Entah berapa lama Damian memeluknya, Lydia tak tahu, tapi sepertinya lebih dari setengah jam. Dia sampai bertanya-tanya, Damian tidak ketiduran kan?Lydia menunduk, menatap wajah Damian yang disembunyikan di ceruk lehernya. Posisinya masih berada di pangkuan Damian."Sudah terlalu larut, aku harus balik ke kamar,” ucap Lydia sambil berusaha mengangkat kepala Damian.Namun, sulit sekali! Ternyata kepala Damian berat!“Pak Damian! Nggak tidur kan?” tanya Lydia.Barulah Damian mengangkat kepalanya. Matanya sayu seperti orang yang mengantuk, tapi dia tetap membuka mata dan menatap Lydia.“Cukup panggil nama, jangan pakai ‘pak’ kalau nggak di tempat kerja,” ucap Damian, malah membahas itu.“Kamu belasan tahun lebih tua dariku, nggak sopan kalau hanya panggil nama.”“Aku nggak masalah.”“Kamu lebih cocok aku panggil ‘om’,” gurau Lydia.“Jangan,” ujar Damian dengan raut serius.Lydia tak tahu mengapa Damian begini, apa mungkin agar mereka makin akrab, makin dekat, dan aktingnya makin natural
Felix masih terus mengamati Lydia dan Damian, mereka asyik sendiri dan melupakan kalau di sini juga ada dia. Seolah dunia hanya milik mereka berdua.Ponsel Lydia tiba-tiba berdering, ada telepon masuk dari Marcell.“Aku angkat telepon dulu sebentar,” ucap Lydia, menjeda obrolannya dengan Damian.“Nggak usah diangkat.”Damian tanpa permisi mengambil ponsel Lydia lalu mematikan panggilan dari Marcell.“Kalau penting bagaimana?” protes Lydia.“Dia bisa kirim chat. Abaikan saja Marcell, kamu di sini fokus bekerja.”Lydia menatap heran ke Damian, mengapa pria itu mengaturnya? Tapi ada benarnya juga, dia pun tak ingin mengangkat panggilan Marcell dan mendengar suara pria menyebalkan itu.“Oke,” angguk Lydia.Saat Lydia mengecek chat dari Marcell, rupanya hanya menanyakan kapan dia akan kembali.“Dia chat kamu? Apa isinya?” tanya Damian, melongokkan kepalanya ke layar ponsel Lydia.“Dia hanya bertanya kapan saya akan kembali?”Tanpa mereka sadari, Felix masih memperhatikan itu. Dia heran kar
Lydia mengepalkan kedua tangannya, amarah dan keterkejutan sempat melandanya meskipun hanya sesaat. Namun, Lydia tak seratus persen kaget. Dia sudah menduga kalau suatu saat nanti hal seperti ini bisa saja terjadi.Karena itulah sekarang Lydia sudah kembali ke raut datarnya yang tampak tenang.“Oh, begitu. Lalu, apa hubungannya dengan saya?” tanya Lydia, menatap tajam Adel. “Kalau kamu berharap saya memberikan ucapan ‘selamat’, maka kamu mengharapkan hal yang sia-sia.”“Apa?!” seru Adel, dia tampak tak senang dengan tanggapan Lydia.Padahal, Adel harap, Lydia akan kaget dan marah, berteriak kemudian menangis sedih sampai terpuruk usai mendengar kabar ini, lalu meminta bercerai dengan Marcell. Tapi, rupanya Lydia masih tampak tenang, dan sialnya terlihat begitu cantik dan elegan. Adel iri!Adel melotot tajam ke Lydia. “Kau—"“Sebentar!” sela Marcell. Dia berada di antara kedua wanita itu. Tampangnya menunjukkan kepanikan. “Lydia, kamu jangan langsung percaya. Adel belum tentu hamil ana
“Adel, tenanglah, jangan bilang begitu,” ucap Marcell.Lydia menghela napas. Paginya jadi berantakan gara-gara wanita yang satu itu. Ini semua gara-gara Marcell, dia jadi turut terjebak dalam masalah Marcell.“Oke, kalau itu maumu. Aku … akan izinkan kamu tinggal di sini, bersamaku dan Lydia,” kata Marcell.Adel langsung mengukir senyum. “Benarkah? Asyik! Thank you, Sayang!”Lydia hanya bisa diam melihat Adel yang kegirangan lantas memeluk Marcell.Kalau sudah begini, Lydia pun tak tahu harus melakukan apa selain memenuhi keinginan Adel. Karena kalau tak dituruti, dia khawatir dengan ancaman Adel.Lydia melirik Marcell dengan sorot tajam. Marcell langsung menjauh dari Adel lantas mendekati Lydia.“Aku akan bicara dengan Lydia dulu. Kamu masuklah ke kamar di lantai dua,” kata Marcell.Marcell menyuruh ART untuk membantu Adel dan menyiapkan kamar khusus untuk wanita itu yang berbeda lantai dengannya dan Lydia.Sekarang, hanya tinggal Marcell dan Lydia di sini.“Maaf,” ujar Marcell ke Ly
“Ini kamar saya,” tegas Lydia.Lydia masih berdiri di depan kamarnya, tak mau memberikan jalan untuk Adel masuk. Sementara itu, Adel terlihat emosi.Tepat saat itulah Marcell pulang dan menyadari ada keributan di antara dua wanita itu.“Apa yang terjadi?” tanya Marcell.“Aku ingin tidur berdua denganmu di kamarmu! Tapi dia nggak memperbolehkan aku masuk!” adu Adel sambil menunjuk Lydia.Sebelum Marcell angkat bicara, Lydia lebih dulu berujar,“Bukan kamu yang masuk ke sini, karena ini kamar saya. Kalau kamu mau tidur berdua dengan Marcell, maka Marcell yang harus keluar dari kamar ini dan masuk ke kamarmu, bukan saya yang pergi,” jelas Lydia.Tentu saja, Lydia tak mau diusir dari wilayahnya. Dia tak mau pindah ke kamar lain, sebaiknya Marcell saja yang pindah.“Sayang … bagaimana ini?” tanya Adel kepada Marcell dengan tampang sok sedih.“Biar aku yang ke kamarmu,” kata Marcell menenangkan.Lydia mendengkus. Malas melihat drama di hadapannya, dia masuk ke kamar lantas menutup pintu.Un
Damian menarik Lydia ke sofa, dia beranjak duduk di sana lantas mendudukkan Lydia ke atas pangkuannya.Lydia sempat terbelalak, tapi dia tak menolak.“Duduk saja di sini.”Lydia memalingkan wajahnya, malu sejenak. “Kamu belum pakai celana.”Damian tersenyum tipis. Meraih sejumput rambut Lydia lantas memainkannya sambil tak berhenti menatap lekat Lydia yang terlihat menggemaskan kalau sedang malu.“Kan sudah ditutupi kain,” ucap Damian.Lydia diam, dia bingung hendak bicara apa lagi. Dan tiba-tiba, Damian kembali meraihnya ke dalam pelukan pria itu.Lydia berdebar hebat ketika pipinya menempel di dada bidang Damian yang telanjang. Tentu saja Damian dalam keadaan shirtless.Namun, semakin lama, Lydia merasa nyaman dan tenang, apalagi Damian mengelus punggungnya, ditambah dia mencium wangi tubuh Damian yang memabukkan.Lydia menggesekkan pipinya ke kulit Damian, rasanya semakin nyaman hingga dia mengantuk.“Sekarang sudah lebih tenang?” tanya Damian.Damian menunduk, menatap Lydia yang s
“Ya?” tanya Lydia.Apa Lydia tak salah dengar? Damian memujinya cantik di tempat terbuka seperti ini, dan terlihat serius, sepertinya tidak sedang bercanda.Dan, Lydia pikir, Damian akan menyangkal atau mengubah topik pembicaraan saat ditanya. Namun, Damian malah mengangguk seraya beranjak dari duduk dan menghampiri Lydia.Diraihnya tangan Lydia lantas dia genggam sambil mata birunya yang memancar indah menatap wajah Lydia dengan lekat.“Aku nggak bohong, kamu cantik.”Lydia mengulum senyum, menahan debaran di dada agar tak menggila. Dia baru pertama kali merasakan keanehan seperti ini. Saat dengan Marcell, mau itu pertunangan atau pernikahan, terasa biasa saja, malah dia ingin kabur.Tapi, bersama Damian, meskipun hanya pura-pura, entah mengapa … terasa nyata.‘Aku nggak boleh terbawa suasana. Jangan terhanyut. Damian hanya bicara jujur, jangan baper,’ batin Lydia, memperingati diri
“Aku belum ingat. Ini sungguh membuatku frustasi,” ujar Melanie dengan tampang kesal.“Nggak masalah, Sayang. Kamu bisa mengingat pelan-pelan, setelah itu kita cari tahu bersama. Barangkali ada hal buruk dari tunangan Damian yang bisa kita temukan dan gunakan untuk menjatuhkan Damian.”Alex tampak bersemangat. Tentu saja, dia tak terima posisi Presdir yang seharusnya miliknya malah diambil oleh Damian. Dialah yang seharusnya berada di sana!Maka, bagaimanapun juga, Alex harus mencari cara untuk menyingkirkan Damian dari posisi Presdir.Kabar Damian yang bertunangan pun membuat Alex tak senang. Padahal, dia bahagia kalau Damian memutuskan tak menikah dan posisi Presdir jatuh padanya, warisan seperti saham juga jatuh mayoritas padanya dan anaknya. Itulah yang dia impikan.Acara pertunangan selesai, Lydia berpamitan kepada keluarga besar Damian.“Apa aku boleh menumpang ganti baju?” tanya Lydia kepada Damian sebelum benar-benar pergi.Kini Lydia sedang berjalan bersama memasuki rumah den
“Bunga dari siapa itu?”Lydia langsung melunturkan senyumnya saat baru saja menginjakkan kaki di dalam rumah.Marcell menghadangnya, menanyakan bunga dari Damian yang dia bawa ke rumah. Tentu saja, Lydia tak berniat membuang sebuket bunga ini.“Dariku, aku beli sendiri,” jawab Lydia, berbohong.“Sejak kapan kamu suka beli bunga?” heran Marcell.“Sejak hari ini,” jawab Lydia cuek.Marcell mengamati Lydia dengan tampang curiga. Sejujurnya, akhir-akhir ini Lydia memang aneh, seperti ada banyak hal yang wanita itu sembunyikan darinya.Lydia tak mempedulikan Marcell, dia yakin tak akan ketahuan kalau hanya perkara bunga.Saat tiba di kamar, dia menaruh bunga pemberian Damian di vas sambil memandanginya dan tersenyum-senyum sendiri.Lydia membuka ponsel, mengecek kalender di sana. Dia hampir lupa, pameran seni lukis di Prancis dimajukan, tak lama lagi. Dia harus segera menyelesaikan lukisan.Dia harap Marcell ada acara lagi di luar agar dia bisa membawa Damian ke rumah untuk menyelesaikan l
Damian dan Lydia masih berada dalam pelukan setelah ciuman lembut yang mereka bagi. Ruangan terasa hangat oleh napas mereka yang saling bersahutan dalam jarak dekat.Damian menempelkan bibirnya ke pelipis Lydia, mengecupnya. Dia lantas menarik tubuh wanita itu lebih dekat.“Kamu sepertinya lebih kurus,” gumam Damian sambil mengamati dan mengelus tubuh Lydia. “Jangan diet.”“Aku nggak mau gendut.”“Kamu nggak gendut. Makanlah yang banyak, jangan ditahan-tahan.”Lydia mengangguk. “Tapi sepertinya bukan aku yang kurus, badanmu yang terlalu besar, kamu terlalu kekar.”Damian terkekeh.Jemarinya bergerak lembut menyisir rambut Lydia yang terurai lalu berhenti di dagu wanita itu, mengarahkan agar menatapnya.Mata biru Damian bergerak menelusuri wajah Lydia dalam keheningan. Lydia memang balas menatapnya, tapi tampak tak terlalu fokus, pikirannya seperti terbagi ke hal lain.“Ada apa, hm?” tanya Damian dengan lembut, hal yang jarang sekali dia lakukan bahkan kepada keluarganya sendiri.“Aku
Panik, Lydia bergerak makin menjauh dari tubuh Damian.“Ada yang datang,” bisik Lydia.Damian mengangguk. “Kamu tetap di sini.” Dia lantas merapikan penampilan dan memasang tampang datarnya. “Masuk!”Sosok yang mengetuk pintu ruangan Damian masuk ke dalam. Bukan Felix, melainkan seorang direktur operasional di perusahaan tersebut.Mendapati Damian berduaan di ruangan dengan Lydia, dia tak curiga karena mereka terlihat biasa saja, tampak formal seperti atasan dan bawahan.Lydia berusaha bersikap profesional, mendampingi Damian yang sedang membicarakan terkait pekerjaan dengan sang direktur operasional.Lydia merasa lega. Untung saja tadi tak ketahuan. Dia terlalu nekat bermesraan di kantor kan?*Memang, mereka tak bisa berduaan lagi sampai pulang kerja. Tapi, pasangan terlarang itu tak mau menyia-nyiakan waktu saat Marcell dan Adel tak ada di rumah.Seperti malam ini misalnya, Lydia langsung mengundang Damian ke rumahnya, seperti biasa melukis di paviliun.Kali ini, ke sesi berikutnya
"Apa ada hal baik yang terjadi?” tanya Marcell.Pagi ini, Marcell sedang sarapan bersama Lydia dan Adel. Namun, fokusnya terus tertuju pada Lydia yang tak berhenti tersenyum, bahkan entah kerasukan apa, wanita yang masih berstatus istrinya itu menyapanya dan Adel dengan ramah.Padahal, biasanya Lydia hanya diam dengan tampang dingin.“Hm?” sahut Lydia, diam sejenak.Pikirin Lydia masih dipenuhi oleh Damian yang semalam. Senyum pria itu, tatapannya, genggaman tangannya, dan tentu saja ciuman mereka sebagai pasangan.“Ah, hal baik. Ya, tentu saja ada,” jawab Lydia.“Tentang lukisanmu?”Lydia mengangguk, berbohong. Entah akan sekaget apa Marcell kalau tahu hal baik yang dia maksud adalah jadian dengan Damian.“Aku sudah selesai,” ujar Lydia lalu beranjak dari kursinya, dia lantas menatap Adel dengan senyum elegan. “Makanlah yang banyak, agar bayimu nggak kekurangan gizi.”Adel menggenggam alat makan erat-erat. Dia kesal mendengar kalimat Lydia yang entah mengapa seperti ejekan baginya, d
Suasana di dalam ruangan mendadak sunyi. Lydia menatap Damian dengan perasaan campur aduk. Dia merasa terkejut, tak percaya, dan jantungnya berdebar begitu cepat hingga dia khawatir Damian bisa mendengarnya.“Damian …” Lydia mengerjapkan mata. “Apa kamu serius?”Damian tidak menjawab dengan kata-kata, hanya menatap Lydia dengan intens.Tatapan itu … Lydia tak bisa mengabaikannya. Ada sesuatu yang berbeda di sana, bukan sekadar ketertarikan, tapi lebih dalam dari itu.Damian menyandarkan tubuhnya ke kursi, tangannya masih memegang segelas wine yang berisi sisa minuman yang belum disentuhnya lagi. Dia tidak main-main dengan ucapannya barusan.“Aku serius, Lydia. Aku ingin menambahkan satu poin dalam kontrak kita. Aku ingin ada kemungkinan bagi kita untuk memiliki hubungan romantis sungguhan, bukan sekadar akting.”Lydia merasa tubuhnya melemas. Ini terlalu mendadak. Dia bahkan masih memproses fakta bahwa Damian menyukainya.“Tapi …” Lydia terdiam sejenak. “Ini terlalu mendadak buatku. A
Damian tampak terguncang setelah meresapi perkataan Felix. Dia bahkan membuat Felix khawatir ketika akan pamit pulang.“Anda mau saya antar?” tawar Felix yang merasa tak tega.“Nggak,” tolak Damian.Di dalam mobil, Damian mengusap wajahnya dengan kasar.DIa tidak menyukai perasaan tidak pasti seperti ini. Selama ini, segala sesuatu dalam hidupnya berjalan sesuai rencana, terkontrol, logis, terstruktur. Dan mayoritas berkaitan dengan pekerjaan.Tapi, sosok Lydia… bagi Damian seperti badai. Masuk ke dalam hidupnya tanpa aba-aba, mengguncang segalanya, dan membuatnya merasa tidak menentu seperti sekarang.Di tempat tidurnya, apakah Damian bisa tidur nyenyak setelah mendapatkan pencerahan dari Felix? Oh, tentu saja, tidak. Dia malah semakin sulit tidur. Terjaga terus-menerus dan makin memikirkan Lydia.Damian menatap jam dindingnya, sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Ini gila!Akhirnya, dia bangkit dari tempat tidur, berjalan menuju dapur, dan menuangkan segelas whiskey. Dia menyesapn
Damian menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Seharusnya dia bisa tidur nyenyak setelah menghabiskan malam panas yang luar biasa dengan Lydia, tapi justru sebaliknya. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.Lydia. Wanita itulah penyebabnya.Nama Lydia terus berputar di benaknya dan di pikirannya. Wajahnya. Senyumnya. Cara dia bicara, cara dia melukis, cara dia menatapnya dengan raut serius. Dan tubuhnya yang terasa begitu pas di dalam pelukannya.Damian menghela napas, menatap tangannya. Dia masih teringat bagaimana rasanya menyentuh kulit Lydia. Hangat. Lembut. Menyebabkan kecanduan.Sialan!Dia bukan tipe pria yang terobsesi pada wanita. Tapi Lydia... wanita itu berbeda. Namun, mengapa harus istri Marcell?“Sepertinya aku mulai gila!” geram Damian pada dirinya sendiri.Tadi di pagi harinya usai ikut sarapan bersama Lydia, dia langsung pamit pulang. Dia tak sanggup berlama-lama lagi dengan Lydia, dia khawatir perasaan aneh ini berkembang semakin besar.Damian merasa bahwa
Hujan masih turun rintik-rintik ketika Damian dan Lydia berbaring di atas kasur dengan napas terengah usai pertempuran panas selama dua ronde.Angin dingin berembus pelan, membawa aroma tanah basah dan sisa hujan yang menenangkan.Lydia terbaring di samping Damian, tubuhnya dibalut selimut. Dia menatap wajah pria itu dalam keheningan. Rambut Damian berantakan, matanya setengah terpejam, tapi tatapan mata birunya masih terfokus pada Lydia seakan ingin menghafal setiap detail wajahnya.Jemari Damian terangkat, menyentuh wajah Lydia dengan lembut. Ibu jarinya mengusap pipi wanita itu, turun ke sepanjang rahang, lalu berhenti di dagunya."You’re so pretty, Lydia," suara Damian terdengar rendah dan penuh kelembutan. "Saya masih nggak nyangka wanita sempurna sepertimu diselingkuhi."Lydia hanya diam. Tapi, dia merasa dadanya kembali berdebar hebat usai mendengar kalimat Damian yang seperti pujian baginya. Atau, itu memang benar pujian yang tulus?Astaga, rasanya pipi Lydia memanas. Dia sala
Damian mencium Lydia dengan tenang, tak terburu-buru, seakan menikmati setiap detik yang ada.Satu tangan Damian berada di pipi Lydia, sedangkan tangannya yang lain melingkar di pinggang wanita itu, menariknya lebih dekat.Lydia memejamkan mata, membiarkan dirinya tenggelam dalam cumbuan Damian yang memabukkan. Ditambah suasana yang sungguh mendukung dengan suara rintik hujan.Lydia mengerang saat Damian memperdalam ciuman. Napas Damian yang bercampur dengan wangi khas tubuh pria itu tercium, rasa bibir Damian yang bergerak semakin intens membuat Lydia berdebar hebat.Damian menjeda ciuman, menjauhkan bibirnya dari bibir Lydia, menarik diri sejenak. Dia menatap Lydia yang masih terpejam dengan napas memburu."Lydia," bisiknya pelan, suaranya terdengar serak.Lydia membuka matanya perlahan, tatapan mereka bertemu dalam keheningan hujan.“Aku … nggak bisa berhenti,” ujar Damian.Lydia belum sempat menyahut, dan Damian sudah lebih dulu menciumnya. Lebih dalam, dan lebih dalam lagi.Lydia