Damian tampak terguncang setelah meresapi perkataan Felix. Dia bahkan membuat Felix khawatir ketika akan pamit pulang.“Anda mau saya antar?” tawar Felix yang merasa tak tega.“Nggak,” tolak Damian.Di dalam mobil, Damian mengusap wajahnya dengan kasar.DIa tidak menyukai perasaan tidak pasti seperti ini. Selama ini, segala sesuatu dalam hidupnya berjalan sesuai rencana, terkontrol, logis, terstruktur. Dan mayoritas berkaitan dengan pekerjaan.Tapi, sosok Lydia… bagi Damian seperti badai. Masuk ke dalam hidupnya tanpa aba-aba, mengguncang segalanya, dan membuatnya merasa tidak menentu seperti sekarang.Di tempat tidurnya, apakah Damian bisa tidur nyenyak setelah mendapatkan pencerahan dari Felix? Oh, tentu saja, tidak. Dia malah semakin sulit tidur. Terjaga terus-menerus dan makin memikirkan Lydia.Damian menatap jam dindingnya, sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Ini gila!Akhirnya, dia bangkit dari tempat tidur, berjalan menuju dapur, dan menuangkan segelas whiskey. Dia menyesapn
Suasana di dalam ruangan mendadak sunyi. Lydia menatap Damian dengan perasaan campur aduk. Dia merasa terkejut, tak percaya, dan jantungnya berdebar begitu cepat hingga dia khawatir Damian bisa mendengarnya.“Damian …” Lydia mengerjapkan mata. “Apa kamu serius?”Damian tidak menjawab dengan kata-kata, hanya menatap Lydia dengan intens.Tatapan itu … Lydia tak bisa mengabaikannya. Ada sesuatu yang berbeda di sana, bukan sekadar ketertarikan, tapi lebih dalam dari itu.Damian menyandarkan tubuhnya ke kursi, tangannya masih memegang segelas wine yang berisi sisa minuman yang belum disentuhnya lagi. Dia tidak main-main dengan ucapannya barusan.“Aku serius, Lydia. Aku ingin menambahkan satu poin dalam kontrak kita. Aku ingin ada kemungkinan bagi kita untuk memiliki hubungan romantis sungguhan, bukan sekadar akting.”Lydia merasa tubuhnya melemas. Ini terlalu mendadak. Dia bahkan masih memproses fakta bahwa Damian menyukainya.“Tapi …” Lydia terdiam sejenak. “Ini terlalu mendadak buatku. A
"Apa ada hal baik yang terjadi?” tanya Marcell.Pagi ini, Marcell sedang sarapan bersama Lydia dan Adel. Namun, fokusnya terus tertuju pada Lydia yang tak berhenti tersenyum, bahkan entah kerasukan apa, wanita yang masih berstatus istrinya itu menyapanya dan Adel dengan ramah.Padahal, biasanya Lydia hanya diam dengan tampang dingin.“Hm?” sahut Lydia, diam sejenak.Pikirin Lydia masih dipenuhi oleh Damian yang semalam. Senyum pria itu, tatapannya, genggaman tangannya, dan tentu saja ciuman mereka sebagai pasangan.“Ah, hal baik. Ya, tentu saja ada,” jawab Lydia.“Tentang lukisanmu?”Lydia mengangguk, berbohong. Entah akan sekaget apa Marcell kalau tahu hal baik yang dia maksud adalah jadian dengan Damian.“Aku sudah selesai,” ujar Lydia lalu beranjak dari kursinya, dia lantas menatap Adel dengan senyum elegan. “Makanlah yang banyak, agar bayimu nggak kekurangan gizi.”Adel menggenggam alat makan erat-erat. Dia kesal mendengar kalimat Lydia yang entah mengapa seperti ejekan baginya, d
Panik, Lydia bergerak makin menjauh dari tubuh Damian.“Ada yang datang,” bisik Lydia.Damian mengangguk. “Kamu tetap di sini.” Dia lantas merapikan penampilan dan memasang tampang datarnya. “Masuk!”Sosok yang mengetuk pintu ruangan Damian masuk ke dalam. Bukan Felix, melainkan seorang direktur operasional di perusahaan tersebut.Mendapati Damian berduaan di ruangan dengan Lydia, dia tak curiga karena mereka terlihat biasa saja, tampak formal seperti atasan dan bawahan.Lydia berusaha bersikap profesional, mendampingi Damian yang sedang membicarakan terkait pekerjaan dengan sang direktur operasional.Lydia merasa lega. Untung saja tadi tak ketahuan. Dia terlalu nekat bermesraan di kantor kan?*Memang, mereka tak bisa berduaan lagi sampai pulang kerja. Tapi, pasangan terlarang itu tak mau menyia-nyiakan waktu saat Marcell dan Adel tak ada di rumah.Seperti malam ini misalnya, Lydia langsung mengundang Damian ke rumahnya, seperti biasa melukis di paviliun.Kali ini, ke sesi berikutnya
Damian dan Lydia masih berada dalam pelukan setelah ciuman lembut yang mereka bagi. Ruangan terasa hangat oleh napas mereka yang saling bersahutan dalam jarak dekat.Damian menempelkan bibirnya ke pelipis Lydia, mengecupnya. Dia lantas menarik tubuh wanita itu lebih dekat.“Kamu sepertinya lebih kurus,” gumam Damian sambil mengamati dan mengelus tubuh Lydia. “Jangan diet.”“Aku nggak mau gendut.”“Kamu nggak gendut. Makanlah yang banyak, jangan ditahan-tahan.”Lydia mengangguk. “Tapi sepertinya bukan aku yang kurus, badanmu yang terlalu besar, kamu terlalu kekar.”Damian terkekeh.Jemarinya bergerak lembut menyisir rambut Lydia yang terurai lalu berhenti di dagu wanita itu, mengarahkan agar menatapnya.Mata biru Damian bergerak menelusuri wajah Lydia dalam keheningan. Lydia memang balas menatapnya, tapi tampak tak terlalu fokus, pikirannya seperti terbagi ke hal lain.“Ada apa, hm?” tanya Damian dengan lembut, hal yang jarang sekali dia lakukan bahkan kepada keluarganya sendiri.“Aku
“Bunga dari siapa itu?”Lydia langsung melunturkan senyumnya saat baru saja menginjakkan kaki di dalam rumah.Marcell menghadangnya, menanyakan bunga dari Damian yang dia bawa ke rumah. Tentu saja, Lydia tak berniat membuang sebuket bunga ini.“Dariku, aku beli sendiri,” jawab Lydia, berbohong.“Sejak kapan kamu suka beli bunga?” heran Marcell.“Sejak hari ini,” jawab Lydia cuek.Marcell mengamati Lydia dengan tampang curiga. Sejujurnya, akhir-akhir ini Lydia memang aneh, seperti ada banyak hal yang wanita itu sembunyikan darinya.Lydia tak mempedulikan Marcell, dia yakin tak akan ketahuan kalau hanya perkara bunga.Saat tiba di kamar, dia menaruh bunga pemberian Damian di vas sambil memandanginya dan tersenyum-senyum sendiri.Lydia membuka ponsel, mengecek kalender di sana. Dia hampir lupa, pameran seni lukis di Prancis dimajukan, tak lama lagi. Dia harus segera menyelesaikan lukisan.Dia harap Marcell ada acara lagi di luar agar dia bisa membawa Damian ke rumah untuk menyelesaikan l
Lydia menatap lukisan tubuh Damian dengan pandangan yang tak bisa dijelaskan.Karya itu … sempurna. Setiap goresan menggambarkan sosok pria yang dia sukai. Tapi, justru karena itulah, dia merasa tidak rela membiarkannya jadi konsumsi publik.Damian menoleh, menyadari ekspresi Lydia yang berubah.“Kamu kenapa?” tanya Damian sambil mendekat, merangkul Lydia.Lydia menghela napas. “Aku … tiba-tiba merasa ragu.”“Ragu soal apa?”“Lukisannya.”“Hasilnya sudah sangat bagus. Apa yang membuatmu ragu?”“Bukan soal hasilnya.” Lydia menoleh, menatap Damian. “Aku ragu buat memamerkannya.”Damian mengernyit, dia tak paham. “Kenapa?”“Karena tiba-tiba aku merasa nggak rela.” Lydia terdiam sejenak. “Aku nggak mau lukisan tubuh telanjangmu ditatap banyak orang, nanti gimana kalau mereka menginginkanmu sa
Marcell mencengkeram gelas di tangannya seolah sedang memegang Lydia erat-erat. Dia tak akan melepaskan Lydia apa pun yang terjadi. Tak akan dia biarkan Lydia jatuh ke tangan pria lain!“Lydia, kamu akan menyesal. Awas kalau kamu kembali nanti,” batin Marcell.Sementara itu, di Paris.Lydia telah tiba di sana. Pagi ini, dia dan Damian keluar dari hotel di kawasan Montmartre, tangan Damian menggenggam tangannya dengan erat. Begitu hangat.Lydia mengenakan dress putih sederhana dengan outer berwarna krem, sedangkan Damian tampil santai dengan sweater abu-abu dan celana hitam. Mereka berjalan beriringan, menyusuri jalanan berbatu yang dipenuhi aroma roti hangat dan kopi dari toko-toko sekitar.Begitu melewati sebuah toko kecil bertuliskan Boulangerie Artisanale, aroma croissant yang baru dipanggang membuat perut Lydia meronta. Padahal, tadi dia sudah sarapan di hotel.Damian menoleh, dia menyadari mata Lydia yang m
“Siapa orangnya! Cepat katakan!” seru Marcell dengan tampang tak sabar.“Saya akan memberi tahu, tapi dengan syarat anda harus mau bekerja sama dengan saya untuk menyingkirkan Damian dari posisinya di perusahaan.”Marcell langsung mengernyit. “Apa hubungannya perselingkuhan istri saya dengan Damian?”“Nanti anda akan tahu. Jadi, bagaimana? Apa anda setuju?”“Itu cukup sulit, anda tahu kan kalau kita juga bersaing? Saya, dan anda termasuk Pak Damian.”“Ya, itu benar. Tapi, saya berjanji akan membuat kesepakatan yang menguntungkan anda juga.”“Akan saya pertimbangkan, tapi beri tahu dulu soal selingkuhan istri saya.”Alex duduk bersandar dengan tampang santai, dia menyeringai sejenak.“Tadi anda sudah menyebut sendiri nama orangnya.”Marcell diam, mengingat-ingat sosok yang sempat dia sebut, kemudian langsung terbelalak.“Pak Damian?”“Ya. Dia adalah selingkuhan istri anda,” jawab Alex dengan raut serius.Marcell sempat terlihat kaget, tapi hanya sejenak sebelum dia tertawa. Tapi jelas
“Marcell pengusaha yang itu kan? Yang Damian pernah menobatkannya menjadi saingan bisnis baru?" tanya Alex.Melanie mengangguk. “Benar, yang itu. Kamu juga kenal orangnya, tapi kita nggak akrab, hanya pernah bertegur sapa beberapa kali.”Melanie mengeluarkan ponselnya lalu menunjukkan foto Marcell yang dia maksud kepada sang suami.“Yang ini,” tunjuknya.Alex mengangguk paham. “Hm … menarik kalau memang benar. Haha! Damian, kau sungguh gila!” serunya.Alex kembali tertawa, dia merasa bahagia mendadak, senang karena membayangkan bisa menjatuhkan Damian dengan cara ini, kemudian merebut posisi Damian.“Aku belum pernah bertemu dengan istri Marcell, jadi nggak tahu wajahnya. Tapi kamu tahu dari mana, Sayang?” tanya Alex.“Aku ingat sekitar dua tahun yang lalu, saat ke galeri seni, tiba-tiba heboh karena ada pengusaha muda yang katanya tampan datang mengunjungi istrinya yang seorang pelukis, dan karya istrinya sedang dipamerkan di sana.”“Ah, jadi si istri itu Lydia?”“Ya,” angguk Melanie
Lydia mendengkus. Dia yakin Marcell tak akan bisa menjawab, tapi dia juga yakin kalau Marcell tak merasa bersalah.Kesal karena Marcell masih diam, Lydia berjalan begitu saja melewati Marcell tanpa bicara apa pun lagi.“Lydia! Sebentar, aku belum selesai bicara denganmu!” seru Marcell.Namun, Lydia tak menggubris. Dan, sebelum dia masuk ke kamar, dia menoleh menatap Marcell yang tak mengejarnya. Rupanya, Marcell sedang ribut, dihadang oleh Adel yang baru kembali dan sedang marah-marah karena melihat Marcell membawa wanita lain—Grace.“Aku sudah muak. Aku harus segera keluar dari rumah ini,” gumam Lydia.*Pagi ini, Lydia sudah berdandan rapi, sedang bersiap untuk berangkat kerja ke perusahaan Damian seperti biasa. Hari ini juga, dia berencana untuk mengajak Damian mendiskusikan rencana mereka untuk menjatuhkan Marcell.“Mau ke mana kamu?” tanya Marcell ketika melihat Lydia keluar kamar.“Kerja,” jawab Lydia singkat.Lydia mengamati sekeliling, rupanya sudah tak ada lagi wanita bernama
Kembali ke masa sekarang.Lydia masih diam sambil memegang erat ponselnya, dia bingung untuk menanggapi Marcell yang terdengar emosi.Apa rencananya akan gagal total? Apa Marcell akhirnya tahu hubungannya dengan Damian? Sungguh, Lydia gelisah.“Kamu masih nggak mau menjawab?!” seru Marcell dari seberang sana. “Kalau begitu, segera pulang! Ini perintah! Kalau enggak, aku akan menyusulmu hari ini juga!”Lydia melongo. Dia tak menyangka Marcell sampai sebegitunya. Padahal, biasanya Marcell cuek padanya, tapi kenapa sekarang seolah posesif?“Tapi aku—”Panggilan terputus. Lydia berdecak kesal. Dia belum selesai bicara! Dasar Marcell sialan!Lydia menatap Damian dengan tampang bad mood.“Ada apa?” tanya Damian, dia tak mendengar obrolan Lydia dan Marcell karena tidak di-loudspeaker.“Marcell mengetahui lukisanku, dia marah, dan memerintahkanku untuk segera pulang. Kalau enggak, dia yang akan menyusul ke sini,” beri tahu Lydia.Damian pun turut terkejut. “Bagaimana Marcell bisa tiba-tiba ta
Beberapa saat sebelumnya.Marcell sedang asyik berduaan dengan Adel yang terus bergelayut manja padanya.“Sayang, aku ingin beli tas baru,” rengek Adel.Namun, Marcell cuek. Pria itu yang biasanya amat memanjakan wanita jalang simpanannya, kini tak lagi sama. Lebih tepatnya sejak dia merasa ada keanehan dari Lydia.Marcell merasa tak tenang. Apa sebaiknya dia menyusul Lydia ke Prancis? Ah, tidak, dia masih ada urusan pekerjaan di weekend ini.“Sayang?” panggil Adel.Adel cemberut, Marcell tak menggubrisnya dan kini tampak melamun. Padahal, biasanya kalau dia sudah merengek manja apalagi berpenampilan seksi begini, Marcell akan tertarik, tapi belakangan ini tidak. Marcell seperti berubah.Tidak! Ini tidak boleh terjadi! Adel berusaha untuk berada di sisi Marcell selamanya dan mendapatkan harta pria itu, dia bahkan nekat mengandung anak Marcell. Jangan sampai Marcell berpaling darinya.“Apa kamu sedang memikirkan Lydia yang nggak menarik itu?” ejek Adel.Tak disangka, Marcell langsung m
Matahari pagi menyusup pelan melalui celah tirai kamar hotel yang tak sepenuhnya tertutup.Sinar hangat itu mengenai wajah Lydia yang masih terlelap di bawah selimut tebal berwarna abu-abu. Rambutnya berantakan, sebagian menjuntai di bantal, sebagian lainnya menempel di pipinya yang memerah.Tentu saja kondisinya berantakan, ulah siapa lagi kalau bukan Damian yang menggempurnya dua ronde semalam?Damian sudah bangun lebih dulu. Dia duduk di sofa dekat jendela dengan laptop di pangkuannya, dia mengenakan celana pendek kaus putih.Rambut Damian masih berantakan, karena kegiatan semalam yang belum sempat dia rapikan sepenuhnya. Dia tampak begitu fokus mengurus pekerjaan meskipun di hari libur, membalas beberapa email penting dan berkomunikasi dengan Felix.Mendengar suara ketikan Damian di laptop, Lydia terbangun. Lydia menggeliat pelan. Tangannya meraba sisi kasur di sebelahnya yang kosong.Membuka mata, Lydia menatap sisi di sebelahnya."Damian?" panggil Lydia.Damian meletakkan laptop
Lydia menatap tangannya yang digenggam oleh Damian. Dia tersenyum kecil.Saat ini mereka sedang berjalan ke sebuah gang yang dipenuhi lampu gantung. Ada sebuah toko bernama Librairie des Rêves. Toko kecil yang jendelanya memajang buku seni, puisi, catatan perjalanan, dan sebagainya.“Mau mampir nggak? Dulu saat masih di Paris, aku sesekali mampir ke sini,” kata Lydia.“Oke, ayo mampir,” angguk Damian.Lonceng kecil berdenting saat mereka masuk. Aroma kayu dan halaman-halaman lama menyambut mereka.“Kamu suka buku kan?” tanya Lydia.“Hm.” Damian membenarkan.Lydia mengambil salah satu buku, membacanya. Sesekali dia memperhatikan Damian yang juga mengambil sebuah buku lalu membaca dengan serius.Sambil membalik halaman perlahan, Lydia masih sesekali menatap Damian. Suasana memang hening, tapi jantungnya bertalu-talu. Dia berdebar tak keruan hanya dengan memperhatikan Damian, sosok pria matang yang jauh lebih tua darinya itu terlihat begitu menarik.Bagaimana bisa Damian selalu terlihat
Marcell mencengkeram gelas di tangannya seolah sedang memegang Lydia erat-erat. Dia tak akan melepaskan Lydia apa pun yang terjadi. Tak akan dia biarkan Lydia jatuh ke tangan pria lain!“Lydia, kamu akan menyesal. Awas kalau kamu kembali nanti,” batin Marcell.Sementara itu, di Paris.Lydia telah tiba di sana. Pagi ini, dia dan Damian keluar dari hotel di kawasan Montmartre, tangan Damian menggenggam tangannya dengan erat. Begitu hangat.Lydia mengenakan dress putih sederhana dengan outer berwarna krem, sedangkan Damian tampil santai dengan sweater abu-abu dan celana hitam. Mereka berjalan beriringan, menyusuri jalanan berbatu yang dipenuhi aroma roti hangat dan kopi dari toko-toko sekitar.Begitu melewati sebuah toko kecil bertuliskan Boulangerie Artisanale, aroma croissant yang baru dipanggang membuat perut Lydia meronta. Padahal, tadi dia sudah sarapan di hotel.Damian menoleh, dia menyadari mata Lydia yang m
Lydia menatap lukisan tubuh Damian dengan pandangan yang tak bisa dijelaskan.Karya itu … sempurna. Setiap goresan menggambarkan sosok pria yang dia sukai. Tapi, justru karena itulah, dia merasa tidak rela membiarkannya jadi konsumsi publik.Damian menoleh, menyadari ekspresi Lydia yang berubah.“Kamu kenapa?” tanya Damian sambil mendekat, merangkul Lydia.Lydia menghela napas. “Aku … tiba-tiba merasa ragu.”“Ragu soal apa?”“Lukisannya.”“Hasilnya sudah sangat bagus. Apa yang membuatmu ragu?”“Bukan soal hasilnya.” Lydia menoleh, menatap Damian. “Aku ragu buat memamerkannya.”Damian mengernyit, dia tak paham. “Kenapa?”“Karena tiba-tiba aku merasa nggak rela.” Lydia terdiam sejenak. “Aku nggak mau lukisan tubuh telanjangmu ditatap banyak orang, nanti gimana kalau mereka menginginkanmu sa