Jadwal kerja Brandon benar-benar padat hari ini. Ada tiga rapat yang dihadiri. Tugas memeriksa sejumlah laporan masih harus dituntaskan. Namun, Brandon tak lembur.
Akan dikerjakan di rumah. Tentu, setelah ia beristirahat sebentar. Mungkin dengan tidur dua jam sudah cukup mengurangi rasa lelah yang tengah menyelimutinya.
Brandon memang tak punya waktu istirahat banyak. Setiap hari kurang dari lima jam. Namun, ia memanfaatkan dengan baik.
Brandon berprinsip bahwa penting menjaga kesehatan mengindari sakit, walau sesibuk dan juga sepadat apa pun pekerjaannya.
Tentu, tak hanya rasa capek yang mendera. Terkadang, kejenuhan juga muncul.
Tidak akan pernah mudah tugas menjadi pemimpin perusahaan. Sang ibu sudah beri kepercayaan. Jadi, Brandon merasa harus menjalankan tugas sebaik mungkin.
"Uncle ...,"
Tubuh Brandon langsung menegang karena mendengar panggilan Crystal. Langkah kaki pun terhenti tepat di ambang pintu rumah yang baru saja dimasukinya.
Arah pandang terarah ke depan, sosok sang keponakan berdiri dengan jarak sekitar lima meter dengannya.
Brandon jelas kaget akan kehadiran Crystal di kediamannya hari ini, setelah lebih dari satu minggu ia hindari sang keponakan.
"Aku ingin bicara denganmu."
Empat patah kata dilontarkan dengan nada tegas oleh Crystal, terdengar lirih di kedua telinga Brandon.
Apalagi, kedua mata sang keponakan memancarkan luka dan rasa sedih sangat kentara. Ia tak mungkin salah melihat.
Namun, Brandon enggan untuk terlalu beri perhatian. Hanya akan membuat dirinya menaruh empati pada Crystal.
Tentu, sikap yang ditunjukkan olehnya bisa dianggap sebagai hal lebih. Tak ingin sang keponakan terus menyukainya sebagai pria.
"Kau menjauhiku, Uncle."
Brandon yang baru saja hendak bicara, tapi Crystal sudah lebih bersuara. Bahkan, jarak di antara mereka semakin dipangkas.
Brandon waspada. Ia tunjukkan pertahanan diri dengan tetap berdiri bergeming, saat Crystal sudah berada di hadapannya.
"Aku tidak menjauhimu." Brandon kali ini pun berhasil berucap lebih dulu.
"Aku memberi kesempatan padamu, Crys."
"Kesempatan agar kau paham bahwa kau memiliki perasaan yang salah."
Crystal yang kini bungkam. Dari cara sang keponakan memandang, belum ada sedikit pun perubahan. Brandon melihat jelas.
Benar, sorot mata Crystal masih sarat akan cinta dan binaran memuja padanya. Hal tersebut menyebabkan Brandon merasa risi.
"Kau harusnya bisa introspeksi diri, Crys. Kau wanita yang cerdas. Kau pasti bis--"
"Aku tidak mau!" Crystal bersikeras.
"Aku tidak mau berhenti mencintaimu. Aku yakin perasaanku ini tidak salah."
Amarah Brandon terpancing. Ia tidak suka akan sikap Crystal seperti ini. Berteriak di depannya hanya demi mempertahankan apa yang dianggap benar oleh sang keponakan.
"Aku tidak menyuruhmu membalas cintaku. Kau tidak usah merasa terbebani."
"Cukup, Crys!" Intonasi Brandon meninggi.
"Aku tidak akan pernah menerima perasaan yang tidak wajar itu. Kau jangan berha--"
Brandon tak melanjutkan ucapan karena handphone berbunyi. Ada telepon masuk.
Brandon segera mengambil ponselnya yang diletakkan di dalam saku celana. Nama si penelepon terpampang di layar handphone.
Sonya Kendall.
Wanita yang satu bulan terakhir menjalin kedekatan dengannya.
Brandon segera mengangkat panggilan. Ia pun mendengar sapaan mesra di seberang telepon. Sonya memang suka merayunya.
"Hai, Brandon Sayangku. Kau apakah sudah di rumah. Aku ada di parkiran."
Brandon sengaja loud speaker panggilan.
"Aku sudah di rumah. Kenapa, Sonya?"
"Bisakah kita makan malam bersama. Aku merindukanmu. Sudah lima hari kita tidak bertemu. Bagaimana? Kau bisa?"
"Aku bisa. Aku juga merindukanmu."
"Oke, Sayang. Susul aku sekarang, ya. Aku menunggumu di parkiran."
Tepat setelah mengakhiri telepon, Brandon pun memusatkan kembali atensi ke sosok Crystal. Mata sang keponakan berair.
Brandon enggan berempati. Ia pun masih menajamkan tatapan sembari berjalan ke arah pintu. Hendak keluar tentu saja.
"Aku tidak akan menyerah, Uncle. Aku akan membuat kau meninggalkan wanita itu."
"Hiks.""Kenapa aku harus selemah ini?"Crystal sudah menangis hampir satu jam, belum ada niatan untuk berhenti. Kedua matanya bengkak. Wajah pun basah.Perasaan Crystal sungguh berkecamuk. Ia kacau balau. Tidak akan bisa ditenangkan diri dengan sugesti baik apa pun.Cinta pada Brandon menyakitkan.Penolakan yang diperoleh rasanya masih bisa ditahan. Lagi pula, pria itu sangatlah mustahil bisa mencintainya balik.Brandon sudah menolak mentah-mentah. Bahkan, menegaskan bahwa mereka berdua adalah keluarga. Tidak akan ada hal lebih.Crystal sudah menyiapkan diri dan segenap hatinya mengalami kekecewaan yang besar. Namun, tetap tak terbayang akan sangat menyesakkan dadanya.Apalagi, saat tahu Brandon tengah dekat dengan seorang wanita. Perasaan Crystal semakin remuk dan hancur saja.Harusnya sejak dulu, bisa dilupakan cinta pada Brandon karena tidak akan ada jalan bahagia baginya. Namun, terus saja Crystal bersik
"Aku baru dua gelas. Kau sudah lebih. Aku tidak menyangka kau bisa menyaingiku.""Kau akan mengalahkan Brandon? Aku rasa kau tidak akan pernah bisa."Crystal menunda meminum vodka. Walau, permukaan gelas sudah menempel di bibir. Ia menaruh benda tersebut ke meja.Lalu, melemparkan tatapan tajam ke arah Erron. Menunjukkan bagaimana ia tak suka nama sang paman disebut.Crystal mendapatkan cengiran dari sahabat baik sebagai balasan. Erron memang hanya berniat bercanda. Namun, waktunya tidak tepat saat ini. Ia tak bernafsu berguyon."Aku minta maaf."Crystal menggeleng. "Bukan masalah.""Aku tidak mau kau begini. Kau tidak pandai minum. Kau pasti akan mabuk."Kepala digelengkan Crystal lagi. Tak sepatah keluar dari mulutnya. Walau, Erron pasti ingin dirinya mengatakan sesuatu. Namun, diam lebih menyenangkan bagi Crystal."Kapan kau akan berhenti minum, hmm?"Crystal mengangkat kedua bahu dan masih memandang ke a
Saat handphone berdering, Brandon segera berhenti melangkah. Ia berada di lorong menuju ruang kerja Crystal, keponakannya.Lekas diambil ponsel yang diletakkan dalam saku celana. Nama sang penelepon dibaca, sebelum menerima panggilan.Marriam Smith. Ibu angkatnya.Brandon tentu tak membuang waktu lagi. Ia segera mengangkat telepon. Sang ibu angkat langsung menyapa dengan suara lembut."Selamat siang juga, Mom," ujar Brandon sopan. Walau, ekspresinya tegang.Kemudian, Marriam Smith menanyakan soal keberadaannya dari seberang telepon."Aku sudah di kantor, Mom. Aku akan temui Crystal sekarang. Mom jangan khawatir."Ibu angkatnya sendiri tengah di Italia. Sudah dua minggu di sana untuk urusan bisnis. Disamping juga berlibur sebentar."Aku akan mengurus masalah ini, Mom."Brandon mantap menjawab dengan kalimat yang de
Brandon sudah menghabiskan dua porsi sushi karena ia memang cukup lapar. Dan, makanan japanese adalah favoritnya. Tidak akan mungkin Brandon habiskan sedikit.Crystal pun suka. Namun, keponakannya itu belum menyentuh ramen yang dipesan tadi. Diam melamun sembari memegang sumpit.Brandon sebenarnya ingin membiarkan. Ia merasa harus memberi ruang untuk Crystal. Akan tetapi, ia juga harus memastikan jika sang keponakan makan dengan baik.Crystal punya sedikit gangguan di lambung. Tentu, tidak bagus bagi kesehatan Crystal sendiri, saat pola makan berantakan.Brandon sudah berjanji juga pada sang ibu angkat untuk menjaga Crystal dengan baik. Ia akan lakukan penuh rasa tanggung jawab."Crys ...," panggilnya lembut. Posisi sudah lebih mendekat pada sang keponakan.Crystal menoleh dengan pancaran kedua mata sayu. Tak ada senyuman juga yang diperlihatkan seperti biasanya.
Crystal tidak benar-benar bisa jatuh tidur dengan lelap semalam. Ia terus saja dihantui oleh rasa bersalah atas kecerobohan serta ketidakbecusan dalam berbisnis.Crystal menganggap masalah yang sudah ditimbulkannya sebagai prestasi terburuk. Ia pun disadarkan dirinya begitu payah.Sangat bodoh dalam berbisnis. Apalagi, tak punya pengalaman banyak. Namun, ia telah merasa pintar, penuh keyakinan, dan juga percaya diri akan keputusan yang diambil.Crystal seperti mendapatkan ganjaran fatal atas keangkuhannya sendiri. Ia sadar pula bahwa kesombongan terlalu besar.Selama ini, terkhusus sejak mulai masuk ke dunia bisnis dan bergabung di perusahaan keluarga, Crystal memiliki ambisius besar untuk menyaingi Brandon semata.Ingin membuktikan diri pada pria itu jika dirinya punya kemampuan bagus. Akan bisa membantu menyukseskan bisnis keluarga.Tujuannya pun berbanding terbalik deng
"Aku menyukaimu, Uncle." Crystal berucap dalam nada yang semakin mantap."Bukan suka kau sebagai pamanku. Bukan." Crystal pun mempertegas kembali."Aku menyukaimu sebagai seorang pria. Aku tidak salah mengartikan perasaanku.""Aku menyukaimu. Aku mencintai dirimu, Uncle." Crystal berucap begitu yakin.Kontras akan debaran jantung berdetak begitu kencang. Rasa gugup pun luar biasa menghantam. Dadanya juga sesak, kini.Crystal juga berkaca-kaca. Berusaha terus dikendalikan diri. Ia jelas enggan menangis. Terlalu dini. Apalagi, belum didapatkannya tanggapan dari Brandon.Crystal tidak mengharapkan bahwa ia akan memperoleh respons yang bagus. Mustahil terjadi. Sekalipun, tak pernah dibayangkan."Crys ...,""Ap ... Apa yang kau baru katakan itu? Kau pasti ingin bercanda saja bukan?"Crystal menggeleng pelan. Setitik ai
"Aku baru dua gelas. Kau sudah lebih. Aku tidak menyangka kau bisa menyaingiku.""Kau akan mengalahkan Brandon? Aku rasa kau tidak akan pernah bisa."Crystal menunda meminum vodka. Walau, permukaan gelas sudah menempel di bibir. Ia menaruh benda tersebut ke meja.Lalu, melemparkan tatapan tajam ke arah Erron. Menunjukkan bagaimana ia tak suka nama sang paman disebut.Crystal mendapatkan cengiran dari sahabat baik sebagai balasan. Erron memang hanya berniat bercanda. Namun, waktunya tidak tepat saat ini. Ia tak bernafsu berguyon."Aku minta maaf."Crystal menggeleng. "Bukan masalah.""Aku tidak mau kau begini. Kau tidak pandai minum. Kau pasti akan mabuk."Kepala digelengkan Crystal lagi. Tak sepatah keluar dari mulutnya. Walau, Erron pasti ingin dirinya mengatakan sesuatu. Namun, diam lebih menyenangkan bagi Crystal."Kapan kau akan berhenti minum, hmm?"Crystal mengangkat kedua bahu dan masih memandang ke a
"Hiks.""Kenapa aku harus selemah ini?"Crystal sudah menangis hampir satu jam, belum ada niatan untuk berhenti. Kedua matanya bengkak. Wajah pun basah.Perasaan Crystal sungguh berkecamuk. Ia kacau balau. Tidak akan bisa ditenangkan diri dengan sugesti baik apa pun.Cinta pada Brandon menyakitkan.Penolakan yang diperoleh rasanya masih bisa ditahan. Lagi pula, pria itu sangatlah mustahil bisa mencintainya balik.Brandon sudah menolak mentah-mentah. Bahkan, menegaskan bahwa mereka berdua adalah keluarga. Tidak akan ada hal lebih.Crystal sudah menyiapkan diri dan segenap hatinya mengalami kekecewaan yang besar. Namun, tetap tak terbayang akan sangat menyesakkan dadanya.Apalagi, saat tahu Brandon tengah dekat dengan seorang wanita. Perasaan Crystal semakin remuk dan hancur saja.Harusnya sejak dulu, bisa dilupakan cinta pada Brandon karena tidak akan ada jalan bahagia baginya. Namun, terus saja Crystal bersik
Jadwal kerja Brandon benar-benar padat hari ini. Ada tiga rapat yang dihadiri. Tugas memeriksa sejumlah laporan masih harus dituntaskan. Namun, Brandon tak lembur.Akan dikerjakan di rumah. Tentu, setelah ia beristirahat sebentar. Mungkin dengan tidur dua jam sudah cukup mengurangi rasa lelah yang tengah menyelimutinya.Brandon memang tak punya waktu istirahat banyak. Setiap hari kurang dari lima jam. Namun, ia memanfaatkan dengan baik.Brandon berprinsip bahwa penting menjaga kesehatan mengindari sakit, walau sesibuk dan juga sepadat apa pun pekerjaannya.Tentu, tak hanya rasa capek yang mendera. Terkadang, kejenuhan juga muncul.Tidak akan pernah mudah tugas menjadi pemimpin perusahaan. Sang ibu sudah beri kepercayaan. Jadi, Brandon merasa harus menjalankan tugas sebaik mungkin."Uncle ...,"Tubuh Brandon langsung menegang karena mendengar panggilan Crys
"Aku menyukaimu, Uncle." Crystal berucap dalam nada yang semakin mantap."Bukan suka kau sebagai pamanku. Bukan." Crystal pun mempertegas kembali."Aku menyukaimu sebagai seorang pria. Aku tidak salah mengartikan perasaanku.""Aku menyukaimu. Aku mencintai dirimu, Uncle." Crystal berucap begitu yakin.Kontras akan debaran jantung berdetak begitu kencang. Rasa gugup pun luar biasa menghantam. Dadanya juga sesak, kini.Crystal juga berkaca-kaca. Berusaha terus dikendalikan diri. Ia jelas enggan menangis. Terlalu dini. Apalagi, belum didapatkannya tanggapan dari Brandon.Crystal tidak mengharapkan bahwa ia akan memperoleh respons yang bagus. Mustahil terjadi. Sekalipun, tak pernah dibayangkan."Crys ...,""Ap ... Apa yang kau baru katakan itu? Kau pasti ingin bercanda saja bukan?"Crystal menggeleng pelan. Setitik ai
Crystal tidak benar-benar bisa jatuh tidur dengan lelap semalam. Ia terus saja dihantui oleh rasa bersalah atas kecerobohan serta ketidakbecusan dalam berbisnis.Crystal menganggap masalah yang sudah ditimbulkannya sebagai prestasi terburuk. Ia pun disadarkan dirinya begitu payah.Sangat bodoh dalam berbisnis. Apalagi, tak punya pengalaman banyak. Namun, ia telah merasa pintar, penuh keyakinan, dan juga percaya diri akan keputusan yang diambil.Crystal seperti mendapatkan ganjaran fatal atas keangkuhannya sendiri. Ia sadar pula bahwa kesombongan terlalu besar.Selama ini, terkhusus sejak mulai masuk ke dunia bisnis dan bergabung di perusahaan keluarga, Crystal memiliki ambisius besar untuk menyaingi Brandon semata.Ingin membuktikan diri pada pria itu jika dirinya punya kemampuan bagus. Akan bisa membantu menyukseskan bisnis keluarga.Tujuannya pun berbanding terbalik deng
Brandon sudah menghabiskan dua porsi sushi karena ia memang cukup lapar. Dan, makanan japanese adalah favoritnya. Tidak akan mungkin Brandon habiskan sedikit.Crystal pun suka. Namun, keponakannya itu belum menyentuh ramen yang dipesan tadi. Diam melamun sembari memegang sumpit.Brandon sebenarnya ingin membiarkan. Ia merasa harus memberi ruang untuk Crystal. Akan tetapi, ia juga harus memastikan jika sang keponakan makan dengan baik.Crystal punya sedikit gangguan di lambung. Tentu, tidak bagus bagi kesehatan Crystal sendiri, saat pola makan berantakan.Brandon sudah berjanji juga pada sang ibu angkat untuk menjaga Crystal dengan baik. Ia akan lakukan penuh rasa tanggung jawab."Crys ...," panggilnya lembut. Posisi sudah lebih mendekat pada sang keponakan.Crystal menoleh dengan pancaran kedua mata sayu. Tak ada senyuman juga yang diperlihatkan seperti biasanya.
Saat handphone berdering, Brandon segera berhenti melangkah. Ia berada di lorong menuju ruang kerja Crystal, keponakannya.Lekas diambil ponsel yang diletakkan dalam saku celana. Nama sang penelepon dibaca, sebelum menerima panggilan.Marriam Smith. Ibu angkatnya.Brandon tentu tak membuang waktu lagi. Ia segera mengangkat telepon. Sang ibu angkat langsung menyapa dengan suara lembut."Selamat siang juga, Mom," ujar Brandon sopan. Walau, ekspresinya tegang.Kemudian, Marriam Smith menanyakan soal keberadaannya dari seberang telepon."Aku sudah di kantor, Mom. Aku akan temui Crystal sekarang. Mom jangan khawatir."Ibu angkatnya sendiri tengah di Italia. Sudah dua minggu di sana untuk urusan bisnis. Disamping juga berlibur sebentar."Aku akan mengurus masalah ini, Mom."Brandon mantap menjawab dengan kalimat yang de