Bagian 22POV HanifBaru saja aku hendak melaksanakan ritual malam pertama bersama Sofia, wanita yang baru kunikahi tadi pagi, tiba-tiba ponselku berdering. Padahal aku sudah tidak sabar ingin segera menunaikan kewajibanku sebagai seorang suami. "Siapa sih yang nelpon malam-malam begini? Ganggu deh! Apa dia enggak tahu apa malam pertama kita," ucap Sofia sambil mengerucutkan bibirnya. Sofia sudah mengganti baju kebaya yang dikenakannya tadi saat kami melangsungkan akad nikah. Kini ia mengenakan lingerie warna merah menyala, dan sekarang sedang duduk di atas ranjang, di atas sprei warna putih yang ditaburi dengan kelopak bunga mawar, menanti diriku.Ah, aku makin gemas saja melihatnya. Rasanya sudah tidak sabar ingin segera membawanya terbang, melayang ke langit yang ketujuh."Sabar, Sayang! Bentar Mas cek dulu.""Buruan dong, Mas, aku udah enggak sabar, nih! Ayo dong!""Duh! Isteri Mas udah gak tahan sepertinya," godaku sambil mengedipkan mata padanya."Ya iya dong, Mas! Ini 'kan mal
Bagian 23"Akhirnya kamu datang juga, Nak! Asal kamu tahu, orang-orang itu mengusir paksa kami dari rumah. Begitu kami tiba, baju-baju kami langsung dikeluarkan dan kami disuruh pergi meninggalkan rumah ini. Ibu mau kamu hajar mereka. Kasih mereka pelajaran," ucap Ibu sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah kedua orang lelaki yang sedang berdiri persis di depan pintu utama.Seketika nyaliku menciut saat menatap kedua lelaki berbadan tegap dan berotot tersebut. Mana mungkin aku bisa melawan kedua orang itu? Bisa-bisa aku yang akan babak belur duluan."Hanif! Ayo bertindak. Jangan diam saja," bentak Ibu. Ibu pikir aku ini petinju apa? Ilmu beladiri saja aku tidak punya."Hanif, tunjukkan bahwa kamu bisa menghadapi mereka. Usir mereka. Kamu adalah anak kebanggaan ibu. Kamu pasti bisa. Ibu tidak mau diusir dari rumah ini. Ibu tidak rela. Ayo Hanif, lakukan sesuatu!" Ibu terus saja mendesakku."Iya, Bu, aku akan menghadapi mereka," ucapku walaupun aku sendiri ragu."Mas, kamu yakin?" So
Bagian 24"Kamu tidak usah menakut-nakuti ibu dan Hanif, Nuni! Simpan omong kosongmu itu. Ibu sedang tidak ingin mendengarnya," bentak Ibu."Aku tahu, bukannya Ibu tidak ingin mendengarnya, hanya saja Ibu takut, kan? Takut jika omonganku ternyata benar.""Mbak, bisa diam enggak sih? Apa yang dikatakan oleh Ibu itu benar, jangan memperkeruh suasana," sahut Sofia."Kamu bilang apa barusan, Sofia? Kamu nyuruh Mbak buat diam? Berani sekali kamu! Ini semua tidak akan terjadi jika kamu tidak hadir dalam kehidupan Hanif. Asal kamu tahu, kamu lah penyebab semua ini," balas Mbak Nuni, tidak mau kalah."Kenapa Mbak jadi nyalahin aku?" Justru Mbak dan Ibu yang salah. Gara-gara kalian, malam pertamaku jadi gagal. Kalian puas?""Kenapa kamu jadi nyalahin kami? Jika tidak ada hal penting, tidak mungkin Ibu meminta bantuan pada Hanif. Jadi mantu kok' enggak tahu diri bangat sih.""Dalam situasi seperti ini masih saja membahas malam pertama. Padahal udah hamil duluan, sok-sokan mau melaksanakan ritua
Bagian 25Tok tok tok!Kaca jendela mobil diketuk. Membuatku terpaksa harus membuka mata. Rasanya kepalaku sedikit sakit, mungkin karena kurang tidur. Aku segera mengucek mata, lalu membuka pintu mobil."Ada apa?" tanyaku begitu melihat seorang wanita paruh baya. Menurut tebakanku umurnya sekitar lima puluh tahun, kurang lebih."Pak, saya diperintahkan oleh majikan saya, pemilik rumah ini. Kata beliau, rumah ini mau dipake, jadi tidak dikontrakkan lagi. Silakan ambil barang yang masih ada di dalam, soalnya sebentar lagi penghuni rumah ini akan segera tiba."Apa lagi ini? Semalam Ibu diusir dari rumah. Sekarang Sofia juga ikut diusir juga dari kontrakannya. Aargh!Aku benar-benar tidak mengerti dengan semua ini. Sungguh, kepalaku tambah pusing memikirkannya."Apa-apaan ini? Aku kan baru bayar sewa dua Minggu yang lalu. Kok' main usir segala? Aku tidak terima! Mana kunci rumahnya? Aku mau masuk, mau istirahat. Badanku terasa pegal semua karena semalaman tidur di dalam mobil. Mana kunc
Bagian 26Setibanya di kantor, aku langsung naik lift menuju ruanganku yang terletak di lantai dua belas. Beberapa pegawai menoleh ke arahku. Aneh, kenapa mereka menatapku seperti itu ya?"Ada surat untuk Bapak," ucap Indah begitu aku tiba di meja kerjaku."Surat?" Keningku mengernyit mendengar ucapannya. Aku pun mengambil surat itu."Astaga!" gumamku, tubuhku terasa lemas seketika. Aku langsung terduduk di atas kursi."Siapa yang memberikan surat ini?" "Pak bos, Pak!"Aku mengusap wajah kasar. Segera beranjak dari kursi, melangkah dengan cepat ke ruangan bos sambil membawa surat itu.Setibanya di depan ruangan pak bos, aku pun langsung mengetuk pintu."Permisi, Pak!""Masuk!" Terdengar suara dari dalam, menyuruhku masuk.Tanpa menunggu waktu lama, aku segera mendorong pintu, lalu memasuki ruangan tersebut."Ini apa maksudnya, Pak?" tanyaku langsung to the point sambil menunjukkan surat yang kupegang."Apa kurang jelas? Itu surat pemecatan untuk kamu!"Aku menggeleng pelan, tidak per
Bagian 27"Bapak bisa dipidana loh atas kelalaian Bapak." "Apaan sih? Ponakan saya cuma tidur, jangan ngada-ngada!"Astaga! Ini orang membuatku semakin takut saja. Aku yakin Vino hanya tertidur pulas, bukan pingsan. Tapi kenapa matanya sembab ya, seperti habis menangis. Mungkin Vino hanya sedang bermimpi."Yakin cuma tertidur? Cek saja dulu, siapa tahu sudah tak bernyawa. Lebih baik langsung saja bawa ke rumah sakit. Ngapain masih bengong di sini? Ayo buruan sana!"Degh!Jantungku rasanya hendak melompat dari rongganya saat mendengar ucapannya. Seketika ada rasa cemas yang menyelimuti diri ini. Takut apa yang dikatakannya terbukti benar.Aku segera menempelkan tangan ke hidung Vino. Tapi kenapa lain ya, sepertinya Vino sudah tak lagi bernapas. Nadi-nya juga sudah tak berdenyut.Astaga! Apa lagi ini?"Tuh 'kan Pak, ayo segera bawa ke rumah sakit! Lelet bangat sih! Ini urusannya nyawa loh. Sana!" Pak satpam terus saja mendesakku.Aku segera duduk di bangku kemudi, lalu mengendarai mobi
Bagian 28"Pak, Bu, silakan diurus dulu administrasinya. Mari ikut saya." Seorang perawat menghampiri kami. Dan inilah hal yang aku takutkan, soal tagihan rumah sakit."Hanif, ayo sana, urus administrasinya." Ibu mendesakku, mungkin Ibu berpikir kalau aku ini masih memiliki banyak uang. Sayangnya tidak. Uang tabunganku sudah habis untuk biaya pernikahanku dengan Sofia. Memang pernikahan kami digelar dengan acara sederhana, tapi tetap saja harus mengeluarkan uang yang lumayan banyak. Untuk mahar, dan juga biaya booking kamar hotel. Serta biaya ini dan itu yang tidak bisa disebutkan satu persatu."Duluan saja ya, Sus, bentar lagi saya ke sana," ucapku kepada suster tersebut."Baik, Mas," ucapnya ramah, kemudian berlalu dari hadapan kami."Hanif, kenapa ditunda-tunda sih? Lunasi biaya rumah sakitnya Vino, bila perlu suruh mereka memindahkan Vino ke ruangan VIP." Ibu berucap dengan enteng seolah tanpa beban, beliau tidak tahu bagaimana kondisi anaknya saat ini. Pusing setengah mati!Baikl
Bagian 29Setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua puluh menit, akhirnya kami tiba juga di rumah. Dari luar, rumah tampak sepi, mobil pun tidak ada di garasi. Berarti Mira belum pulang."Bu, Mbak, mari kita masuk." Aku segera membawa koper milik Ibu dan Mbak Nuni."Sofia sayang, mulai sekarang kita tinggal di sini ya. Gimana, mau kan?" Aku begitu bersemangat mengajak mereka tinggal di rumahku."Mau dong, Mas. Ini sih impian aku dari dulu, tinggal di rumah mewah seperti Cinderella. Mas aja yang enggak ngebolehin aku tinggal di sini.""Cinderella dari kolong jembatan? Kamu enggak cocok disamakan dengan Cinderella. Cinderella itu cantik dan baik hati, enggak seperti kamu," sahut Mbak Nuni."Tolong ya, Mbak. Jangan mengacaukan suasana hati aku yang sedang berbahagia. Aku sedang tidak ingin berdebat."Aduh, Sofia dan Mbak Nuni bagaikan kucing dan tikus. Berantem terus kerjaannya. Tidak pernah akur! Membuatkan semakin pusing.Aku segera memencet bel, sudah tidak sabar rasanya ingin sege
"Sekarang kamu harus bertanggung jawab padanya, Mas," kata wanita itu. "Baik, sesuai janjiku, aku akan menanggung biaya hidup dan juga biaya sekolahnya sampai perguruan tinggi," jawab Mas Ahmad."Mas, itu tidak adil. Dia bukan hanya butuh materi, tapi butuh kasih sayang juga, Mas," protes wanita. "Jadi mau kamu gimana?" Mas Ahmad terlihat bingung. "Aku maunya kita tinggal bersama, Mas. Aku tidak akan memintamu menikahiku. Cukup Mas izinkan aku dan Alkha saja tinggal di rumahmu. Sudah cukup."Apa-apaan ini?"Mana mungkin kita tinggal bersama, Ajizah. Tidak tidak!" Mas Ahmad menolak."Itu merupakan satu-satunya cara agar anak kita bisa dekat denganmu, Mas."Tampaknya ada udang di balik batu. Dan aku sudah mengerti apa yang wanita itu inginkan."Ibu tidak setuju. Itu tidak baik," sahut ibu mertua."Aku juga tidak setuju. Karena aku tidak ingin ada orang ketiga di dalam rumah tanggaku nantinya." Akhirnya setelah sekian lama, aku angkat bicara."Kamu menyebutku orang ketiga? Seharusnya
Apa mungkin aku telah salah mengambil keputusan? Apa mungkin menikah dengan Mas Ahmad bukankah keputusan yang tepat? Entahlah!Selesai makan, Mas Ahmad menepati janjinya. Ia pamit padaku untuk mengantar wanita itu pulang. Aku ditinggal sendirian di dalam kamar karena Ibu mertua juga lelah dan butuh Istirahat.Malam yang seharusnya kamu lalui dengan penuh sukacita sebagai pasangan pengantin yang baru menikah pun kulalui seorang diri.Dua jam sudah berlalu sejak kepergian Mas Ahmad. Belum juga ada tanda-tanda bahwa ia akan kembali. Padahal jarak dari sini ke rumah mantan istrinya itu hanya memakan waktu tiga puluh menit. Yang artinya, satu jam pulang pergi. Ini sudah dua jam, namun Mas Ahmad belum juga kembali.Apa mungkin mereka sedang bernostalgia? Apa mungkin Mas Ahmad akan kembali kepada mantan istrinya itu?Hatiku sakit. Batinku menjerit. Aku menangis dalam diam. Kamar pengantin yang sudah dihias sedemikian rupa, kasur dengan sprei putih yang sudah ditaburi kelopak bunga mawar mer
Setibanya di rumah Mas Ahmad, asisten rumah tangganya menyambut kami dengan ramah. Katanya hidangan sudah siap, persis seperti apa yang diminta oleh sang majikan."Mira, selamat datang. Ini adalah rumah Ibu dan Ahmad, yang berarti rumahmu juga. Semoga mantu Ibu betah tinggal di sini."Ibunya Mas Ahmad yang kini sudah menjadi ibu mertuaku menuntunku memasuki rumah. Namun langkah kami tiba-tiba terhenti saat melihat seorang wanita sedang duduk di teras bersama seorang anak kecil. Siapa wanita itu?"Ajizah?" Ibunya Mas Ahmad menatap wanita itu dengan tatapan tak suka.Ajizah? Bahkan aku belum pernah mendengar nama itu sebelumya."Bu," sapa wanita itu. Ia menghampiri kami dan langsung meraih tangan ibu mertuaku, lalu mencium punggung tangannya. "Apa kabar, Bu? Ibu makin cantik dan awet muda," pujinya. Namun ibu mertua tak merespon ucapannya."Nak, salim sama Nenek," kata wanita itu sambil mendekatkan putranya kepada ibu mertua yang berdiri persis di sampingku.Ibu mertua menerima uluran
Di sepertiga malam, aku menunaikan sholat istikharah dua raka'at. Aku memohon, meminta petunjuk kepada Allah SWT. Kupasrahkan urusanku kepada-nya karena aku tahu Allah mengetahui apa yang terbaik untukku.Setelah selesai berdoa, aku membuka Alquran, membuka surat Al Mulk dan membacanya beserta terjemahannya. Hingga tak terasa kantuk datang menyerang dan akhirnya aku tertidur di atas sajadah.Sayup sayup terdengar suara adzan subuh dari masjid yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah. Aku pun bangun, membuka mukena dan segera mengambil wudhu di kamar mandi. Setelah itu, aku pun menunaikan ibadah sholat subuh. Lanjut berdoa dan kembali meminta petunjuk kepada Allah.Siangnya, begitu tiba waktu dhuhur, aku kembali menunaikan kewajibanku sebagai seorang muslim. Menunaikan sholat dhuhur empat rakaat. Seharian ini aku hanya mengurung diri di kamar. Makan pun diantar oleh asisten rumah tangga. Kebetulan rumah sepi karena Mama dan Papa sedang keluar dan aku hanya sendirian di rumah. Membu
Setelah selesai makan malam, kami pun duduk di ruang tamu. Mas Ahmad memulai pembicaraan dengan mengutarakan maksud dan tujuannya. Mas Ahmad bercerita panjang lebar tentang masa lalunya. Ternyata ia memiliki masa lalu yang kelam. Mas Ahmad pernah mengonsumsi obat-obatan terlarang. Bahkan sempai ketergantungan. Satu hal lagi yang berhasil membuatku terkejut, ternyata Mas Ahmad sudah pernah menikah dan sudah pisah dari istrinya. Tepatnya dua tahun lalu lalu. Istrinya menggugat cerai Mas Ahmad karena tidak pernah memberi nafkah. Semua gaji Mas Ahmad ia gunakan untuk membeli obat-obatan terlarang. Ia sama sekali tidak memikirkan istrinya. Itu sebabnya istrinya meninggalkan Mas Ahmad.Setelah istrinya pergi, Mas Ahmad baru menyadari kesalahannya. Kebetulan ia bertemu dengan seorang guru ngaji, dan orang tersebut lah yang membimbing Mas Ahmad. Mas Ahmad mulai meninggalkan kebiasaannya, ia bertaubat dan mulai memperdalam ilmu agama. Butuh waktu yang lama untuk meninggalkan kebiasaan buruk
Sungguh, aku kasihan sekali mendengarnya. Hati sanubariku tersentuh. Aku lebih mampu dari mereka, jadi aku akan menolong mereka.Seminggu yang lalu sahabatku yang mengelola butik berhenti karena ia mau menikah dan akan tinggal di luar kota. Kurasa mereka akan mau jika ditawari untuk tunggal di butik. Ya, aku bisa menolong mereka dengan cara memberikan tempat tinggal dan juga pekerjaan."Mbak, Sofia, apa kalian mau tinggal di butik? Kebetulan sahabatku yang selama ini mengelola butik tersebut berhenti karena sudah menemukan jodohnya dan diajak pindah keluar kota oleh suaminya. Aku memang berencana ingin mencari orang untuk mengelola butik tersebut. Jika kalian bersedia, kalian bisa tinggal di sana sekalian mengelola butik tersebut. Tapi tempatnya tidak terlalu luas. Gimana?""Mbak Mira serius?" tanya Sofia."Iya, kamu serius, Mir? Apa enggak ngerepotin? Kami sudah banyak merepotkanmu, Mir. Mbak jadi enggak enak.""Serius, dan aku tidak merasa direpotkan. Sebelumnya, pegawai yang lama j
Alhamdulillah … aku lega karena orang yang mencelakai mamaku dan juga Sofia sudah diamankan polisi. Semoga saja mereka segera bertaubat dan menyadari semua kesalahan yang mereka perbuat."Sofia, Mbak Nuni, aku pamit ya, soalnya Mama menungguku di rumah.""Iya, Mbak, hati-hati ya," ucap Sofia."Kamu hati-hati ya, Mir," pesan Mbak Nuni.Baru saja aku menghidupkan mesin mobil dan hendak meninggalkan tempat tersebut, tiba-tiba saja seorang wanita paruh baya menghampiri mereka sambil marah-marah. Aku kembali mematikan mesin mobil, berniat untuk mencari tahu ada apa sebenarnya."Maaf, ini ada apa? Kenapa Ibu marah-marah pada mereka?" tanyaku penuh selidik."Mbak enggak usah ikut campur. Ini urusan saya dengan mereka!" Beliau malah membentakku, padahal aku bertanya baik-baik."Hey kalian, ayo bayar uang sewa kontrakan sekarang juga! Jika tidak sanggup membayar sewa, lebih baik kalian tinggalkan rumah ini. Lagian, saya sudah tidak sudi rumah kontrakan saya dihuni oleh kalian. Saya tahu kejah
Polisi langsung membawa surat perintah penangkapan terhadap Mas Hanif dan ibunya setelah kami melaporkan mereka ke kantor polisi. Sebelumnya, Mbak Nuni dan Sofia pulang dulu ke rumah kontrakan mereka untuk mengambil barang bukti berupa sarung tangan milik Mas Hanif yang ia simpan di bawah ranjang. Setelah mendapatkan barang bukti tersebut, Mbak Nuni dan Sofia dijemput oleh Mas Ahmad di depan gang agar tidak ketahuan, lalu membawa mereka ke kantor polisi untuk membuat laporan."Ada apa ini, Pak? Kenapa saya ditangkap? Saya merasa tidak melakukan kejahatan apapun," ucap Mas Hanif kepada anggota polisi yang datang menangkapnya. Ia membela diri."Iya, main tangkap segala. Apa salah kami?" Ibunya Mas Hanif juga menanyakan hal yang sama."Kalian ditangkap atas tuduhan percobaan pembunuhan dan juga penganiayaan. Silakan ikut kami ke kantor," jelas salah seorang diantara mereka."Tidak! Itu fitnah. Siapa yang telah melaporkan kami, Pak? Saya tidak terima!" Mas Hanif protes."Aku, Mas." Sofia
Ternyata dugaanku benar. Rupanya Mas Hanif lah dalang di balik semua ini. Benar-benar tidak bisa dikasih ampun!"Aku yakin, Mbak. Mas Hanif lah pelakunya. Dia juga yang telah mencelakai Tante Diana. Aku tahu semuanya!"Degh! Jantungku berdegup kencang, tanganku mengepal, emosiku serasa naik sampai ke ubun-ubun setelah mendengar ucapan Sofia.Bajingan kamu, Mas Hanif! Benar-benar biadab!"Apa?" tanya Mama, Mama terlihat shock mendengar ucapan Sofia."Semuanya tenang dulu ya. Sekarang kita ke rumah Tante Diana dulu. Kita bicarakan semuanya di sana. Sofia, Mbak Nuni, kalian tidak usah takut. Kami akan melindungi kalian." Mas Ahmad pun kembali melajukan mobilnya.Aku melirik Mbak Nuni, tapi Mbak Nuni tidak membantah sedikitpun. Berarti apa yang dikatakan Sofia itu benar.Sepanjang perjalanan menuju rumah, tidak ada lagi yang bicara di antara kami. Semuanya saling diam. Larut dalam pikiran masing-masing.Dua puluh menit kemudian, akhirnya kami tiba di rumah. Mbok Siti langsung menyambut k