Bagian 33Sekali saja tanganmu itu menyentuh kulit anakku, maka kupastikan kamu akan mendekam di penjara, Zamila!" ucap Mama."Ka-kamu a-ada di sini?" tanya ibu mertua terbata. Aku tahu, beliau pasti takut pada Mama."Kenapa kamu terkejut? Takut? Ini rumah anakku. Jadi aku berhak datang ke sini kapanpun aku mau. Tadi kamu mau menampar anakku, kan? Kenapa diam saja, ayo lakukan! Atau kamu mau berhadapan langsung denganku? Boleh, sini hadapi aku karena akulah lawanmu yang setimpal."Ibu mertua pun langsung menurunkan tangannya. "Di-diana, kamu ngomong apa sih? Aku cuma mau mengajari menantuku-Mira gimana caranya bersikap kepada suami dan mertua. Mana mungkin aku mau menyakitinya. Oh ya, kamu apa kabar? Dari mana saja? Kita sekarang besanan loh, seperti impian kita dulu!" Ibu mertua sepertinya sengaja mengalihkan pembicaraan.Ini yang paling aku tunggu-tunggu. Ibu mertua terlihat takut kepada Mama. Kita lihat saja, ibu mertua akan tetap bersandiwara atau justru akan memperlihatkan sikap
Bagian 34"Diana sahabatku, tolong jangan salah paham padaku. Aku sama sekali tidak seperti yang kamu tuduhkan. Aku sakit hati mendengar tuduhanmu itu. Jika saja hati ini bisa dibelah, akan kuperlihatkan padamu bagaimana isi hatiku yang sesungguhnya agar kamu percaya." Idih, pandai sekali ibu mertua mengucapkan kata-kata itu. Memang ya, kalau orang munafik tidak akan takut berbohong untuk menutupi kebohongannya."Dan buat Mira, Ibu mewakili Hanif untuk minta maaf padamu. Hanif dan Sofia memang sudah menikah dan itu atas persetujuan dari Ibu. Kami sengaja merahasiakan semua ini darimu untuk menjaga kelangsungan rumah tangga kalian. Kami tidak mau kamu sakit hati. Hanif butuh keturunan sebagai penerusnya nantinya dan kamu tidak bisa memberikan itu. Hanif terpaksa menikahi Sofia untuk mengabulkan keinginannya. Dengan begitu Hanif akan bisa punya anak dan tidak ada yang berubah dengan hubunganmu dan Hanif. Kalian akan tetap bersama dan kamu tidak perlu merasa terbebani karena tidak bisa
Bagian 35"Mira, maksud kamu apa? Kenapa kamu ingin memenjarakan Mas? Dan kenapa juga kamu membahas soal malam pertama segala? Dari mana kamu mengetahui semua itu?""Aku mengetahui semua tentang kalian, Mas. Kalian belum sempat melaksanakan ritual malam pertama seperti yang diidamkan oleh wanita ini, kan?" Aku mengarahkan jari telunjuk ke arah wanita yang masih diam membisu seperti patung itu."Kasihan sekali ya, pasangan pengantin baru tapi belum pernah tidur bareng. Malam pertama yang sudah kalian rencanakan sedemikian rupa harus batal. Ops, aku lupa, kalian 'kan sudah sering tidur bareng. Bahkan wanita itu sudah hamil duluan." Aku menutup mulut dengan telapak tangan, menunjukkan ekspresi keceplosan, padahal aku sengaja mengatakannya.Kali ini wanita itu mengangkat wajahnya, menatapku dengan tatapan tajam. Tapi tetap saja diam tanpa kata, tidak berbicara sepatah katapun."Kenapa? Enggak terima? Mau marah? Apa yang aku katakan fakta loh, kamu enggak usah menatapku seperti itu! Aku ta
Bagian 36"Enggak usah bersandiwara lagi di depanku. Aku sudah tahu kalau kamu lah sebenarnya yang mencuri mobilku. Mobilku tidak hilang, melainkan kamu berikan pada gundikmu ini, iya 'kan? Aku ingin lihat, apakah kamu masih bisa mengelak setelah aku menunjukkan buktinya? Aku yakin kamu akan bungkam setelah aku memperlihatkan bukti padamu. Tapi tunggu dulu, biar polisi yang akan menjelaskannya, soalnya semua bukti sudah aku serahkan ke kantor polisi.""Jika kamu berani memenjarakan Hanif, jangan harap bisa selamat dari Ibu, Mira," ancam ibu mertua."Zamila, bukankah sudah aku peringatkan agar kamu jangan ikut campur? Jangan sampai aku menyumpal mulutmu itu dengan lakban. Kamu terlalu banyak bicara, Zamila!""Diam kamu Diana. Aku tidak bisa melihat Mira terus menerus menghina dan memojokkan Hanif. Mira, asal kamu tahu, Ibu merestui pernikahan Hanif dan Sofia karena ibu kecewa padamu. Kamu telah menipu Ibu dengan memberikan hadiah berlian palsu kepada ibu. Kamu telah membuat Ibu diperma
Bagian 37Dua orang lelaki berseragam polisi turun dari mobil, lalu menghampiri kami. Demikian juga dengan Papa, ikut bergabung bersama kami setelah beliau memarkirkan mobilnya.Salah satu dari polisi tersebut memberikan sebuah amplop berwarna coklat kepadaku, lalu aku segera memberikan amplop itu kepada Mas Hanif. Mas Hanif pun segera membuka dan membacanya.Mas Hanif menggeleng saat membaca isi surat tersebut. Ya iyalah, itu adalah surat perintah penangkapan. Mas Hanif menatapku sekilas, lalu beralih menatap wanita itu.Ya, aku melaporkan mereka berdua, bukan cuma salah seorang saja. Biar mereka bisa sama-sama terus sampai ke penjara sekalipun."Ini tidak benar, Pak. Saya tidak mencuri mobil itu. Itu mobil istri saya, jadi saya juga berhak memakainya." Mas Hanif membantah tuduhan tersebut."Silakan ikut kami ke kantor, Pak. Jelaskan di kantor nantinya, mari!""Mira, tolong jangan lakukan ini pada mas. Tolong cabut laporannya. Mas tidak salah, Mira!" Mas Hanif terus berontak, sementa
Bagian 38What? Beliau masih berani meminta uang padaku? Aku hanya geleng-geleng kepala melihatnya. "Zamila, kamu pikir Mira akan memberimu uang setelah apa yang kamu dan anakmu lakukan padanya? Kamu ini masih waras, kan? Jangan harap permintaanmu akan dikabulkannya oleh Mira. Ah, sudahlah! Diana, Mira, ayo kita ke dalam, kita tinggalkan saja mereka. Terserah mereka mau pergi atau mau tetap berada di sini, yang jelas kita tidak usah peduli lagi sama mereka. Lebih baik kita membahas rencana pernikahan Papa sama Mama." "Kalian mau menikah lagi? Enggak salah? Lukman, kamu tahu sendiri 'kan kalau Diana ini seorang pelacur? Kamu yakin masih mau kembali padanya? Dan kamu Diana, Lukman ini lelaki buaya. Kamu masih mau kembali bersama lelaki yang suka mempermainkan wanita? Kalian berdua benar-benar bodoh." "Tutup mulutmu, Zamila. Aku dan Diana tidak seperti yang kamu tuduhkan. Semua yang terjadi adalah ulahmu. Kamu lah dalang di balik hancurnya rumah tanggaku dengan Diana. Aku benar-benar
POV SofiaSemua harapan dan impianku pupus sudah. Impian untuk menjadi orang kaya, hidup enak dan bergelimang harta kandas sudah. Nyatanya kini aku malah mendekam di balik jeruji besi. Sungguh miris! Apalagi saat ini kondisiku sedang hamil muda. Benar-benar apes!Namaku Sofia Anindya, usiaku masih sangat muda, yaitu 20 tahun kurang dua bulan. Aku tinggal di desa Beruas, sebuah desa yang terletak di kabupaten Bangka Barat.Aku tinggal bersama Nenek Asih, orang yang sudah merawatku dari kecil, yang merupakan Ibu dari ayahku. Kedua orang tuaku sudah meninggal. Ayah meninggal saat aku masih duduk di kelas empat SD. Tiga bulan setelah Ayah meninggal, Ibu pun menyusul Ayah. Akhirnya Nenek lah yang mengasuhku.Aku hanya bersekolah sampai lulus SD karena Nenek tidak punya biaya untuk menyekolahkanku. Jangankan untuk biaya sekolah, untuk makan sehari-hari saja pas-pasan.Sejak kecil, aku bercita-cita untuk menjadi orang kaya. Ingin hidup nyaman, makan enak setiap hari dan punya baju-baju bagus.
Akhirnya aku nekat mengabaikan nasihat Nenek. Diam-diam saat Nenek sedang di kebun, aku mencuri uang tabungannya untuk ongkos ke kota. Kesempatan tidak datang dua kali, pikirku.Jarak dari kampungku ke kota memakan waktu tiga jam. Aku menaiki mobil travel untuk mencapai tempat tujuan. Aku menikmati perjalanan sambil melihat pemandangan dari kaca jendela mobil. Di sepanjang jalan banyak ditumbuhi pohon karet dan pohon kelapa sawit. Tak terasa, akhirnya mobil travel yang aku tumpangi ternyata sudah tiba di kota Pangkalpinang. 'Negeri Serumpun Sebalai', merupakan semboyan dari kota Pangkalpinang, kepulauan Bangka Belitung.Ah, rasanya aku sudah tidak sabar, ingin segera tiba di rumah Tante Zamila.Mobil travel yang aku tumpangi ternyata mengantar penumpang sampai ke tujuan. Tinggal menambah ongkos sedikit, maka mobil tersebut akan mengantar sampai ke alamat yang dituju. Dengan demikian, aku tidak perlu repot-repot untuk mencari alamat Tante Zamila karena sang sopir sudah hafal betul den
"Sekarang kamu harus bertanggung jawab padanya, Mas," kata wanita itu. "Baik, sesuai janjiku, aku akan menanggung biaya hidup dan juga biaya sekolahnya sampai perguruan tinggi," jawab Mas Ahmad."Mas, itu tidak adil. Dia bukan hanya butuh materi, tapi butuh kasih sayang juga, Mas," protes wanita. "Jadi mau kamu gimana?" Mas Ahmad terlihat bingung. "Aku maunya kita tinggal bersama, Mas. Aku tidak akan memintamu menikahiku. Cukup Mas izinkan aku dan Alkha saja tinggal di rumahmu. Sudah cukup."Apa-apaan ini?"Mana mungkin kita tinggal bersama, Ajizah. Tidak tidak!" Mas Ahmad menolak."Itu merupakan satu-satunya cara agar anak kita bisa dekat denganmu, Mas."Tampaknya ada udang di balik batu. Dan aku sudah mengerti apa yang wanita itu inginkan."Ibu tidak setuju. Itu tidak baik," sahut ibu mertua."Aku juga tidak setuju. Karena aku tidak ingin ada orang ketiga di dalam rumah tanggaku nantinya." Akhirnya setelah sekian lama, aku angkat bicara."Kamu menyebutku orang ketiga? Seharusnya
Apa mungkin aku telah salah mengambil keputusan? Apa mungkin menikah dengan Mas Ahmad bukankah keputusan yang tepat? Entahlah!Selesai makan, Mas Ahmad menepati janjinya. Ia pamit padaku untuk mengantar wanita itu pulang. Aku ditinggal sendirian di dalam kamar karena Ibu mertua juga lelah dan butuh Istirahat.Malam yang seharusnya kamu lalui dengan penuh sukacita sebagai pasangan pengantin yang baru menikah pun kulalui seorang diri.Dua jam sudah berlalu sejak kepergian Mas Ahmad. Belum juga ada tanda-tanda bahwa ia akan kembali. Padahal jarak dari sini ke rumah mantan istrinya itu hanya memakan waktu tiga puluh menit. Yang artinya, satu jam pulang pergi. Ini sudah dua jam, namun Mas Ahmad belum juga kembali.Apa mungkin mereka sedang bernostalgia? Apa mungkin Mas Ahmad akan kembali kepada mantan istrinya itu?Hatiku sakit. Batinku menjerit. Aku menangis dalam diam. Kamar pengantin yang sudah dihias sedemikian rupa, kasur dengan sprei putih yang sudah ditaburi kelopak bunga mawar mer
Setibanya di rumah Mas Ahmad, asisten rumah tangganya menyambut kami dengan ramah. Katanya hidangan sudah siap, persis seperti apa yang diminta oleh sang majikan."Mira, selamat datang. Ini adalah rumah Ibu dan Ahmad, yang berarti rumahmu juga. Semoga mantu Ibu betah tinggal di sini."Ibunya Mas Ahmad yang kini sudah menjadi ibu mertuaku menuntunku memasuki rumah. Namun langkah kami tiba-tiba terhenti saat melihat seorang wanita sedang duduk di teras bersama seorang anak kecil. Siapa wanita itu?"Ajizah?" Ibunya Mas Ahmad menatap wanita itu dengan tatapan tak suka.Ajizah? Bahkan aku belum pernah mendengar nama itu sebelumya."Bu," sapa wanita itu. Ia menghampiri kami dan langsung meraih tangan ibu mertuaku, lalu mencium punggung tangannya. "Apa kabar, Bu? Ibu makin cantik dan awet muda," pujinya. Namun ibu mertua tak merespon ucapannya."Nak, salim sama Nenek," kata wanita itu sambil mendekatkan putranya kepada ibu mertua yang berdiri persis di sampingku.Ibu mertua menerima uluran
Di sepertiga malam, aku menunaikan sholat istikharah dua raka'at. Aku memohon, meminta petunjuk kepada Allah SWT. Kupasrahkan urusanku kepada-nya karena aku tahu Allah mengetahui apa yang terbaik untukku.Setelah selesai berdoa, aku membuka Alquran, membuka surat Al Mulk dan membacanya beserta terjemahannya. Hingga tak terasa kantuk datang menyerang dan akhirnya aku tertidur di atas sajadah.Sayup sayup terdengar suara adzan subuh dari masjid yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah. Aku pun bangun, membuka mukena dan segera mengambil wudhu di kamar mandi. Setelah itu, aku pun menunaikan ibadah sholat subuh. Lanjut berdoa dan kembali meminta petunjuk kepada Allah.Siangnya, begitu tiba waktu dhuhur, aku kembali menunaikan kewajibanku sebagai seorang muslim. Menunaikan sholat dhuhur empat rakaat. Seharian ini aku hanya mengurung diri di kamar. Makan pun diantar oleh asisten rumah tangga. Kebetulan rumah sepi karena Mama dan Papa sedang keluar dan aku hanya sendirian di rumah. Membu
Setelah selesai makan malam, kami pun duduk di ruang tamu. Mas Ahmad memulai pembicaraan dengan mengutarakan maksud dan tujuannya. Mas Ahmad bercerita panjang lebar tentang masa lalunya. Ternyata ia memiliki masa lalu yang kelam. Mas Ahmad pernah mengonsumsi obat-obatan terlarang. Bahkan sempai ketergantungan. Satu hal lagi yang berhasil membuatku terkejut, ternyata Mas Ahmad sudah pernah menikah dan sudah pisah dari istrinya. Tepatnya dua tahun lalu lalu. Istrinya menggugat cerai Mas Ahmad karena tidak pernah memberi nafkah. Semua gaji Mas Ahmad ia gunakan untuk membeli obat-obatan terlarang. Ia sama sekali tidak memikirkan istrinya. Itu sebabnya istrinya meninggalkan Mas Ahmad.Setelah istrinya pergi, Mas Ahmad baru menyadari kesalahannya. Kebetulan ia bertemu dengan seorang guru ngaji, dan orang tersebut lah yang membimbing Mas Ahmad. Mas Ahmad mulai meninggalkan kebiasaannya, ia bertaubat dan mulai memperdalam ilmu agama. Butuh waktu yang lama untuk meninggalkan kebiasaan buruk
Sungguh, aku kasihan sekali mendengarnya. Hati sanubariku tersentuh. Aku lebih mampu dari mereka, jadi aku akan menolong mereka.Seminggu yang lalu sahabatku yang mengelola butik berhenti karena ia mau menikah dan akan tinggal di luar kota. Kurasa mereka akan mau jika ditawari untuk tunggal di butik. Ya, aku bisa menolong mereka dengan cara memberikan tempat tinggal dan juga pekerjaan."Mbak, Sofia, apa kalian mau tinggal di butik? Kebetulan sahabatku yang selama ini mengelola butik tersebut berhenti karena sudah menemukan jodohnya dan diajak pindah keluar kota oleh suaminya. Aku memang berencana ingin mencari orang untuk mengelola butik tersebut. Jika kalian bersedia, kalian bisa tinggal di sana sekalian mengelola butik tersebut. Tapi tempatnya tidak terlalu luas. Gimana?""Mbak Mira serius?" tanya Sofia."Iya, kamu serius, Mir? Apa enggak ngerepotin? Kami sudah banyak merepotkanmu, Mir. Mbak jadi enggak enak.""Serius, dan aku tidak merasa direpotkan. Sebelumnya, pegawai yang lama j
Alhamdulillah … aku lega karena orang yang mencelakai mamaku dan juga Sofia sudah diamankan polisi. Semoga saja mereka segera bertaubat dan menyadari semua kesalahan yang mereka perbuat."Sofia, Mbak Nuni, aku pamit ya, soalnya Mama menungguku di rumah.""Iya, Mbak, hati-hati ya," ucap Sofia."Kamu hati-hati ya, Mir," pesan Mbak Nuni.Baru saja aku menghidupkan mesin mobil dan hendak meninggalkan tempat tersebut, tiba-tiba saja seorang wanita paruh baya menghampiri mereka sambil marah-marah. Aku kembali mematikan mesin mobil, berniat untuk mencari tahu ada apa sebenarnya."Maaf, ini ada apa? Kenapa Ibu marah-marah pada mereka?" tanyaku penuh selidik."Mbak enggak usah ikut campur. Ini urusan saya dengan mereka!" Beliau malah membentakku, padahal aku bertanya baik-baik."Hey kalian, ayo bayar uang sewa kontrakan sekarang juga! Jika tidak sanggup membayar sewa, lebih baik kalian tinggalkan rumah ini. Lagian, saya sudah tidak sudi rumah kontrakan saya dihuni oleh kalian. Saya tahu kejah
Polisi langsung membawa surat perintah penangkapan terhadap Mas Hanif dan ibunya setelah kami melaporkan mereka ke kantor polisi. Sebelumnya, Mbak Nuni dan Sofia pulang dulu ke rumah kontrakan mereka untuk mengambil barang bukti berupa sarung tangan milik Mas Hanif yang ia simpan di bawah ranjang. Setelah mendapatkan barang bukti tersebut, Mbak Nuni dan Sofia dijemput oleh Mas Ahmad di depan gang agar tidak ketahuan, lalu membawa mereka ke kantor polisi untuk membuat laporan."Ada apa ini, Pak? Kenapa saya ditangkap? Saya merasa tidak melakukan kejahatan apapun," ucap Mas Hanif kepada anggota polisi yang datang menangkapnya. Ia membela diri."Iya, main tangkap segala. Apa salah kami?" Ibunya Mas Hanif juga menanyakan hal yang sama."Kalian ditangkap atas tuduhan percobaan pembunuhan dan juga penganiayaan. Silakan ikut kami ke kantor," jelas salah seorang diantara mereka."Tidak! Itu fitnah. Siapa yang telah melaporkan kami, Pak? Saya tidak terima!" Mas Hanif protes."Aku, Mas." Sofia
Ternyata dugaanku benar. Rupanya Mas Hanif lah dalang di balik semua ini. Benar-benar tidak bisa dikasih ampun!"Aku yakin, Mbak. Mas Hanif lah pelakunya. Dia juga yang telah mencelakai Tante Diana. Aku tahu semuanya!"Degh! Jantungku berdegup kencang, tanganku mengepal, emosiku serasa naik sampai ke ubun-ubun setelah mendengar ucapan Sofia.Bajingan kamu, Mas Hanif! Benar-benar biadab!"Apa?" tanya Mama, Mama terlihat shock mendengar ucapan Sofia."Semuanya tenang dulu ya. Sekarang kita ke rumah Tante Diana dulu. Kita bicarakan semuanya di sana. Sofia, Mbak Nuni, kalian tidak usah takut. Kami akan melindungi kalian." Mas Ahmad pun kembali melajukan mobilnya.Aku melirik Mbak Nuni, tapi Mbak Nuni tidak membantah sedikitpun. Berarti apa yang dikatakan Sofia itu benar.Sepanjang perjalanan menuju rumah, tidak ada lagi yang bicara di antara kami. Semuanya saling diam. Larut dalam pikiran masing-masing.Dua puluh menit kemudian, akhirnya kami tiba di rumah. Mbok Siti langsung menyambut k