Bagian 29Setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua puluh menit, akhirnya kami tiba juga di rumah. Dari luar, rumah tampak sepi, mobil pun tidak ada di garasi. Berarti Mira belum pulang."Bu, Mbak, mari kita masuk." Aku segera membawa koper milik Ibu dan Mbak Nuni."Sofia sayang, mulai sekarang kita tinggal di sini ya. Gimana, mau kan?" Aku begitu bersemangat mengajak mereka tinggal di rumahku."Mau dong, Mas. Ini sih impian aku dari dulu, tinggal di rumah mewah seperti Cinderella. Mas aja yang enggak ngebolehin aku tinggal di sini.""Cinderella dari kolong jembatan? Kamu enggak cocok disamakan dengan Cinderella. Cinderella itu cantik dan baik hati, enggak seperti kamu," sahut Mbak Nuni."Tolong ya, Mbak. Jangan mengacaukan suasana hati aku yang sedang berbahagia. Aku sedang tidak ingin berdebat."Aduh, Sofia dan Mbak Nuni bagaikan kucing dan tikus. Berantem terus kerjaannya. Tidak pernah akur! Membuatkan semakin pusing.Aku segera memencet bel, sudah tidak sabar rasanya ingin sege
Bagian 30Setelah Mas Hanif keluar dari mobil tersebut, ia langsung menghampiri ibunya. Ibunya langsung berbicara padanya sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah kedua laki-laki yang sedang berjaga di depan rumah itu.Jika saja Papa mengabarkan bahwa akan memasang Cctv di rumah tersebut, aku pasti menyarankan agar Papa memasang Cctv yang dilengkapi dengan audio agar kami bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.Tapi aku tetap merasa puas karena bisa melihat bagaimana ekspresi mereka.Mbak Nuni membawa Vino ke dalam mobil, sementara wanita itu tidak kelihatan batang hidungnya.Ibu terlihat memaksa, bahkan sambil mendorong anak kesayangannya tersebut untuk menghadapi kedua lelaki bertubuh tegap itu. Mas Hanif menurut, ia berjalan dengan pelan untuk menghampiri kedua lelaki itu. Mas Hanif sempat berhenti sejenak, mungkin ia bimbang antara melanjutkan atau tidak. Mau mundur tapi malu, mau maju tapi takut. Pasti itu yang ada di pikirannya saat ini. Lucu. Kami bahkan sampai tertawa me
Bagian 31Aku memutuskan untuk kembali ke rumah. Menurut informasi dari anak buah Papa, mereka semua akan datang ke rumah karena sudah tidak punya tempat tinggal lagi.Aku sengaja meminta Papa untuk mengantar kami. Mobil ditinggal di rumah Papa agar Mas Hanif mengira bahwa aku belum pulang. Kejutan demi kejutan akan kuberikan untuk mereka. Jika kemarin giliran Papa yang bertindak, sekarang giliranku dan Mama.Aku ingin lihat bagaimana reaksi ibu mertua saat melihat Mamaku--musuh bebuyutannya, orang yang sudah dipisahkannya dari suaminya, orang yang telah ia hancurkan hidupnya, berada di rumah ini. "Bu, mereka sudah tiba," ucap Bi Inah. Bi Inah mengintip dari balik jendela saat mendengar bel berbunyi."Oke, buka pintunya, Bi.""Baik, Bu!"Sambil menunggu mereka, aku pun duduk santai di atas sofa ruang tengah, menaikkan kedua kaki ke atas meja."Bi, bawain koper saya," titah seorang wanita."Baik, Non.""Buatin minuman segar ya, Bi, aku lagi pingin minum yang segar-segar," perintah wa
Bagian 32Wajah mereka semua mendadak berubah, menatapku dengan tatapan tidak suka."Kenapa? Tidak suka?" Aku berdiri dari tempat dudukku, lalu melipat kedua tangan di depan dada. Balik menatap tajam ke arah mereka."Biarpun kamu tidak suka, tapi kamu tidak punya hak untuk melarang kami tinggal di sini. Ini rumah Hanif, anakku. Kami tidak perlu menunggu persetujuan darimu. Nuni, Sofia, ayo kita istirahat. Tidak ada gunanya berdebat dengan Mira. Ibu capek mau istirahat. Ayo!"Ibu mertua, Mbak Nuni dan juga wanita itu berjalan melewatiku. Wanita itu menyunggingkan senyum kemenangan padaku. Ia masih bisa tersenyum padahal nasibnya sudah di ujung tanduk. Miris!"Berhenti! Aku tegaskan sekali lagi. Aku tidak mengizinkanku kalian tinggal di rumahku. Jadi silakan angkat kaki dari sini sekarang juga!""Mira, kenapa kamu tega mengusir kami? Kita ini keluarga kamu loh, Mir. Aku kakak iparmu, ini ibu mertuamu. Kamu tega mengusir kami?" Mbak Nuni protes sambil mendekat, meraih tanganku, tapi aku
Bagian 33Sekali saja tanganmu itu menyentuh kulit anakku, maka kupastikan kamu akan mendekam di penjara, Zamila!" ucap Mama."Ka-kamu a-ada di sini?" tanya ibu mertua terbata. Aku tahu, beliau pasti takut pada Mama."Kenapa kamu terkejut? Takut? Ini rumah anakku. Jadi aku berhak datang ke sini kapanpun aku mau. Tadi kamu mau menampar anakku, kan? Kenapa diam saja, ayo lakukan! Atau kamu mau berhadapan langsung denganku? Boleh, sini hadapi aku karena akulah lawanmu yang setimpal."Ibu mertua pun langsung menurunkan tangannya. "Di-diana, kamu ngomong apa sih? Aku cuma mau mengajari menantuku-Mira gimana caranya bersikap kepada suami dan mertua. Mana mungkin aku mau menyakitinya. Oh ya, kamu apa kabar? Dari mana saja? Kita sekarang besanan loh, seperti impian kita dulu!" Ibu mertua sepertinya sengaja mengalihkan pembicaraan.Ini yang paling aku tunggu-tunggu. Ibu mertua terlihat takut kepada Mama. Kita lihat saja, ibu mertua akan tetap bersandiwara atau justru akan memperlihatkan sikap
Bagian 34"Diana sahabatku, tolong jangan salah paham padaku. Aku sama sekali tidak seperti yang kamu tuduhkan. Aku sakit hati mendengar tuduhanmu itu. Jika saja hati ini bisa dibelah, akan kuperlihatkan padamu bagaimana isi hatiku yang sesungguhnya agar kamu percaya." Idih, pandai sekali ibu mertua mengucapkan kata-kata itu. Memang ya, kalau orang munafik tidak akan takut berbohong untuk menutupi kebohongannya."Dan buat Mira, Ibu mewakili Hanif untuk minta maaf padamu. Hanif dan Sofia memang sudah menikah dan itu atas persetujuan dari Ibu. Kami sengaja merahasiakan semua ini darimu untuk menjaga kelangsungan rumah tangga kalian. Kami tidak mau kamu sakit hati. Hanif butuh keturunan sebagai penerusnya nantinya dan kamu tidak bisa memberikan itu. Hanif terpaksa menikahi Sofia untuk mengabulkan keinginannya. Dengan begitu Hanif akan bisa punya anak dan tidak ada yang berubah dengan hubunganmu dan Hanif. Kalian akan tetap bersama dan kamu tidak perlu merasa terbebani karena tidak bisa
Bagian 35"Mira, maksud kamu apa? Kenapa kamu ingin memenjarakan Mas? Dan kenapa juga kamu membahas soal malam pertama segala? Dari mana kamu mengetahui semua itu?""Aku mengetahui semua tentang kalian, Mas. Kalian belum sempat melaksanakan ritual malam pertama seperti yang diidamkan oleh wanita ini, kan?" Aku mengarahkan jari telunjuk ke arah wanita yang masih diam membisu seperti patung itu."Kasihan sekali ya, pasangan pengantin baru tapi belum pernah tidur bareng. Malam pertama yang sudah kalian rencanakan sedemikian rupa harus batal. Ops, aku lupa, kalian 'kan sudah sering tidur bareng. Bahkan wanita itu sudah hamil duluan." Aku menutup mulut dengan telapak tangan, menunjukkan ekspresi keceplosan, padahal aku sengaja mengatakannya.Kali ini wanita itu mengangkat wajahnya, menatapku dengan tatapan tajam. Tapi tetap saja diam tanpa kata, tidak berbicara sepatah katapun."Kenapa? Enggak terima? Mau marah? Apa yang aku katakan fakta loh, kamu enggak usah menatapku seperti itu! Aku ta
Bagian 36"Enggak usah bersandiwara lagi di depanku. Aku sudah tahu kalau kamu lah sebenarnya yang mencuri mobilku. Mobilku tidak hilang, melainkan kamu berikan pada gundikmu ini, iya 'kan? Aku ingin lihat, apakah kamu masih bisa mengelak setelah aku menunjukkan buktinya? Aku yakin kamu akan bungkam setelah aku memperlihatkan bukti padamu. Tapi tunggu dulu, biar polisi yang akan menjelaskannya, soalnya semua bukti sudah aku serahkan ke kantor polisi.""Jika kamu berani memenjarakan Hanif, jangan harap bisa selamat dari Ibu, Mira," ancam ibu mertua."Zamila, bukankah sudah aku peringatkan agar kamu jangan ikut campur? Jangan sampai aku menyumpal mulutmu itu dengan lakban. Kamu terlalu banyak bicara, Zamila!""Diam kamu Diana. Aku tidak bisa melihat Mira terus menerus menghina dan memojokkan Hanif. Mira, asal kamu tahu, Ibu merestui pernikahan Hanif dan Sofia karena ibu kecewa padamu. Kamu telah menipu Ibu dengan memberikan hadiah berlian palsu kepada ibu. Kamu telah membuat Ibu diperma
"Sekarang kamu harus bertanggung jawab padanya, Mas," kata wanita itu. "Baik, sesuai janjiku, aku akan menanggung biaya hidup dan juga biaya sekolahnya sampai perguruan tinggi," jawab Mas Ahmad."Mas, itu tidak adil. Dia bukan hanya butuh materi, tapi butuh kasih sayang juga, Mas," protes wanita. "Jadi mau kamu gimana?" Mas Ahmad terlihat bingung. "Aku maunya kita tinggal bersama, Mas. Aku tidak akan memintamu menikahiku. Cukup Mas izinkan aku dan Alkha saja tinggal di rumahmu. Sudah cukup."Apa-apaan ini?"Mana mungkin kita tinggal bersama, Ajizah. Tidak tidak!" Mas Ahmad menolak."Itu merupakan satu-satunya cara agar anak kita bisa dekat denganmu, Mas."Tampaknya ada udang di balik batu. Dan aku sudah mengerti apa yang wanita itu inginkan."Ibu tidak setuju. Itu tidak baik," sahut ibu mertua."Aku juga tidak setuju. Karena aku tidak ingin ada orang ketiga di dalam rumah tanggaku nantinya." Akhirnya setelah sekian lama, aku angkat bicara."Kamu menyebutku orang ketiga? Seharusnya
Apa mungkin aku telah salah mengambil keputusan? Apa mungkin menikah dengan Mas Ahmad bukankah keputusan yang tepat? Entahlah!Selesai makan, Mas Ahmad menepati janjinya. Ia pamit padaku untuk mengantar wanita itu pulang. Aku ditinggal sendirian di dalam kamar karena Ibu mertua juga lelah dan butuh Istirahat.Malam yang seharusnya kamu lalui dengan penuh sukacita sebagai pasangan pengantin yang baru menikah pun kulalui seorang diri.Dua jam sudah berlalu sejak kepergian Mas Ahmad. Belum juga ada tanda-tanda bahwa ia akan kembali. Padahal jarak dari sini ke rumah mantan istrinya itu hanya memakan waktu tiga puluh menit. Yang artinya, satu jam pulang pergi. Ini sudah dua jam, namun Mas Ahmad belum juga kembali.Apa mungkin mereka sedang bernostalgia? Apa mungkin Mas Ahmad akan kembali kepada mantan istrinya itu?Hatiku sakit. Batinku menjerit. Aku menangis dalam diam. Kamar pengantin yang sudah dihias sedemikian rupa, kasur dengan sprei putih yang sudah ditaburi kelopak bunga mawar mer
Setibanya di rumah Mas Ahmad, asisten rumah tangganya menyambut kami dengan ramah. Katanya hidangan sudah siap, persis seperti apa yang diminta oleh sang majikan."Mira, selamat datang. Ini adalah rumah Ibu dan Ahmad, yang berarti rumahmu juga. Semoga mantu Ibu betah tinggal di sini."Ibunya Mas Ahmad yang kini sudah menjadi ibu mertuaku menuntunku memasuki rumah. Namun langkah kami tiba-tiba terhenti saat melihat seorang wanita sedang duduk di teras bersama seorang anak kecil. Siapa wanita itu?"Ajizah?" Ibunya Mas Ahmad menatap wanita itu dengan tatapan tak suka.Ajizah? Bahkan aku belum pernah mendengar nama itu sebelumya."Bu," sapa wanita itu. Ia menghampiri kami dan langsung meraih tangan ibu mertuaku, lalu mencium punggung tangannya. "Apa kabar, Bu? Ibu makin cantik dan awet muda," pujinya. Namun ibu mertua tak merespon ucapannya."Nak, salim sama Nenek," kata wanita itu sambil mendekatkan putranya kepada ibu mertua yang berdiri persis di sampingku.Ibu mertua menerima uluran
Di sepertiga malam, aku menunaikan sholat istikharah dua raka'at. Aku memohon, meminta petunjuk kepada Allah SWT. Kupasrahkan urusanku kepada-nya karena aku tahu Allah mengetahui apa yang terbaik untukku.Setelah selesai berdoa, aku membuka Alquran, membuka surat Al Mulk dan membacanya beserta terjemahannya. Hingga tak terasa kantuk datang menyerang dan akhirnya aku tertidur di atas sajadah.Sayup sayup terdengar suara adzan subuh dari masjid yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah. Aku pun bangun, membuka mukena dan segera mengambil wudhu di kamar mandi. Setelah itu, aku pun menunaikan ibadah sholat subuh. Lanjut berdoa dan kembali meminta petunjuk kepada Allah.Siangnya, begitu tiba waktu dhuhur, aku kembali menunaikan kewajibanku sebagai seorang muslim. Menunaikan sholat dhuhur empat rakaat. Seharian ini aku hanya mengurung diri di kamar. Makan pun diantar oleh asisten rumah tangga. Kebetulan rumah sepi karena Mama dan Papa sedang keluar dan aku hanya sendirian di rumah. Membu
Setelah selesai makan malam, kami pun duduk di ruang tamu. Mas Ahmad memulai pembicaraan dengan mengutarakan maksud dan tujuannya. Mas Ahmad bercerita panjang lebar tentang masa lalunya. Ternyata ia memiliki masa lalu yang kelam. Mas Ahmad pernah mengonsumsi obat-obatan terlarang. Bahkan sempai ketergantungan. Satu hal lagi yang berhasil membuatku terkejut, ternyata Mas Ahmad sudah pernah menikah dan sudah pisah dari istrinya. Tepatnya dua tahun lalu lalu. Istrinya menggugat cerai Mas Ahmad karena tidak pernah memberi nafkah. Semua gaji Mas Ahmad ia gunakan untuk membeli obat-obatan terlarang. Ia sama sekali tidak memikirkan istrinya. Itu sebabnya istrinya meninggalkan Mas Ahmad.Setelah istrinya pergi, Mas Ahmad baru menyadari kesalahannya. Kebetulan ia bertemu dengan seorang guru ngaji, dan orang tersebut lah yang membimbing Mas Ahmad. Mas Ahmad mulai meninggalkan kebiasaannya, ia bertaubat dan mulai memperdalam ilmu agama. Butuh waktu yang lama untuk meninggalkan kebiasaan buruk
Sungguh, aku kasihan sekali mendengarnya. Hati sanubariku tersentuh. Aku lebih mampu dari mereka, jadi aku akan menolong mereka.Seminggu yang lalu sahabatku yang mengelola butik berhenti karena ia mau menikah dan akan tinggal di luar kota. Kurasa mereka akan mau jika ditawari untuk tunggal di butik. Ya, aku bisa menolong mereka dengan cara memberikan tempat tinggal dan juga pekerjaan."Mbak, Sofia, apa kalian mau tinggal di butik? Kebetulan sahabatku yang selama ini mengelola butik tersebut berhenti karena sudah menemukan jodohnya dan diajak pindah keluar kota oleh suaminya. Aku memang berencana ingin mencari orang untuk mengelola butik tersebut. Jika kalian bersedia, kalian bisa tinggal di sana sekalian mengelola butik tersebut. Tapi tempatnya tidak terlalu luas. Gimana?""Mbak Mira serius?" tanya Sofia."Iya, kamu serius, Mir? Apa enggak ngerepotin? Kami sudah banyak merepotkanmu, Mir. Mbak jadi enggak enak.""Serius, dan aku tidak merasa direpotkan. Sebelumnya, pegawai yang lama j
Alhamdulillah … aku lega karena orang yang mencelakai mamaku dan juga Sofia sudah diamankan polisi. Semoga saja mereka segera bertaubat dan menyadari semua kesalahan yang mereka perbuat."Sofia, Mbak Nuni, aku pamit ya, soalnya Mama menungguku di rumah.""Iya, Mbak, hati-hati ya," ucap Sofia."Kamu hati-hati ya, Mir," pesan Mbak Nuni.Baru saja aku menghidupkan mesin mobil dan hendak meninggalkan tempat tersebut, tiba-tiba saja seorang wanita paruh baya menghampiri mereka sambil marah-marah. Aku kembali mematikan mesin mobil, berniat untuk mencari tahu ada apa sebenarnya."Maaf, ini ada apa? Kenapa Ibu marah-marah pada mereka?" tanyaku penuh selidik."Mbak enggak usah ikut campur. Ini urusan saya dengan mereka!" Beliau malah membentakku, padahal aku bertanya baik-baik."Hey kalian, ayo bayar uang sewa kontrakan sekarang juga! Jika tidak sanggup membayar sewa, lebih baik kalian tinggalkan rumah ini. Lagian, saya sudah tidak sudi rumah kontrakan saya dihuni oleh kalian. Saya tahu kejah
Polisi langsung membawa surat perintah penangkapan terhadap Mas Hanif dan ibunya setelah kami melaporkan mereka ke kantor polisi. Sebelumnya, Mbak Nuni dan Sofia pulang dulu ke rumah kontrakan mereka untuk mengambil barang bukti berupa sarung tangan milik Mas Hanif yang ia simpan di bawah ranjang. Setelah mendapatkan barang bukti tersebut, Mbak Nuni dan Sofia dijemput oleh Mas Ahmad di depan gang agar tidak ketahuan, lalu membawa mereka ke kantor polisi untuk membuat laporan."Ada apa ini, Pak? Kenapa saya ditangkap? Saya merasa tidak melakukan kejahatan apapun," ucap Mas Hanif kepada anggota polisi yang datang menangkapnya. Ia membela diri."Iya, main tangkap segala. Apa salah kami?" Ibunya Mas Hanif juga menanyakan hal yang sama."Kalian ditangkap atas tuduhan percobaan pembunuhan dan juga penganiayaan. Silakan ikut kami ke kantor," jelas salah seorang diantara mereka."Tidak! Itu fitnah. Siapa yang telah melaporkan kami, Pak? Saya tidak terima!" Mas Hanif protes."Aku, Mas." Sofia
Ternyata dugaanku benar. Rupanya Mas Hanif lah dalang di balik semua ini. Benar-benar tidak bisa dikasih ampun!"Aku yakin, Mbak. Mas Hanif lah pelakunya. Dia juga yang telah mencelakai Tante Diana. Aku tahu semuanya!"Degh! Jantungku berdegup kencang, tanganku mengepal, emosiku serasa naik sampai ke ubun-ubun setelah mendengar ucapan Sofia.Bajingan kamu, Mas Hanif! Benar-benar biadab!"Apa?" tanya Mama, Mama terlihat shock mendengar ucapan Sofia."Semuanya tenang dulu ya. Sekarang kita ke rumah Tante Diana dulu. Kita bicarakan semuanya di sana. Sofia, Mbak Nuni, kalian tidak usah takut. Kami akan melindungi kalian." Mas Ahmad pun kembali melajukan mobilnya.Aku melirik Mbak Nuni, tapi Mbak Nuni tidak membantah sedikitpun. Berarti apa yang dikatakan Sofia itu benar.Sepanjang perjalanan menuju rumah, tidak ada lagi yang bicara di antara kami. Semuanya saling diam. Larut dalam pikiran masing-masing.Dua puluh menit kemudian, akhirnya kami tiba di rumah. Mbok Siti langsung menyambut k