Helena! Apakah kamu tidak mengingat kejadian 5 tahun silam? kamu adalah alasan orang tuaku meninggal secara tragis!
Kamu juga yang sudah membuatku menderita! Bagaimana kamu menyimpan rahasia yang besar? Bahkan polisi pun sudah menutup perkara ini sejak lama.
Peristiwa naas yang menimpaku tersebut memang sudah lama terjadi tetapi trauma yang kualami hingga kini tidak pernah hilang.
Bahkan ketika menjadi mahasiswa psikolog yang sudah banyak mempelajari materi psikologi pun aku tidak cukup menghilangkan trauma ini.
Kecelakaan itu terjadi ketika ayahku melaju dengan kecepatan tinggi, posisi ayah dan ibuku berada di depan, sedangkan aku berada di belakang. Kami melewati jalan yang tak begitu ramai dan lampu penerangan pun tak ada.
Ketika akan menyebrang, ayah sudah menengok arah kanan dan kiri, dilihatnya tak ada mobil ataupun motor yang melaju kemudian ayah pun menancapkan gasnya. Tiba-tiba muncul mobil mewah berwarna putih dari arah kanan melaju dengan kecepatan tinggi menabrak mobil kami.
Kaca mobilku terpecah menjadi serpihan tajam, aku menutupi wajahku dengan kedua tangan kecilku pada waktu itu.
"Brakkk." saat itu mobil kami terbalik, kami tergantung di dalam mobil itu.
Aku melihat darah di sekitar tubuh ayah dan ibuku dengan samar-samar.
"To-tolong aku!" aku teriak dengan lirih meminta tolong. Aku tak dapat berteriak dengan keras lagi tubuhku mulai terasa lemah tak berdaya.
"To-tolong." seruku untuk terakhir kalinya.
"A-aku dimana?" dengan penglihatan yang samar, aku melihat ruangan berwarna putih dan melihat tanganku sudah tertempel selang infus.
'Apa aku di rumah sakit? atau sudah di surga?' aku bergumam dalam hati.
"Kamu sudah bangun?" ucap wanita berambut panjang dengan panik menatapku.
Aku hanya terdiam tak menjawab sepatah kata karena tubuhku masih lemah.
Tiba-tiba polisi datang ke ruanganku, berbicara dengan wanita itu, mereka tampak serius.
"Tolong tutup mulut tentang masalah ini! Aku akan membayarmu dan menanggung pengobatan anak itu. Bilang saja mereka kecelakaan karena kelalaian mereka sendiri, toh juga tidak ada yang melihat kejadian itu!"
Aku mendengar jelas pembicaraan wanita itu dengan dua polisi tersebut sambil memejamkan mata seolah-olah aku tidur tak mendengar apa-apa. 'Dia! dia yang sudah menabrak mobil yang kami kendarai!'
"Tapi Bu Helena ini sudah menyalahi aturan, seharusnya anda bertanggung jawab atas masalah ini!" ucap salah satu polisi tersebut.
Kemudian polisi lain menyangkal perkataannya, "Sudah lah menurut saja lagi pula nanti kamu akan mendapat imbalan yang setimpal!" polisi tersebut terlihat memihak pada wanita yang sudah merenggut nyawa orang tuaku.
Aku berpura-pura mengigau memanggil ayah dan ibuku agar mereka berhenti mengoceh hal tersebut yang membuat hatiku terasa hancur.
"Baiklah kalau begitu kami berdua pamit," kemudian kedua polisi tersebut pergi meninggalkan ruangan.
"Kamu udah bangun? saya panggil kan dokter ya sebentar." ia pun pergi menemui dokter untuk memeriksaku.
Setelah dokter memeriksaku, aku bertanya padanya, "Dok, siapa yang bawa saya kesini? terus dimana orang tuaku?"
Kemudian dokter memanggil perawat untuk mengantarkanku melihat orang tuaku, aku berpura-pura terkejut ketika perawat mengantarkanku ke ruang jenazah.
"Sus, kok saya dibawa kesini?" sebenarnya aku sudah tahu sedari wanita itu berbicara pada kedua polisi tersebut. Tapi aku tetap berusaha berpura-pura tidak tahu keadaan orang tuaku saat ini.
"Ini ayah sama ibumu, mereka udah nggak bisa ditolong lagi, karena ayahmu terbentur cukup keras di bagian kepala yang mengakibatkan pembuluh darahnya pecah, kalo ibumu terkena serpihan kaca di lehernya." ucap perawat itu menjelaskan keadaan yang orang tuaku alami.
Tangisku pecah sejadi-jadinya melihat tubuh mereka yang terbujur kaku, aku tak bisa membendung kesedihan pada waktu itu. Karena aku terlalu histeris suster pun membawaku kembali ke ruangan.
"Se-sebentar sus, sebentar lagi a-aku mau ngeliat wajah ayah ibuku untuk terakhir kalinya," ucapku dengan menahan tangis.
Ketika melihat wajah mereka aku tak bisa menahan isak tangisku. Akhirnya suster membawaku ke ruangan.
Aku bertanya pada suster itu, "Sus, menurutmu apa kecelakaan yang kualami itu kecelakaan biasa? kalo nggak ditabrak apa suster percaya?"
"Menurutku ini sih kayaknya tabrak lari sih non!" seru suster itu.
Sesampainya di ruangan, bibiku sudah di ruanganku. Dari situlah aku diasuh oleh bibiku.
Helena masih berada di ruangan itu, Aku menatap sinis padanya.
Tujuh tahun kemudian…
'Bersiap-siaplah kamu Helena! Aku akan membalas semua yang telah kamu lakukan.
Ini adalah alasan lain aku ingin merebut kebahagiaannya. 'Kau pernah merenggut kebahagiaanku, kini saatnya aku merenggut kebahagiaanmu juga!'
Emosiku mencuat hebat untuk merebut Mas Gunawan darinya. Tak pantas seorang pria yang mempunyai nama
baik di kampus harus bersanding dengan seorang pembunuh!Di kampus, aku bertemu Sana dan dia menanyakan perihal kepergianku kemarin secara tiba-tiba, "Rin, kok kemaren kamu pergi gitu aja sih! pasti gara-gara stevan ya? maaf ya Airin?" dengan memohon maaf padaku atas kejadian kemarin.
"Eh nggak papa kok santai aja, cuma dia ngeliatin aku dari atas sampe bawah. Aku jadi sedikit risih," bisikku lirih di telinganya.
Aku berjalan menaiki tangga dengan Sana, tanpa sengaja kami berpapasan dengan Mas Gunawan. Ia menatapku dan memberikan senyuman hangat, Sana melihat kami bertatapan sangatlah histeris.
"Waaa Airin liat dong dia senyum sama kamu? kayaknya kalian cocok deh," seru Sana.
Aku tertawa melihat mimik wajah Sana yang histeris, lucu? iya pastinya.
Sebelum masuk kelas, Aku menghubungi Mas Gunawan.
"Mas nanti sore ke apartemen ya? Aku mau nanya penting nih?" isi pesanku pada Mas Gunawan.
"Tanya apa sayang? Iya nanti malem Mas ke apartemen, Mas nggak bisa sore lagi banyak urusan," ia membalas pesan yang kukirimkan padanya.
Aku hanya membalas, "Iya Mas."
Apakah Mas Gunawan tahu yang dilakukan istrinya tujuh tahun yang lalu? Mungkin saja mereka sudah menikah saat itu atau memang si Helena itu menyembunyikan rahasia besarnya?
Pagi yang cerah untuk memulai hari, Airin segera pergi ke kampus dan melihat ke arah matahari pagi. Terlihat cahaya yang bersinar seraya memberikan energi positif untuk Airin.Ia berangkat menggunakan bus seperti biasanya, tak di sengaja ia justru bertemu dengan Stefan pria yang terlihat menggelikan itu. "Cowo ini lagi! males banget ketemu dia." ia memberikan senyuman terpaksa ketika tanpa sengaja bertemu dengan Stefan."Rin, maaf soal kemarin. Karena aku kamu jadi pergi deh!" lirihnya meminta maaf atas kejadian kemarin yang dengan sengaja menatap Airin dari atas hingga bawah."Santai aja, nggak masalah." Airin membalas perkataannya dengan cuek seakan tak ingin berbicara lagi dengannya.Stefa
"Sesuai janjiku tadi buat ngajak kamu makan siang yuk ke kantin," ajaknya padaku.Belum menjawab ajakannya tersebut ia langsung menggandeng tanganku dan mengajakku berlari kecil.'Widih baru kenal main gandeng tangan orang!' gumamku dalam hati.Setelah sampai di kantin aku memesan makanan yang cukup lumayan banyak. Sengaja untuk mengerjai si kembaran Yuta ini.'Aku buat dia ilfeel sama aku biar nggak deketin lagi,' bergumam dalam hati dengan sedikit tersenyum lebar dengan memainkan bola mata."Apa kamu habis makan segini banyaknya?"tuturnya ketika melihatku memesan banyak makanan. Ia melihat dengan terheran-heran
"Loh Mas kapan datengnya?" aku terkejut akan kehadiran Mas Gunawan yang sudah duduk di sofa apartemenku."Sini duduk deket Mas." dengan meneguk jus jeruk yang tertenteng di atas meja.Aku mendekat ke arah Mas Gunawan tiba-tiba Mas Gunawan menarik tanganku dan aku terjatuh di pangkuannya.Aku menatapnya, bola mataku menatap mengedip melihatnya. Ia mencium keningku."Mas?" lirihku."Hmm kenapa?" suaranya lirih manja pipinya menempel ke sekitar pelipisku kemudian bibirnya menyentuh bagian telingaku. Hembusan nafasnya menusuk dalam romaku merasa menggelikan aku menggeliat di pangkuannya."Geli Mas," uc
Matahari mulai terbit di ufuk timur, cahayanya menyembul sinar yang menyilaukan mata. Semalaman aku dan Mas Gunawan tidur bersama. Rupanya dia bangun mendahuluiku."Mas udah bangun daritadi?" tanyaku dengan nada lemas.Dia mengangguk dengan manisnya mencium keningku dan berbisik di telingaku mengucapkan, "Selamat pagi."Dia mulai menggodaku, menggelitik bagian pinggangku. Akhir pekan kami habiskan di kamar seharian dengan mesra.Tidur di bagian dadanya di dalam pelukannya membuat perasaanku lebih tenang dan rileks."Mas, istri kamu nggak nyariin kamu?" tanyaku.Kemudian Mas Gunawan menjawab d
"Boleh kok," aku memperbolehkan Stefan ikut denganku ke taman. Akhirnya kami berjalan keluar berdua."Oh iya kamu tinggal di lantai berapa?" Stefan bertanya padaku."Lantai lima hehe," sambil tertawa kecil padanya."Boleh sewaktu-waktu aku main?" tanyanya.Aku mengangguk dan hanya tersenyum cringy padanya. Ketika di parkiran ia menawari untuk naik mobilnya."Naik mobilku aja Rin!" ajaknya."Loh taman kan deket Stef, kenapa bawa mobil?" padahal lokasi apartemen dengan taman tida
"Ehm!" sambil mengekspresikan kepala dengan mengangguk terlalu antusias.Wajahnya mendekat padaku, tatapan matanya seperti Yuta itu menjadikanku terhening dalam suasana di mobil. Aku menatap lekat matanya yang menatapku serius."Aku…" ketika ucapannya membuat jiwa penasaranku semakin menggebu-gebu."Ayolah aku penasaran?" rengekku dalam hati. Sebenarnya juga tidak terlalu penting menanyakan hal pribadinya. Namun, kalau sudah penasaran mau bagaimana lagi kan?"Kepo banget sih. Dah kita pulang yuk!" mencubit pipi kananku lembut dengan tertawa kecil."Ih dasar kamu ya bikin aku penasaran!" memukul lirih bahunya. Ia pun mulai menjalankan mobilnya d
"Hah! Apa?" Mataku terbelalak bulat ketika Stefan mengungkapkan perasaannya padaku. Ucapannya itu membuat hatiku bergejolak. Kami terdiam dan menimbulkan keheningan yang cukup lama serta kecanggungan diantara kami.Stefan mulai mendekatiku dengan penuh getaran pada tubuhnya, terlihat dari jari-jari tangannya bergetar hebat. "I-ya Rin aku su-suka sama ka-kamu." Dia pun berkata dengan gugup."A-aku nggak tau harus bilang apa Stef. Aku pulang dulu buat mikirin semuanya." Aku langsung keluar dari apartemennya dan meninggalkan Stefan tanpa jawaban. Ini semua terlalu cepat bagiku, lagipula aku sudah memiliki Mas Gunawan.Sesampainya di apartemen, aku langsung menjatuhkan tubuhku ke kasur. Aku terus memikirkan perkataan Stefan tadi.
Aku terdiam kaku melihat pria yang keluar dari mobil itu adalah Mas Gunawan. Stefan yang mengetahui Mas Gunawan sedang berada di area apartemen ini lalu menyapanya. Ia hanya berpikir jika Mas Gunawan adalah dosen kami berdua."Pak Gunawan!" Stefan menghampiri Mas Gunawan, sedangkan aku hanya membelakangi mereka dengan termenung diam serta menundukkan kepala."Halo Stef, mau kemana malem-malem begini sama Airin?" Mas Gunawan bertanya pada Stefan dengan mata menyorot ke arahku. Aku menunduk dengan sedikit melirik mereka berdua. Aku tetap diam dan berusaha tidak panik."Oh kita cuma mau makan malem aja kok Pak." Ucapan Stefan cukup membuat perasaanku lega. Aku khawatir jika Mas Gunawan akan berpikiran aneh pada kami berdua karena pergi di waktu malam.