"Aku menyukaimu, Uncle." Crystal berucap dalam nada yang semakin mantap.
"Bukan suka kau sebagai pamanku. Bukan." Crystal pun mempertegas kembali.
"Aku menyukaimu sebagai seorang pria. Aku tidak salah mengartikan perasaanku."
"Aku menyukaimu. Aku mencintai dirimu, Uncle." Crystal berucap begitu yakin.
Kontras akan debaran jantung berdetak begitu kencang. Rasa gugup pun luar biasa menghantam. Dadanya juga sesak, kini.
Crystal juga berkaca-kaca. Berusaha terus dikendalikan diri. Ia jelas enggan menangis. Terlalu dini. Apalagi, belum didapatkannya tanggapan dari Brandon.
Crystal tidak mengharapkan bahwa ia akan memperoleh respons yang bagus. Mustahil terjadi. Sekalipun, tak pernah dibayangkan.
"Crys ...,"
"Ap ... Apa yang kau baru katakan itu? Kau pasti ingin bercanda saja bukan?"
Crystal menggeleng pelan. Setitik air mata pun menuruni pipinya. "Tidak, Uncle."
"Aku serius." Crystal melanjutkan dengan suara sungguh-sungguhnya.
"Aku mencintaimu."
Tentu, Brandon juga menunjukkan rasa tak percayanya dengan matanya yang tambah membelalak lagi. Wajah pria itu tegang bukan main. Bahkan, Brandon tak berkedip.
Crystal sudah tahu bahwa reaksi yang akan diperoleh seperti ini. Brandon pasti tidak bisa menerima. Bahkan, tak akan bisa begitu saja memercayai ucapannya.
Crystal perlu memberikan bukti. Ide yang gila. Namun, enggan diurungkan untuk dilakukan. Sudah dimantapkan niatan.
Crystal memulai aksi dengan bangun dari kursi. Berjalan cepat ke arah Brandon.
Dalam hitungan seperkian detik saja, Crystal sudah berdiri di hadapan sang paman.
"Aku sangat mencintaimu sejak aku dapat membedakan cinta dan rasa kagum."
Crystal dengan cepat menangkupkan kedua tangan di wajah Brandon. Kemudian, wajah didekatkan hingga bibir mereka menyatu.
Crystal tak lama lakukan. Ia segera menarik diri. Tapi, tidak beranjak pergi dari hadapan Brandon. Berdiri dengan tubuh tegas dan ekspresi yang tegas. Walau, sangat gugup.
Reaksi sang paman atas tindakannya?
Pria itu membeliak dengan lebar. Tentu saja mengalami rasa kaget yang luar biasa.
Brandon menganggap sebagai mimpi buruk. Bahkan, tak pernah sekalipun terpikir jika akan dicium oleh Crystal.
"Aku sudah tidak tahan lagi menyimpan perasaanku ini. Kau tahu? Rasanya begitu menyiksaku setiap hari."
"Kau selalu memberikan perhatian padaku. Tapi, aku tahu itu cuma sebatas rasa sayang sebagai keponakan."
"Sayangnya, aku merespons perhatianmu sebagai cinta pria dewasa. Aku yang sala--"
"Cukup, Crys!"
Brandon spontan bereaksi dengan seruan kencangnya. Ia juga refleks bangun dari kursi yang tengah didudukinya.
Berdiri menjulang di depan Crystal dalam amarah besar. Tatapan begitu tajamnya beradu pandang dengan sorot mata kaget dan juga terluka Crystal.
Brandon diam. Tidak mengatakan apa-apa. Walau, sangat ingin berbicara dan tanyakan pada Crystal, ada apa dengan keponakannya itu. Crystal konyol bersikap kali ini.
"Lanjutkan makanmu dulu." Brandon pun memerintah dalam nada begitu dingin.
"Duduk sekarang!" Intonasinya meninggi.
"Bagaimana perasaanmu, saat sekarang kau tahu, kalau aku menyukaimu, Uncle?"
"Sebagai pria." Crystal menekankan.
"Bukan hubungan keluarga, Paman dan sang keponakan. Tidak itu." Crystal mempertegas.
"Apa yang kau harapkan dari reaksiku?"
Pertanyaan dari Brandon dalam suara sinis, menyadarkan Crystal bahwa di antaranya dan pria itu, akan muncul konflik baru.
Crystal diam. Tidak mengatakan apa pun. Ia ingin mendengar lebih banyak tanggapan Brandon atas perasaannya.
"Apa yang kau harapkan, Crys?"
"Kau harap aku akan menerima cintamu atau kau ingin aku berikan kesempatan?"
Brandon menajamkan tatapannya. Intonasi suara meninggi. Menunjukkan bagaimana amarahnya bergejolak. Ia tidak akan bisa menanggapi masalah ini dengan enteng.
"Jangan pernah berharap lebih, Crys. Kau harus sadar cintamu salah padaku."
"Bagiku, kau akan tetaplah keponakanku. Tidak lebih, Crys. Tolong pahami."
Jadwal kerja Brandon benar-benar padat hari ini. Ada tiga rapat yang dihadiri. Tugas memeriksa sejumlah laporan masih harus dituntaskan. Namun, Brandon tak lembur.Akan dikerjakan di rumah. Tentu, setelah ia beristirahat sebentar. Mungkin dengan tidur dua jam sudah cukup mengurangi rasa lelah yang tengah menyelimutinya.Brandon memang tak punya waktu istirahat banyak. Setiap hari kurang dari lima jam. Namun, ia memanfaatkan dengan baik.Brandon berprinsip bahwa penting menjaga kesehatan mengindari sakit, walau sesibuk dan juga sepadat apa pun pekerjaannya.Tentu, tak hanya rasa capek yang mendera. Terkadang, kejenuhan juga muncul.Tidak akan pernah mudah tugas menjadi pemimpin perusahaan. Sang ibu sudah beri kepercayaan. Jadi, Brandon merasa harus menjalankan tugas sebaik mungkin."Uncle ...,"Tubuh Brandon langsung menegang karena mendengar panggilan Crys
"Hiks.""Kenapa aku harus selemah ini?"Crystal sudah menangis hampir satu jam, belum ada niatan untuk berhenti. Kedua matanya bengkak. Wajah pun basah.Perasaan Crystal sungguh berkecamuk. Ia kacau balau. Tidak akan bisa ditenangkan diri dengan sugesti baik apa pun.Cinta pada Brandon menyakitkan.Penolakan yang diperoleh rasanya masih bisa ditahan. Lagi pula, pria itu sangatlah mustahil bisa mencintainya balik.Brandon sudah menolak mentah-mentah. Bahkan, menegaskan bahwa mereka berdua adalah keluarga. Tidak akan ada hal lebih.Crystal sudah menyiapkan diri dan segenap hatinya mengalami kekecewaan yang besar. Namun, tetap tak terbayang akan sangat menyesakkan dadanya.Apalagi, saat tahu Brandon tengah dekat dengan seorang wanita. Perasaan Crystal semakin remuk dan hancur saja.Harusnya sejak dulu, bisa dilupakan cinta pada Brandon karena tidak akan ada jalan bahagia baginya. Namun, terus saja Crystal bersik
"Aku baru dua gelas. Kau sudah lebih. Aku tidak menyangka kau bisa menyaingiku.""Kau akan mengalahkan Brandon? Aku rasa kau tidak akan pernah bisa."Crystal menunda meminum vodka. Walau, permukaan gelas sudah menempel di bibir. Ia menaruh benda tersebut ke meja.Lalu, melemparkan tatapan tajam ke arah Erron. Menunjukkan bagaimana ia tak suka nama sang paman disebut.Crystal mendapatkan cengiran dari sahabat baik sebagai balasan. Erron memang hanya berniat bercanda. Namun, waktunya tidak tepat saat ini. Ia tak bernafsu berguyon."Aku minta maaf."Crystal menggeleng. "Bukan masalah.""Aku tidak mau kau begini. Kau tidak pandai minum. Kau pasti akan mabuk."Kepala digelengkan Crystal lagi. Tak sepatah keluar dari mulutnya. Walau, Erron pasti ingin dirinya mengatakan sesuatu. Namun, diam lebih menyenangkan bagi Crystal."Kapan kau akan berhenti minum, hmm?"Crystal mengangkat kedua bahu dan masih memandang ke a
Saat handphone berdering, Brandon segera berhenti melangkah. Ia berada di lorong menuju ruang kerja Crystal, keponakannya.Lekas diambil ponsel yang diletakkan dalam saku celana. Nama sang penelepon dibaca, sebelum menerima panggilan.Marriam Smith. Ibu angkatnya.Brandon tentu tak membuang waktu lagi. Ia segera mengangkat telepon. Sang ibu angkat langsung menyapa dengan suara lembut."Selamat siang juga, Mom," ujar Brandon sopan. Walau, ekspresinya tegang.Kemudian, Marriam Smith menanyakan soal keberadaannya dari seberang telepon."Aku sudah di kantor, Mom. Aku akan temui Crystal sekarang. Mom jangan khawatir."Ibu angkatnya sendiri tengah di Italia. Sudah dua minggu di sana untuk urusan bisnis. Disamping juga berlibur sebentar."Aku akan mengurus masalah ini, Mom."Brandon mantap menjawab dengan kalimat yang de
Brandon sudah menghabiskan dua porsi sushi karena ia memang cukup lapar. Dan, makanan japanese adalah favoritnya. Tidak akan mungkin Brandon habiskan sedikit.Crystal pun suka. Namun, keponakannya itu belum menyentuh ramen yang dipesan tadi. Diam melamun sembari memegang sumpit.Brandon sebenarnya ingin membiarkan. Ia merasa harus memberi ruang untuk Crystal. Akan tetapi, ia juga harus memastikan jika sang keponakan makan dengan baik.Crystal punya sedikit gangguan di lambung. Tentu, tidak bagus bagi kesehatan Crystal sendiri, saat pola makan berantakan.Brandon sudah berjanji juga pada sang ibu angkat untuk menjaga Crystal dengan baik. Ia akan lakukan penuh rasa tanggung jawab."Crys ...," panggilnya lembut. Posisi sudah lebih mendekat pada sang keponakan.Crystal menoleh dengan pancaran kedua mata sayu. Tak ada senyuman juga yang diperlihatkan seperti biasanya.
Crystal tidak benar-benar bisa jatuh tidur dengan lelap semalam. Ia terus saja dihantui oleh rasa bersalah atas kecerobohan serta ketidakbecusan dalam berbisnis.Crystal menganggap masalah yang sudah ditimbulkannya sebagai prestasi terburuk. Ia pun disadarkan dirinya begitu payah.Sangat bodoh dalam berbisnis. Apalagi, tak punya pengalaman banyak. Namun, ia telah merasa pintar, penuh keyakinan, dan juga percaya diri akan keputusan yang diambil.Crystal seperti mendapatkan ganjaran fatal atas keangkuhannya sendiri. Ia sadar pula bahwa kesombongan terlalu besar.Selama ini, terkhusus sejak mulai masuk ke dunia bisnis dan bergabung di perusahaan keluarga, Crystal memiliki ambisius besar untuk menyaingi Brandon semata.Ingin membuktikan diri pada pria itu jika dirinya punya kemampuan bagus. Akan bisa membantu menyukseskan bisnis keluarga.Tujuannya pun berbanding terbalik deng
"Aku baru dua gelas. Kau sudah lebih. Aku tidak menyangka kau bisa menyaingiku.""Kau akan mengalahkan Brandon? Aku rasa kau tidak akan pernah bisa."Crystal menunda meminum vodka. Walau, permukaan gelas sudah menempel di bibir. Ia menaruh benda tersebut ke meja.Lalu, melemparkan tatapan tajam ke arah Erron. Menunjukkan bagaimana ia tak suka nama sang paman disebut.Crystal mendapatkan cengiran dari sahabat baik sebagai balasan. Erron memang hanya berniat bercanda. Namun, waktunya tidak tepat saat ini. Ia tak bernafsu berguyon."Aku minta maaf."Crystal menggeleng. "Bukan masalah.""Aku tidak mau kau begini. Kau tidak pandai minum. Kau pasti akan mabuk."Kepala digelengkan Crystal lagi. Tak sepatah keluar dari mulutnya. Walau, Erron pasti ingin dirinya mengatakan sesuatu. Namun, diam lebih menyenangkan bagi Crystal."Kapan kau akan berhenti minum, hmm?"Crystal mengangkat kedua bahu dan masih memandang ke a
"Hiks.""Kenapa aku harus selemah ini?"Crystal sudah menangis hampir satu jam, belum ada niatan untuk berhenti. Kedua matanya bengkak. Wajah pun basah.Perasaan Crystal sungguh berkecamuk. Ia kacau balau. Tidak akan bisa ditenangkan diri dengan sugesti baik apa pun.Cinta pada Brandon menyakitkan.Penolakan yang diperoleh rasanya masih bisa ditahan. Lagi pula, pria itu sangatlah mustahil bisa mencintainya balik.Brandon sudah menolak mentah-mentah. Bahkan, menegaskan bahwa mereka berdua adalah keluarga. Tidak akan ada hal lebih.Crystal sudah menyiapkan diri dan segenap hatinya mengalami kekecewaan yang besar. Namun, tetap tak terbayang akan sangat menyesakkan dadanya.Apalagi, saat tahu Brandon tengah dekat dengan seorang wanita. Perasaan Crystal semakin remuk dan hancur saja.Harusnya sejak dulu, bisa dilupakan cinta pada Brandon karena tidak akan ada jalan bahagia baginya. Namun, terus saja Crystal bersik
Jadwal kerja Brandon benar-benar padat hari ini. Ada tiga rapat yang dihadiri. Tugas memeriksa sejumlah laporan masih harus dituntaskan. Namun, Brandon tak lembur.Akan dikerjakan di rumah. Tentu, setelah ia beristirahat sebentar. Mungkin dengan tidur dua jam sudah cukup mengurangi rasa lelah yang tengah menyelimutinya.Brandon memang tak punya waktu istirahat banyak. Setiap hari kurang dari lima jam. Namun, ia memanfaatkan dengan baik.Brandon berprinsip bahwa penting menjaga kesehatan mengindari sakit, walau sesibuk dan juga sepadat apa pun pekerjaannya.Tentu, tak hanya rasa capek yang mendera. Terkadang, kejenuhan juga muncul.Tidak akan pernah mudah tugas menjadi pemimpin perusahaan. Sang ibu sudah beri kepercayaan. Jadi, Brandon merasa harus menjalankan tugas sebaik mungkin."Uncle ...,"Tubuh Brandon langsung menegang karena mendengar panggilan Crys
"Aku menyukaimu, Uncle." Crystal berucap dalam nada yang semakin mantap."Bukan suka kau sebagai pamanku. Bukan." Crystal pun mempertegas kembali."Aku menyukaimu sebagai seorang pria. Aku tidak salah mengartikan perasaanku.""Aku menyukaimu. Aku mencintai dirimu, Uncle." Crystal berucap begitu yakin.Kontras akan debaran jantung berdetak begitu kencang. Rasa gugup pun luar biasa menghantam. Dadanya juga sesak, kini.Crystal juga berkaca-kaca. Berusaha terus dikendalikan diri. Ia jelas enggan menangis. Terlalu dini. Apalagi, belum didapatkannya tanggapan dari Brandon.Crystal tidak mengharapkan bahwa ia akan memperoleh respons yang bagus. Mustahil terjadi. Sekalipun, tak pernah dibayangkan."Crys ...,""Ap ... Apa yang kau baru katakan itu? Kau pasti ingin bercanda saja bukan?"Crystal menggeleng pelan. Setitik ai
Crystal tidak benar-benar bisa jatuh tidur dengan lelap semalam. Ia terus saja dihantui oleh rasa bersalah atas kecerobohan serta ketidakbecusan dalam berbisnis.Crystal menganggap masalah yang sudah ditimbulkannya sebagai prestasi terburuk. Ia pun disadarkan dirinya begitu payah.Sangat bodoh dalam berbisnis. Apalagi, tak punya pengalaman banyak. Namun, ia telah merasa pintar, penuh keyakinan, dan juga percaya diri akan keputusan yang diambil.Crystal seperti mendapatkan ganjaran fatal atas keangkuhannya sendiri. Ia sadar pula bahwa kesombongan terlalu besar.Selama ini, terkhusus sejak mulai masuk ke dunia bisnis dan bergabung di perusahaan keluarga, Crystal memiliki ambisius besar untuk menyaingi Brandon semata.Ingin membuktikan diri pada pria itu jika dirinya punya kemampuan bagus. Akan bisa membantu menyukseskan bisnis keluarga.Tujuannya pun berbanding terbalik deng
Brandon sudah menghabiskan dua porsi sushi karena ia memang cukup lapar. Dan, makanan japanese adalah favoritnya. Tidak akan mungkin Brandon habiskan sedikit.Crystal pun suka. Namun, keponakannya itu belum menyentuh ramen yang dipesan tadi. Diam melamun sembari memegang sumpit.Brandon sebenarnya ingin membiarkan. Ia merasa harus memberi ruang untuk Crystal. Akan tetapi, ia juga harus memastikan jika sang keponakan makan dengan baik.Crystal punya sedikit gangguan di lambung. Tentu, tidak bagus bagi kesehatan Crystal sendiri, saat pola makan berantakan.Brandon sudah berjanji juga pada sang ibu angkat untuk menjaga Crystal dengan baik. Ia akan lakukan penuh rasa tanggung jawab."Crys ...," panggilnya lembut. Posisi sudah lebih mendekat pada sang keponakan.Crystal menoleh dengan pancaran kedua mata sayu. Tak ada senyuman juga yang diperlihatkan seperti biasanya.
Saat handphone berdering, Brandon segera berhenti melangkah. Ia berada di lorong menuju ruang kerja Crystal, keponakannya.Lekas diambil ponsel yang diletakkan dalam saku celana. Nama sang penelepon dibaca, sebelum menerima panggilan.Marriam Smith. Ibu angkatnya.Brandon tentu tak membuang waktu lagi. Ia segera mengangkat telepon. Sang ibu angkat langsung menyapa dengan suara lembut."Selamat siang juga, Mom," ujar Brandon sopan. Walau, ekspresinya tegang.Kemudian, Marriam Smith menanyakan soal keberadaannya dari seberang telepon."Aku sudah di kantor, Mom. Aku akan temui Crystal sekarang. Mom jangan khawatir."Ibu angkatnya sendiri tengah di Italia. Sudah dua minggu di sana untuk urusan bisnis. Disamping juga berlibur sebentar."Aku akan mengurus masalah ini, Mom."Brandon mantap menjawab dengan kalimat yang de