“Jadi bagaimana? Apa perlu kita lanjutkan?” tanya Damian sambil beranjak duduk di kasur dengan tampang santai.Berbeda dengan Lydia yang masih terlihat kikuk akibat kejadian barusan.“Terpaksanya dilanjut lain waktu. Marcell sedang dalam perjalanan pulang, kita bisa ketahuan.”Damian mengangguk paham. Dia pun kembali mengenakan pakaiannya.“Soal ART saya tadi, anda nggak perlu khawatir. Saya sudah membungkamnya, dia nggak akan membocorkan ke Marcell tentang apa yang tadi dilihatnya.”“Hm.”Sayang sekali, hari ini batal melukis. Padahal Lydia sudah tidak sabar untuk melanjutkannya, dia juga penasaran dengan hasil akhirnya.Usai Damian berpakaian lengkap, Lydia mengantar pria itu hingga ke mobil Damian.“Maaf, padahal anda sudah meluangkan waktu, tapi batal,” ucap Lydia sebelum Damian benar-benar pergi.“Nggak masalah, kita bisa mencari waktu lain.”
“Ada banyak gosip tentangmu. Yang mana yang benar?” tanya wanita berlipstik merah itu.“Apa saya harus menjawab?” Lydia bertanya balik dengan tampang dinginnya.Wanita berlipstik merah itu berdecih. “Aku Angel, akulah yang seharusnya ada di posisimu itu! Menjadi asisten pribadi Pak Damian!”Lydia hanya duduk diam dengan tampang tenang.“Aku sudah lebih dulu bekerja di sini dan mengincar posisi di samping Pak Damian, entah sebagai sekretaris atau aspri. Tapi kenapa kau yang wajah baru yang ditempatkan di sana?!” protes Angel.“Entahlah, coba anda tanya saja ke Pak Damian,” jawab Lydia.Lydia malas menanggapi wanita seperti ini, jadi dia respon sekadarnya saja.“Kau terlihat meremehkanku!” seru Angel. “Apa kau tahu siapa ayahku? Ayahku, Pak William, adalah anggota DPRD! Bukan orang biasa sepertimu!”Lydia mengernyit mendengarnya. Sepertinya dia pe
Lydia meneguk ludah, menyadari betapa panasnya tatapan Damian yang terus tertuju padanya. Masih terbayang-bayang di kepala Lydia tentang pertanyaan Damian beberapa saat yang lalu.Menyadari arah tatapan Damian saat ini, Lydia refleks menarik tali gaun tidurnya yang melorot, menaikkan gaunnya agar tubuhnya tak lagi terlalu terekspos.Namun, sepertinya Damian sudah melihatnya. Ya, karena itulah Damian mengira dia sedang menggoda pria itu.“S-siapa yang menggoda anda? Saya nggak—”Lydia berhenti bicara, kalimatnya tertahan di tenggorokan karena terkejut ketika Damian tiba-tiba mengulurkan tangan, menyentuh dagunya.“Oh, ya?” ujar Damian pelan.Damian menyeringai tipis.Melihat itu, jantung Lydia berdegup kencang. Ditambah lagi, Damian memajukan wajah ke arahnya, dan dia tak bisa menjauh karena dagunya masih ditahan oleh Damian.Jarak mereka semakin dekat, begitu dekat hingga Lydia bisa merasakan napas hangat pria itu yang bercampur aroma wine.Damian menurunkan gelas wine-nya, lalu tanpa
Lydia yang masih berada di pangkuan Damian tersenyum semakin lebar saat pria itu mengelus pipinya dengan lembut.“Pertahankan senyum ini, kamu terlihat lebih cantik.”“Dasar gombal!” seru Lydia, menabok manja lengan Damian.Damian mengangkat alis. “Aku sedang nggak menggombal. Sejak kapan bicara jujur disebut menggombal?”Lydia nyaris tertawa senang, tapi dia tahan.“Ternyata kamu punya keahlian bermulut manis,” gurau Lydia.Dan, entah mengapa, mereka tak lagi bicara dengan panggilan formal. Percakapan yang santai mengalir begitu saja. Mungkin karena efek alkohol yang sudah ditegak, dan mungkin juga karena mereka mulai nyaman satu sama lain.Untuk malam ini, Lydia ingin melupakan batasan-batasan yang ada di antara dirinya dan Damian, untuk menikmati kebersamaan mereka.“Aku penasaran,” ucap Lydia, kini dia yang balas menyentuh wajah Damian, menangkup pipi pria itu. Dan, Damian tak menolak. “Apa yang tadi sedang kamu pikirkan di balkon? Kamu sampai kaget saat sadar ada aku. Sepertinya
Entah berapa lama Damian memeluknya, Lydia tak tahu, tapi sepertinya lebih dari setengah jam. Dia sampai bertanya-tanya, Damian tidak ketiduran kan?Lydia menunduk, menatap wajah Damian yang disembunyikan di ceruk lehernya. Posisinya masih berada di pangkuan Damian."Sudah terlalu larut, aku harus balik ke kamar,” ucap Lydia sambil berusaha mengangkat kepala Damian.Namun, sulit sekali! Ternyata kepala Damian berat!“Pak Damian! Nggak tidur kan?” tanya Lydia.Barulah Damian mengangkat kepalanya. Matanya sayu seperti orang yang mengantuk, tapi dia tetap membuka mata dan menatap Lydia.“Cukup panggil nama, jangan pakai ‘pak’ kalau nggak di tempat kerja,” ucap Damian, malah membahas itu.“Kamu belasan tahun lebih tua dariku, nggak sopan kalau hanya panggil nama.”“Aku nggak masalah.”“Kamu lebih cocok aku panggil ‘om’,” gurau Lydia.“Jangan,” ujar Damian dengan raut serius.Lydia tak tahu mengapa Damian begini, apa mungkin agar mereka makin akrab, makin dekat, dan aktingnya makin natural
Felix masih terus mengamati Lydia dan Damian, mereka asyik sendiri dan melupakan kalau di sini juga ada dia. Seolah dunia hanya milik mereka berdua.Ponsel Lydia tiba-tiba berdering, ada telepon masuk dari Marcell.“Aku angkat telepon dulu sebentar,” ucap Lydia, menjeda obrolannya dengan Damian.“Nggak usah diangkat.”Damian tanpa permisi mengambil ponsel Lydia lalu mematikan panggilan dari Marcell.“Kalau penting bagaimana?” protes Lydia.“Dia bisa kirim chat. Abaikan saja Marcell, kamu di sini fokus bekerja.”Lydia menatap heran ke Damian, mengapa pria itu mengaturnya? Tapi ada benarnya juga, dia pun tak ingin mengangkat panggilan Marcell dan mendengar suara pria menyebalkan itu.“Oke,” angguk Lydia.Saat Lydia mengecek chat dari Marcell, rupanya hanya menanyakan kapan dia akan kembali.“Dia chat kamu? Apa isinya?” tanya Damian, melongokkan kepalanya ke layar ponsel Lydia.“Dia hanya bertanya kapan saya akan kembali?”Tanpa mereka sadari, Felix masih memperhatikan itu. Dia heran kar
Lydia mengepalkan kedua tangannya, amarah dan keterkejutan sempat melandanya meskipun hanya sesaat. Namun, Lydia tak seratus persen kaget. Dia sudah menduga kalau suatu saat nanti hal seperti ini bisa saja terjadi.Karena itulah sekarang Lydia sudah kembali ke raut datarnya yang tampak tenang.“Oh, begitu. Lalu, apa hubungannya dengan saya?” tanya Lydia, menatap tajam Adel. “Kalau kamu berharap saya memberikan ucapan ‘selamat’, maka kamu mengharapkan hal yang sia-sia.”“Apa?!” seru Adel, dia tampak tak senang dengan tanggapan Lydia.Padahal, Adel harap, Lydia akan kaget dan marah, berteriak kemudian menangis sedih sampai terpuruk usai mendengar kabar ini, lalu meminta bercerai dengan Marcell. Tapi, rupanya Lydia masih tampak tenang, dan sialnya terlihat begitu cantik dan elegan. Adel iri!Adel melotot tajam ke Lydia. “Kau—"“Sebentar!” sela Marcell. Dia berada di antara kedua wanita itu. Tampangnya menunjukkan kepanikan. “Lydia, kamu jangan langsung percaya. Adel belum tentu hamil ana
“Adel, tenanglah, jangan bilang begitu,” ucap Marcell.Lydia menghela napas. Paginya jadi berantakan gara-gara wanita yang satu itu. Ini semua gara-gara Marcell, dia jadi turut terjebak dalam masalah Marcell.“Oke, kalau itu maumu. Aku … akan izinkan kamu tinggal di sini, bersamaku dan Lydia,” kata Marcell.Adel langsung mengukir senyum. “Benarkah? Asyik! Thank you, Sayang!”Lydia hanya bisa diam melihat Adel yang kegirangan lantas memeluk Marcell.Kalau sudah begini, Lydia pun tak tahu harus melakukan apa selain memenuhi keinginan Adel. Karena kalau tak dituruti, dia khawatir dengan ancaman Adel.Lydia melirik Marcell dengan sorot tajam. Marcell langsung menjauh dari Adel lantas mendekati Lydia.“Aku akan bicara dengan Lydia dulu. Kamu masuklah ke kamar di lantai dua,” kata Marcell.Marcell menyuruh ART untuk membantu Adel dan menyiapkan kamar khusus untuk wanita itu yang berbeda lantai dengannya dan Lydia.Sekarang, hanya tinggal Marcell dan Lydia di sini.“Maaf,” ujar Marcell ke Ly
“Siapa orangnya! Cepat katakan!” seru Marcell dengan tampang tak sabar.“Saya akan memberi tahu, tapi dengan syarat anda harus mau bekerja sama dengan saya untuk menyingkirkan Damian dari posisinya di perusahaan.”Marcell langsung mengernyit. “Apa hubungannya perselingkuhan istri saya dengan Damian?”“Nanti anda akan tahu. Jadi, bagaimana? Apa anda setuju?”“Itu cukup sulit, anda tahu kan kalau kita juga bersaing? Saya, dan anda termasuk Pak Damian.”“Ya, itu benar. Tapi, saya berjanji akan membuat kesepakatan yang menguntungkan anda juga.”“Akan saya pertimbangkan, tapi beri tahu dulu soal selingkuhan istri saya.”Alex duduk bersandar dengan tampang santai, dia menyeringai sejenak.“Tadi anda sudah menyebut sendiri nama orangnya.”Marcell diam, mengingat-ingat sosok yang sempat dia sebut, kemudian langsung terbelalak.“Pak Damian?”“Ya. Dia adalah selingkuhan istri anda,” jawab Alex dengan raut serius.Marcell sempat terlihat kaget, tapi hanya sejenak sebelum dia tertawa. Tapi jelas
“Marcell pengusaha yang itu kan? Yang Damian pernah menobatkannya menjadi saingan bisnis baru?" tanya Alex.Melanie mengangguk. “Benar, yang itu. Kamu juga kenal orangnya, tapi kita nggak akrab, hanya pernah bertegur sapa beberapa kali.”Melanie mengeluarkan ponselnya lalu menunjukkan foto Marcell yang dia maksud kepada sang suami.“Yang ini,” tunjuknya.Alex mengangguk paham. “Hm … menarik kalau memang benar. Haha! Damian, kau sungguh gila!” serunya.Alex kembali tertawa, dia merasa bahagia mendadak, senang karena membayangkan bisa menjatuhkan Damian dengan cara ini, kemudian merebut posisi Damian.“Aku belum pernah bertemu dengan istri Marcell, jadi nggak tahu wajahnya. Tapi kamu tahu dari mana, Sayang?” tanya Alex.“Aku ingat sekitar dua tahun yang lalu, saat ke galeri seni, tiba-tiba heboh karena ada pengusaha muda yang katanya tampan datang mengunjungi istrinya yang seorang pelukis, dan karya istrinya sedang dipamerkan di sana.”“Ah, jadi si istri itu Lydia?”“Ya,” angguk Melanie
Lydia mendengkus. Dia yakin Marcell tak akan bisa menjawab, tapi dia juga yakin kalau Marcell tak merasa bersalah.Kesal karena Marcell masih diam, Lydia berjalan begitu saja melewati Marcell tanpa bicara apa pun lagi.“Lydia! Sebentar, aku belum selesai bicara denganmu!” seru Marcell.Namun, Lydia tak menggubris. Dan, sebelum dia masuk ke kamar, dia menoleh menatap Marcell yang tak mengejarnya. Rupanya, Marcell sedang ribut, dihadang oleh Adel yang baru kembali dan sedang marah-marah karena melihat Marcell membawa wanita lain—Grace.“Aku sudah muak. Aku harus segera keluar dari rumah ini,” gumam Lydia.*Pagi ini, Lydia sudah berdandan rapi, sedang bersiap untuk berangkat kerja ke perusahaan Damian seperti biasa. Hari ini juga, dia berencana untuk mengajak Damian mendiskusikan rencana mereka untuk menjatuhkan Marcell.“Mau ke mana kamu?” tanya Marcell ketika melihat Lydia keluar kamar.“Kerja,” jawab Lydia singkat.Lydia mengamati sekeliling, rupanya sudah tak ada lagi wanita bernama
Kembali ke masa sekarang.Lydia masih diam sambil memegang erat ponselnya, dia bingung untuk menanggapi Marcell yang terdengar emosi.Apa rencananya akan gagal total? Apa Marcell akhirnya tahu hubungannya dengan Damian? Sungguh, Lydia gelisah.“Kamu masih nggak mau menjawab?!” seru Marcell dari seberang sana. “Kalau begitu, segera pulang! Ini perintah! Kalau enggak, aku akan menyusulmu hari ini juga!”Lydia melongo. Dia tak menyangka Marcell sampai sebegitunya. Padahal, biasanya Marcell cuek padanya, tapi kenapa sekarang seolah posesif?“Tapi aku—”Panggilan terputus. Lydia berdecak kesal. Dia belum selesai bicara! Dasar Marcell sialan!Lydia menatap Damian dengan tampang bad mood.“Ada apa?” tanya Damian, dia tak mendengar obrolan Lydia dan Marcell karena tidak di-loudspeaker.“Marcell mengetahui lukisanku, dia marah, dan memerintahkanku untuk segera pulang. Kalau enggak, dia yang akan menyusul ke sini,” beri tahu Lydia.Damian pun turut terkejut. “Bagaimana Marcell bisa tiba-tiba ta
Beberapa saat sebelumnya.Marcell sedang asyik berduaan dengan Adel yang terus bergelayut manja padanya.“Sayang, aku ingin beli tas baru,” rengek Adel.Namun, Marcell cuek. Pria itu yang biasanya amat memanjakan wanita jalang simpanannya, kini tak lagi sama. Lebih tepatnya sejak dia merasa ada keanehan dari Lydia.Marcell merasa tak tenang. Apa sebaiknya dia menyusul Lydia ke Prancis? Ah, tidak, dia masih ada urusan pekerjaan di weekend ini.“Sayang?” panggil Adel.Adel cemberut, Marcell tak menggubrisnya dan kini tampak melamun. Padahal, biasanya kalau dia sudah merengek manja apalagi berpenampilan seksi begini, Marcell akan tertarik, tapi belakangan ini tidak. Marcell seperti berubah.Tidak! Ini tidak boleh terjadi! Adel berusaha untuk berada di sisi Marcell selamanya dan mendapatkan harta pria itu, dia bahkan nekat mengandung anak Marcell. Jangan sampai Marcell berpaling darinya.“Apa kamu sedang memikirkan Lydia yang nggak menarik itu?” ejek Adel.Tak disangka, Marcell langsung m
Matahari pagi menyusup pelan melalui celah tirai kamar hotel yang tak sepenuhnya tertutup.Sinar hangat itu mengenai wajah Lydia yang masih terlelap di bawah selimut tebal berwarna abu-abu. Rambutnya berantakan, sebagian menjuntai di bantal, sebagian lainnya menempel di pipinya yang memerah.Tentu saja kondisinya berantakan, ulah siapa lagi kalau bukan Damian yang menggempurnya dua ronde semalam?Damian sudah bangun lebih dulu. Dia duduk di sofa dekat jendela dengan laptop di pangkuannya, dia mengenakan celana pendek kaus putih.Rambut Damian masih berantakan, karena kegiatan semalam yang belum sempat dia rapikan sepenuhnya. Dia tampak begitu fokus mengurus pekerjaan meskipun di hari libur, membalas beberapa email penting dan berkomunikasi dengan Felix.Mendengar suara ketikan Damian di laptop, Lydia terbangun. Lydia menggeliat pelan. Tangannya meraba sisi kasur di sebelahnya yang kosong.Membuka mata, Lydia menatap sisi di sebelahnya."Damian?" panggil Lydia.Damian meletakkan laptop
Lydia menatap tangannya yang digenggam oleh Damian. Dia tersenyum kecil.Saat ini mereka sedang berjalan ke sebuah gang yang dipenuhi lampu gantung. Ada sebuah toko bernama Librairie des Rêves. Toko kecil yang jendelanya memajang buku seni, puisi, catatan perjalanan, dan sebagainya.“Mau mampir nggak? Dulu saat masih di Paris, aku sesekali mampir ke sini,” kata Lydia.“Oke, ayo mampir,” angguk Damian.Lonceng kecil berdenting saat mereka masuk. Aroma kayu dan halaman-halaman lama menyambut mereka.“Kamu suka buku kan?” tanya Lydia.“Hm.” Damian membenarkan.Lydia mengambil salah satu buku, membacanya. Sesekali dia memperhatikan Damian yang juga mengambil sebuah buku lalu membaca dengan serius.Sambil membalik halaman perlahan, Lydia masih sesekali menatap Damian. Suasana memang hening, tapi jantungnya bertalu-talu. Dia berdebar tak keruan hanya dengan memperhatikan Damian, sosok pria matang yang jauh lebih tua darinya itu terlihat begitu menarik.Bagaimana bisa Damian selalu terlihat
Marcell mencengkeram gelas di tangannya seolah sedang memegang Lydia erat-erat. Dia tak akan melepaskan Lydia apa pun yang terjadi. Tak akan dia biarkan Lydia jatuh ke tangan pria lain!“Lydia, kamu akan menyesal. Awas kalau kamu kembali nanti,” batin Marcell.Sementara itu, di Paris.Lydia telah tiba di sana. Pagi ini, dia dan Damian keluar dari hotel di kawasan Montmartre, tangan Damian menggenggam tangannya dengan erat. Begitu hangat.Lydia mengenakan dress putih sederhana dengan outer berwarna krem, sedangkan Damian tampil santai dengan sweater abu-abu dan celana hitam. Mereka berjalan beriringan, menyusuri jalanan berbatu yang dipenuhi aroma roti hangat dan kopi dari toko-toko sekitar.Begitu melewati sebuah toko kecil bertuliskan Boulangerie Artisanale, aroma croissant yang baru dipanggang membuat perut Lydia meronta. Padahal, tadi dia sudah sarapan di hotel.Damian menoleh, dia menyadari mata Lydia yang m
Lydia menatap lukisan tubuh Damian dengan pandangan yang tak bisa dijelaskan.Karya itu … sempurna. Setiap goresan menggambarkan sosok pria yang dia sukai. Tapi, justru karena itulah, dia merasa tidak rela membiarkannya jadi konsumsi publik.Damian menoleh, menyadari ekspresi Lydia yang berubah.“Kamu kenapa?” tanya Damian sambil mendekat, merangkul Lydia.Lydia menghela napas. “Aku … tiba-tiba merasa ragu.”“Ragu soal apa?”“Lukisannya.”“Hasilnya sudah sangat bagus. Apa yang membuatmu ragu?”“Bukan soal hasilnya.” Lydia menoleh, menatap Damian. “Aku ragu buat memamerkannya.”Damian mengernyit, dia tak paham. “Kenapa?”“Karena tiba-tiba aku merasa nggak rela.” Lydia terdiam sejenak. “Aku nggak mau lukisan tubuh telanjangmu ditatap banyak orang, nanti gimana kalau mereka menginginkanmu sa