Aku tak menyangka jika Mas Gunawan melamarku secepat ini.
Aku pun bertanya kepadanya, "Terus gimana sama istri dan anakmu?"
"Itu nanti urusan Mas, yang penting kamu nerima lamaran Mas kali ini? mungkin besok-besok Mas nggak akan nawarin lagi," ujarnya.
Aku mengerutkan dahi, "Kok begitu Mas? aku kan butuh waktu lagian kamu belum bercerai dari istrimu," sangkalku.
Dengan memegang bahuku serta meyakinkanku ia pun berkata, "Yang penting kamu terima lamaran ini dulu Rin, Mas pengen liat keseriusanmu. Soal kapan kita nikah itu bisa kamu yang nentuin."
Tanpa berpikir panjang aku menerima lamarannya, "Aku terima lamaran Mas, tapi aku mau sebelum kita menikah kamu harus ceraikan istrimu dulu!" pintaku pada Mas Gunawan.
Akhirnya Mas Gunawan pun menyetujui kesepakatan itu, ia langsung mengambil cincin yang berada di kotaknya kemudian mulai memasangkan di jari manis kiriku.
Setelah cincin itu melingkar di jari manisku tampak berlian itu mengkilap seperti mendukung hubunganku dengan Mas Gunawan. Sembari menyandarkan kepalaku di bahunya, meregangkan jari kiri dan menatap cincin berlian yang telah melingkar di jari manisku.
Kemudian aku berjalan menuju arah jendela, melihat panorama langit yang indah nan cerah seakan-akan mendukung hubunganku dengan Mas Gunawan yang memelukku dari belakang. Kami menikmati indahnya langit sore berdua. Kami seperti layaknya dua sejoli yang sedang kasmaran. Kami pun berciuman mesra.
Matahari akan terbenam, akhirnya Mas Gunawan pamit untuk pulang.
"Mas pamit ya?" dengan mencium keningku seperti biasanya.
"Hati-hati ya Mas." tanganku melambai ke arahnya.
Iya? Aku adalah seorang wanita perusak rumah tangga orang, bukan tanpa sebab.
Aku mencintai Mas Gunawan, di sisi lain aku juga memiliki alasan untuk merebut Mas Gunawan dari istrinya.
Hari sudah menunjukkan akhir pekan, Aku dan Sana pergi berbelanja di mall.
Sesampainya di mall kami mampir di cafe sejenak, "Hai Stev, apa kabar? kapan lo baliknya? gue kangen sih gila lo ya! malah pergi ke jerman nggak ngabarin gue." Sana menyapa pria yang tampak asing di mataku, tak segan-segan mereka juga cipika-cipiki di depan umum.
"Seminggu yang lalu San, gue belom sempet maen ketempat lo soalnya sibuk lagi cari apartemen yang cocok buat gue," jawab pria tersebut.
Mereka tampak dekat, "Eh Rin kenalin ini Stevan temen kecilku dulu, buruan kenalan gih!" Sana menarik tanganku dan mengulurkan ke tangan pria tersebut.
"Airin," jawabku dengan lirih.
"Stevan, by the way kamu cantik juga ya," goda pria ini tak kunjung melepaskan tanganku dan terus menatap ke arahku, cara menatapnya pun seperti tak biasa. Melihatku dari ujung kaki hingga kepala. Aneh ya? maka dari itu aku segera melepaskan jabat tangan kami, "Makasih," ucapku dengan sedikit keras.
Karena sedikit risih dengan tatapan pria aneh itu, Aku terburu-buru pergi dengan membawa segelas minuman dan meninggalkan mereka tanpa pamit dahulu.
"Rin mau kemana?" panggil Sana padaku, tapi aku tak menghiraukan ia memanggilku.
"Biar apa coba ngeliatin aku dari atas sampe bawah!" aku menggerutu lirih sambil berjalan pergi.
Tiba-tiba seseorang tak sengaja menabrakku dan minuman yang kugenggam tumpah mengenai blazer berwarna hitam yang kukenakan.
"Aduh, maaf ya mbak saya nggak sengaja," ucap wanita tersebut sambil membersihkan blazer milikku dengan tisunya.
"Iya nggak papa buk, nanti di cuci juga bersih kok." hati dan mulutku bertolak belakang.
"Matanya dimana sih! jalan kok nggak ngeliatin kalo ada orang." aku bergumam menggerutu dalam hati. Kesal? Iya pasti itu.
Tapi tak mungkin juga aku memarahi seorang wanita yang lebih tua dariku. Tidak sopan sekali jika aku mengocehinya di depan umum!
Dia yang tengah fokus membersihkan blazerku tersebut, posisi wajahnya yang menunduk membuatku tak dapat melihat wajahnya dengan jelas.
"Udah lumayan bersih buk! Nggak terlalu keliatan kok nodanya jadi udahan ya bersihinnya," lirihku pada wanita tersebut.
Kemudian ia pun berdiri tegak dan mengucapkan permintaan maaf sekali lagi padaku, "Sekali lagi saya minta maaf ya, saya nggak sengaja. Lagi banyak pikiran," sahut wanita tersebut.
Ketika ia berdiri di hadapanku, Aku langsung memundurkan langkahku, wajahnya yang membuatku muak sedari aku kecil, perasaanku meluap hebat.
Siapakah wanita ini? dia Helena istri dan kekasihku, Mas Gunawan.
Ketika di kampus, meskipun sering berpapasan kami tak pernah menatap wajah satu sama lain. Wajahnya tampak begitu sombong dan angkuh serta membosankan!
Bagaimana bisa Mas Gunawan menikahi wanita seperti ini.
Sedari kecil aku sudah bertemu dengannya, peristiwa yang tak dapat hilang dari ingatanku sampai saat ini, hingga membuatku trauma untuk mengendarai mobil berkecepatan tinggi.
'Kau yang membuat hidupku menderita! dan kau tak pernah mengakui kesalahanmu Helena. Maka, akan kubuat kamu menderita!'
Batinku bergejolak hebat. Aku menyebutmu sebagai pembunuh!
Helena! Apakah kamu tidak mengingat kejadian 5 tahun silam? kamu adalah alasan orang tuaku meninggal secara tragis!Kamu juga yang sudah membuatku menderita! Bagaimana kamu menyimpan rahasia yang besar? Bahkan polisi pun sudah menutup perkara ini sejak lama.Peristiwa naas yang menimpaku tersebut memang sudah lama terjadi tetapi trauma yang kualami hingga kini tidak pernah hilang.Bahkan ketika menjadi mahasiswa psikolog yang sudah banyak mempelajari materi psikologi pun aku tidak cukup menghilangkan trauma ini.Kecelakaan itu terjadi ketika ayahku melaju dengan kecepatan tinggi, posisi ayah dan ibuku berada di depan, sedangkan aku berada di belakang. Kami melewati jalan yang tak begitu ramai dan l
Pagi yang cerah untuk memulai hari, Airin segera pergi ke kampus dan melihat ke arah matahari pagi. Terlihat cahaya yang bersinar seraya memberikan energi positif untuk Airin.Ia berangkat menggunakan bus seperti biasanya, tak di sengaja ia justru bertemu dengan Stefan pria yang terlihat menggelikan itu. "Cowo ini lagi! males banget ketemu dia." ia memberikan senyuman terpaksa ketika tanpa sengaja bertemu dengan Stefan."Rin, maaf soal kemarin. Karena aku kamu jadi pergi deh!" lirihnya meminta maaf atas kejadian kemarin yang dengan sengaja menatap Airin dari atas hingga bawah."Santai aja, nggak masalah." Airin membalas perkataannya dengan cuek seakan tak ingin berbicara lagi dengannya.Stefa
"Sesuai janjiku tadi buat ngajak kamu makan siang yuk ke kantin," ajaknya padaku.Belum menjawab ajakannya tersebut ia langsung menggandeng tanganku dan mengajakku berlari kecil.'Widih baru kenal main gandeng tangan orang!' gumamku dalam hati.Setelah sampai di kantin aku memesan makanan yang cukup lumayan banyak. Sengaja untuk mengerjai si kembaran Yuta ini.'Aku buat dia ilfeel sama aku biar nggak deketin lagi,' bergumam dalam hati dengan sedikit tersenyum lebar dengan memainkan bola mata."Apa kamu habis makan segini banyaknya?"tuturnya ketika melihatku memesan banyak makanan. Ia melihat dengan terheran-heran
"Loh Mas kapan datengnya?" aku terkejut akan kehadiran Mas Gunawan yang sudah duduk di sofa apartemenku."Sini duduk deket Mas." dengan meneguk jus jeruk yang tertenteng di atas meja.Aku mendekat ke arah Mas Gunawan tiba-tiba Mas Gunawan menarik tanganku dan aku terjatuh di pangkuannya.Aku menatapnya, bola mataku menatap mengedip melihatnya. Ia mencium keningku."Mas?" lirihku."Hmm kenapa?" suaranya lirih manja pipinya menempel ke sekitar pelipisku kemudian bibirnya menyentuh bagian telingaku. Hembusan nafasnya menusuk dalam romaku merasa menggelikan aku menggeliat di pangkuannya."Geli Mas," uc
Matahari mulai terbit di ufuk timur, cahayanya menyembul sinar yang menyilaukan mata. Semalaman aku dan Mas Gunawan tidur bersama. Rupanya dia bangun mendahuluiku."Mas udah bangun daritadi?" tanyaku dengan nada lemas.Dia mengangguk dengan manisnya mencium keningku dan berbisik di telingaku mengucapkan, "Selamat pagi."Dia mulai menggodaku, menggelitik bagian pinggangku. Akhir pekan kami habiskan di kamar seharian dengan mesra.Tidur di bagian dadanya di dalam pelukannya membuat perasaanku lebih tenang dan rileks."Mas, istri kamu nggak nyariin kamu?" tanyaku.Kemudian Mas Gunawan menjawab d
"Boleh kok," aku memperbolehkan Stefan ikut denganku ke taman. Akhirnya kami berjalan keluar berdua."Oh iya kamu tinggal di lantai berapa?" Stefan bertanya padaku."Lantai lima hehe," sambil tertawa kecil padanya."Boleh sewaktu-waktu aku main?" tanyanya.Aku mengangguk dan hanya tersenyum cringy padanya. Ketika di parkiran ia menawari untuk naik mobilnya."Naik mobilku aja Rin!" ajaknya."Loh taman kan deket Stef, kenapa bawa mobil?" padahal lokasi apartemen dengan taman tida
"Ehm!" sambil mengekspresikan kepala dengan mengangguk terlalu antusias.Wajahnya mendekat padaku, tatapan matanya seperti Yuta itu menjadikanku terhening dalam suasana di mobil. Aku menatap lekat matanya yang menatapku serius."Aku…" ketika ucapannya membuat jiwa penasaranku semakin menggebu-gebu."Ayolah aku penasaran?" rengekku dalam hati. Sebenarnya juga tidak terlalu penting menanyakan hal pribadinya. Namun, kalau sudah penasaran mau bagaimana lagi kan?"Kepo banget sih. Dah kita pulang yuk!" mencubit pipi kananku lembut dengan tertawa kecil."Ih dasar kamu ya bikin aku penasaran!" memukul lirih bahunya. Ia pun mulai menjalankan mobilnya d
"Hah! Apa?" Mataku terbelalak bulat ketika Stefan mengungkapkan perasaannya padaku. Ucapannya itu membuat hatiku bergejolak. Kami terdiam dan menimbulkan keheningan yang cukup lama serta kecanggungan diantara kami.Stefan mulai mendekatiku dengan penuh getaran pada tubuhnya, terlihat dari jari-jari tangannya bergetar hebat. "I-ya Rin aku su-suka sama ka-kamu." Dia pun berkata dengan gugup."A-aku nggak tau harus bilang apa Stef. Aku pulang dulu buat mikirin semuanya." Aku langsung keluar dari apartemennya dan meninggalkan Stefan tanpa jawaban. Ini semua terlalu cepat bagiku, lagipula aku sudah memiliki Mas Gunawan.Sesampainya di apartemen, aku langsung menjatuhkan tubuhku ke kasur. Aku terus memikirkan perkataan Stefan tadi.