siapa di sana?" Suara Ray terdengar dari dalam.Pria yang masih kaget gara-gara tikus langsung berlari sebelum ketahuan pemilik rumah. Ia ke depan pintu utama. Benda tajam dan obengnya ditinggal di depan pintu dapur."Goblok!" marah pria yang berusaha membuka pintu utama sambil menjitak keras kepala temannya. Ia meminta kembali mengambil peralatan mereka."Tapi, tapi bagaimana
"Innalilahi wa'innailaihirraji'un," gumam Ray, kemudian dengan sigap ia menangkap tubuh Marina yang tiba-tiba tubuhnya terlihat lemas dan mau jatuh.Sekujur tubuh Marina lemah tak berdaya. Nyaris jatuh pingsan andai tidak ada Ray menangkap tubuhnya."Marina, sadar ayo duduk." Ray membawa Marina bersandar di dinding. Orang-orang melihatnya heran. Mungkin pada bertanya siapa mereka ini hingga sebegitu sedihnya melihat keadaan Puspa dan Ibu Rosma.Suara tangisan terdengar memilukan. Ray menoleh, ternyata Puspa sudah sadar dari pingsannya. Sedangkan saat ini Marina berusaha tetap sadar walau rasanya ingin pingsan dikarenakan mengingat surat Puspa yang memintanya merawat Ibu Rosma. Akan tetapi, nyatanya sudah terlambat."Mas, tolong tenangkan hati Puspa. Kasihan," lirih Marina.Ray tidak bicara sepatah kata pun, ia masih mengingat ketika pembantunya men